Dilihat dari segi fungsionalitasnya, Folklore dapat
dikategorikan menjadi empat cabang fungsi diantaranya adalah :
a.
Sebagai
sistem proyeksi artinya folklore disini berfungsi sebagai alat penggambaran
angan-angan secara kolektif. Bahwasannya keinginan dan imajinasi yang
diciptakan oleh manusia sering kali ingin diterjemahkan kedalam satu bentuk
yang nyata.
b.
Sebagai
alat pengesahan dan menjadi bukti bahwasannya folklore menjadi lambang
kebudayaan bagi etnik komunitas tertentu dan memiliki ciri yang unik satu sama
lainnya.
c.
Sebagai
alat pendidik anak dalam kaitannya pengajaran nilai-nilai luhur dan norma-norma
tak tertulis yang telah berlaku dalam komunitas etniknya selama lebih dari
ratusan tahun.
d.
Sebagai
alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh
anggota kolektifnya.
Di sisi lain
Folklore bukan lisan Suku Toraja yang pada kali ini menjadi bahasan utama pada
entry kali ini memiliki pengertian umum bahwasannya folklore kategori ini
bentuknya memang bukan lisan tetapi cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Umumnya
meninggalkan bentuk materiil (artefak).
a.
Arsitektur
rakyat : yang termasuk ke dalam kategori arsitektur rakyat dalam kaitannya
dengan folklore bukan lisan adalah arsitektur yang berupa prasasti,
bangunan-bangunan suci, dan bangunan rumah tradisional. Secara definisi
arsitektur disini ialah sebuah karya seni atau ilmu merancang bangunan.
b.
Kerajinan
tangan rakyat : merupakan hasil dari kearifan lokal yang dimiliki oleh
etnik-etnik yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Dengan bentuk yang
beraneka-ragam dan memiliki ciri khasi tertentu yang menjelaskan keotentikan
identitas suatu kebudayaan etnik itu. Pembuatan kerajinan ini awalnya hanya
ditujukan untuk sekedar mengisi waktu luang para pelakunya serta untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga. Pada hari ini jenis kerajinan rakyat merupakan salah
satu variabel yang tidak dapat dipisahkan dari industri kepariwisataan.
c.
Pakaian
atau Perhiasan Tradisional : bentuk visualisasi dalam berpakaian juga memiliki
cerita tersendiri dalam tiap sulamannya. Bentuk-bentuk baju khas daerah tentu
memiliki filosofi yang menarik untuk diketahui cerita dibalik itu semua dan
memiliki daya tarik keunikan tersendiri.
d.
Obat-obatan
tradisional : ramuan-ramuan yang dimiliki masing-masing etnik tentu menyimpan
cerita tersendiri dengan berbagai khasiat yang beragam. Dibalik itu semua segi
filosofis tiap etnik terhadap satu komponen obat-obatan tradisional tentu
memiliki keunikan sendiri yang juga memiliki ceritanya tersendiri.
e.
Masakan
dan minuman tradisional : cita rasa yang berbeda dan unik merupakan maksud
utama dari berkembangnya citra masakan dan minuman tradisional dari masa ke
masa. Kepopulerannya juga tidak lepas dari cerita berantai dari satu orang ke
orang yang lain.
Selanjutnya dalam entry ini akan dibahas mengenai
arsitektur rumah tongkonan toraja yang mana merupakan rumah tradisional dari
Suku Toraja di Kabupaten Tana Toraja. Rumah adat ini memiliki filosofi yang
cukup dalam dari banyak segi arsitekturnya. Yang mencolok dari bangunan rumah
adat tongkonan adalah bentuk atapnya yang menyerupai moncong perahu. Dengan bercirikan
rumah panggung dan di bawah ruma tersebut biasanya difungsikan sebagai kandang
kerbau ternakan keluarga pemilik rumah. Atap rumah adat tongkonan hingga hari
ini masih mempertahankan material utama sejak masa lampau yaitu masih
menggunakan ijuk hitam dan bentuknya melengkung persis seperti perahu yang
telungkup dengan buritan. Beberapa membandingkan kemiripan atap rumah tongkonan
toraja dengan rumah gadang di minang karena bentuknya yang relatif mirip yaitu
menyerupai tanduk kerbau.
Pembuatan rumah adat tongkonan sendiri melibatkan
banyak elemen. Umumnya secara tipikal masyarakat toraja secara bergotong-royong
saling bantu dalam penyelenggaraan pembangunan rumah tersebut. Dilihat dari
fungsi sosialnya rumah adat tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku
toraja ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam
kehidupan serta kemaslahatan sosial masyarakat Suku Toraja. Keberadaan rumah
tongkonan sendiri melambangkan hubungan penghuni yang saat ini masih hidup
dengan para leluhur mereka.
Menurut cerita masyarakat Suku Toraja, tongkonan
pertama dibangun di surga dengan empat tiang, ketika leluhur suku toraja turun
ke bumi, dia meniru model rumah tersebut dan mencoba membangun sebuah tempat
tinggal yang serupa dengan yang ia jumpai di surga. Selesai membangun dengan
usaha yang amat keras maka ia menggelar sebuah upacara yang besar. Pembangunan rumah
adat tongkonan sendiri sebenarnya membutuhkan usaha yang keras dan keuletan
yang tinggi. Biasanya proses pembuatannya itu akan sangat melelahkan dan
melibatkan seluruh anggota keluarga serta kerabat. Sedikitnya ada tiga jenis
rumah tongkonan yang dapat dijumpai di Tana Toraja :
1.
Tongkonan
Layuk ialah bangunan yang menjadi tempat kekuasaan tertinggi. Fungsi kegunaannya
adalah sebagai pusat pemerintahan dalam suku secara internal.
2.
Tongkonan
Pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam
adat dan tradisi lokal.
3.
Tongkonan
Batu adalah tempat tinggal bagi anggota keluarga biasa.
Pada hari ini sulit untuk membedakan yang manakah
rumah tongkonan yang merupakan rumah para bangsawan dengan rumah yang bukan
berasal dari keluarga bangsawan karena kini akses menuju luar Tana Toraja
semakin mudah dan para warga juga sudah banyak yang mencari nafkah diluar Tana
Toraja. Dengan demikian mereka dapat membangun rumah yang sama megahnya
sehingga sulit dibedakan mana rumah bangsawan dan mana yang bukan.
Dilihat dari posisinya rumah adat tongkonan Toraja
selalu menghadap kearah utara dan letaknya berjejer serta atapnya yang
meruncing keatas. Hal ini melambangkan bahwa leluhur mereka berasal dari utara.
Dalam falsafaj Suku Toraja Ketika nanti meninggal dunia maka seluruh arwah
orang toraja akan berkumpul bersama arwah leluhurnya di utara.
Kata tongkonan sendiri berasal dari kata tongkon yang
bermakna menduduki atau tempat duduk. Dikatakan sebagai tempat duduk karena
dahulu menjadi tempat berkupulnya bangsawan toraja yang duduk dalam tongkonan
untuk berdiskusi. Rumah adat ini selain berfungsi sebagai tempat tinggal juga
memiliki fungsi sosial budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat.
Masyarakat Suku Toraja menganggap rumah tongkonan
sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung
padi) dianggap sebagai bapak. Bagian dalam rumah memiliki makna filosofis yang
berbeda-beda pula. Bagian ini terbagi atas tiga bagian yaitu utara, tengah, dan
selatan. Ruangan di bagian utara disebut tangalok
yang memiliki fungsi sebagai ruang tamu, tempat anak-anak tidur, serta tempat
meletakkan sesaji. Ruangan sebelah selatan disebut sumbung yang merupakan ruangan untuk kepala keluarga tetapi juga
dianggap sebagai sumber penyakit. Ruangan bagian tengah disebut dengan sebutan Sali dimana pada tempat ini terdapat
ruang untuk makan, pertemuan kelaurga, dapur, serta tempat meletakkan jenazah
anggota keluarga yang masih belum sempat untuk dikuburkan.
Mayat orang mati masyarakat Toraja tidak langsung
dikuburkan tetapi disimpan di rumah tongkonan. Agar mayat tidak berbau dan
membusuk maka dibalsem dengan ramuan tradisional yang terbuat dari daun sirih
dan getah pisang. Sebelum upacara penguburan, mayat tersebut dianggap sebagai
‘orang sakit‘ dan akan disimpan dalam peti khusus. Peti mati tradisional Toraja
disebut erong yang berbentuk kerbau (laki-laki) dan babi (perempuan). Sementara
untuk bangsawan berbentuk rumah adat. Sebelum upacara penguburan, mayat juga
terlebih dulu disimpan di alang sura (lumbung padi) selama 3 hari. Lumbung padi
tersebut tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon palem (bangah) yang licin,
sehingga tikus tidak dapat naik ke dalam lumbung. Di bagian depan lumbung
terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari yang merupakan simbol untuk menyelesaikan
perkara.
Secara kasat mata ketika kita melihat bangunan rumah
adat tongkonan ada ciri lain yang cukup menonjol yaitu epala kerbau menempel di
depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di depan setiap rumah.
Jumlah tanduk kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah dan menunjukan
tingginya derajat keluarga yang mendiami rumah tersebut. Di sisi kiri rumah
yang menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Di
sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.
Ornamen rumah tongkonan berupa tanduk kerbau serta
empat warna dasar yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih yang mewakili
kepercayaan asli Toraja (Aluk To Dolo).
Tiap warna yang digunakan melambangkan hal-hal yang berbeda. Warna hitam
melambangkan kematian dan kegelapan. Kuning adalah simbol anugerah dan
kekuasaan ilahi. Merah adalah warna darah yang melambangkan kehidupan manusia.
Dan, putih adalah warna daging dan tulang yang artinya suci.
Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari
orang umumnya. Yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif
ukiran yang halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan
kerbau, serta diselang-seling sulur mirip batang tanaman. Menurut cerita
masyarakat setempat bahwa tongkonan pertama itu dibangun oleh Puang Matua atau
sang pencipta di surga. Dulu hanya bangsawan yang berhak membangun tongkonan.
Selain itu, rumah adat tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu tapi
diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja.
Rumah tongkonan rata-rata dibangun selama tiga bulan
dengan sepuluh pekerja. Kemudian ditambah proses mengecat dan dekorasi satu
bulan berikutnya. Setiap bagian tongkonan melambangkan adat dan tradisi masyarakat
Toraja. Dalam perkembangannya hingga hari ini Rumah adat tongkonan akan terus
dibangun dan didekorasi ulang oleh masyarakat Toraja. Hal itu bukan karena
alasan perbaikan tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan pengaruh dari kaum
bangsawan. Pembangunan kembali rumah tongkonan akan disertai upacara rumit yang
melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan upacara pemakaman.
terima kasih
Madito Mahardika
sumber penulisan :
bagus sekali menambah wawasan infonya
BalasHapusperbedaan tepung terigu dan tapioka