Begalan
ANNAS SURYOTORO
4423107032
Begalan, Seni tradisional Banyumasan.
Kata begal (jawa) berarti perampok atau perampas paksa di tengah perjalanan
seseorang. Mbegal: merampok ; begalan berarti menirukan cara perampok melakukan
penghadangan di tengah perjalanan seseorang. Di wilayah Karesidenan Banyumas,
kata begalan dikenal sebagai seni pentas arena dengan misi memberikan nasihat
perkawinan bagi mempelai.
Seni begalan, pada awalnya di gelar
menjelang pelaksanaan prosesi akad nikah. Akan tetapi,kemudian bergeser dan
digelar seusai prosesi akad nikah, yakni pada awal prosesi adat panggih, seusai
acara pidak endog (injak telur), saat memasuki ruang singgasana tematin, dengan
membudayanya model resepsi berdiri, seni begalan pun kemudian di gelar pada
saat mempelai akan memasuki ruang resepsi, di awal perjalananya menuju
pelaminan.
Seni begalan ini hendaknya tidak
dibayangkan sebagai adegan merampok sang pengantin, tetapi semat-mata merampas
waktu perjalanan sang pengantin menuju pelaminan untuk memberikan bekal kepada
kedua mempelai, bahwa kehidupan berumah tangga bukanlah hal yang penuh
kebahagian semata, melainkan juga kehidupan bersama yang penuh tantangan dan
persoalan yang rumit. Akan tetapi, hal itu bisa di pecahkan dengan cara
mengambil hikmah yang tersirat di balik ujian dan cobaan yang menimpanya.
Pentas seni rakyat ini di ciptakan mirip
dengan seni tari edan-edanan (gila-gilaan) yang di gelar pada saat yang sama
bagi pengantin kraton Surakarta pada masanya. Bedanya, saat kedua mempelai
kraton itu akan menuju ke pelaminan, mereka di sambut oleh sepasang penari abdi
dalem inang (pengasuh) kedua mempelai. Kedua inang menari-nari bergembira ria,
menyambut sang raja sehari, dan merintis jalan keduanya sambil membersihkan
segala bala (kekuatan jahat) di sepanjang jalan menuju pelaminan. Bakti awal
kedua inang itu dicurahkan dalam sajian seni tari permainan sandiwara
(historionism) yang kocak dan mengundang tawa yang hadir dalam perhelatan itu.
Seolah mereka mengukapkan rasa bangga dan bahagia atas tugas baru mereka
sebagai inang sang mempelai yang memasuki hidup baru. Unsur kemiripan saat
digelarnya pementasan serta dari deskripsi sejarah diciptakannya seni begalan
itu sendiri.
Menurut riwatnya, seni begalan itu mulai
dipentaskan setelah Raden Tumenggung Yudanegara IV dilengserkan dari jabatannya
sebagai Adipati kadipaten Banyumas oleh pemerintahan Inggris. Adipati Raden
Tumenggung yudanegara IV sebagai Adipati Banyumas ke-10, bercita-cita agar
Kadipaten Banyumas bisa mandiri sebagai daerah perdikan (dibebaskan dari pajak)
atau menjadi daerah otonom, serta tidak lagi menjadi bawahan langsung Kasunanan
Surakarta. Saat itu, kasunanan sudah mulai menjadi bawahan pemerintah kompeni
Belanda. Oleh pihak Kasunanan Surakarta, cita itu dianggap mbalelo sehingga
dilaporkan kepada Gubernur Jenderal Belanda, dan sekaligus mengusulkan agar
diberi hukuman penurunan jabatan dari Adipati menjadi Mantri anom. Terhadap
laporan dan usulan itu, Gubernur Jenderal Belanda dengan senang hati
memenuhinya sekaligus menetapkan penggantinya, yakni Raden Tumenggung
Yudanegara V sebagai Adipati Banyumas ke-11.
Menurut cerita, mantan Adipati Raden
Tumenggung Yudanegara IV itu kemudian bermunajat. Dalam munajatnya itu, dia
mendapatkan ilham untuk menciptakan seni begalan. Seni itu dimaksudkan sebagi
sarana untuk penyucian diri dengan tujuan membuang nasib sial (suker) yang
menimpanya agar segera kembali mendapatkan kebahagian dan keselamatan baik bagi
dirinya maupun bagi anak cucunya.
Seni begalan berupa tutur-sembur, yakni
penyampaian riwayat pengalaman, gagasan, dan nasihat kepada anak-cucu dan
kerabat agar mampu menghindari hal-hal yang menyebabkan bala (petaka /bencana)
dengan tetap memperhatikan sebaik-baiknya hal-hal yang wajib dibela dengan
teguh demi mempertahankan paugeran (hukum) dan pathokan (pegangan/adat) kehidupan bermasyarkat.
Di balik yang tersurat dalam
tutur-sembur itu, tersirat pesan bahwa cita-cita mengutamakan kepentingan
rakyat Banyumas untuk mandiri sebagai daerah otonom (perdikan) yang bebas dari
penjajahan Inggris memiliki paugeran dan pathokan yang kokoh dalam sanubarinya.
Hanya kondosi zaman saat itulah yang tidak memihak kepadanya. Hal itu perlu
diketahui seluruh rakyat Banyumas, yaitu dengan cara mengadakan ruwat uwal
ruweda (lepas dari keruwetan hidup) agar merasa lega karena telah menuangkan
citra pendiriannya yang kokoh dan benar dalam sebuah pesan tersirat, seni
begalan.
Oleh rakyat Banyumas, seni itu itu
kemudian dilestarikan dan dipentaskan pada saat melaksanakan hajat mantu
kapisan (menikahkan anak perempuan pertama kali) dengan tujuan untuk membuang
suker (hal negatif yang mungkin menghalangi,
membuat sakit hati) yang akan mengotori jalan hidup baru bagi kedua mempelai.
Setiap seni pertunjukan rakyat, tentu
saja sarat simbol yang berupa nasehat dan kenangan bersejarah, seiring perjalanan
waktu dan pola pewarisan melalui tradisi lisan kepada pewarisnya, seni
pertunjukan rakyat selalu mengalami perubahan , penambahan , bahkan terkadang
pemutarbalikan (distortion). Tidak terkecuali dengan perjalanan seni
pertunjukan begalan ini.
Dalam tradisi Jawa, tata adat tolak bala
(menolak kekuatan jahat yang mengganggu jalan hidup) selalu di kemas dalam
bentuk seni dalam berbagai versi penyajian , sesuai jenjang usia dan motif halangan
para sukerta (yang di bersihkan dari bala dan dimuliahkan hidupnya) berbagai
upacara ruwatan misalnya seni begalan adalah model lain ruwatan untuk pengatin
baru.
Dan, ada beberapa simbol yang di
sampaikan dalam cerita adegan seni begalan berupa alat-alat dapur,
berbagai macam nasihat, dan bekal hidup berumah tangga. Semua hal dan perkara
di contohkan dalam laku (olah hidup) dan lakon (perkara hidup).
Sumber buku :
·
Budiono herusatoto.
2001. Begalan, seni tradisional Banyumasan Karya Sang Adipati. Kedauletan
rakyat. Juni
·
Budiono
herusatoto.2008. Banyumas, Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak. Yogyakarta:
LKIS.
Gan cri bukunya dmna yag ada yah???????
BalasHapuslink slot terpercaya
BalasHapuslive slot
new slot
pasang slot
situ slot terpercaya