Jumat, 23 Desember 2011

wonderful cultural tourism : Kampung Naga


created by : DESVIANA ISNAENI (4423107028)

Indonesia merupakan negara yang kaya akan potensi wisatanya, mulai dari wisata alam hingga wisata budaya. Satu lagi wisata budaya yang sangat menarik dan potensial di Indonesia adalah Kampung Naga. Kampung Naga terletak diantara Tasik dan Bandung Jawa Barat. Tepatnya sekitar kurang lebih 30 KM ke arah barat Kota Tasikmalaya. Kampung Naga merupakan termasuk di kampung Legok Dage, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Luas Kampung Naga kurang lebih sekitar 1.5 Ha, dengan batas daerah sebelah timur adalah Sungai Ciwulan. Sebelah Barat Utara dan Selatan adalah Kabupaten Tasikmalaya. Daya tarik utama di kampung ini terletak pada kehidupan yang unik, tradisional dan komunitas yang kental dengan budaya dan tradisi meskipun mereka sangat ramah terhadap orang yang mengunjungi kampung mereka. 

Nama Kampung Naga sendiri bukan berarti bahwa di kampung tersebut  kita akan menemukan seekor naga. Tetapi nama tersebut diambil dari desa mereka yaitu Desa Neglasari. Pemandangan alam di sekitar Kampung Naga masih sangat asri, karena dikelilingi bukit dan hutan yang lebat pepohonannya. Jika mengunjungi Kampung Naga, harus melewati ratusan anak tangga sampai ke tepi Sungai Ciwulan. Dengan kemiringan yang sangat curam. Dengan kiri dan kanan pepohonan, serta suara serangga yang semakin menambah suasana perkampungan. 

Kampung Naga dihuni oleh masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peningggalan leluhurnya, maka dari itu saat mengunjungi Kampung Naga, seluruh pengunjung diharuskan menaati peraturan yang ada. Karena masyarakat setempat sangat taat dan patuh terhadap peraturan atau pantangan yang berlaku di Kampung Naga. Misalnya tidak diperbolehkan berselonjor menghadap kearah barat.  Aturan ini di berlakukan karena ada makam leluhur mereka yang diletakan di hutan sebelah Barat. Sehingga untuk menghormati leluhur mereka, semua orang disana tidak boleh berselonjor kearah barat. Selain itu masyarakat disini juga hidup dalam kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat. 

Masyarakat Kampung Naga memberi nama dua buah hutan yang mengelilingi kampung mereka. yang pertama adalah hutan kramat, yang mereka berikan karena didalam sana ada makan leluhur mereka dan tidak semua oprang boleh masuk ke kawasan tersebut. Yang kedua adalah hutan larangan, tepatnya disebrang Sungai Ciwulan, hutan ini diberikan nama tersebut karena tidak boleh ada satu orangpun yang mengambil kayu atau hasil dari hutan ini, karena mereka mengganggap bahwa akan terjadi kerusakan keseimbangan di hutan ini juga sudah terjamah tangan manusia. 

Jangan berfikir bahwa di Kampung Naga terdapat aliran listrik. Masyarakat adat kampung ini tidak menggunakan listrik seperti desa atau kampung lainnya di Jawa Barat. Menurut informan setempat yang bernama Bapak Ateng, dulu pernah pemerintah ingin memberikan pelayanan listrik untuk masyarakat setempat, namun ditolak dengan alasan bawa dengan adanya listrik dapat merusak tatanan social budaya mereka. Misalnya dengan adanya listrik otomatis masyarakat akan membeli barang-barang elektronik, dan barang elektronik merupakan suatu alat yang dapat memicu kesenjangan social diantara mereka. Begitu juga dengan gas dan segala macam kebutuhan modern, mereka tidak menggunakannya. Mereka takut jika modernisasi akan mengakibatkan kesenjangan dan perpecahan diantara masing-masing kepala keluarga. Selain itu juga, mereka tidak mengerti bagai mana cara menggunakan gas, mereka takut terjadi ledakan atau kebakaran yang dapat mengakibatkan sengasara bagi mereka. Sehingga mereka menggunakan kayu bakar  untuk memasak. Tetapi, jangan salah disana ada tv, namun masih hitam putih dan hanya dinyalakan setiap hari pukul 6-7 sore. Tv tersebut di letakan dibalai kampung, namun, acara yang ditonton harus berita. Hal ini dilakukan mereka untuk tetap mengikuti perkembangan yang ada di luar sana. Mereka juga menonton TV bersama-sama. Agama Islam, merupakan agama yang dianut seluruh masyarakat Kampung Naga. Mereka juga menjalani ibadah sholat 5 waktu sesuai dengan syariat agama Islam.

bentuk bangunan rumah masyarakat dan kolam ikan dipekarangan mereka
Bangunan rumah penduduk, masjid dan balai pertemuan dan lumbung padi semuanya hampir sama. Atapnya terbuat dari ijuk sebagai penutup bumbungan. Dinding rumah tebuat dari anyaman bilik bamboo. Pintu terbuat dari kayu. Rumahnya juga berbentuk panggung, sehingga aman dari bahaya gempa. 

bentuk bangunan rumah
Dan seluruh bangunan rumah diharuskan memiliki ukuran lahan yang sama dan setiap kepala keluarga harus membuat pintu yang saling berhadapan Hal ini dimaksudkan agar setiap kepala keluarga saling akur dan saling menyapa setiap keluar rumah, sehingga akan timbul kerukunan yang kuat diantara mereka. 

tempat menumbuk padi
Fasilitas mandi dan mencuci juga masih sangat sederhana. Bangunannya masih terbuat dari bamboo. Fasilitas MCK diletakkan diluar dari daerah pemukiman rumah warga. Hal ini dilakukan agar lingkungan rumah mereka tidak ada pencemaran karena kotoran. Selain itu bangunan WC berada diatas kolam ikan. Di Kampung Naga juga terdapat lumbung padi milik bersama. 

Mata pencarian utama mereka umumnya adalah berladang, bersawah dan berternak ikan. Meskipun ada beberapa diantara mereka yang keluar dari kampung tersebut untuk menempuh kehidupan diluar yang mereka anggap lebih baik. Setiap kolam ikan di kampung ini dimiliki oleh satu kepala keluarga, namun ada juga lahan sawah, kebun atau kolam ikan sebagai milik bersama. Hasil dari sawah, kebun atau ikan mereka bagi bersama ke seluruh warga yang ada. Hasilnya tidak bersifat komersil, karena mereka mengutamakan kehidupan intern terlebih dahulu. Namun, jika masih ada sisa dan persediaan untuk bulan selanjutnya masih ada mereka bisa menjualnya.

bijih kapol
Ikan hasil di kolam mereka, diolah sendiri, sehingga mereka tidak perlu membeli makanan lain diluar sana.  Jenis ikan yang mereka pelihara umumnya ikan mas, ikan nila dan ikan betok. Mereka juga sangat bersyukur dengan hasil alam yang ada disekita mereka. Hal ini dibuktikan dengan aturan mereka untuk selalu menjaga keseimbangan alam dengan kehidupan mereka. Mereka juga membuat pupuk kompos sendiri, dan mengolah gabah menjadi beras masih dengan alat tradisional. Selain itu mereka juga membuat bahan kayu putih dari bijih kapol, yang dipercaya untuk obat masuk angin.
kolam ikan

gabah yang sedang dijemur
Masyarakat Kampung Naga Juga berternak, yaitu ternak ayam. Mereka juga bersama-sama memelihara kambing, tetapi kambing tersebut tidak dibiarkan bebas berkeliaran, karena mereka menggangap kambing tersebut akan merusak perkebunan mereka. Kambing tersebut dipelihara besama-sama dan akan di kurbankan ketika lebaran Idul Adha tiba. Dan hasilnya juga dibagi rata keseluruh warga yang ada. Selain itu, masyarakat di Kampung Naga, membuat kerajinan yang dapat dijual ke wisatawan, sehingga mereka mendapatkan penghasilan tambahan. Kerajinan ini terkadang dibuat oleh anak-anak mereka seusai pulang sekolah. 

Orang Kampung Naga tidak memiliki ciri-ciri khusus, sehingga mereka tidak dapat dibedakan dengan masyarakat diluar Kampung Naga. Hal ini juga didasari atas selogan mereka yaitu untuk tidak menunjukkan diri ke orang lain. Masyarakat Kampung Naga memiliki kesenian khas yaitu terbang bungbung  (hampir menyerupai rebana) , terbang sajak, dan angklung. Alat music ini dimainkan hanya pada acara maulud atau malam takbiran. Sehingga mereka tidak akan menampilkan kesenian mereka kepada wisatawan yang datang  pada waktu diluar acara maulud dan malam takbiran. Alat music ini hanya dimainkan oleh pria. Wanita tidak diperbolehkan memainkan alat music ini. 

Untuk pendidikan mereka umumnya hanya mengikuti program wajib belajar 9 tahun. Bahkan ada beberapa yang tidak besekolah dan menyibukkan diri membantu orang tua mengolah lahan yang ada. Bangunan sekolah tidak terdapat di lahan Kampung Naga, sehingga anak-anak yang sekolah harus naik ke atas (naik melewati ratusan anak tangga).

Sayangnya, menurut informan setempat mereka tidak mengetahui sejarah asal usul kehidupan mereka, dikarenakan pada saat pemberontakan DI/TII memusnahkan asal-usul Kampung Naga, sehingga mereka saat ini tidak mengetahui sejarah lahirnya nenek moyang mereka. Untuk stratifikasi sosial mereka terdapat 3 tingkatan mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah. Yang pertama adalah Kuncen, yang berfungsi sebagai pemangku adat. Yang kedua, adalah Lebe, yang berfungsi mengatur segala hal dibidang keagamaan. Yang ketiga adalah Punduh, yang berfungsi mengayomi waga, dan melayani segala kebutuhan serta membantu menyelesaikan masalah yang ada.

Begitulah keunikan dan kearifan masyarakat local. Meskipun mereka mengalami dampak negative dan positif dengan adanya wisatawan dengan minat khusus mengunjungi kampung mereka. Dampak positifnya mereka mendapatkan bantuan seperti terjualnya hasil kerajinan mereka. Dampak negatifnya yaitu perubahan budaya pada anak wanita mereka, anak wanita mereka sekarang sudah memakai celana, yang mereka anggap itu tidak sesuai dengan kodrat seorang wanita. Karena celana hanya boleh dipakai oleh kaum pria. Mereka jug hidup jauh dari kesenjangan sosial, tidak ada yang kaya tidak ad yang miskin. Karena mereka menganggap semua manusia sama drajatnya dimata Tuhan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar