TIO ULI
PATRICIA 4423107036
PART IV
ARSITEKTUR
RUMAH ADAT BATAK
Selama
suku Batak tinggal di pesisir danau toba, mereka membentuk suatu daerah
perkampungan yang cukup unik, dimana mereka memiliki 2 rumah, yaitu rumah
jantan dan rumah betina. Rumah jantan terletak disebelah selatan, fungsinya
sebagai rumah tinggal, sedangkan rumah betina terletak di sebelah utara,
fungsinya sebagai tempat menyimpan padi. Disebut Rumah Bolon karena suku batak
toba sangat percaya akan Tuhan mereka yaitu MULA JADI NA BOLON, jadi rumah bolon berarti rumah Tuhan. Rumah dan sopo
dipisahkan oleh pelataran luas yang berfungsi sebagai ruang bersama warga huta.
Ada beberapa sebutan untuk rumah Batak, sesuai dengan kondisi rumahnya. Rumah
adat dengan banyak hiasan (gorga), disebut Ruma Gorga Sarimunggu atau Jabu. Batara Guru.
Sedangkan rumah adat yang tidak berukir, disebut Jabu Ereng atau Jabu Batara
Siang. Rumah berukuran besar, disebut Ruma Bolon. dan rumah yang berukuran
kecil, disebut Jabu Parbale-balean. Selain itu, terdapat Ruma Parsantian, yaitu
rumah adat yang menjadi hak anak bungsu. Penataan lumban berbentuk
lebih menyerupai sebuah benteng dari pada sebuah desa.
Ahli bangunan
adat (arsitek tradisional) suku Batak disebut pande. Seperti rumah tradisional
lain, rumah adat Batak merupakan mikro kosmos perlambang makro kosmos yang
terbagi alas 3 bagian atau tritunggal banua, yakni banua tongga (bawah bumi)
untuk kaki rumah, banua tonga (dunia) untuk badan rumah, banua ginjang (singa
dilangit) untuk atap rumah.
Pada penataan bangunan yang terdiri dari beberapa ruma dan sopo sangat menghargai keberadaan sopo, yaitu selalu berhadapan dengan rumah dan mengacu pada poros utara selatan. Hal ini menunjukkan pola kehidupan masyarakat Batak Toba yang didominasi oleh bertani, dengan padi sebagai sumber kehidupan yang sangat dihargainya. Di dalam lumban, terdapat beberapa rumah dan sopo yang tertata secara linear. Beberapa ruma tersebut menunjukkan bahwa ikatan keluarga yang dikenal dengan extended family dapat kita ketemukan dalam masyarakat Batak Toba.
Pada penataan bangunan yang terdiri dari beberapa ruma dan sopo sangat menghargai keberadaan sopo, yaitu selalu berhadapan dengan rumah dan mengacu pada poros utara selatan. Hal ini menunjukkan pola kehidupan masyarakat Batak Toba yang didominasi oleh bertani, dengan padi sebagai sumber kehidupan yang sangat dihargainya. Di dalam lumban, terdapat beberapa rumah dan sopo yang tertata secara linear. Beberapa ruma tersebut menunjukkan bahwa ikatan keluarga yang dikenal dengan extended family dapat kita ketemukan dalam masyarakat Batak Toba.
BAGIAN-BAGIAN
RUMAH BATAK
Menurut
tingkatannya Ruma Batak itu dapat dibagi menjadi 3 bagian :
- Bagian
Bawah (Tombara) yang terdiri dari batu pondasi atau ojahan
tiang-tiang pendek, pasak (rancang) yang menusuk tiang, tangga (balatuk)
- Bagian
Tengah (Tonga) yang terdiri dari dinding depan, dinding samping,
dan belakang
- Bagian
Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah atap urur
diatas urur membentang lais, ruma yang lama atapnya adalah ijuk (serat
dari pohon enau).
Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak
seperti kerbau, lembu dll. Bagian tengah adalah ruangan tempat hunian manusia.
Bagian atas adalah tempat-tempat penyimpanan benda-benda keramat (ugasan
homitan).
Menurut
seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun 1920 berkebangsaan
Belanda bernama D.W.N. De Boer, di dalam bukunya Het Toba Batak Huis, ketiga benua
itu adalah :
- Banua
toru (bawah)
- Banua
tonga (tengah)
- Banua
ginjang (atas)
ATAP
Atap
Rumah Bolon mengambil ide dasar dari punggung kerbau, bentuknya yang melengkung
menambah nilai keaerodinamisannya dalam melawan angin danau yang kencang.
Atap
terbuat dari ijuk, yaitu bahan yang mudah didapat didaerah setempat. Suku batak
menganggap Atap sebagai sesuatu yang suci, sehingga digunakan untuk menyimpan
pusaka mereka.
BADAN
RUMAH
Badan
rumah terletak dibagian tengah atau dalam mitologi batak disebut dunia tengah,
dunia tengah melambangkan tempat aktivitas manusia seperti masak, tidur,
bersenda gurau. Bagian badan rumah dilengkapi hiasan berupa ipon ipon untuk
menolak bala.
PONDASI
§ Pondasi
rumah batak toba menggunakan jenis pondasi cincin, dimana batu sebagai tumpuan
dari kolom kayu yang berdiri diatasnya.
§ Tiang-tiang
berdiameter 42 - 50 cm, berdiri diatas batu ojahan struktur yang fleksibel,
sehingga tahan terhadap gempa
§ Tiang
yang berjumlah 18 mengandung filosofi kebersamaan dan kekokohan
§ Mengapa
memakai pondasi umpak?, karena pada waktu tersebut masih banyaknya batu ojahan
dan kayu gelonggong dalam jumlah yang besar. Dan belum ditemukannya alat
perekat seperti semen
DINDING
§ Dinding
pada rumah batak toba miring, agar angin mudah masuk
§ Tali-tali
pengikat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau
rotan. Tali pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala
saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga
rumah, dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah
mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati.
PINTU
MASUK BANGUNAN
Pintu
Utama Menjorok kedalam dengan lebar 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi
dengan ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang
pintu.
Proses
Mendirikan Rumah:
Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan
bahan-bahan bangunan yang diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan “mangarade”.
Bahan-bahan yang diinginkan antara lain: tiang, tustus(pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, tureture, sijongjongi, sitindangi, songsongboltok dan
ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dan sebagainya
yang diperlukan. Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu
dilaksanakan dengan gotong royong yang dalam bahasa Batak Toba dikenal sebagai
“marsirumpa” suatu bentuk gotong royong tanpa pamrih.
Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka
teknis pengerjaannya diserahkan kepada “pande” (ahli di bidang tertentu,
untuk membuat rumah disebut tukang) untuk merancang dan mewujudkan pembangunan
rumah dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah bentuk “Ruma”
atau “Sopo”.
Biasanya
tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan dengan
kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yang diketok oleh
pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.
Kayu
yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”. Dan
kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yang
seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan “si
tampar piring”.
Tahapan
selanjutnya yang dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yang pertama dituhil (dipahat)
adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang mengatakan “Tais pe banjar ganjang mandapot di raja
huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona”.
Salah satu hal penting yang mendapat perhatian
dalam membangun rumah adalah penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak
pondasi yang kuat maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. Pengertian ini
terangkum dalam falsafah yang mengatakan “hot di ojahanna” dan hal ini
berhubungan dengan pengertian Batak yang berprinsip bahwa di mana tanah di
pijak disitu langit dijungjung.
Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang
dibantu beberapa tiang penopang yang lain. Untuk keperluan dinding rumah
komponen pembentuk terdiri dari “pandingdingan” yang bobotnya cukup
berat sehingga ada falsafah yang mengatakan “Ndang tartea sahalak sada pandingdingan”sebagai isyarat
perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui beban berat.
Pandingdingan dipersatukan dengan “parhongkom”
dengan menggunakan “hansing-hansing” sebagai alat pemersatu. Dalam hal
ini ada ungkapan yang mengatakan “Hot
di batuna jala ransang di ransang-ransangna” dan “hansing di
hansing-hansingna”, yang berpengertian bahwa dasar dan landasan telah
dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri dengan kokoh. Ini
dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan dalam kehidupan
sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu rangkul
merangkul dan mempunyai pergaulan yang harmonis dengan tetangga.
Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut “bungkulan”
ditopang oleh “tiang ninggor”. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak,
ditopang oleh “sitindangi”, dan penopang yang letaknya berada di depan
tiang ninggor dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor
selalu diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya
tegak lurus menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk
dalam menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh
sitindangi dan sijongjongi.
Dibawah atap bagian depan ada yang disebut “arop-arop”.
Ini merupakan simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati
penghidupan yang layak, dan pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yang Maha
Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama disebut Mula Jadi
Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yang dalam bahasa
Batak disebut“Si tompa hasiangan
jala Sigomgom parluhutan”.
Di sebelah depan bagian atas yang merupakan
komponen untuk merajut dan menahan atap supaya tetap kokoh ada “songsong
boltok”. Maknanya, seandainya ada tindakan dan pelayanan yang kurang
berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam
dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan “Kalau ada jarum yang
patah jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yang salah jangan disimpan
dalam hati”.
“Ombis-ombis”
terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke depan.
Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan list plank. Berfungsi
sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yang menahan atap yang terbuat
dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak
ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yang
sempurna dan tidak luput dari keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk
mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Sosok individu yang berkarakter
seperti itu disebut“Pangombisi do
ibana di angka ulaon ni dongan” yaitu orang yang selalu peduli
terhadap apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita.
Pemanfaatan
Ruangan
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai
yang dalam pangertian Batak disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan
tidak goyang maka dibuat galang lantai (halang papan) yang disebut dengan “gulang-gulang”.
Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan
yang mengatakan “Hot do jabu i
hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”
Untuk
menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku tempat
bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan “talaga”. Semua yang
kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tersebut.
Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan” yang
dapat mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yang tercela atau perbuatan yang
dapat membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan.
Di
sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan
ruangan tersebut dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yang
empunya rumah ruangan tersebut digunakan sebagai tempat “pargonsi”
(penabuh gendang Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan sebagai tempat
alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul setelah selesai bertanam padi.
Setara
dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan berbentuk
panggung yang disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat menyimpan
padi, biasanya dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran tempat padi
itu lebih besar disebut dengan “ompon”. Hal itu penyebab maka penghuni
rumah yang tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai “Parbahul-bahul
na bolon”. Dan ada juga falsafah yang mengatakan “Pir ma pongki bahul-bahul pansalongan.
Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”, sebagai permohonan dan
keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.
Melintang
di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang
kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para-para dibuat “parlabian”
digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan
baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yang mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian,
na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be na oto tu pargadisan” yang
artinya kira-kira jika manusia yang bijak bestari diangkat menjadi raja maka
orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan
yang adil dan selalu diayomi.
Untuk
masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yang berada di sebelah
depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk
“Ruma” dulu kala berada di “tampunak”. Karena itu ada falsafah yang
berbunyi bahwa “Tampunak ni
sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas
ma sipairing-iringan”.
Ada
kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga
yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi orang.
Pengertian bahwa yang punya rumah adalah orang yang senang menerima tamu dan
sering dikunjungi orang karena orang tersebut ramah. Tangga tersebut dinamai
dengan “Tangga rege-rege”.
Gorga
Pada sudut-sudut rumah terdapat
hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak
bala. Begitu pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan
untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan ini ada yang berupa
ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran saja. Warna yang
digunakan selalu hitam, putih dan merah.
Semua rumah adat tersebut di atas bahannya dari kayu baik untuk tiang, lantai serta kerangka rumah berikut pintu dan jendela, sedangkan atap rumah terbuat dari seng. Di anjungan Sumatera Utara, rumah-rumah adat yang ditampilkan mengalami sedikit perbedaan dengan rumah adat yang asli di daerahnya. Hal ini disesuaikan dengan kegunaan dari kepraktisan belaka, misalnya tiang-tiang rumah yang seharusnya dari kayu, banyak diganti dengan tiang beton. kemudian fungsi ruangan di samping untuk keperluan ruang kantor yang penting adalah untuk ruang pameran benda-benda kebudayaan serta peragaan adat istiadat dari delapan puak suku di Sumatera Utara. Benda-benda tersebut meliputi alat-alat musik tradisional, alat-alat dapur, alat-alat perang, alat-alat pertanian, alat-alat yang berhubungan dengan mistik, beberapa contoh dapur yang semuanya bersifat tradisional. Sedangkan peragaan adat istiadat dan sejarah dilukiskan dalam bentuk diorama, beberapa pakaian pengantin dan pakaian adat dan sebagainya.
Semua rumah adat tersebut di atas bahannya dari kayu baik untuk tiang, lantai serta kerangka rumah berikut pintu dan jendela, sedangkan atap rumah terbuat dari seng. Di anjungan Sumatera Utara, rumah-rumah adat yang ditampilkan mengalami sedikit perbedaan dengan rumah adat yang asli di daerahnya. Hal ini disesuaikan dengan kegunaan dari kepraktisan belaka, misalnya tiang-tiang rumah yang seharusnya dari kayu, banyak diganti dengan tiang beton. kemudian fungsi ruangan di samping untuk keperluan ruang kantor yang penting adalah untuk ruang pameran benda-benda kebudayaan serta peragaan adat istiadat dari delapan puak suku di Sumatera Utara. Benda-benda tersebut meliputi alat-alat musik tradisional, alat-alat dapur, alat-alat perang, alat-alat pertanian, alat-alat yang berhubungan dengan mistik, beberapa contoh dapur yang semuanya bersifat tradisional. Sedangkan peragaan adat istiadat dan sejarah dilukiskan dalam bentuk diorama, beberapa pakaian pengantin dan pakaian adat dan sebagainya.
NILAI FILOSOFI RUMAH ADAT BATAK
Rumah adat bagi
orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat bemaung dan berteduh dari
hujan dan panas terik matahari semata tetapi sebenanya sarat dengan nilai
filosofi yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup.
Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat
dan dikandung dalam rumah adat tradisionil yang mestinya dapat dimaknai dan
dipegang sebagai pandangan hidup dalam tatanan kehidupan sehari-hari, dalam
rangka pergaulan antar individu.
Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai
flosofi yang terkandung didalamnya sebagai bentuk cagar budaya, yang diharapkan
dapat menjadi sarana pelestarian budaya, agar kelak dapat diwariskan kepada
generasi penerus untuk selalu rindu dan cinta terhadap budayanya.
Sumber :
http://clubbing.kapanlagi .com/threads/104667-Rumah-Tradisional-Batak-Toba
http://boozemagazine.com/corner/culture/200-arsitektur-rumah-adat-batak-toba.html
Artikel yang hebat!
BalasHapus