Cindy Aprina Mirasari
4423107052
UTS Tradisi Entik
Masa Prasejarah
Zaman prasejarah Bali
merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan
masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman
prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya,
tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat
pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun
waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang
sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.
Berkat penelitian yang
tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan
putra-putra Indonesia
maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap
kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam
bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian
kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada
tahun 1906
sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan
memberikan beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan,
dan Pura Bukit Penulisan.
Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil
menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba, Tegallalang.
Penelitian prasejarah
di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan
hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra
Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara
berkelanjutan yaitu tahun 1973,
1974, 1984, 1985. Berdasarkan
hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang
berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga
bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah
perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali.
Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum.
Berdasarkan bukti-bukti
yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun
penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi :
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
- Masa bercocok tanam
- Masa perundagian
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
Sisa-sisa dari
kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan
sejak tahun 1960 dengan ditemukan di Sambiran (Buleleng bagian timur), serta di
tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani)
alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang
dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di Museum Gedong Arca di Bedulu, Gianyar.
Kehidupan penduduk pada
masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam lingkungannya.
Mereka hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya (nomaden).
Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung persediaan makanan
dan air yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu
dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu
dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang
cukup besar untuk menghadapi segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan
hanya bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan
makanan dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti
apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu
sama lainnya.
Walaupun bukti-bukti
yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan di Pacitan
(Jawa Timur)
dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa alat-alat
batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat
batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus erectus atau keturunannya.
Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran dihasilkan oleh
manusia jenis Pithecanthropus atau keturunannya.
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
Pada masa ini corak
hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan
mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari
bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti
mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun
1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Gua ini
terletak di pegunungan gamping di Semenanjung Benoa. Di
daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah Gua Karang Boma, tetapi goa ini
tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana.
Dalam penggalian Gua Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan
serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara
alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5
cm yang kedua ujungnya diruncingkan.
Alat-alat semacam ini
ditemukan pula di sejumlah gua Sulawesi Selatan
pada tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia Timur. Di luar
Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua, yang menggambarkan kehidupan sosial
ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding
goa atau di dinding-dinding karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa,
burung,
manusia, perahu,
lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya. Beberapa lukisan lainnya
ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih kemudian dan artinya menjadi
lebih terang juga di antaranya adalah lukisan
kadal
seperti yang terdapat di Pulau Seram dan Papua,
mungkin mengandung arti kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh
nenek moyang atau kepala suku.
Masa bercocok tanam
Masa bercocok tanam
lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia
prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa
neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban,
karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber
alam bertambah cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering)
berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini
sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam
serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.
Sisa-sisa kehidupan
dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam
berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori Kern dan teori
Von Heine-Geldern diketahui bahwa nenek moyang bangsa Austronesia,
yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada zaman neolithik.
Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang
penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama
terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang
penyebarannya melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata
dibagian timur negara kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi)
adalah bangsa Austronesia dan gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan
perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500
S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara
khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini. Pada
masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang
diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan adanya bahasa.
Para ahli berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa ini adalah Melayu
Polinesia atau dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia.
Masa perundagian
Gong, yang ditemukan
pula di berbagai tempat di Nusantara, merupakan alat musik yang diperkirakan berakar dari
masa perundagian.
Dalam masa neolithik
manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur
kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan
makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap
ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai
hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada zaman ini jenis
manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai penemuan
sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting di antaranya adalah
temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa Timur),
Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa).
Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia.
Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah
menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada
rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang
manusia ketika itu.
Berdasarkan bukti-bukti
yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa
perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu.
Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau
sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara
penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat
seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini ternyata
cukup menarik perhatian di antaranya terdapat hampir 100 buah kerangka manusia
dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi
penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyar
(Banten), Sabbang (Sulawesi Selatan), Selayar,
Rote
dan Melolo (Sumba).
Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina,
Thailand,
Jepang
dan Korea.
Kebudayaan megalithik
ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu
besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya
diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah
Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan
masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang
terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in terdapat
sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal
dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya
ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali
kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa
Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga
dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk
megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk
teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan
susunan batu kali.
Temuan lainnya yang
penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel
ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca
menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung
nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat
memberi kehidupan kepada masyarakat.
Masuknya Agama Hindu
Gua Gajah (sekitar abad
XI), salah satu peninggalan masa awal periode Hindu di Bali.
Berakhirnya zaman
prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad
pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh
Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman
prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan
bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang
ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode
sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan
abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada
dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan
nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari
beberapa prasasti, di antaranya dari Prasasti Blanjong
yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang
menyebutkan kata "Walidwipa". Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti
prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.
Di antara raja-raja
Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung
gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana,
Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam
mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat.
Dalam prasasti tertua 882-914, badan ini disebut
dengan istilah "panglapuan". Sejak zaman Udayana, Badan Penasihat Pusat
disebut dengan istilah "pakiran-kiran i jro makabaihan". Badan ini
beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.
Di dalam
prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni
yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita
dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton
dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni
itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan
kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah
monopoli raja-raja.
Dalam bidang agama,
pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat.
Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang
yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid
atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan
menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada
zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan
berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang
berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan
masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu.
Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak
diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui
dari nama-nama biksu
yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu
Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan
hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa.
Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran
agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha.
Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku
Sewasogata (Siwa-Buddha) sebagai
pembantu raja.
Masa 1343-1846
Masa ini dimulai dengan
kedatangan ekspedisi Gajah Mada pada tahun 1343.
Kedatangan Ekspedisi Gajah Mada
Ekspedisi Gajah Mada ke
Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh Kerajaan Bedahulu
dengan Raja Astasura
Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa.
Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama
Panglima Arya Damar
dengan dibantu oleh beberapa orang arya.
Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada
dengan Kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan
putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah, terjadi kekosongan
pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk
memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan
memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Dari sinilah berawal wangsa Kepakisan.
Periode Gelgel
Karena ketidakcakapan
Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh
Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl'gɛl/). Pada saat inilah
dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama.
Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460—1550).
Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil
sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan
Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai
puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung
(1550—1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made
(1605—1686).
Zaman Kerajaan Klungkung
Kerajaan Klungkung sebenarnya
merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan
I Gusti Agung Maruti
ternyata telah mengakhiri Periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra
Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel
tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas
takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat
baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di
Semarapura.
Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja
pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I,
sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II.
Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan
kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi swapraja
(berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.
Kerajaan-kerajaan pecahan Klungkung
- Kerajaan Badung, yang kemudian menjadi Kabupaten Badung.
- Kerajaan Mengwi, yang kemudian menjadi Kecamatan Mengwi.
- Kerajaan Bangli, yang kemudian menjadi Kabupaten Bangli.
- Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng.
- Kerajaan Gianyar, yang kemudian menjadi Kabupaten Gianyar.
- Kerajaan Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten Karangasem.
- Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi Kabupaten Klungkung.
- Kerajaan Tabanan, yang kemudian menjadi Kabupaten Tabanan.
- Kerajaan Denpasar,yang kemudian menjadi Kota Madya Denpasar
Masa 1846-1949
Pada periode ini mulai
masuk intervensi Belanda ke Bali dalam rangka "pasifikasi" terhadap
seluruh wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam proses yang secara tidak disengaja
membangkitkan sentimen nasionalisme Indonesia ini, wilayah-wilayah
yang belum ditangani oleh administrasi Batavia dicoba untuk dikuasai dan
disatukan di bawah administrasi. Belanda masuk ke Bali disebabkan beberapa hal:
beberapa aturan kerajaan di Bali yang dianggap mengganggu kepentingan dagang
Belanda, penolakan Bali untuk menerima monopoli yang ditawarkan Batavia, dan
permintaan bantuan dari warga Pulau Lombok
yang merasa diperlakukan tidak adil oleh penguasanya (dari Bali).
Perlawanan Terhadap Orang-Orang Belanda
Masa ini merupakan masa
perlawanan terhadap kedatangan bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-perlawanan
ini ditandai dengan meletusnya berbagai perang di wilayah Bali.
Perlawanan-perlawanan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
- Perang Buleleng (1846)
- Perang Jagaraga (1848--1849)
- Perang Kusamba (1849)
- Perang Banjar (1868)
- Puputan Badung (1906)
- Puputan Klungkung (1908)
Dengan kemenangan
Belanda dalam seluruh perang dan jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda,
berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan Belanda.
Zaman Penjajahan Belanda
Sejak kerajaan Buleleng
jatuh ke tangan Belanda mulailah pemerintah Belanda ikut campur mengurus soal
pemerintahan di Bali. Hal ini dilaksanakan dengan mengubah nama raja sebagai
penguasa daerah dengan nama regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta
menempatkan P.L. Van Bloemen Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali.
Struktur pemerintahan
di Bali masih berakar pada struktur pemerintahan tradisional, yaitu tetap
mengaktifkan kepemimpinan tradisional dalam melaksanakan pemerintahan di
daerah-daerah. Untuk di daerah Bali, kedudukan raja merupakan pemegang
kekuasaan tertinggi, yang pada waktu pemerintahan kolonial didampingi oleh
seorang controleur. Di dalam bidang pertanggungjawaban, raja langsung
bertanggung jawab kepada Residen Bali dan Lombok yang berkedudukan di
Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan, raja-rajanya betanggung jawab kepada
Asisten Residen yang berkedudukan di Denpasar.
Untuk memenuhi
kebutuhan tenaga administrasi, pemerintah Belanda telah membuka sebuah sekolah
rendah yang pertama di Bali, yakni di Singaraja
(1875) yang dikenal dengan nama Tweede Klasse School. Pada tahun 1913 dibuka
sebuah sekolah dengan nama Erste Inlandsche School dan kemudian disusul dengan
sebuah sekolah Belanda dengan nama Hollands Inlandshe School (HIS) yang
muridnya kebanyakan berasal dari anak-anak bangsawan dan golongan kaya.
Lahirnya Organisasi Pergerakan
Akibat pengaruh pendidikan
yang didapat, para pemuda pelajar dan beberapa orang yang telah mendapatkan
pekerjaan di kota Singaraja berinisiatif untuk mendirikan sebuah perkumpulan
dengan nama "Suita Gama Tirta" yang bertujuan untuk memajukan
masyarakat Bali dalam dunia ilmu pengetahuan melalui ajaran agama. Sayang
perkumpulan ini tidak burumur panjang. Kemudian beberapa guru yang masih haus
dengan pendidikan agama mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama
"Shanti" pada tahun 1923. Perkumpulan ini memiliki sebuah majalah
yang bernama "Shanti Adnyana" yang kemudian berubah menjadi
"Bali Adnyana".
Pada tahun 1925 di Singaraja juga
didirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama "Suryakanta" dan
memiliki sebuah majalah yang diberi nama "Suryakanta". Seperti
perkumpulan Shanti, Suryakanta menginginkan agar masyarakat Bali mengalami
kemajuan dalam bidang pengetahuan dan menghapuskan adat istiadat yang sudah
tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, di Karangasem lahir
suatu perhimpunan yang bernama "Satya Samudaya Baudanda Bali Lombok"
yang anggotanya terdiri atas pegawai negeri dan masyarakat umum dengan tujuan
menyimpan dan mengumpulkan uang untuk kepentingan studiefonds.
Zaman Pendudukan Jepang
Setelah melalui
beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 18 dan
19 Februari
1942. Dari arah Sanur ini
tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian,
dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Mula-mula yang meletakkan
dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun).
Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada
pemerintahan sipil.
Karena selama
pendudukan Jepang suasana berada dalam keadaan perang, seluruh kegiatan
diarahkan pada kebutuhan perang. Para pemuda dididik untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air
(PETA). Untuk daerah Bali, PETA dibentuk pada bulan Januari tahun 1944 yang
program dan syarat-syarat pendidikannya disesuaikan dengan PETA di Jawa.
Zaman Kemerdekaan
Menyusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada
tanggal 23 Agustus
1945, Mr. I Gusti Ketut
Puja tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda
Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Bali
mulai disebarluaskan sampai ke desa-desa. Pada saat itulah mulai diadakan
persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai
daerah Sunda Kecil
dengan ibu kotanya Singaraja.
Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu
menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI menggunakan sistem gerilya.
Oleh karena itu, MBO
sebagai induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di
Bali, didatangkan bantuan ALRI dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke
dalam pasukan yang ada di Bali. Karena seringnya terjadi pertempuran, pihak
Belanda pernah mengirim surat kepada Rai untuk mengadakan perundingan. Akan
tetapi, pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan
dengan mengikutsertakan seluruh rakyat.
Untuk memudahkan kontak
dengan Jawa,
Rai pernah mengambil siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur
Pulau Bali. Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini
terkenal dengan sebutan "Long March". Selama diadakan "Long
March" itu pasukan gerilya sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga
sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak
pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah
desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran
Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban.
Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat yang
kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan).
Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa
anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat.
Puputan Margarana
Pada waktu staf MBO
berada di desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya
untuk merebut senjata polisi NICA
yang ada di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November
1946 (malam hari) dan
berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut dan
seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai.
Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946 sejak
pagi-pagi buta tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa
Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara
pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan
bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda
segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah
pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar.
Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad
tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai
mengadakan "Puputan" atau perang habis-habisan di desa margarana
sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah
Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang
peristiwa tersebut pada tanggal 20 november 1946 di kenal dengan perang puputan
margarana, dan kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan
Taman Pujaan Bangsa.
Konferensi Denpasar
Pada tanggal 7 sampai
24 Desember
1946, Konferensi Denpasar berlangsung di pendopo Bali
Hotel. Konferensi itu dibuka oleh Hubertus Johannes van Mook yang bertujuan
untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibu kota
Makassar (Ujung Pandang).
Dengan terbentuknya
Negara Indonesia Timur itu susunan pemerintahan di Bali dihidupkan kembali
seperti pada zaman raja-raja dulu, yaitu pemerintahan dipegang oleh raja yang
dibantu oleh patih, punggawa, perbekel, dan pemerintahan yang paling bawah
adalah kelian. Di samping itu, masih ada lagi suatu dewan yang berkedudukan di
atas raja, yaitu dewan raja-raja.
Penyerahan Kedaulatan
Agresi militer yang
pertama terhadap pasukan pemeritahan Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta
dilancarakan oleh Belanda
pada tanggal 21 Juli
1947. Belanda melancarkan
lagi agresinya yang kedua 18 Desember 1948. Pada masa agresi yang kedua itu di
Bali terus-menerus diusahakan berdirinya badan-badan perjuangan bersifat
gerilya yang lebih efektif. Sehubungan dengan hal itu, pada Juli 1948 dapat
dibentuk organisasi perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka
(GRIM). Selanjutnya, tanggal 27 November 1949, GRIM menggabungkan diri dengan
organisasi perjuangan lainnya dengan nama Lanjutan Perjuangan. Nama itu
kemudian diubah lagi menjadi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sunda
Kecil.
Sementara itu, Konferensi Meja Bundar (KMB) mengenai
persetujuan tentang pembentukan Uni Indonesia - Belanda dimulai sejak akhir
Agustus 1949. Akhirnya, 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS.
Selanjutnya, pada tanggal 17 Agustus 1950,
RIS diubah menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
UPACARA ADAT BALI
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang
artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang
juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku
Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan.
Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian
pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama:
manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya: Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Makna Filosofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Artinya: Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma.
Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma. Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan:
Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan. Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi."
Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran).
Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya. Macam-macam Galungan Meskipun Galungan itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya.
Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut: Galungan Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma.
Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan." Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
Galungan Nadi Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober. Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu.
Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah.
Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
Artinya: Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
"Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah".
Artinya: Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan "Dewa Mauneb bhuta turun" yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng Galungan". Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi. Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa.
Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.
Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata "Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata "Galungan" dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya "menang".
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Parayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu "sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya: Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Makna Filosofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Artinya: Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma.
Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma. Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan:
Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan. Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi."
Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran).
Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya. Macam-macam Galungan Meskipun Galungan itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya.
Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut: Galungan Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma.
Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan." Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
Galungan Nadi Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober. Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu.
Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah.
Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
Artinya: Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
"Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah".
Artinya: Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan "Dewa Mauneb bhuta turun" yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng Galungan". Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi. Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa.
Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.
Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata "Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata "Galungan" dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya "menang".
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Parayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu "sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi.
Potong Gigi
Potong Gigi merupaan upacara Manusa Yadnya sebagai simbol penyucian dari segala mala atau kotoran, yang disimbolkan dengan pemotongan 6 gigi bagian atas sebagai makna mengendalikan enam musuh di dalam diri kita, sehingga bisa menjalani hidup yang lebih suci dan bersih. Dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya. Umumnya dilakukan ketika sang anak menanjak dewasa, tidak jarang pula dilakukan setelah punya anak.
Odalan
Odalan merupakan upacara yang diselenggarakan di pura sebagai ulang tahun berdirinya pura tersebut untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan masyarakat semua dan alam semesta beserta isinya. Baik di tingkat keluarga, desa, maupun yang lebih luas.
Eksistensi kota ini dimulai di saat Kesultanan
Mataram memindahkan kedudukan raja dari Kartasura ke Desa Sala, di tepi Bengawan
Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745.
Akibat perpecahan wilayah kerajaan, di Solo berdiri dua keraton: Kasunanan Surakarta
dan Praja Mangkunegaran,
menjadikan kota Solo sebagai kota dengan dua administrasi.Potong Gigi merupaan upacara Manusa Yadnya sebagai simbol penyucian dari segala mala atau kotoran, yang disimbolkan dengan pemotongan 6 gigi bagian atas sebagai makna mengendalikan enam musuh di dalam diri kita, sehingga bisa menjalani hidup yang lebih suci dan bersih. Dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya. Umumnya dilakukan ketika sang anak menanjak dewasa, tidak jarang pula dilakukan setelah punya anak.
Odalan
Odalan merupakan upacara yang diselenggarakan di pura sebagai ulang tahun berdirinya pura tersebut untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan masyarakat semua dan alam semesta beserta isinya. Baik di tingkat keluarga, desa, maupun yang lebih luas.
Daerah Istimewa Surakarta
Kekuasaan politik kedua kerajaan ini dilikuidasi setelah berdirinya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Selama 10 bulan, Solo berstatus sebagai daerah setingkat provinsi, yang dikenal sebagai Daerah Istimewa Surakarta.Karesidenan Surakarta
Selanjutnya, karena berkembang gerakan antimonarki di Surakarta serta kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan pejabat-pejabat DIS, maka pada tanggal 16 Juni 1945 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunagaran. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara menjadi rakyat biasa di masyarakat dan Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa. Kemudian Solo ditetapkan menjadi tempat kedudukan dari residen, yang membawahi Karesidenan Surakarta (Residentie Soerakarta) dengan luas daerah 5.677 km². Karesidenan Surakarta terdiri dari daerah-daerah Kota Praja Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukowati, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, sedangkan tanggal 16 Juni diperingati sebagai hari jadi Kota Solo era modern.Kota Surakarta
Setelah Karesidenan Surakarta dihapuskan pada tanggal 4 Juli 1950, Surakarta menjadi kota di bawah administrasi Provinsi Jawa Tengah. Semenjak berlakunya UU Pemerintahan Daerah yang memberikan banyak hak otonomi bagi pemerintahan daerah, Surakarta menjadi daerah berstatus kota otonom.Geografi dan administrasi
Hidrogeologi
Surakarta terletak di dataran rendah di ketinggian 105 m dpl dan di pusat kota 95 m dpl, dengan luas 44,1 km2 (0,14 % luas Jawa Tengah). Surakarta berada sekitar 65 km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang serta dikelilingi oleh Gunung Merbabu dan Merapi (tinggi 3115m) di bagian barat, dan Gunung Lawu (tinggi 2806m) di bagian timur. Agak jauh di selatan terbentang Pegunungan Sewu. Tanah di sekitar kota ini subur karena dikelilingi oleh Bengawan Solo, sungai terpanjang di Jawa, serta dilewati oleh Kali Anyar, Kali Pepe, dan Kali Jenes[4]. Mata air bersumber dari lereng gunung Merapi, yang keseluruhannya berjumlah 19 lokasi, dengan kapasitas 3.404 l/detik. Ketinggian rata-rata mata air adalah 800-1.200 m dpl. Pada tahun 1890 – 1827 hanya ada 12 sumur di Surakarta. Saat ini pengambilan air bawah tanah berkisar sekitar 45 l/detik yang berlokasi di 23 titik. Pengambilan air tanah dilakukan oleh industri dan masyarakat, umumnya ilegal dan tidak terkontrol. [5]Sampai dengan Maret 2006, PDAM Surakarta memiliki kapasitas produksi sebesar 865,02 liter/detik. Air baku berasal dari sumber mata air Cokrotulung, Klaten (387 liter/detik) yang terletak 27 km dari kota Solo dengan elevasi 210,5 di atas permukaan laut dan yang berasal dari 26 buah sumur dalam, antara lain di Banjarsari, dengan total kapasitas 478,02 liter/detik. Selain itu total kapasitas resevoir adalah sebesar 9.140 m3.Dengan kapasitas yang ada, PDAM Surakarta mampu melayani 55,22% masyarakat Surakarta termasuk kawasan hinterland dengan pemakaian rata-rata 22,42 m3/bulan.[6]
Tanah di Solo bersifat pasiran dengan komposisi mineral muda yang tinggi sebagai akibat aktivitas vulkanik Merapi dan Lawu. Komposisi ini, ditambah dengan ketersediaan air yang cukup melimpah, menyebabkan dataran rendah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pangan, sayuran, dan industri, seperti tembakau dan tebu. Namun demikian, sejak 20 tahun terakhir industri manufaktur dan pariwisata berkembang pesat sehingga banyak terjadi perubahan peruntukan lahan untuk kegiatan industri dan perumahan penduduk.
Iklim dan topografi
Menurut klasifikasi iklim Koppen, Surakarta memiliki iklim muson tropis. Sama seperti kota-kota lain di Indonesia, musim hujan di Solo dimulai bulan Oktober hingga Maret, dan musim kemarau bulan April hingga September. Rata-rata curah hujan di Solo adalah 2.200 mm, dan bulan paling tinggi curah hujannya adalah Desember, Januari, dan Februari. Suhu udara relatif konsisten sepanjang tahun, dengan suhu rata-rata 30 derajat Celsius. Suhu udara tertinggi adalah 32,5 derajat Celsius, sedangkan terenda adalah 21,0 derajat Celsius. Rata-rata tekanan udara adalah 1010,9 MBS dengan kelembaban udara 75%. Kecepatan angin 4 Knot dengan arah angin 240 derajatBaju Pakaian Pengantin Surakarta / Solo
Pakaian pengantin adat Surakarta terdiri dari beberapa tahapan, sesuai dengan tahapan upacara adatnya. Pada upacara midodaren, pengantin perempuan akan memakai pakaian kejawen dengan warna sawitan. Pakaian sawitan terdiri dari kebaya lengan panjang, stagen, dan kain jarik dengan corak batik. Sedangkan pengantin laki-lakinya memakai pakaian cara Jawi Jangkep, yang terdiri dari baju atela, sikepan, udeng, sabuk timang, kain jarik, keris, dan selop.Pada saat upacara ijab, pakaian yang dipakai pengantin perempuan adalah kebaya dan kain jarik, sedangkan pengantin laki-laki memakai pakaian basahan. Pakaian basahan pengantin laki-laki terdiri dari kuluk matak petak, dodot bangun tulak, stagen, sabuk lengkap dengan timang dan cinde, celana panjang warna putih, keris warangka ladrang, dan selop.
Pada saat upacara panggih, pengantin perempuan memakai pakaian basahan. Pakaian basahan pengantin perempuan adalah tidak memakai baju, melainkan memakai semekan atau kemben, dodot bangun tulak atau kampuh, sampur atau selendang sekar cinde abrit dan kain jarik cinde sekar merah. Sama halnya dengan pengantin perempuan, pengantin laki-laki pun memakai pakaian adat basahan, berupa dodot bangun tulak, terdiri dari kuluk matak biru muda, stagen, sabuk timang, epek, dodot bangun tulak, celana cinde sekar abrit, keris warangka ladrang, kolong karis, selop, dan perhiasan kalung ulur.
Setelah upacara panggih, pengantin perempuan akan memakai pakaian kanigaran, yaitu terdiri dari kebaya, kain jarik, stagen, dan selop. Sedangkan pengantin laki-laki menggunakan pakaian kepangeranan, yang terdiri dari kuluk kanigoro, stagen, baju takwo, sabuk timang, kain jarik, keris warangka ladrang, dan selop.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar