Seorang ahli Folklore asal Amerika Serikat Jan Harold
Brunvand menetapkan sebuah definisi yang menjadi batasan dari koridor
pengertian Folklore Lisan. Secara definisi Folklore lisan merupakan folklore
yang bentuknya murni lisan artinya cerita yang diungkanpkan dan cara
penyampaiannya menggunakan media lisan.
Pembentukan Folklore lisan dewasa ini terbagi dalam
beberapa jenis dan masing-masing mewakili rupa serta ragam yang berbeda. Yang
pertama (1) adalah Bahasa Rakyat,
merupakan bahasa yang menjadi media komunikasi antara rakyat setempat dan
bahasa utama yang sering digunakan disamping bahasa nasional. Keberadaan bahasa
rakyat di dalam sosial kemasyarakatan merupakan media pergaulan dalam kaitannya
sebagai sarana bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya termasuk
kedalam kosa kata bahasa, dan julukan. Yang kedua (2) adalah ungkapan tradisional. Memiliki makna
kalimat pendek yang memang sengaja dipersempit penggunaan perkataannya dan
merupakan hasil dari sebuah pengalaman yang panjang atau nilai-nilai luhur
warisan nenek moyang. Biasanya bentuknya seperti semacam pribahasa yang
mengandung kebenaran dan kebijaksanaan dalam kehidupan atau dalam bentuk
ungkapan pepatah. Selanjutnya bentuk yang ketiga (3) adalah pertanyaan tradisonal atau teka-teki.
Menurut alan dundes, teka-teki adalah ungkapan lisan tradisional yang
mengandung satu atau lebih unsur pelukisan dan untuk menemukan jawabannya
biasanya harus ditebak-tebak. Berlanjut pada bentuk keempat (4) adalah Puisi rakyat. Bentuknya merupakan sebuah
hasil kesusastraan rakyat yang sudah memiliki bentuk tertentu. Fungsinya
sebagai alat kendali sosial, untuk hiburan, untuk memulai suatu permainan,
mengganggu orang lain, seperti pantun, syair, dan sajak. Dalam bentuk kelima
(5) diklasifikasikan sebagai cerita prosa
rakyat. Merupakan suatu cerita yang disampaikan secara turun temurun (dari
mulut ke mulut) di dalam komunitas masyarakat tersebut seperti contohnya mitos,
legenda, dan dongeng. Yang terakhir bentuk keenam (6) adalah nyanyian rakyat yang mana merupakan
sebuah tradisi lisan dari suatu masyarakat yang diungkapkan melalui nyanyian
atau tembang tradisional yang mencirikan ke-”khas”an daerah tersebut. Fungsinya
adalah sebagai sarana rekreatif masyarakat lokal untuk mengusir kebosanan
rutinitas sehari-hari maupun sebagai sarana melepas beban dari kesukaran hidup
sehingga menjadi semacam penawar hati.
Suku Toraja sebagai sebuah Suku yang memiliki ragam
khasanah budaya yang agung memiliki banyak cerita yang menjadi salah satu daya
tarik wisatawan untuk hanya sekedar memastikan apakah benar hal itu memang
terjadi adanya. Keinginan untuk membuktikan secara langsung cerita ini sedikit
banyak menjadi salah satu motivasi mengapa banyak wisatawan yang tertarik untuk
mengunjungi lokasi Tana Toraja yang terletak di dataran tinggi Sulawesi
Selatan.
Diantara cerita itu tulisan ini akan menceritakan
kehadiran sebuah mitos di Tana Toraja yaitu mengenai kepercayaan animisme
mereka yang bernama Aluk to Dolo.
Mitos sendiri memiliki makna yaitu cerita prosa rakyat yang memiliki tokokh
para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi pada dunia lain atau kayangan
dan penggambaran mengenai dunia setelah mati. Cerita ini dianggap benar-benar
terjadi oleh empunya cerita ataupun orang-orang yang memang mempercayainya.
Pada umumnya mitos menceritakan bagaimana terjadinya alam semesta, dunia,
bentuk khas binatang, bentuk topografi, dan penggambaran alam setelah kematian.
Kembali pada mitos kepercayaan animisme Suku Toraja
yaitu Aluk To Dolo. Dalam pengertian
yang beredar pada masyarakat Toraja sejak lama, Aluk memiliki makna yaitu
budaya atau aturan hidup yang dibawa oleh kaum imigran dari dataran indochina
pada kisaran 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi. Tokok penting dalam
penyebaran kepercayaan aluk ini bernama Tomanurun Tamboro Langi. Beliau
merupakan pembawa kepercayaan Aluk Sanda Saratu yang mengikat penganutnya dalam
daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
Dalam perkembangannya Kepercayaan asli masyarakat
toraja kini dikenal dengan sebutan Aluk
To Dolo. Kepercayaan asli Suku Toraja ini memiliki makna bahwasannya
kesadaran manusia hidup di muka bumi ini hanya untuk sementara saja, prinsip
kuat yang tertanam ini mengibaratkan bahwasannya selama tidak ada orang yang
bisa menahan matahari terbenam di ufuk barat, maka kematian pun niscaya tidak
akan bisa ditunda kedatangannya oleh makhluk hidup.
Mitos yang hidup di kalangan Suku Toraja adalah bila
halnya seseorang telah meninggal dunia maka pada akhirnya ia akan menuju ke
suatu tempat yang biasa disebut oleh Suku Toraja dengan nama Puyo atau dunia arwah. Puyo dianggap sebagai sebuah tempat
dimana seluruh roh berada. Letaknya secara spesifik berada pada bagian selatan
tempat tinggal orang tesebut. Namun dalam kepercayaan masyarakat yang menganut
ajaran Aluk To Dolo tidak semua roh
yang telah berpulang akan dengan sendirinya langsung menuju dan berkumpul di puyo. Dalam prosesnya menuju kesana,
perlu didahului dengan rangkaian upacara pengubburan sesuai dengan status
sosial orang yang bersangkutan semasa hidupnya. Bila halnya sang mendiang tidak
diupacarakan sesuai dengan bagaimana seharusnya maka masyarakat Toraja akan
meyakini bahwa yang bersangkutan tidak akan sampai di puyo dan jiwanya akan tersesat.
Agar jiwa orang yang telah meninggal itu sampai pada
tujuan yang dikehendaki keluarganya dan tidak tersesat maka upacara yang
dilakukan dan diselenggarakan harus sesuai dengan aluk dan mengingat pamali (norma-norma tidak tertulis) yang berlaku
pada masyarakat Suku Toraja. Prosesi pada fase ini biasa disebut sebagai sangka atau darma, yang mana memiliki makna mengikuti aturan yang sebenarnya
dengan baik dan benar. Jika ada suatu hal yang salah dalam pelaksanaannya atau
masyarakat Suku Toraja biasa menyebutnya dengan aluk (tomma liong-liong), maka jiwa orang yang sudah berpulang itu
akan tersendat dan justru menuju ke siruga
atau surga, menurut seorang pemuka adat di tana Toraja bernama Tato Denna’ yang
dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk
To Dolo mendapat gelar sebutan Ne’Sando.
Sepanjang orang yang telah meninggal dunia itu belum
diupacarakan maka selama fase periode itu pula lah arwahnya akan berada dalam
wujud keadaan setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia
yang telah meninggal dunia ini biasa mereka sebut sebagai tomebali puang. Menurut kepercayaan masyarakat Suku Toraja selama
arwah tesebut belum dilakukan prosesi upacara pemakaman yang memang sudah
turun-temurun dilakukan maka arwah ini akan dianggap tetap ada dalam lingkungan
rumah tongkonan (rumah tradisional toraja) dan dianggap tetap memperhatikan
aktifitas yang terjadi di dalam rumah itu dan dipercaya arwah ini akan
memperhatikan bagaimana kehidupan para keturunannya.
Karena kepercayaan inilah maka upacara kematian menjadi
sebuah prosesi penting yang sakral dan wajib hukumnya untuk dilakukan oleh
siapapun yang merasa bahwa dirinya merupakan berasal dari Suku Toraja. Upacara
kematian menjadi penting dan semua aluk
yang berkaitan dengan kematian sebisa mungkin harus dijalankan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan secara turun-temurun dari nenek moyang Suku
Toraja. Sebelum menetapkan kapan dan dimana jenazah dimakamkan, pihak keluarga
harus berkumpul semua, hewan korban yang menjadi persembahan pun harus
disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Bedasarkan tingkatannya seorang Suku
Toraja yang dikategorikan sebagai bangsawan memiliki ketentuan untuk memotong
atau mempersembahkan paling sedikit 24 ekor Kerbau, sedangkan pemuka agama
memiliki ketentuan untuk memotong paling sedikit 12 ekor, sementara untuk
strata sosial yang lebih rendah lagi yaitu masyarakat biasa maka ia akan
dikenakan ketentuan untuk harus memotong sedikitnya lima ekor kerbau, untuk
strata yang paling rendah yaitu budak maka ia diharuskan memotong minimal satu
ekor kerbau saja.
Bagi masyarakat Suku Toraja sendiri mereka memiliki
kepercayaan bahwasannya Kerbau merupakan kendaraan bagi arwah seseorang yang
telah meninggal untuk menuju puyo.
Pada akhirnya proses akan diakhiri dengan penguburan di batu-batu setelah
sebelumnya diawetkan terlebih dahulu jenazahnya agar bisa bertahan lama.
Istilah patane atau yang umum kita
ketahui sebagai kuburan batu menjadi tempat peristirahatan terakhir jenazah
yang penggambarannya adalah kuburan itu berada pada tebing-tebing.
Jika halnya ada bagian-bagian tertentu yang dilanggar
oleh keluarga duka misalnya seperti yang meninggal berasal dari kaum bangsawan
namun ketika proses diupacarakannya tidak sesuai dengan tingkatan jumlah kerbau
yang harus dipersembahkan maka arwah yang meninggal tersebut dipercaya tidak
akan menuju puyo rohnya akan
tersesat. Sementara bagi jenazah yang diupacarakan sesuai dengan prosedur adat
yang ada maka ia dipercaya telah sampai ke puyo
dengan ditemani oleh kerbau-kerbau persembahan. Dikatakan juga bahwa keberadaan
serta kondisi arwah di puyo akan
sangat ditentukan kualitasnya bedasarkan apa yang telah dilakukan pada prosesi
upacara pemakaman tersebut. Maka jika prosesi pemakan tersebut memiliki
kualitas yang baik maka apa yang diterima oleh arwah di puyo juga akan sepadan. Semakin sempurna kualitas prosesi pemakaman
seseorang maka semakin baik pula keadaan orang itu di puyo.
Maka dari itu sebenarnya dapat dimaklumi mengapa
masyarakat di Tana Toraja selalu menjadikan prosesi upacara pemakaman sebagai
suatu hal yang sangat mengundang perhatian dan juga rasa ingin penasaran
orang-orang untuk tahu lebih jauh akan berlangsungnya acara yang selalu
diusahakan semegah mungkin tersebut. Pihak keluarga duka maupun kerabat akan
mempersembahkan suatu prosesi yang sesempurna mungkin.
Mitos Kepercayaan aluk
To Dolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu pandangan terhadap
sesuatu yang bersifat kosmos dan kesetiaan pada luhur. Masing-masing memiliki
fungsi dan pengaturannya dalam tata cara bekehidupan dalam masyarakat.
terima kasih
Madito Mahardika
sumber penulisan :
suka sekali baca baca info disini
BalasHapusgarlic powder adalah