Ujian Tengah Semester (Part 5)
Nama : Drieka
Kesuma Putri
No.reg : 4423107033
Keberadaan folklore sekarang dan usaha pelestariannya.
Pengertian
Folklor merupakan hazanah sastra lama. Sastra folklor ini berkembang
setelah William John Thoms, seorang ahli kebudayaan antik dari Inggris
mengumumkan artikelnya dalam majalah Athenaeum No. 982 tanggal 22 Agustus 1846,
dengan mempergunakan nama samaran Ambrose Merton.
Dalam majalah tersebut Thoms
menciptakan istilah folklore untuk sopan santun Inggris, takhayul, balada, dan
tentang masa lampau. Sejak itulah folklore menjadi istilah baru dalam
kebudayaan. Secara etimologi, folk artinya kolektif, atau ciri-ciri pengenalan
fisik atau kebudayaan yang sama dalam masyarakat, sedangkan lore merupakan
tradisi dari folk. Atau menurut pendapat Alan dalam Danandjaja (1997: 1)
folklor adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenalan fisik,
sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya
Arti folklor secara keseluruhan menurut pendapat Danandjaja (1997: 2)
sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun,
di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,
baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau
alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Menurut pendapat Soeryawan (1984: 21) folklor adalah bentuk kesenian yang
lahir dan menyebar di kalangan rakyat banyak. Ciri dari seni budaya ini yang
merupakan ungkapan pengalaman dan penghayatan manusia yang khas ialah dalam
bentuknya yang estetis-artistis. Karena di dalam melaksanakan hubungan-hubungan
yang komunikatif, seni mengungkapkannya melalui bentuk-bentuk estetis yang
dipilihnya.
Pendapat Rusyana (1978: 1) folklor adalah merupakan bagian dari persendian
ceritera yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat. Sedangkan
menurut pendapat Iskar dalam H.U. Pikiran Rakyat (22-Januari-1996) folklor
adalah kajian kebudayaan rakyat jelata baik unsur materi maupun unsur
non-materinya. Kajian tersebut kepada masalah kepercayaan rakyat, adat
kebiasaan, pengetahuan rakyat, bahasa rakyat (dialek), kesusastraan rakyat,
nyanyian dan musik rakyat, tarian dan drama rakyat, kesenian rakyat, serta
pakaian rakyat.
Folklor memang mengkaji seni, sebab menurut pendapat Fischer (1994):
folklore the study about art, but, unfortunately, folk art scholarship has
tended to lag behind mainstream folkloristic. One reason for this is that the
bulk of folk art discussion tends to be purely descriptive rather than
analytic.
Ciri-ciri
Folklore
Kedudukan folklor dengan kebudayaan lainnya tentu saja berbeda, karena
folklor memiliki karakteristik atau ciri tersendiri. Menurut pendapat
Danandjaja (1997: 3), ciri-ciri pengenal utama pada folklor bisa dirumuskan
sebagai berikut:
- Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
- Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
- Folklor ada (exis) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation).
- Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
- Folkor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, dan selalu menggunakan kata-kata klise.
- Folklor mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
- Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai logika umum. Ciri pengenalan ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
- Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
- Folklor pada umumnya bersifar polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manisfestasinya.
Bentuk-bentuk folklore yaitu :
1. Folklore lisan
Menurut
pendapat Rusyana (1976) folklor lisan atau sastra lisan mempunyai kemungkinan
untuk berperanan sebagai kekayaan budaya khususnya kekayaan sastra; sebagai
modal apresiasi sastra sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke
arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan peristiwa puitik berdasarkan praktek
yang telah menjadi tradisi selama berabad-abad; sebagai dasar komunikasi antara
pencipta dan masyarakat dalam arti ciptaan yang berdasarkan sastra lisan akan
lebih mudah digauli sebab ada unsurnya yang sudah dikenal oleh masyarakat
Ø bahasa rakyat
seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis
Ø ungkapan
tradisional seperti peribahasa dan sindiran
Ø pertanyaan
tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki;
Ø sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan
syair;
Ø cerita prosa
rakyat, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu:
mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale), seperti Malin Kundang dari
Sumatra Barat, Sangkuriang dari Jawa Barat, Roro Jonggrang dari Jawa Tengah,
dan Jaya Prana serta Layonsari dari Bali;
Ø nyanyian rakyat, seperti “Jali-Jali” dari
Betawi
2. folklore sebagian
lisan
folklore yang
bentuknya merupakan campuran lisan dan unsur bukan lisan
Ø Kepercayaan dan
tahayul
Ø Permainan (kaulinan)
rakyat dan hiburan-hiburan rakyat
Ø Drama rakyat Seperti:
wayang golek, sandiwara, reog, calung, longser, banjet, ubrug, dll.
Ø Tari Seperti: tari
tayub, tari keurseus, tari ronggeng gunung, tari topeng, dll.
Ø Adat atau tradisi
Ø Contohnya: tradisi
upacara menanam padi, tradisi orang hamil hingga malahirkan, tradisi
pernikahan, tradisi khitanan, tradisi membangun rumah, tradisi ruatan, dll
Ø Pesta-pesta rakyat.
Contohnya: pesta rakyat kawaluan Baduy, pesta rakyat ngalaksa di Rancaklong dan
Baduy, pesta rakyat seba laut di pesisir pantai selatan, pesta rakyat kawin
tebu di Majalengka, pesta rakyat seren taun di Ciptarasa dan Baduy, pesta
rakyat mubur sura di Rancakalong
3. Folklore bukan lisan
Ø Arsitektur rakyat.
Seperti: bentuk julang ngapak, tagog anjing, sontog, duduk jandela, dll.
Ø Seni kerajinan tangan.
Seperti: seni batik, anyaman, patung, ukiran, bangunan, dll.
Ø Pakaian dan perhiasan.
Seperti: Kebaya, baju kampret, totopong, bendo, pendok, giwang, penitik,
kalung, gengge, siger, mahkuta, kelom geulis, payung, dll.
Ø Obat-obat rakyat.
Seperti: jamu-jamuan, daun-daunan, kulit pohon, buah, getah, dan jampe-jampe.
Ø Makanan dan minuman.
Seperti: awug, tumpeng, puncakmanik, dupi, lontong, ketupat, angleng, wajit,
dodol, kolotong, opak, ranginang, ulen, liwet, kueh cuhcur, surabi, bakakak,
dadar gulung, aliagrem, dan minuman: lahang, wedang, bajigur, bandrek, dll.
Ø Alat-alat musik.
Seperti: kacapi, suling, angklung, calung, dogdog, kendang, gambang, rebab,
celempung, terebang, tarompet, dll.
Ø Peralatan dan senjata.
Seperti: rumah tanga; nyiru, dingkul, ayakan, sirib, dulang, dll. Alat
pertanian: pacul, parang, wuluku, garu, caplakan, kored, congrang, patik,
dekol, balicong, bedog, peso raut, peso rajang, arit, dll. Senjata: tombak,
paser, ketepel, sumpit, badi, keris, dll.
Ø Mainan. Seperti: ucing
sumput, pris-prisan, engkle-engklean, sondah, sapintrong, congklak, damdaman,
kasti, langlayangan, papanggalan, luncat galah, kukudaan, dll.
Folklore
merupakan salah satu warisan kebudayaan secara turun-temurun serta folklore
juga merupakan identitas daerah. Keberadaan folklore masih bisa ditemui sampai
sekarang. Bisa dikata folklor
adalah cerita rakyat yang masih dipercayai oleh masyarakat. Sehingga apa saja
yang ada di daerah terutama yang terkait mengenai cerita rakyat, cerita
keberadaan asal mula nama desa, dapat menjadi sesuatu yang berarti (folklor).
Berbagai macam tradisi, cerita rakyat dan budaya masyarakat, merupakan khasanah
folklor yang harus terdokumentasikan. Generasi muda sekarang ini jarang yang
mengetahui cerita asal usul nama desa bahkan cerita rakyat yang ada di tempat
tinggalnya. Memang sungguh disayangkan kalau pewaris budaya tidak mengetahui
asal usul nama desa atau daerahnya
Berbicara
tentang folklor nampaknya bukan lagi sebatas bagaimana cara melestarikan, dalam
arti regenerasi pelestariannya, tetapi lebih mengarah bagaimana folklor
tersebut dapat diproteksi dengan instrumen hukum baik skala nasional maupun
internasional. Berne Convention on Protection for Literary and Artistic Work
dan Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002 merupakan satu bentuk instrumen
yang sedikit banyak berbicara mengenai masalah perlindungan folklor maupun
karya tradisional lainnya. Hal ini perlu mendapat perhatian bersama oleh
masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia untuk meminimalisir terjadinya sengketa
klaim kepemilikan terhadap kebudayaan tradisional seperti yang selama ini
sering kita dengar bersama. Salah satu faktor penyebab terjadinya sengketa
folklor selama ini adalah masih adanya celah-celah aturan yang belum
komprehensif dalam mengatur folklor. Oleh karena itu, dalam rangka perlindungan
folklor dalam perspektif yuridis, maka kedudukan folklor ini harus mendapat
kejelasan dari hukum hak kekayaan intelektual yang mengaturnya, termasuk konsep
rezim Hak Cipta di dalamnya.
Peran folklore sebagai
bekal informasi bagi guide pariwisata.
Dalam
dunia pariwisata, folklore adalah informasi yang sangat penting bagi guide. Folklore
merupakan salah satu informasi yang akan di dapat oleh guide. Banyak informasi
yang akan di dapat oleh guide dimana guide
dapat dapat memberikan informasi kepada wisatawan. Karena seorang guide lah
yang akan memberikan penjelasan kepada wisatawan. Maka dari itu seorang guide
harus mengetahui folklore tersebut. Dalam hal ini guide juga berperan dalam
melestarikan kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar