Berbicara mengenai Suku Toraja tentu dalam benak kita
terbayang sebuah etnik suku yang memiliki rumah panggung besar dengan atap
menyerupai moncong perahu dan upacara adatnya yang melibatkan banyak orang
untuk terlibat dan reputasinya pada hari ini telah mengarungi banyak negara. Daya
tarik yang berasal dari khasanah kebudayaannya, arsitektur tradisional yang
inspiratif serta kaya makna, dan keagungan prosesi adatnya menjadikan Tana
Toraja memiliki nilai-nilai tersendiri yang pada hari ini banyak diminati oleh
wisatawan untuk mengunjungi daerah tersebut. Hal ini diperkuat dengan kearifan
lokal yang nilai-nilainya masih dijalankan oleh masyarakat sekitar Tana Toraja.
Suku Tana Toraja yang pada hari ini masih mendiami daerah pegunungan masih
mempertahankan gaya hidup Austronesia yang asli dan cenderung memiliki
kemiripan dengan budaya yang ada di Nias.
Melihat Suku Toraja sejenak Secara geografis,
Komunitas Suku Toraja bertempat tinggal pada pegunungan di bagian utara
sulawesi selatan. Lebih spesifik pada letaknya, Suku Toraja terletak di
kabupaten Tana Toraja yang terletak dalam satuan kepemerintahan Provinsi
Sulawesi Selatan yang mana memiliki ibukota bernama Makale. Pada tahun 2007
kabupaten ini memiliki jumlah populasi sebanyak 248.607 jiwa. batas-batas geografis
Kabupaten Tana Toraja di utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, dan sebelah
timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu, lalu pada sebelah selatan berbatasan
dengan Kabupaten Enkerang, sementara pada sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Mamasa.
Berada pada zona waktu indonesia tengah, Secara
klimatologi Kabupaten Tana Toraja termasuk kedalam daerah yang beriklim Tropis
Basah. Hal ini secara kasar bisa kita ketahui melihat letak keberadaan tempat
yang berada di daerah pegunungan. Dalam segi temperatur udara, suhu di Tana
Toraja berkisar antara 150 c – 280 c dengan kelembaban
udara yang berkisar antara 82 – 86 %. Curah hujan rata-rata di Tana Toraja
berada pada kisaran 1500 mm/thn sampai lebih dari 3500 mm/thn.
Jika pembaca sekiranya ingin mengunjungi Tana Toraja
ada baiknya melihat masa-masa pembagian musim hujan dan musim kemarau yang
umumnya ada di Kabupaten Tana Toraja. Untuk musim kemarau periode bulan april
sampai dengan september merupakan rentang waktu datangnya kemarau tiba di Tana
Toraja. Sedangkan musim penghujan biasanya tiba pada periode bulan Oktober
sanpai dengan Maret. Menurut Oldement, tipe iklim di Kabupaten Tana Toraja
adalah tipe C2 yaitu bulan basah (200 mm) selama 2 – 3 bulan berturut-turut dan
bulan kering (100 mm) selama 2-3 bulan berturut-turut. Kondisi riil ini
dianggap sangat mendukung sektor agraria daerah kabupaten Toraja.
Pada hari ini diperkirakan populasi masyarakat suku
toraja telah mencapai sekitar satu juta jiwa. Sekitar 50% dari total jumlah
masyarakat Suku Toraja masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja dan kabupaten
tetangga seperti Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Mamasa sisanya banyak
masyarakat yang berasal dari Suku Toraja yang kini telah menetap di kota-kota
lainnya di Sulawesi dan tidak sedikit juga yang merantau keluar Sulawesi.
Kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Toraja adalah Kristen.
Sementara sebagian ada yang menganut agama Islam dan kepercayaan animisme yang
dikenal dengan Aluk To Dolo.
Berbicara mengenai kepercayaan animisme yang dimiliki
Suku Toraja. Aluk To Dolo memiliki
makna sebagai kesadaran bahwasannya keberadaan manusia hidup di bumi pada
hakikatnya hanyalah untuk sementara. Prinsip ini ditanamkan sedemikian kuatnya
yang mana pada akhirnya menjadi pondasi utama kepercayaan asli masyarakat
Toraja. Sebagai penguat pemahamannya bahwasannya selama tidak ada orang yang
bisa menahan matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun mutlak keberadaannya
dan tidak bisa ditunda kedatangannya.
Secara historis banyak yang meyakini bahwa Suku Toraja
berasal dari Teluk Tongkin yang berada di daratan cina. Seorang Anthtropolog
bernama DR.C. Cyrut meyakini bahwa masyarakat Toraja merupakan hasil dari
proses akulturasi antara penduduk lokal Sulawesi Selatan atau pribumi dengan
pendatang dari teluk tongkin tersebut. Berawalnya akulturasi antara masyarakat
pribumi dengan pendatang ini dari berlabuhnya imigran indo cina dengan jumlah
yang dapat dikatakan cukup banyak di sekitar hulu sungai yang pada hari ini
diperkirakan letak lokasinya berada di daerah Kabupaten Enrekang. Bangsa cina
yang memang dikenal akan kebiasaannya bermigrasi segera membangun pemukiman di
daerah tersebut untuk kemudian membangun sebuah peradaban baru.
Nama Toraja sendiri sebenarnya merupakan kata dari
Bahasa Bugis yaitu to riaja yang mana
berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Identitas mereka yang pada hari
ini kita ketahui bernama Toraja merupakan pemberian dari perintah kolonial
belanda yang memberikan nama itu pada tahun 1909. Versi lain menyebutkan
bahwasannya kata Toraja awal mulanya bernama toraya. Kata tersebut merupakan
gabungan dari dua kata yaitu “to” yang berarti orang dan “raya” yang berasal
dari kata maraya yang berarti besar. Artinya jika digabungkan menjadi suatu padanan
makna orang-orang besar atau bangsawan. Seiring dengan berputarnya roda
kehidupan lama-lama penyebutan nama Toraya berubah menjadi Toraja. Sementara
itu kata Tana yang berada di depan kata Toraja memiliki arti sebuah negeri.
Sehingga pada hari ini tempat pemukiman Suku Toraja dinamai Tana Toraja atau
negeri tempat orang-orang besar berada.
Sebelum masuknya pengaruh kolonial Belanda dan
kristenisasi, di Tana Toraja memiliki sebuah pakem yang cukup jelas mengenai
identitas diri mereka sebagai sebuah kelompok. Suku Toraja yang tinggal di
daerah dataran tinggi memiliki sebuah identitas pengenalan diri yang
diklasifikasikan bedasarkan asal desa mereka dan satu sama lain tidak merasa
sama jika mereka bukan berasal dari kelompok desa yang sama. Meskipun ritual-ritual
yang diadakan di tiap desa identik dan menciptakan hubungan di antara
desa-desa, ada banyak keragaman dalam segi dialek, hierarki sosial, dan
macam-macam praktik ritual di daerah tersebut.
Pemberian nama Toraja banyak diduga mulanya merupakan
pemberian oleh suku bugis Sindengreng dan Luwu. Orang dari Suku Sindengreng
menamakan penduduk daerah yang bermukim di daerah dataran tinggi dengan sebutan
to riaja yang berarti “orang yang
berdiam di pegunungan” sementara orang-orang yang berasal dari suku bugis luwu
menyebutnya dengan to riajang yang
memiliki arti “orang yang berdiam di sebelah barat”.
Suku bangsa cina yang datang dari teluk tonkin ini
sebenarnya terletak antara vietnam utara dan cina selatan. Pada awal
kedatangannya mereka menempati wilayah di pesisir Sulawesi hingga akhirnya
karena merasa membutuhkan situasi iklim yang sedikit banyak mirip dengan daerah
asalnya, maka para pendatang ini memilih untuk bermukim di daerah dataran
tinggi. Proses adaptasi yang cukup ekstrim diterima para pendatang memang
membuat mereka secara rasional memilih untuk pindah dari pesisir menuju dataran
tinggi itu.
Secara historis pemerintah kolonial belanda masuk dan
menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi pada abad ke-17.
Melalui perusahaan dagangnya yang bernama vereenigde
Oost-Indische Compagnie atau yang familiar di telinga kita bernama VOC selama
dua abad mereka berkuasa di sulawesi dan memonopoli segala bentuk perdagangan
dan kekuasaan politik. Namun hal ini justru relatif tidak terlalu berpengaruh
banyak dalam beberapa hal bagi keberlangsungan eksistensi masyarakat Suku
Toraja. Pemerintah kollonial belanda mengacuhkan daerah Tana Toraja karena
dinilai sulit untuk dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan produktif.
Letaknya yang berada pada dataran tinggi memang menjadi salah satu alasan utama
mengapa belanda tidak begitu mengeksploitasi sumber daya di daerah Tana Toraja.
Pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial belanda yang
mulai khawatir akan pesatnya perkembangan ajaran agama islam di Sulawesi
Selatan terutama pada komunitas Suku Bugis. Belanda yang melihat bahwa
keberadaan Suku Toraja yang relatif terisolir dari pengaruh luar akhirnya
memutuskan untuk memusatkan proses kristenisasi di daerah Tana Toraja. Hal ini
juga diperkuat karena masyarakat Tana Toraja masih menganut ajaran animisme
mereka. Misionaris Belanda yang pada masa itu berusaha untuk menyebarkan
ajarannya ternyata mendapat perlawanan kuat dari para masyarakat Suku Toraja.
Hal ini dikarenakan penghapusan jalur perdagangan yang pada hakikatnya
menguntungkan masyarakat Toraja. Beberapa orang asli Suku Toraja dipindah paksa
ke dataran rendah oleh pemerintah kolonial Belanda agar lebih mudah diatur.
Pajak pada masa itu juga ditetapkan pada tingkatan yang amat tinggi dengan
tujuan untuk mengikis kekayaan para elit masyarakat Suku Toraja. Pun begitu
usaha-usaha belanda tersebut nyatanya tidak dapat merusak kebudayaan Toraja dan
pada waktu itu hanya sedikit sekali terdapat populasi orang toraja yang
menganut ajaran kristen.
Pada tahun 1930-an. Konflik pun tidak luput
menyelimuti tana toraja yang mana kali ini melibatkan penduduk muslim yang
bertempat tinggal di daerah dataran rendah dengan para penduduk toraja. Akibat
dari insiden ini banyak orang toraja yang memilih untuk beraliansi dengan
pemerintah kolonial belanda guna meraih kemenangan atas penduduk muslim yang
notabenenya juga merupakan terhitung sebagai musuh belanda pada masa itu.
akibat aliansi ini banyak penduduk toraja yang akhirnya memilih untuk mengganti
kepercayaan mereka menjadi kristen dalam rangka meraih aliansi dengan belanda
serta mendapat perlindungan politik supaya bisa melakukan perlawanan balik
terhadap orang-orang bugis dari Makassar yang bergama Islam.
Pada periode antara tahun 1951 sampai 1965 setelah
kemerdekaan indonesia Sulawesi Selatan mengalami kekacauan yang dipicu oleh
pemberontakan Daarul Islam yang bertujuan untuk mendirikan negara islam di
tanah Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut
memiliki andil yang cukup besar mengapa perkembangan agama kristen di toraja
semakin menunjukan peningkatan yang cukup signifikan.
Dekrit President yang
diterbitkan pada tahun 1965 yang mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari
lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.
Kepercayaan asli Toraja (aluk to dolo) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekrit tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan
hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun
1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
terima kasih.
Madito Mahardika
sumber penulisan :
Kal Muller dalam bukunya yang berjudul Mengenal Papua mengatakan bahwa pada tahun 3000 tahun yang lalu adalah tahun migrasi yang ketiga penduduk yang bernama proto-melayu sekarang ini. Mereka pada awalnya singgah di Filipina lalu menyusur turun ke bawah. Yang menarik dari tulisan Muller yakni bahwa hampir semua suku perbatasan Filipina ke bawah (garis lurus)merupakan suku proto-Melayu.
BalasHapusBahasa dapat dipakai untuk menelusuri suku-suku proto-melayu.Saya sering mendengar bahwa suku Toraja dan suku Batak kelompok yang sama berangkat dari Indocina.Hanya saja kelompok suku Toraja "tidak mau" lagi melanjutkan perjalanan. Dari segi bahasa, saya menemukan beberapa istilah yang cukup percis mempunyai arti yang sama. Perkampungan Batak sendiri disebut dengan Limbong. Nama kampung ini juga ada di tanah Toraja. Nama ini mempunyai arti yang sama yaitu genangan air. Istilah lain seperti Puang, Banua dll. Menjadi lebih menarik kalau dibuat suatu studi perbandingan kedua etnis.
infonya sangat membantu sekali kak
BalasHapusperbedaan tepung tapioka dan tepung terigu