No. Reg : 4423107033
Sulawesi Tenggara adalah salah satu pulau yang ada di Indonesia yang beribukotakan Kendari. Sulawesi Tenggara memiliki kebudayaan daerah yang menarik dan tentu saja unik Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi yang ada di indonesia yang beribukotakan karena berbeda dengan budaya daerah lainnya yang ada di indonesia.
Sebagai salah satu kekayaan budaya indonesia , propinsi ini juga memiliki tradisi yang mudah mudahan saja mesih terus di lestarikan sehingga putra putri Sulawesi Tenggara di masa datang mengenal kebudayaan daerahnya sendiri. Ada beberapa tradisi yang berasal dari Sulawesi tenggara ini dan ini mungkin menjadi bagian dari adat istiadat di masyarakat Sulawesi Tenggara. Diantara adat istiadat tersebuta adalah Tradisi Kalosara, Tradisi Karia, Layangan Tradisional "Kaghati", Tradisi Pusuo serta Pesta Adat Pakande Kandea. Di Sulawesi Tenggara juga terdapat 5 jenis suku yang berbeda, yaitu suku Tolaki, Suku Morunene, suku Button, suku Muna dan suku Bajo.
Sejarah
Sulawesi Tenggara awalnya merupakan nama salah satu di kabupaten Sulawesi Selatan Tenggara dengan bau-bau sebagai ibukota kabupaten. Sulawesi Tenggara ditetapkan sebagai daerah otonom berdasar perpu no.2 tahun 1964 juncto UU no.13 tahun 1964. Pada awalnya terdiri atas 4 kabupaten, yaitu :Kabupaten Kendari, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Muna, Kabupaten Buton dengan bau-bau sebagai ibukota provinsi. Namun karna suatu hal ibukota provinsin berganti menjadi di Kendari. Setelah pemekaran, Sulawesi Tenggara mempunyai 10 kabupaten dan 2 kota.a 1
Kebudayaan Daerah, Upacara Adat serta seni tradisional di Sulawesi Tenggara :
Sama seperti daerah lain yang juga memiliki nilai nilai tradisi yang kental di propinsi Sulawesi Tenggara ini juga terdapat upacara adat warisan turun temurun. Keunikan tradisi yang berupa upacara adat ini tentu layak di lestarikan demi kemajuan budaya dan wisata indonesia.
1.Upacara Adat Posuo (Masyarakat Buton Raya)
2.Upacara Adat Kabuenga, dari Kabupaten Wakatobi
3.Upacara Adat Karia, dari Wangi-wangi di Kabupaten Wakatobi
4.Upacara Adat Mataa, dari Kabupaten Buton
5.Upacara Adat Tururangiana Andala, dari Pulau Makassar di Kota Baubau
6.Upacara Adat Religi Goraana Oputa, oleh masyarakat Buton Raya
7.Upacara Adat Religi Qunua, oleh masyarakat Buton Raya
8.Upcara adat Bangka Mbule Mbule di Kabupaten Wakatobi.
Seni Tari Tradisional daerah Sulawesi Tenggara :
1.Tari Lariangi dari Kabupaten Wakatobi
2.Tari Balumpa dari Kabupaten Wakatobi
3.Tari Potong Pisang, dari Kabaena di Kabupaten Bombana
4.Tari Lulo Alu, dari Kabaena Kabupaten Bombana
Upacara Posuo
Tradisi Upacara Pasuo di Sulawesi Tenggara sudah berlangsung sejak zaman kesultanan Buton. Upacara Posuo diadakan sebagai sarana peralihan seorang gadis dari remaja (labuabua) menjadi dewasa (kalambe) serta untuk mempersiapkan mentalnya. Upacatra tersebut diadakan delapan hari delapan malam dalam ruangan khusus yang oleh masyarakat disebut dengan suo. Selama di kurung di suo, peserta di jauhkan dari dunia luar, baik dari keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Para peserta hanya boleh berhubungan dengan bhisa (pemimpin upacara posuo) yang telah ditunjuk oleh pemangku adat setempat. Para bhisa akan membimbing dan memberi petuah berupa pesan moral, spiritual dan pengetahuan membina keluarga yang baik untuk para peserta.
Upacara Adat Kabuenga
ini adalah tradisi untuk mencari pasangan hidup atau jodoh yang disebut dengan kabuenga. Tradisi ini memang rutin dilakukan di kepulauan wakatobi setiap tahunnya ini digelar di lapangan terbuka dan diikuti oleh semua penduduk wakatobi yang sudah akil balig baik perempuan maupun laki-laki. Dalam tradisi ini setiap laki-laki dan perempuan yang menyatakan berniat untuk hidup bersama disandingkan pada semacam ayunan di tengah-tengah lapangan terbuka agar semua orang dapat menyaksikannya. Proses runutnya tradisi kabuenga ini adalah pertama-tama penduduk menyiapkan ayunan di tengah-tengah lapangan terbuka sebagai media pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang mencari jodoh hingga diucapkannya ikrar untuk hidup bersama. Dalam tradisi kabuenga ini, para wanita yang akan mencari pasangan hidup ini berkumpul melingkari ayunan dengan mengenakan pakaian adat wakatobi dan membawa makanan tradidional yang bermacam-macam dan biasanya berwarna mencolok dan di tata sedemikian rupa sehingga terlihat menarik. Kemudian para wanita ini menarikan sebuah tarian yang bernama pajoge dengan iringan gendang dan bunyi gog sebagai pembuka prosesi sakral ini. Ketika permainan ini sedang dimainkan oleh para wanita tadi laki-laki dipersilahkan memberikan uang kepada sang wanita.
Makna filosofis dari tarian ini bercerita tentang adat kebiasaan dari sebagian kaum laki-laki Wakatobi yang selalu menjadi perantau di negeri orang. Dan ketika dalam perantauan inilah berjanji bahwa bila pulang ke Wakatobi nanti akan menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk diberikan kepada para penari yang menyambut kepulangannya. Untuk mengiringi prosesi kabuenga ini, para pemangku adat kemudian berjalan mengelilingi ayunan kabuenga tadi sambil mengalunkan kidung-kidung tradisional.
Setelah pemangku adat menyelesaikan alunan kidungnya kemudian dilanjutkan oleh kaum wanita yang juga mengelilingi ayunan tadi sebanyak 7 kali sambil juga mendendangkan lagu-lagu tradisional Wakatobi dengan membawa minuman ringan yang pada nantinya akan diberikan kepada pria yang dicintainya. Kaum perempuan yng berada dalam barisan ini disebut sebagai kelompok kadandio.
Ketika menjalankan prosesi ini kaum wanita yang tergabung dalam kelompok kadandio diharuskan untuk berperilaku sopan santun kepada seorang laki-laki yang akan diberi minuman persembahan tadi agar sang lelaki menjadi terkesan dan mau menerima minuman pemberian sang wanita. Prosesi pemberian minuman ini disebut sebagai adat pasombui.
Setelah kaum perempuan selesai kini giliran sang lelaki melakukan hal yang sama yaitu mengelilingi ayunan sebanyak 7 kali. Tapi, berbeda dengan sang wanita yang membawa minuman ringan maka para lelaki ini sambil melantunkan pantun membawa semacam parcel yang berisi macam-macam kebutuhan sehari-hari dari mulai makanan hingga pakaian.
Yang menarik dari prosesi ini adalah setelah sang lelaki menyerahkan barang-barang yang dibawanya kepada sang perempuan, dilanjutkan dengan berbalas pantun. Dalam berbalas pantun ini pantun-pantun yang dilantunkan oleh kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) berisi tentang ungkapan-ungkapan cinta kepada pasangannya hingga kemudian keduanya berikrar untuk hidup bersama sehidup semati.
Setelah keduanya berikrar maka keduanya pun diantar oleh pemangku adat menuju ayunan kabuenga. Setiap pasangan yang duduk di atas ayunan itu kemudian diayun oleh sang pemangku adat tadi sambil dinyanyikan irama syair dan pantun.
Dan setelah melewati prosesi ini setiap pasangan selanjutnya berpisah dan kembali pulang ke rumah masing-masing sambil menunggu pembicaraan antar kedua keluarga untuk kemudian menuju pelaminan.
Di Sulawesi terdapat beberapa kerajinan yaitu :
Kerajinan Perak Kendari
Pusat kerajinan perak yang membuat beraneka jenis perhiasan di kota kendari ini oleh masyarakat setempat dikenal juga dengan sebutan ” kendari werek”. Rata-rata aneka jenis perhiasan yang dibuat adalah aneka perhiasan yang di pakai perempuan untuk menghadiri acara adat masyarakat Sulawesi Tenggara. Kerajinan tersebut sudah berkembang sejak Indonesia masih dibawah jajahan kolonial. Para pengrajin perak generasi pertama yang mengembangkan usahanya di kota kendari, yang dipimpin oleh jie A woi mengembangkan usaha ini karena terinspirasi oleh seekor laba-laba yang sedang membuat sangkarnya. Ia kemudian melakukan cara yang sama dalam menciptakan jenis perhiasan perak.
Kerajianan Gembol
Kerajinan gembol oleh masyarakat kendari juga sering disebut dengan kerajinan “tumor kayu”. Hal ini karena bahan dasar kerajinan tersebut diambil dari akar kayu yang berbentuk didapat dari pohon besar yang berada di sulawesi tenggara. Kerajinan gembol yang berkembang di kota kendari, pertama kali di perkenalkan oleh tentara jepang yang menjajah Sulawesi Tenggara. Mereka melihat provinsi ini memiliki cadangan kayu yang banyak dengan berbagai variasi, seperti kayu jati, meranti, tolinti, cendana dan beropa. Hal tersebut menjadi inspirasi bagi tentara jepang untuk mengolahnya menjadi aneka bentuk kerajinan. Sampai saat ini, masyarakat kota kendari masih memproduksi kerajianan warisan jepang tersebut, bahkan produksinya berkembang cukup pesat.
Makanan
Ada beberapa makanan khas Sulawesi Tenggara, yaitu kasoami, sate tambulinas, bau peapi, dan masih banyak lagi,
Rumah Adat Banua Wolio
Banus Wolio artinya Rumah adat Buton, yang mempunyai nama berbeda menurut status penghuni dalam status sosial kemasyarakatan. Rumah adat Buton tersebut terbagi menjadi :
- Kamali atau Malige untuk tempat tinggal Sultan
- Rumah pejabat kesultanan
- Rumah masyarakat umum.
Rumah ini pada umumnya dibagi menjadi 3 (tiga) dengan fungsi sebagai berikut : Ruang depan untuk tamu laki-laki, ruang tengah untuk tamu perempuan dan ruang belakang untuk kamar tidur.
Rumah Adat Laika Mbu’u
secara umum Laika Mbu’u memiliki spesifikasi dan cirri khas suku Tolaki yakni Tado Laika (dibawah kolong) seluas 1.200 m2 yaitu dahulu sebagai tempat menambat kerbau, Loloha (lantai 1) seluas 1.200 m2 yaitu ruang dalam rumah sebagai tempat pelaksanaan adapt Tolaki, Anandumungge (lantai 2) seluas 1.200 m2 yaitu tempat penyimpanan benda-benda berharga atau barang pusaka.
Rumah Adat Keajaan Muna
Anjungan atau bangunan induk anjungan mengambil bentuk Istana Sultan Buton (disebut Malige) yang megah. Meskipun didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, bangunan ini dapat berdiri dengan dengan kokoh dan megah diatas sandi yang menjadi landasan dasarnya. Patung dua ekor kuda jantan yang sedang bertarung, pelengkap bangunan, menggambarkan tradisi mengadu kuda dari Pulau Muna yang digemari masyarakat Sulawesi Tenggara. Di Taman Mini Indonesia Indah, anjungan Sulawesi Tenggara terletak di sebelah tenggara arsipel, bersebelahan dengan anjungan Sulawesi Selatan serta berhadapan dengan istana anak-anak Indonesia. Dalam memperkenalkan daerahnya propinsi Sulawesi Tenggara menampilkan bangunan induk yang merupakan tiruan dari istana raja Buton yang disebut Malige. Bangunan ini sengaja ditampilkan karena bangunan yang asli masih ada di pulau Buton serta merupakan satu peninggalan budaya yang bersejarah. Di halaman anjungan dilengkapi dengan patung-patung orang berpakaian adat antara lain dari daerah Buton, Muna, Kendari dan Koloka. Juga patung 2 ekor kuda jantan yang sedang berlaga, memperebutkan kuda betina. Adegan in menggambarkan Pogerano Ajara, jenis aduan kuda khas Sulawesi Tenggara, dan merupakan permainan raja-raja.
Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan kayu. Banguanannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin keatas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar.
Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Tiang tengah menjulang ke atas dan merupakan tiang utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu wala da semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat. Biasanya tiang-tiang ini puncaknya terpotong. Dengan melihat jumlah tiang sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang mempunyai tiang samping 4 buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3 petak merupakan rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 buah akan mempunyai 5 petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang samping 8 buah berarti rumah tersebut mempunyai 7 ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.
Adapun susunan ruangan dalam istana ini adalah sebagai berikut:
1 Lantai pertama terdiri dari 7 petak atau ruangan, ruangan pertama dan kedua berfungsi sebgai tempat menerima tamu atau ruang sidang anggota Hadat Kerajaan Buton. Ruangan ketiga dibagi dua, yang sebelah kiri dipakai untuk kamar tidur tamu, dan sebelah kanan sebagai ruang makan tamu. Ruangan keempat juga dibagi dua, berfungsi sebgai kamar anak-anak Sultan yang sudah menikah. Ruang kelima sebgai kamar makan Sultan, atau kamar tamu bagian dalam, sedangkan ruangan keenam dan ketujuh dari kiri ke kanan diperguakan sebagai makar anak perempouan Sultan yang sudah dewasa, kamar Sultan dan kamar anak laki-laki Sultan yang dewasa. Di anjungan Sulawesi Tenggara, lantai pertama ini konstruksi atau susunan ruangan sudah diubah sesuai dengan keperluan, sebagi pameran dan peragaan aspek kebudayaan daerahnya. Di sini dipamerkan pakaian kebesaran tradisional raja Kendari beserta permaisurinya, juga pakaian kebesaran raja Muna,panglima perang atau Kapitalao, menteri besar atau Banto Balano dan Pasi yakni petugas pengurus benda pusaka kerajaan. Semuanya dipamerkan dengan bentuk boneka berpakaian tradisional tersebut. Di ruanga inipun dioamerkan berbagai jenis hasil kerajiana perak Kendari, kerajinan anyaman-anyaman, tenunan serta benda-benda pusaka, beberapa goci dan berbagai binatang yang telah diawetkan seperti penyu, burung Meleo, penyu bersisik, biawak, enggang dan lain-lain.
2 Lantai kedua dibagi menjadi 14 buah kamar, yaitu 7 kamar di sisi sebelah kanan dan 7 kamar di sisi sebelah kiri. Tiap kamar mempunyai tangga sendiri-sendiri hingga terdapat 7 tangga di sebelah kiri dan 7 tangga sebelah kanan, seluruhnya 14 buah tangga. Fungsi kamar-kamar tersebut adalah untuk tamu keluarga, sebagai kantor, dan sebagai gudang. Kamar besar yang letaknya di sebelah depan sebagai kamar tinggal keluarga Sultan, sedangkan yang lebih besar lagi sebagai Aula.
3 Lantai ketiga berfungsi sebagai tempat rekreasi
4 Lantai keempat berfungsi sebagai tempat penjemuran. Disamping kamar bangunan Malige terdapat sebuah banguan seperti rumah panggung mecil, yang dipergunakan sebagai dapur, yang dihubungakan dengan satu gang di atas tiang pula. Di anjungan bangunan ini di[pergunakan sebagai kantor anjungan. Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukira naga yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang tergantung pada papan lis atap, dan dibawah kamar-kamar sisi depan. Adapun kedua hiasan tersebut mengandunga makna yang sangat dalam, yakni ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton. Sedangkan ukiran buah nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas saja, melambangkan bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung kerajaan hanya Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari bibit itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru. ini berarti bahwa kesultanan Buton bukan sebagai pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya sendiri. Falsafah nenas in dilambangakan sebagai kesultanan Buton, dan Malige Buton mirip rongga manusia. Anjugan daerah Sulawesi Tenggara dibangun sejak tahun 1973 dan diresmikan pengggunaannya pada tahun 1975. Bertindak sebagai perancang terutama pada bangunan induknya adalah orang-orang adat dari bekas kesultanan Buton. Pada halaman anjungan terdapat arena pertunjukan dengan latar belakang relief, yang menggambarkan kebudayaan di Sulawesi Tenggara. Di arena inilah pada hari Minggu atau hari libur dipagelarkan kesenian tradisional seperti tari-tarian antara lain tari Kalegoa, tari Lariangi, tari Balumpa, tari Malulo dan lain-lain. Jenis tarian terakhir merupakan tarian pergaulan yang ditarikan dengan membentuk suatu lingkaran, bila besarnya lingkaran telah mencapai lebar arena, dibentuk lagi lingkaran baru di dalamnya, begitu seterusnya sehingga membentuk lingkaran yang berlapis-lapis karena semakin banyak orang yang melibatkan diri ikut menari tarian Malulo ini. Selain itu juga ditampilkan musik lagu-lagu daerah, dan diwaktu-waktu tertentu dipamerkan makanan-makanan khas daerah Sulawesi Tenggara ataupun karnaval tradisional.
Olahraga tradisional
aduan kuda adalah olahraga tradisional yang terkenal di sulawesi tenggara, tepatnya di kabupaten Muna dan telah menjadi tontonan yang menarik bagi masyarakat luas. Dikalangan masyarakat Muna, atraksi ini populer dengan sebutan pogeraha adara yang berarti adu kekuatan kuda memiliki nilai filosofi yang berkaitan dengan keutamaan hak dan harga diri dalam melaksanakan hak dan tanggung jawab. Masyarakat suku Muna akan berupaya sekuat tenaga dalam menjaga hak dan harga dirinya walaupun nyawa taruhannya. Sampai sekarang filosofi itu masih tetap menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku Muna. Atraksi adu kuda ini merupakan warisan dari kerajaan Muna di era kejayaannya. Pada awalnya aduan kuda ditampilkan pada saat raja-raja di kerajaan Muna kedatangan tamu penting diluar daerah, seperti dari pulau jawa atau daerah lain. Untuk menghibur para tamu tersebut, maka diadakanlah atraksi aduan kuda yang kemudian menjadi atraksi turun-temurun. Setelah kerajaan runtuh, tradisi aduan kuda tetap berkembang, bahkan saat ini menjadi salah satu tradisi unggulan masyarakat suku Muna. Setiap tahun setidaknya tiga kali diadakan atraksi aduan kuda, yaitu pada peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan dua hari lebaran
Halo...mohon tanya. Foto upacara Pasuo ada yg aslinya nggak? Yg besar. Ada yg cari nih.
BalasHapusRarindra 081310417092
kebudayaan ygg massih harus tetap dijaga sampai saat ini..
BalasHapushttp://www.marketingkita.com/2017/08/customer-record-card-dalam-ilmu-marketing.html