Ujian Tengah Semester
(Part 3)
Folklore Sebagian
Lisan
Nama : Drieka Kesuma Putri
No.reg : 4423107033
Upacara Adat Sekaten
Sekaten
atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatain atau dua
kalimat syahadat)
adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhamad
s.a.w. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Maulud ( Rabiul awal
tahun Hijrah) di alun-alun utara Surakarta
dan Yogyakarta.
Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Keraton Yogyakarta untuk
mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.
Ada pendapat lain
mengatakan bahwa Sekaten berasaldari kata ‘syahadataini’ dua kalimat dalam
Syahadat Islam, yaitu syahadat tauhid ( Asyhadu Alla ila-ha-ilallah) yang berarti:
“Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah” dan syahadat rasul ( Waasyhadu
anna Muhammadarrosululloh ) yang berarti :” Saya bersaksi bahwa nabi Muhammad
utusan Allah”.
Sekaten—yang
biasanya dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta dan
Surakarta–-merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad
SAW yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau
Keraton Kasunanan Surakarta bersama pemerintahan dan masyarakat setempat.
Berbagai bentuk acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan
Sekaten—yang beraneka ragam variasi dan macamnya seiring perubahan
waktu—mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga apresiasi seni tradisi
lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur modern seakan
melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.
Sekaten selain berasal dari kata syahadatain, juga berasal dari kata:
1) Sahutain: menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng.
1) Sahutain: menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng.
2)
Sakhatain: menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan karena
watak tersebut sumber kerusakan.
3)
Sakhotain: menamankan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi
luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan.
4) Sekati: setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk.
4) Sekati: setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk.
5)
Sekat: batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta
tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.
Untuk mengetahui asal mula sekaten yang tiap tahun diadakan oleh dua Keraton
tersebut, kita harus menulusurinya dari zaman Demak. Kerajaan ini merupakan
kerajaan Islam pertama di Jawa yang berdiri setelah Majapahit runtuh pada tahun
1400 Saka atau 1478 Masehi. Keruntuhan Majapahit diperingati dengan
candrasengkala ”Sirna Hilang Kertaning Bumi”. Berakhirnya Kerajaan Majapahit
berarti berakhir pula Kerajaan Hindu di Jawa, di bawah pemerintahan Prabu
Brawijaya V. Raja Demak yang pertama adalah Raden Patah yang bergelar Sultan
Bintara.
Sebagai Raja Islam, Raden Patah selalu berupaya untuk memajukan tersiarnya agama Islam di seluruh kerajaan. Sultan Bintara selalu memikirkan bagaimana caranya agar agama Islam dapat menyinari semua pelosok negeri, dan bagaimana orang-orang yang telah memeluk agama Hindu itu akan insyaf dan meyakini kebenaran ajaran Islam.
Sebagai Raja Islam, Raden Patah selalu berupaya untuk memajukan tersiarnya agama Islam di seluruh kerajaan. Sultan Bintara selalu memikirkan bagaimana caranya agar agama Islam dapat menyinari semua pelosok negeri, dan bagaimana orang-orang yang telah memeluk agama Hindu itu akan insyaf dan meyakini kebenaran ajaran Islam.
Demi cita-cita itu, Raden Patah akhirnya mengadakan pertemuan dengan para wali sembilan, di antaranya adalah Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati. Pertemuan itu membahas cara menyiarkan Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga mempunyai usul tentang penyiaran agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu memeluk agama Hindu. Usul Sunan Kalijaga tersebut adalah dengan membiarkan tetap dilaksanakannya adat atau tata cara dalam agama Hindu, tetapi dimasuki pelajaran Islam, misalnya:
1)
Semedi
Semedi
dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja kepada dewa-dewa. Karena agama Islam
tidak mengenal dewa, maka diganti dengan memuja Allah SWT dengan sholat.
2)
Sesaji
Sesaji
menurut agama Hindu mempunyai maksud memberi makanankepada dewa-dewa dan jin,
agar sesuai dengan ajaran Islam diganti dengan zakat fitrah pada fakir miskin.
3)
Keramaian
Dalam
agama Hindu keramaian mempunyai maksud menghormat kepada dewa-dewa, diganti
keramaian menghormat hari-hari raya Islam.
Karena orang Jawa suka gamelan, maka pada hari raya Islam yaitu hari lahirnya Nabi Muhammad SAW, sebaiknya dalam masjid juga diadakan tabuh gamelan, agar orang-orang tertarik. Jika sudah berkumpul kemudian diberi pelajaran tentang agama Islam. Dan untuk keperluan itu, para wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamakan Kyai Sekati.
Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh wali yang lainnya dan Raden
Patah, yaitu pada hari lahir Nabi Muhamad, 12 Mulud, dalam masjid dipukul
gamelan. Tanggal 12 Mulud selain merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW
juga merupakan hari wafat beliau. Ternyata banyak orang yang berduyun-duyun
datang ke masjid untuk mendengarkan bunyi gamelan. Orang-orang tersebut datang
ke masjid walaupun rumahnya jauh, sehingga mereka bermalam di alun-alun atau
sekitar masjid.
Sebelum upacara
Sekaten dilaksanakan, ada dua persiapan yaitu persiapan fisik dan spiritual.
Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara, yaitu Gamelan
Sekaten, Gending Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah bunga kanthil, busana
seragam Sekaten, samir untuk niyaga dan perlengkapan lainnya termasuk naskah
riwayat Maulud Nabi Muhammad SAW.
Gamelan Sekaten adalah benda pusaka Kraton
Yogyakarta yang disebut Kanjeng Kyai Sekati, yang terdiri dari dua rancak,
yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan Sekaten
tersebut adalah warisan pusaka yang dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam
kesenian karawitan dan disebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama
kali dibuat.
Persiapan spiritual
dilakukan beberapa waktu menjelang upacara Sekaten. Para abdi dalem Kraton
Yogyakarta yang akan terlibat dalam upacara, sebelumnya mempersiapkan mental
dan batin untuk mengemban tugas sakral tersebut. Khususnya bagi para abdi dalem
yang akan bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan
perpuasa dan siram jamas.
Upacara Sekaten
dimulai tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) pada sore hari dengan mengeluarkan
gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai
Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di
Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan
pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Dihalaman
Kemandungan atau Keben banyak pedagang kecil berjualan kinang dan nasi wuduk.
Pada
hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut, selain rakyat, para bupati pesisir
juga datang ke kota kerajaan untuk memberi sembah pada raja. Mereka datang
beberapa hari sebelum tanggal 12 Mulud dan membuat rumah di alun-alun untuk
bermalam. Bupati menghadap raja dan kemudian menggiring raja ke masjid. Karena
banyaknya orang yang menggiring raja tersebut, timbul perkataan ”Garebeg” yang
berasal dari kata ”anggrubyung” yang berarti menggiring.
Orang-orang
yang datang di halaman masjid itu disuruh untuk mendengarkan pidato-pidato
tentang ajaran agama Islam yang mudah-mudah dahulu. Pertama mereka diberi tahu
maksudnya syahadat dan bagaimana bunyinya. Dari itulah timbul kata sekaten yang
berasal dari bahasa Arab ”syahadatain”. Kalimat syahadat merupakan suatu
kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai
arti: tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat
syahadat itu juga ditulis di atas pintu gerbang masjid. Karena banyak orang
yang datang berduyun-duyun ke masjid dan banyak yang bermalam, maka banyak pula
orang yang berjualan di sekitar masjid dan alun-alun.
Tradisi
sekaten yang dirayakan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW tersebut
tetap dilestarikan oleh raja-raja yang memerintahkan berikutnya hingga masa
Mataram. Pada zaman kerajaan Mataram hingga akhirnya pindah ke Surakarta dan
Yogyakarta, sekaten diadakan untuk kepentingan politik, yaitu mengetahui
kesetiaan para bupati yang ada di wilayah kerajaan. Pada perayaan sekaten para
bupati harus datang untuk menyerahkan upeti dan menghaturkan sembah baktinya
kepada raja. Apabila bupati tersebut berhalangan hadir, maka harus diwakili
oleh pihak kerajaan. Hal itu dilakukan karena bila bupati tidak hadir pada
perayaan sekaten diartikan sebagai bentuk pembangkangan terhadap raja.
Perayaan
sekaten yang diadakan oleh kerajaan Mataram, selain bertujuan untuk
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW juga untuk menunjukkan bahwa raja yang
berkuasa masih ada hubungan dengan Nabi Muhammad, utusan Allah. Sekaten juga
mempunyai peran politis dan ekonomis. Karena dengan sekaten, para bupati harus
sowan memberi upeti dan kehadirannya di upacara sekaten sebagai tanda kesetiaan
kepada raja yang memerintah.
Dengan
perkembangan zaman, sekaten juga dimanfaatkan dalam sektor perdagangan.
Perayaan sekaten sebagai ladang masyarakat untuk berdagang dan semakin membuat
marak perayaan sekaten. Selain untuk mendengarkan gamelan, para pengunjung
dapat membeli berbagai makanan khas sekaten, juga mainan anak-anak.
Dari
sini, dapat kita simpulkan bahwa memandang Sekaten janganlah hanya dalam
bingkai perspektif agama an sich atau dalam kacamata budaya lokal budaya
Jawa–-belaka. Cara pandang yang demikian akan mengakibatkan distorsi yang
cenderung memunculkan perdebatan yang tak kunjung berakhir. Perdebatan tersebut
akan bermuara pada masalah tafsir terhadap agama dimensi normatif dan historis
serta Islam sebagai das sein dan das sollen serta berujung pada perpecahan dan
perselisihan pendapat bila perbedaan tersebut tidak dibingkai dalam upaya untuk
memperoleh dan memperkuat jalinan ”ukhuwah” Islamiyah, athoniyah, dan
Basyariah.taq/dari berbagai sumber
Sumber
:
http://deburanombak.com/2011/02/upacara-sekaten-kraton-yogyakarta/
http://id.wikipedia.org/wiki/Sekaten
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/09/03/13/36909-sekaten-akulturasi-nilai-islam-dengan-budaya-lokal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar