Puro Pakualaman adalah Istana Kadipaten yang terletak di sebelah timur Kraton Yogyakarta. Selain Kraton Yogyakarta, Puro Pakualaman juga dijadikan sebagai tempat tinggal Sri Paduka Pakualaman. Bangunan ini didirikan pada tahun 1813, semasa Gubernur Letnan Jenderal Inggris dijabat oleh Raffles. Filosofi utama dari puro adalah filosofi “Sastro Gending”. Secara harafiah ’Sastro’ berarti pengetahuan dan ‘Gending’ berarti irama gamelan.
Koleksi museum terdiri dari benda-benda bersejarah berupa peralatan perang, upacar, alat masak, kereta-kereta yang pernah digunakan oleh penguasa Puro Pakualaman. Tak ketinggalan naskah-naskah kuno yang ditata dalam tiga ruang pameran tetap.
Benda unik lainnya ialah replika patung Pakualaman V yang sedang mengetik. Patung tersebut merupakan hadiah dari pihak Belanda saat itu. Ada pula lukisan sajak dari seorang pujangga kerajaan yang menuliskan sejarah keturunan manusia sejak Nabi Adam. Berbagai macam kereta yang pernah dijadikan alat transportasi zaman kerajaan dahulu juga terawat dengan baik.
Puro Pakualaman didirikan pada tahun 1813, semasa Gubernur Letnan Jenderal Inggris dijabat oleh Raffles. Ia lah yang memberikan status otonomi dan kebebasan kepada Pangeran Notokusumo (Pakualam I), sebagai upaya mengimbangi kekuatan Sri Sultan Hamengkubuwono II, kakak Pangeran Notokusumo.
Filosofi utama dari puro adalah filosofi “Sastro Gending”. Secara harafiah ’sastro’ berarti pengetahuan, dan ‘gending’ berarti irama gamelan. Filosofi ini diciptakan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Singkatnya Sastro Gending mengajarkan orang-orang untuk berprilaku layak, dan berjalan pada jalan yang benar. Hal ini merupakan prinsip dasar dari kehidupan dan negara.
Puro Pakualaman terletak 2 km di sebelah timur Kantor Pos, Jalan Sultan Agung. Luasnya mencapai 5,4238 ha, dan secara keseluruhan sangat mencerminkan pusat budaya Jawa. Arsiteknya adalah K.G.P.A.A. Paku Alam I sendiri. Sekarang, kita akan memasuki puro, dan melihat bagaimana indah arsitekturnya.
Tata Ruang, Arsitektur dan Maknanya
Puro Pakualaman sangat menjaga budaya leluhurnya yang agung. Begitu pula dengan tradisi, cara hidup dan cara berpikir Kerajaan Mataram, leluhur mereka.
Berbeda dengan ’saudara tua’-nya, Keraton Yogyakarta, Puro Pakualaman menghadap selatan dan hanya mempunyai satu alun-alun yang terletak di bagian depan puro. Untuk sampai di alun-alun, kita harus melalui gerbang Wiworo Kusumo yang berbentuk Joglo. Sebenarnya, nama lengkap dari gerbang ini adalah “Wiworo Kusumo Winayang Reko” yang berarti keamanan, keadilan, dan kebebasan.
Di bagian depannya ada sebuah ruangan yang disebut Pendopo, atau Bangsal Utomo Sewotomo, yang mempunyai 4 pilar di tengahnya. Pilar-pilar ini terbuat dari kayu jati yang berasal dari desa di Karangasem, Palian, Gunung Kidul, sebelah selatan Yogyakarta. Kayu-kayu jati ini juga digunakan untuk Ndalem (rumah utama), dan singgasana raja. Seluruh pilar di pendopo diukir dan diwarnai dengan indah.
Di sudut Pendopo ada sebuah ruangan yang disebut “Ruangan Cina”, dimana koleksi barang-barang antik Cina disimpan.
Sementara di sudut kiri pendopo terdapat sebuah ruangan yang berfungsi sebagai kantor raja. Ruangan ini dinamakan “Ruang Srikaya”.
Di depan Pendopo, tepatnya di sisi sebelah kanan, terdapat museum yang memamerkan segala hal yang berhubungan dengan sejarah puro. Salah satu yang disimpan di dalam museum adalah “Perjanjian Politik” dengan penguasa Inggris dan Belanda yang menandai terbentuknya Kadipaten Pakualaman. Ada juga atribut-atribut raja, seperti Payung Tlacap, yang melambangkan raja atau penguasa besar, dan rebab atau biola, melambangkan awal dan akhir kehidupan.
Ada juga perlengkapan singgasana yang antara lain terdiri daridua buah Kecohan, teko yang digunakan untuk untuk membuang air liur (ludah). Kecohan ini melambangkan seorang raja harus menepati janjinya dan persahabatan berdasarkan pada sikap saling menghormati. Juga ada Payung “Bhavad”, yang melambangkan raja sebagai pusat kekuatan dan kebijaksanaan, dan Payung “Tunggul Naga”, sebuah payung bersusun tiga yang melambangkan kehidupan raja yang sempurna untuk melindungi orang-orangnya dengan pengetahuan, kebijaksanaan dan keadilan.
Perlengkapan singgasana lainnya yang bisa kita temui di museum ini adalah Tombak Trisula, Jebeng, dan Cis Trisula, yang melambangkan filosofi budaya suatu negara, dimana orang harus berprilaku baik, sopan dan halus tata bahasanya, raja memerintah dengan adil dan bijaksana, prajurit tidak hanya berani di medan perang, tapi juga harus mengetahui strategi perang yang baik. Pada tombak kita akan menemukan Foto naga, yang berarti kemakmuran dan kesejahteraan, serta kekuatan untuk menolak ilmu hitam.
Sementara itu, di sebelah kanan Pendopo kita akan melihat sebuah paviliun indah bernama Purworetno. Gedung ini merupakan hadiah dari Sri Paku Buwono X (Surakarta) untuk menantunya, Sri Paku Alam VII.
Purworetno
Di sebelah barat Pendopo, ada sebuah ruang perpustakaan dengan koleksi-koleksi yang sangat berharga, yang terdiri dari buku-buku klasik Jawa, termasuk buku terkenal, “Serat Dharma Wirayat”, hasil karya Sri Paku Alam III.
Meninggalkan Pendopo, kita akan sampai di rumah utama yang disebut Dalem Agung Proboyekso. Bagian paling penting dari bangunan ini adalah Pasren, yang dilengkapi dengan asesoris dan dua patung Loro Blonyo (laki-laki dan perempuan) berdiri di muka ruang Pasren dan Ruang Pusaka. Tempat ini melambangkan kesucian dan kemakmuran hidup Pakualaman.
Lalu, dimanakah para keluarga tinggal? Beberapa keluarga puro tinggal di Gondok Wetan (paviliun timur) dan Gondok Kulon (paviliun barat). Keduanya bisa kita temukan jika kita terus melangkahkan kaki ke arah utara.
Sementara itu, tempat yang biasa digunakan sebagai ruang tunggu dan tempat berkumpul, ada di belakang Dalem Agung Proboyekso. Ruangan ini dinamakan Seworonggo. Di sini juga pusaka kerajaan biasanya dibersihkan.
Terus ke arah utara, maka kita akan sampai di Maerekaca, sebuah bangunan yang berdinding kaca. Tempat ini digunakan untuk bersenang-senang, dan sangat disukai oleh K.G.P.A.A. Paku Alam VII dan istrinya.
Kalau kita berjalan terus ke utara, maka kita akan sampai di sebuah halaman luas, dimana di tengah-tengahnya berdiri pohon gandaria. Di sinilah meditasi dilakukan. Halaman ini dibatasi oleh pagar tembok, yang merupakan bagian belakang dari puri atau kastil. Di masa lalu, puri ini digunakan sebagai markas tentara Pakualaman. Di sini ada dua gerbang yang dinamakan gerbang barat dan gerbang utara. Tapi sekarang gerbang utara sudah ditutup. Dan, di bagian belakang ada sebuah sekolah taman kanak-kanak, dan dua buah sekolah dasar. Merupakan yang termuda dari keempat kraton yang berada di Jawa Tengah. Seperti halnya dengan sub wilayah Mangkunegaran di Solo, yang didirikan oleh Dinasti Paku Buwono yang lebih muda, Pakualaman adalah kerajaan terpisah didalam kerajaan Yogyakarta. Walaupun terpisah dan merdeka mereka tetap mengakui kesenioran kraton Yogyakarta Hadiningrat.
Pemerintah kolonial Inggris banyak berperan dalam membangun Puro Pakualaman ini. Masa pemerintahan Inggris yang singkat di Hindia Belanda (1811-1815) terjadi pada saat anti kedatangan penjajah di kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Dengan harapan akan kekuatan kraton Surakarta melemah Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles, menggunakan kesempatan untuk turut campur dalam pertikaian yang berkepanjangan antara Hamengkubuwono II, pimpinan gerakan anti kolonial dan anaknya Hamengkubuwono III. Raffles kemudian menyerang kraton Yogyakarta, dan atas bantuan Paman Sultan Pangeran Nata Kusuma menyingkirkan Hamengkubuwono II dan mengangkat Hamengkubuwono III.
Atas bantuan Pangeran Nata Kusuma serta untuk mengurangi kekuatan Yogyakarta maka pada tahun 1813, Raffles membuat pemerintahan kedua di Yogyakarta dengan mengangkat Pangeran Nata Kusuma sebagai Kepala Pemerintahan Sri Paduka Paku Alam I. Paku Alam I membangun pusat pemerintahan tidak jauh disebelah timur kraton Yogyakarta (seperti halnya Pura Mangunegaran di Solo). Paku Alam menghadap ke selatan ini melambangkan penghormatannya terhadap Kraton Yogyakarta. Seperti kraton lainnya Pura Paku Alam memiliki kompleks yang dikelilingi oleh tembok yang tinggi dan kokoh. Pemerintah Inggris, selain memberi daerah kraton dan tanah sekitarnya, juga memberi bantuan keuangan setiap bulannya untuk keperluan perajurit Paku Alam I, yang berada di bawah kekuasaan Inggris.
Atas bantuan Pangeran Nata Kusuma serta untuk mengurangi kekuatan Yogyakarta maka pada tahun 1813, Raffles membuat pemerintahan kedua di Yogyakarta dengan mengangkat Pangeran Nata Kusuma sebagai Kepala Pemerintahan Sri Paduka Paku Alam I. Paku Alam I membangun pusat pemerintahan tidak jauh disebelah timur kraton Yogyakarta (seperti halnya Pura Mangunegaran di Solo). Paku Alam menghadap ke selatan ini melambangkan penghormatannya terhadap Kraton Yogyakarta. Seperti kraton lainnya Pura Paku Alam memiliki kompleks yang dikelilingi oleh tembok yang tinggi dan kokoh. Pemerintah Inggris, selain memberi daerah kraton dan tanah sekitarnya, juga memberi bantuan keuangan setiap bulannya untuk keperluan perajurit Paku Alam I, yang berada di bawah kekuasaan Inggris.
Tempat pelatihan perajurit (alun-alun) terletak diluar tembok kraton dan terbuka ke jalan umum. Sebelum menjadi Paku Alam I, Pangeran Nata Kusuma sangat tekun mempelajari kebudayaan dan kesustraan jawa sehingga dia disebut sebagai peletak dasar kebudayaan di kraton Yogyakarta. Beliau juga mempelajari politik dan hukum suatu negara kerajaan. Ketika memimpin pemerintahan sendiri, beliau mempelopori pengembangan kultur, dan memberi sendiri pelajaran ilmu pengetahuan dan tata negara kepada para Pangeran dan Raja. Beliau juga mendatangkan guru-guru pelajaran agama dan kesusteraan dan tertarik mendukung kebudayaan dan kesenian sebagai landasan dasar untuk menunjang pengembangan Pakualaman dalam hal perayaan dan pertunjukan kesenian terutama di bidang seni tari. Pura Pakualaman sekarang didiami oleh Paku Alam VIII, terbagi menjadi tiga bagian dengan tata letak yang berderetan. Bagian pertama terdiri atas pendopo atau Bnagsal Sewotomo, taman bagian luar, dan kantor adminstrasi, yang terbuka untuk umum. Disebelah kanan pendopo terdapat paviliun unik , yang diantara ujung atapnya berdinding dengan bentuk segitiga berhiaskan ukiran kayu yang detil, berbentuk rumah musim panas Eropa, dan dikelilingi taman yang indah.
Di tempat bekas penyimpanan kereta, yaitu dekat gerbang utama kraton, terdapat museum kecil yang berisi seragam militer lama, kostum tari, wayang, gamelan, dan gambar tokoh-tokoh Pakualaman sebelumnya. Diruang terpisah terdapat kereta-kereta kerajaan, termasuk sebuah kereta yang baru-baru ini direnovasi. Kereta ini diberikan kepada Paku Alam I oleh Thomas Stamford Raffes pada tahun 1814
Sumber:
1. “Sejarah Lahirnya Yogyakarta: Lahir dari Keengganan Berkolusi dengan VOC”, www.yogya.indo.net
2. Suryo S. Negoro, “Puro Pakualaman”,www.joglosemar.co.id
1. “Sejarah Lahirnya Yogyakarta: Lahir dari Keengganan Berkolusi dengan VOC”, www.yogya.indo.net
2. Suryo S. Negoro, “Puro Pakualaman”,www.joglosemar.co.id
3.www.jogjatv.tv/.../keraton-yogyakarta-dan-puro-pakualaman-sambut-malam-1-suro –
bpadjogja.info/file/3a25d333822048cc88d9b3caa079a0af.pdf
a-jp.facebook.com/notes/untaian.../batik-kraton/427328796818 -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar