Oleh
Tezar Arief
PROVINSI JAMBI
Jambi adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di pesisir timur di bagian tengah pulau Sumatra Jambi adalah salah satu dari tiga provinsi di Indonesia yang ibu kotanya bernama sama dengan nama provinsinya yaitu Jambi, Jambi merupakan tempat berasalnya bangsa melayu yaitu dari Kerajaan Melayu di Batang hari Jambi.Meskipun menurut catatan sejarah, pendirian Kota Jambi bersamaan dengan berdirinya Provinsi Jambi (6 Januari 1957), namun hari jadinya ditetapkan sebelas tahun lebih dahulu, sesuai Peraturan Daerah (Perda) Kota Jambi No.16 tahun 1985 yang disyahkan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi dengan Surat Keputusan No. 156 tahun 1986, bahwa Hari Jadi Pemerintah Kota Jambi adalah tanggal 17 Mei 1946, dengan alasan bahwa terbentuknya Pemerintah Kota Jambi (sebelumnya disebut Kotamadya sebelum kemudian menjadi Kota saja), adalah tanggal 17 Mei 1946 dengan Ketetapan Gubernur Sumatera No. 103 tahun 1946, yang diperkuat dengan UU No. 9 tahun 1956. Kota Jambi resmi menjadi Ibukota Provinsi Jambi pada tanggal 6 Januari 1957. Berdasarkan cerita rakyat setempat, nama Jambi berasal dari perkataan “jambe” yang berarti “pinang”. Nama ini ada hubungannya dengan sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja Putri Selaras Pinang Masak, yang ada kaitannya dengan asal-usul provinsi Jambi. Penduduk asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerinci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan penduduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari. Suku Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan merupakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud memperluas daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa suku ini merupakan keturunan dari percampuran suku Wedda dengan suku Negrito, yang kemudian disebut sebagai suku Weddoid. Orang Anak Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan “jinak” diberikan kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tempat tinggal yang tetap, dan telah mengenal tata cara pertanian. Sedangkan yang disebut “liar” adalah mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki tempat tinggal tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi dengan dunia luar sama sekali masih tertutup. Suku-suku bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pedesaan dengan pola yang mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan rumah panjang beserta pekarangannya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang, dan tua-tua tengganai (dewan desa). Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan hidup masyarakat desa. Strata Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang “kabur” untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kampung dsb. Pakaian Pada awalnya masyarakat pedesaan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebudayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang menggelembung pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi dengan kopiah.
MASYARAKAT ADAT
Kehidupan sosial budaya masyarakat Melayu Jambi mencerminkan corak komunitas masyarakat adat. Pada awalnya masyarakat adat itu tersusun atas dasar kelompok pemukim antara lain adalah sebagai berikut :
1) kaum bangsawan,
2) orang keraton,
3) orang Perban,
4) Keturunan Raja Empat Puluh (40)
5) orang Kedipan,
6) orang Kemas,
7) penduduk biasa,
9) kaum Buruh,
10) kaum Tepunggah (orang yang bersalah besar terhadap kerajaan).
Pemerintahan berjalan menurut hukum adat dan pemangku adat dipandang sebagai orang berpengaruh dalam mengatur kebidupan bermasyarakat. Mereka itu terdiri dari pimpinan informal seperti tuo tengganai, alim ulama, cerdik pandai maupun tokoh formal seperti kepala desa, dan lainya.
Struktur Kepemimpinan Masyarakat Adat Malayu Jambi
No | WILAYAH | JABATAN | MUSYAWARAH |
1 | Alam/Kerajaan | Raja / Sultan * | Mufakat ke Dewan Kerapatan |
2 | Ra tai | Jenang (Temenggung) * | Mufakat ke rajo |
3 | Negeri | Batin/Dapati * | Mufakat ke Jenang |
4 | Iauk/Luah/ Daerah Lembah Sungai | PenghululDatuk/Msngku* | Mufakat ke Batin. |
Menti * | Mufakat ke Mangku/Penghulu/Datuk | ||
Debalang Batin * | Mufakat ke Menti | ||
5 | Kampung (Kelbu) | Tuo-Tuo ** | Mufakat ke Penghulu |
6 | Rumah Tangga | Tengganai ** | Mufakat ke Tuo |
7 | Anak-Buah ** | Kepala Rumah Tangga (Suami) | Mufakat ke Tengganai. |
Bini (isteri) | Mufakat ke Laki (Suami) | ||
Anak | Mufakat/Sekato Bapak |
Keterangan :
*. Pejabat pemerintah/kerajaan
**. Pejabat adat /non pemerintah
Raja sebagai pucuk pimpinan disebutkan dalam adat bahwa alam berajo. Raja mengangkat wakilnya sebagai raja daerah (rantau) yang bergelar jenang atau temenggung, dalam adat disebut rantau bejenang. Di bawah Jenang / Temenggung terdapat jabatan kepala negeri atau kepala Batin dengan gelar dapati., dalam adat disebutkan bahwa negeri bebatin. Di bawah dapati terdapat pula jabatan kepala luak / luah / kelbu / etnis / daerah lembah sungai yakni penghulu / datuk / mangku / kepala dusun, dalam adat disebutkan bahwa luak bepenghulu. Penghulu membawahi kepala kelompok kerabat (kampung) yaitu tuo-tuo, dalam adat disebutkan ahwa kampang betuo. Di bawah kampung terdapat pimpinan keluarga besar membawahi beberapa rumah tangga yakni tengganai rumah, dalam adat sebutkan numah betengganai. Setiap tengganai membawahi anak-buah yang terdiri beberapa kelaminan (suami-isteri), dalam adat disebutkan bahwa bini sekato laki dan anak sekato bapak. Tengganai (tengganai numah) adalah seorang pemimpin adat atau yang dituokan di dalam setiap kelompok kerabat, yakni tengganai dalam dan tngganai laar. Tengganai Dalam adalah saudara laki-laki dar pihak isteri, dan tengganai luar adalah saudara laki-laki dari pihak suami. Tugasnya adalah menyelesaikan silang sengketa di dalam suatu keluarga dan bertanggung jawab terhadap kerukunan antar sesama anak-buahnya Tuo Tengganai ialah salah seorang yang dituokan antar kelompok keluarga di dalam kelbu. Tuo-tau ialah seseorang yang dituokan dalam kelbu. Sedangkan tuo atau tuo-tuo adalah para orang tua yang dihormati dan disegani serta didengar petuahnya. Mereka (too) ini dalam seloko adat disebutkan bahwa" elok dusun dek nan tuo, ramai dusun dek nan mudo".
BAHASA JAMBI
Masyarakat Jambi memakai bahasa percakapan sehari-hari yakni bahasa Melayu Jambi, masyarakat tradisional Jambi yakni suku anak dalam atau yang biasa kita kenal dengan istilah (kubu) masih memiliki bahasa Melayu Jambi yang belum banyak dipengaruhi oleh unsure dari luar. Artinya para Suku Anak Dalam (kubu) atau masyarakat tradisional Jambi masih memakai bahasa Jambi asli dikarenakan mereka masih suka hidup secara tradisional dan tinggal di hutan – hutan, Jadi mereka belum berinteraksi, bergaul dengan masyarakat luar. Seperti yang kita lihat disekitar kita pada masa sekarang di Jambi, masyarakat lebih suka memakai bahasa modern dan merekapun malu memakai bahasa Jambi sebagai alat komunikasi dikarenakan takut digolongkan ketinggalan zaman. Padahal bahasa Jambi asli ini perlu dipertahankan karena itu adalah salah satu jati diri daerah. Pada masa lampau bahasa melayu Jambi telah ditulis dalam tiga macam huruf dengan masa yang berbeda.
- Huruf Pallawa, digunakan pada melayu kuno dan Sriwijaya.
- Huruf Rencong, digunakan menjelang masa kesultanan.
- Huruf Arab, setelah periode kesultanan di daerah Jambi.
Bahasa Melayu Jambi sangat banyak memiliki perbendaharaan kata yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Melayu Jambi sebagai alat komunikasi penting bagi masyarakat Jambi. Dan sama-sama kita ketahui bahwa tiap-tiap daerah di Jambi ini memiliki bahasa yang berbeda-beda pula. Seperti antara satu kampung atau kecamatan dengan kecamatan yang lain itu berbeda-beda.
MATA PENCAHARIAN
Daerah Jambi sendiri hutan bagi mereka adalah segalanya. Ia tidak hanya sebagai sumber penghidupan, tetapi juga sebagai wahana kehidupan sosial-budaya mereka. Oleh karena itu, mereka mengembangkan berbagai pranata yang mengatur kelestarian hutan. Sebab, hutan sangat erat kaitannya dengan jati diri mereka. Mereka mengidentikan diri dengan orang rimba atau anak dalam Oleh karena itu, jika ada anggota kelompoknya yang menyimpang dari ajaran-ajaran atau budaya nenek-moyangnya, yang bersangkutan dianggap bukan sebagai orang kubu lagi, tetapi sebagai orang dusun, orang kampong atau orang terang dan karenanya harus keluar dari hutan. Dalam mempertahankan hidupnya mereka memanfaatkan apa yang tersedia di hutan, seperti: meramu, memburu, dan membuka ladang dengan sistem berpindah-pindah.
Jenis-jenis Mata Pencaharian
Meramu
Meramu adalah mencari dan mengumpulkan hasil hutan, seperti: getah melabui, getah jelutung, getah damar, getah jernang, dan rotan. Mereka menyebut kegiatan ini berkinang atau berimbo. Caranya dengan beranjau, yaitu berjalan-jalan atau melakukan pengembaraan. Menemukan sesuatu yang dicari, apakah itu getah melabui, getah jelutung, dan atau rotan adalah sesuatu yang sangat erat kaitannya dengan tuah (keberuntungan). Hal itu disebabkan banyaknya jenis pohon, sehingga seringkali menutupi pohon yang dicari (tidak terlihat). Relatif sulit dan atau mudahnya menemukannya itulah yang kemudian membuahkan adanya semacam kepercayaan bahwa pohon-pohon tersebut mempunyai kekuatan gaib. Berkinang atau berimbo biasanya dilakukan secara berkelompok (lebih dari satu orang) dan biasanya dilakukan oleh laki-laki. apabila di dalam hutan ada yang terpisah atau tertinggal, maka orang yang ada di depan akan memberi tanda dengan menancapkan sebatang kayu yang pada bagian atasnya dibelah dan diselipkan ranting. Pangkal ranting diarahkan ke suatu tempat yang akan dituju. Dengan demikian, orang yang ada di belakangnya akan tahu persis kemana harus menyusulnya. Jika ranting itu tidak disisakan daunnya, maka penyelipannya dilakukan agak miring ke atas. Bagian pangkal ranting yang miring ke atas itulah yang memberi petunjuk ke arah mana seseorang harus menyusulnya. Cara yang mereka lakukan dalam mengambil atau mengumpulkan berbagai macam getah tidak jauh berbeda dengan pengumpulan getah karet, yaitu ditoreh sedemikian rupa sehingga getahnya keluar dan ditampung pada suatu tempat (biasanya tempurung kelapa). Sedangkan, cara mereka mengambil rotan adalah dengan menariknya. Dalam hal ini batang rotan yang telah dipotong pangkalnya ditarik melalui cabang pepohonan. Ini dimaksudkan agar ruas dan cabang-cabang kecilnya tertinggal atau jatuh karena tergesek cabang pepohonan, sehingga tidak banyak tenaga yang harus dikeluarkan pada saat membersihkannya.
Berburu
Senjata yang mereka gunakan dalam berburu adalah tombak. Ada dua jenis tombak yang mereka miliki. Pertama, tombak yang panjangnya kurang lebih setinggi orang dewasa dan bagian mata tombaknya ber-berangko (diberi sarung). Tombak jenis ini oleh mereka disebut kujur berongsong. Cara menggunakannya adalah dengan memegang bagian tengahnya, kemudian dilemparkan (dengan satu tangan) ke sasaran. Kedua, tombak yang panjangnya hampir mencapai 3 meter. Di ujung tombak ini ada semacam pisau yang runcing yang kedua sisinya tajam (bentuknya lebih lebar dan lebih pendek daripada tombak jenis yang pertama). Cara mempergunakannya adalah tangan kanan memegang pangkalnya, kemudian tangan kiri menopangnya, baru dilemparkan ke arah sasaran (arahnya selalu ke arah kiri). Kedua jenis tombak tersebut matanya terbuat dari logam (besi) dan batangnya terbuat dari kayu tepis. Kayu ini disamping berserat, tetapi juga keras dan lurus, sehingga cocok untuk dijadikan sebagai batang tombak. Tombak biasanya digunakan berburu nangku (babi hutan), kera, rusa (kancil), napu, kijang (menjangan). Sebagai catatan, binatang-binatang tersebut terkadang ditangkap dengan cara penjeratan. Untuk berburu berbagai binatang tersebut biasanya mereka pergi daerah-daerah sumber air, karena kawanan binatang biasanya berdatangan kesana untuk suban (minum). Selain tombak mereka juga menggunakan batang pohon yang berukuran sedang dan berat (garis tengahnya kurang lebih 30 cm), khususnya untuk menangkap gajah. Batang pohon tersebut dipotong sepanjang kurang lebih 10 meter, kemudian salah satu ujungnya diruncingi. Sedangkan, ujung lainnya diikat dengan rotan. Selanjutnya, digantung diantara pohon yang besar dengan posisi bagian yang runcing ada di bawah, dengan ketinggian kurang lebih 5 meter dari permukaan tanah. Rotan yang digunakan untuk mengikat salah satu ujung batang tadi dibiarkan menjulur sampai ke tanah. Maksudnya, jika ada gajah yang menginjak atau menariknya, maka gajah tersebut akan tertimpa atau kejatuhan batang kayu yang runcing itu. Sistem ini juga digunakan untuk menangkap harimau. Oleh karena itu, perangkap ini ditempatkan pada daerah yang biasa dilalui oleh gajah dan atau harimau. Perangkap ini oleh mereka disebut pencebung. Gajah juga dapat ditangkap dengan menggunakan perangkap yang berupa lubang yang cukup dalam dan ditutup dengan ranting serta daun-daunan. Sementara, untuk menangkap badak, mereka membuat parit yang panjangnya 10--15 rentangan tangan orang dewasa (depa). Parit yang lebarnya kurang lebih 1 meter ini semakin ke ujung semakin dalam (kurang lebih setinggi manusia dewasa). Dengan demikian, jika ada badak yang memasukinya, maka ia akan terperangkap karena tidak dapat meloncat atau berbalik.
Menangkap Ikan
Kegitan lainnya yang ada kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup adalah menangkap berbagai jenis ikan, termasuk udang dan ketam di sungai, dengan peralatan: pancing, jala, tombak, perangkap ikan (kubu-kubu), dan pagar-pagar ikan. Terkadang mereka nubo, yaitu menggunakan racun dari akar-akar nubo. Caranya akar-akar tersebut dimasukkan ke sungai, maka ikan akan mabuk dan terapung. Dengan demikian, tinggal mengambil dan memasukkannya ke sebuah wadah yang disebut dukung atau ambung1.
Berladang
Sistem perladangan yang diterapkan oleh orang Kubu adalah berpindah-pindah. Ada 3 faktor yang menyebabkan mereka melakukan perpindahan, yaitu: pergantian musim, semakin langkanya binatang buruan dan hasil sumber hutan lainnya, dan semakin tidak suburnya tanah garapan. Selain itu, kematian juga merupakan faktor yang pada gilirannya membuat mereka berpindah tempat. Hal ini yang erat dengan kepercayaan bahwa kematian adalah sesuatu yang dapat menimbulkan kesialan bagi kelompoknya. Untuk menghindari hal itu, maka mereka melakukan perpindahan. Dan, perpindahan yang disebabkan oleh adanya kematian disebut melangun. Berladang adalah suatu proses. Sebagai suatu proses maka mesti dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Ada empat tahap yang mereka lalui dalam penggarapan sebuah ladang.
- · Tahap yang pertama adalah pembukaan ladang. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini meliputi penebasan pepohonan kecil, semak belukar, dan mengumpulkan tebasan ke tengah areal yang akan dijadikan sebagai ladang. Kemudian, membiarkannya selama kurang lebih dua minggu (14 hari) agar tebasan menjadi kering. Oleh karena itu, tahap yang pertama ini sering disebut sebagai menebas.
- · Tahap yang kedua adalah penebangan pepohonan. Peralatan yang digunakan hanya berupa parang dan beliung. Jika pohon yang akan ditebang relatif besar, maka penebangan dilakukan pada bagian atas pohon dengan yang lingkarannya relatif lebih kecil ketimbang bagian bawah pohon. Caranya adalah dengan mendirikan semacam panggung, sehingga mudah melakukannya. Jika pohonnya sedang-sedang saja, maka penebangannya cukup berdiri di atas tanah. Penebangan berbagai pohon, baik besar maupun sedang, tidak sampai pada pangkalnya, karena disamping tentunya pangkal batangnya lebih besar, tetapi yang lebih penting menurut kepercayaan mereka hal itu tidak boleh dilakukan (dilarang nenek moyang). Makna simbolik yang ada dibalik larangan itu adalah kelestarian. Artinya, apa saja yang ada di hutan tidak boleh dihabiskan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tonggak-tonggak batang pohon mewarnai ladang mereka. Pohon-pohon yang telah tumbang pada saatnya akan dibakar bersama semak belukar. Pembakaran tersebut bertujuan disamping agar tidak mengganggu tahap berikutnya, tetapi yang lebih penting adalah abunya dapat lebih menyuburkan lahan.
- · Tahap yang ketiga adalah penanaman bibit. Sistem yang digunakan adalah tugal, dengan cara dua atau tiga orang laki-laki memegang sebatang kayu kecil yang kira-kira panjangnya 1,5 meter yang salah satu ujungnya runcing. Dengan tongkat itu mereka bergerak ke depan, membuat lubang-lubang yang dangkal. Sementara, dengan jumlah yang sama, perempuan mengikutinya sambil menebarkan bibit. Setiap lubang kurang lebih berisi 4—5 butir bibit. Sedangkan, anak-anak bertugas menutup lubang-lubang yang telah terisi oleh bibit. Jika segala sesuatunya lancar (setelah penanaman ada hujan), maka maka bibit tersebut akan tumbuh dalam waktu 4 atau 5 hari, sehingga 6 minggu kemudian, mereka dapat melakukan penyiangan (membersihkan rerumputan yang mengganggunya). Penyiangan dilakukan lagi pada bulan kedua. Dan, pondok ladang pun didirikan untuk menjaga tanaman dari berbagai serangan binatang liar atau burung.
- · Tahap keempat (terakhir) adalah menuai. Tahap ini dilakukan setelah padi menguning (kurang lebih setelah berumur 5 bulan). Caranya, padi yang telah menguning itu dipotong gagangnya dengan alat yang disebut tuai (ani-ani). Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh kaum perempuan. Sebelum disimpan dalam lubung, padi tersebut dikeringkan (dijemur) agar bisa tahan lama.
KULINER
Berbicara mengenai masakan khas daerah tentunya Indonesia dilimpahi oleh kuliner tradisional yang tak ada habisnya, masakan khas yang Salah satunya adalah masakan khas asal Jambi yaitu;
1. Tempoyak,Gulai tepe ikan,dan pindang ikan.
Tempoyak |
Gulai Tepe Ikan |
Pindang Ikan |
Ketiga menu khas jambi itu memiliki citra rasa sendiri dan sudah terkenal sampai luar daerah.Tempoyak merupakan masakan unik dengan cita rasa agak berbeda dari kebanyakan masakan lain, sebab salah satu bahan masakannya menggunakan durian. Tempoyak memiliki jenis yang beragam (sesuai dengan selera), seperti, tempoyak gurame, tempoyak udang, tempoyak gurame, tempoyak patin, dengan bahan dasar yang dicampur durian, namun tastednya begitu memuaskan selera.Tempoyak merupakan makanan yang berasal dari buah durian yang difermentasikan. Rasanya sangat mengundang selera. Tidak ada orang asli Jambi yang tidak pernah mencicipi makanan terbuat dari asam durian itu. Tempoyak asli Jambi biasanya baru bisa ditemukan di Jambi ketika musim durian tiba. Tempoyak bisa digunakan untuk membuat berbagai menu seperti gulai-gulai tempoyak yang cukup terkenal dan menjadi menu utama beberapa restoran dan rumah makan yang menjajakan masakan khas Jambi. Apalagi tempoyak dipadu dengan salah satu ikan favorite Propinsi Jambi yaitu ikan sema yang hidup di perairan deras bagian barat propinsi jambi. Biasanya ikan sema ini dahulu kala santapan untuk raja-raja di propinsi jambi. Raja-raja saja senang sobat apa lagi kita.Selain gulai, tempoyak juga bisa dibuat untuk jenis masakan lain seperti sambal tempoyak dan gulai tempoyak ikan sungai. Tempoyak Jambi sangat lezat jika dimasak menggunakan ikan sungai. Bumbu yang digunakan adalah cabai dan kunyit yang dihaluskan.
2. Selain dua masakan di atas, Jambi juga memiliki masakan khas lain, yakni gulai tepe ikan dan malbi. Gulai tepe ikan terbuat dari ikan gabus yang dihaluskan dicampur tepung dan telur, kemudian diadon hingga meyerupai adonan pempek. Kemudian adonan direbus, setelah dingin dipotong persegi, dan dimasukkan ke gulai santan."Masakan ini khas Seberang (Seberang Kota Jambi, red). Citarasa asam nanas sangat terasa dalam gulai itu.
3. Sementara malbi adalah masakan gulai daging, namun memiliki citarasa manis karena dimasak dengan kecap dan sedikit gula merah, namun rasa gurih tetap tercipta dalam masakan itu.
KESENIAN
Tarian
Tari tradisional jambi adalah Tari Sekapur Sirih dan Tari Piring Jambi.
- Tari Sekapur Sirih ini diciptakan oleh Firdaus Chatab pada tahun 1962, kemudian ditata ulang oleh OK Hendri BBA pada tahun 1967. tari ini digunakan untuk menyambut tamu yang dihormati sebagai ungkapan rasa putih hati dalam menyambut tamu, dan ditarikan oleh penari remaja putri.
- Sedangkan Tari Piring Jambi ini berasal dari Muara Tembesi yang diciptakan oleh Abdul Manan, kemudian ditata ulang oleh OK Hendri pada tahun 1970. Tarian ini menggambarkan kelincahan muda mudi dalam memainkan piring dan ditarikan oleh penari putra dan putri. Dan masih banyak lagi tari adat jambi lainnya seperti
- Tari Dana Sarah
Musik tradisional
Seni Musik
Pada mulanya seni musik daerah jambi merupakan seni musik yang masih bersifat tradisional. Namun seiring perkembangan zaman, maka alat-alat musik sudah banyak banyak memakai alat-alat musik modern. Akan tetapi alat-alat musik tradisional masih dipergunakan. Bahkan berusaha untuk dipertahankan.Jenis-jenis alat musik tradisional Jambi yang masih dipertahankan sampai saat ini adalah sebagai berikut;
a. Genggong
b. Gendang
c. Tabuh
d. Rebana
e. Krenong
f. Kelintang
b. Gendang
c. Tabuh
d. Rebana
e. Krenong
f. Kelintang
Seni Suara
Pada setiap kabupaten dan kota mempunyai ragam seni suara dengan syair dan khas daerah masing-masing, namun sesuainamun seni suatu daerah kini semakin usang dan tidak dikenal, karena telah dilanda dengan kehadiran lagu-lagu dangdut dan lagu pop. Namun demikian setiap daerah berusaha untuk kembali menghidupkan lagu-lagu daerah tersebut melalui rekaman, sehingga diharapkan nantinya dapat kembalai hidup dan dikenal oleh masyarakat, Beberapa jenis seni suara dari tiap-tiap daerah sebagai berikut:
1. Kota Jambi
a. Lagu Sekapur Sirih
b. Lagu Orang Kayo Hitam
c. Lagu Keris Seginjai
a. Lagu Sekapur Sirih
b. Lagu Orang Kayo Hitam
c. Lagu Keris Seginjai
2. Kabupaten Batang Hari Dan Kabupaten Muaro Jambi
a. Lagu Batanghari
b. Lagu Nasib Badan
c. Lagu Merusak Hati
a. Lagu Batanghari
b. Lagu Nasib Badan
c. Lagu Merusak Hati
3. Kabuapaten Tanjung Jabung Timur Dan Tanjung Jabung Barat
a. Lagu Nelayan
b. Lagu Nasib Badan
c. Lagu Senandung Malam
a. Lagu Nelayan
b. Lagu Nasib Badan
c. Lagu Senandung Malam
4. Kabupaten Bungo Dan Kabupaten Tebo
a. Lagu Serampang Laut
b. Lagu Tumbuk Tebing
c. Lagu Pisang Dayak
a. Lagu Serampang Laut
b. Lagu Tumbuk Tebing
c. Lagu Pisang Dayak
5. Kabupaten Merangin Dan Kabupaten Sarolangun
a. Lagu Dagang Menumpang
b. Lagu Dendang Sayang
c. Lagu Ujung Tanjung
a. Lagu Dagang Menumpang
b. Lagu Dendang Sayang
c. Lagu Ujung Tanjung
6. Kabupaten Kerinci
a. Lagu Tanjung Bajure
b. Lagu Tus-Tus
c. Lagu Bukasi Sayang
a. Lagu Tanjung Bajure
b. Lagu Tus-Tus
c. Lagu Bukasi Sayang
Rumah Adat
Rumah adat Jambi dinamakan Rumah Panggung dengan model kajang lako, merupakan rumah tinggai yang terbagi dalam 8 ruangan. Ruang Jogan, Serambi depan. Serambi dalam. kamar Amben melintang. Serambi belakang, ruang Laren. ruang Garang. ruang Tengganai.
Upacara Adat
Upacara adat yang masih dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Masa Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik, tegak betanyo, ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian.
Referensi.
Drs. M. Syamudi Damay. Adat Dan Budaya Jambi. Jambi , 2000/2001.
DRs. H. Hasip Kalmuddin Syam. Adat Provinsi Jambi. 2002.
Galba, Sindu. 2003. “Manusia dan Kebudayaan Orang Kubu”
H.Arsyad Somad, Kemas SH.MH,. 2003.”Mengenal Adat Jambi Dalam Perspektif Modern “
www.depdagri.go.id (Departemen Dalam Negeri)
Hi
BalasHapusDo you supplying dragon`s blood . please contact me if you are supplying it .my requiring amount is 500-1000kg per month . thanks .
Best Regards
Sean
seangao61@gmail.com