Selasa, 28 Juni 2011

UAS Istana Bima - Albert Suhermanto


ISTANA BIMA

Nama    : Albert Suhermanto
NIM      : 4423077207
UAS Sejarah dan Kebudayaan Indonesia

Sejarah Bima
Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Kerajaan Bima dahulu terpecah –pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu :
1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah
2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan
3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat
4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara
5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur.
Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut Profil Kabupaten Bima tahun 2008 2 kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu :
1. Darmawangsa
2. Sang Bima
3. Sang Arjuna
4. Sang Kula
5. Sang Dewa.

Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat, dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV.
Beberapa perubahan Pemerintahan yang semula berdasarkan Hadat ketika pemerintahan Raja Ma Wa’a Bilmana adalah :
- Istilah Tureli Nggampo diganti dengan istilah Raja Bicara.
- Tahta Kerajaan yang seharusnya diduduki oleh garis lurus keturunan raja sempat diduduki oleh yang bukan garis lurus keturunan raja.
Perubahan yang melanggar Hadat ini terjadi dengan diangkatnya adik kandung Raja Ma Wa’a Bilmana yaitu Manggampo Donggo yang menjabat Raja Bicara untuk menduduki tahta kerajaan. Pada saat pengukuhan Manggampo Donggo sebagai raja dilakukan dengan sumpah bahwa keturunannya tetap sebagai Raja sementara keturunan Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja Bicara. Kebijaksanaan ini dilakukan Raja Ma Wa’a Bilmana karena keadaan rakyat pada saat itu sangat memprihatinkan, kemiskinan merajalela, perampokan dimana-mana sehingga rakyat sangat menderita. Keadaan yang memprihatinkan ini hanya bisa di atasi oleh Raja Bicara. Akan tetapi karena berbagai kekacauan tersebut tidak mampu juga diatasi oleh Manggampo Donggo akhirnya tahta kerajaan kembali di ambil alih oleh Raja Ma Wa’a Bilmana. Kira-kira pada awal abad ke XVI Kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahir yang penobatannya tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Pada masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Goa yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya Agama Islam di Bima. Gelar Ncuhi diganti menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur Pemerintahan diganti berdasarkan Majelis Hadat yang terdiri atas unsur Hadat, unsur Sara dan Majelis Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan hukum Islam. Dalam penyelenggaraan pemerintahan ini Sultan dibantu Oleh : 1. Majelis Tureli ( Dewan Menteri ) yang terdiri dari Tureli Bolo, Woha, Belo, Sakuru, Parado dan Tureli Donggo yang dipimpin oleh Tureli Nggampo/ Raja Bicara. 2. Majelis Hadat yang dikepalai oleh Kepala Hadat yang bergelar Bumi Lumah Rasa NaE dibantu oleh Bumi Lumah Bolo. Majelis Hadat ini beranggotakan 12 orang dan merupakan wakil rakyat yang menggantikan hak Ncuhi untuk mengangkat/ melantik atau memberhentikan Sultan. 3. Majelis Agama dikepalai oleh seorang Qadhi ( Imam Kerajaan ) yang beranggotakan 4 orang Khotib Pusat yang dibantu oleh 17 orang Lebe Na’E.


Sejarah Singkat Istana Bima
Istana Bima (Asi Mbojo) adalah bangunan bergaya Eropa. Mulai dibangun pada tahun 1927. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek kelahiran Ambon, Rehatta, yang diundang ke Bima oleh penjajah Belanda. Ia dibantu oleh Bumi Jero. Istana yang kini telah beralih fungsi sebagai museum daerah itu adalah sebuah bangunan permanen berlantai dua yang merupakan paduan arsitek asli Bima dan Belanda. Istana tersebut resmi menjadi Istana Kesultanan Bima pada tahun 1929. Pembangunan istana dilakukan secara bergotong-royong oleh masyarakat, sedang sumber pembiayaan berasal dari anggaran belanja kesultanan dan uang pribadi sultan.
Asi Mbojo, bangunan paling indah dan megah pada masa kesultanan, memiliki halaman seluas 500 meter persegi yangditumbuhi pohon-pohon rindang dan taman bunga yang indah. Bangunan istana diapit oleh dua pintu gerbang timur dan barat yang senantiasa dijaga oleh anggota pasukan pengawal kesultanan.
Konsepsi tata letak bangunan istana tidak jauh berbeda dengan istana lain di tanah Air. Istana menghadap ke barat. Di depannya terdapat tanah lapang atau alun-alun namanya Serasuba.  Di sinilah raja tampil secara terbuka  di depan rakyat di saat-saat tertentu, misalnya saat diselenggarakan upacara-upacara penting atau perayaan hari besar keagamaan. Serasuba juga menjadi arena latihan pasukan kesultanan. Di sebelah alun-alun terdapat sebuah bangunan masjid, sebagai sarana kegiatan ritual keagamaan (Islam). Kini masjid itu bernama Masjid Sultan. Tanah lapang berbentuk segi empat (mendekati bujur sangkar). Satu sisi bersebelahan dengan bangunan masjid dan sisi yang lain menyatu dengan halaman istana. Jelaslah bahwa bangunan istana, alun-alun dan masjid merupakan satu kesatuan yang utuh.
Untuk memberi kesan sebagai bangunan monumental, istana bisa dipandang dari empat penjuru angin. Tampaknya pembangunan istana memperhatikan konsepsi filosofi sebuah istana yang di dalamnya mentyiratkan kesatuan unsur pemerintahan, agama dan rakyat (masyarakat). Namun, kini konsep filosofi itu telah sirna sejalan dengan dikapling-kaplingnya tanah di sekitar istana oleh segelintir orang untuk rumah dan kantor. Bukan saja istana menjadi kehilangan keanggunan dan kesan monumentalnya tapi konsep filosofinya menjadi berantakan. Masjid Raya Kesultanan, kini Menjadi Masjid Agung Bima, telah terpisah jauh dari Istana, seperti sudah keluar dari konteks. dari sini terbaca bahwa orang Bima mengalami krisis jati diri dan wawasan kebangsaan yang laten.
Bersamaan dengan berakhirnya masa kesultanan pada tahun 1952, maka berakhirlah peranan Asi Mbojo sebagai pusat pemerintahan, pusat pengembangan seni dan budaya, pusat penyiaran Islam dan pusat pengadilan hadat. Kini bangunan tersebut menjalani fungsi yang baru sebagai museum bagi barang-barang peninggalan raja-raja dan sultan-sultan Bima. Di kedua pintu gerbang tidak ada lagi anggota pasukan pengawal kesultanan. Alun-alun Serasuba telah beralih fungsi menjadi lapangan sepakbola. Halaman belakang Istana yang dulunya merupakan taman bunga yang indah, sejak tahun 1963 diperjual-belikan kepada masyarakat untuk pengembangan rumah-rumah pribadi. Ia seolah-olah harus sirna karena merupakan apa yang dikatakan — segelintir orang — sebagai lambang “feodalisme masa lalu”.

Keadaan istana betul-betul parah pada tahun 1966. Istana yang senantiasa bersih dan terawat dengan baik, berubah menjadi kotor dan beberapa bagian bangunan rusak dan runtuh. Bangunan termewah dikota Bima itu akhirnya merana. Istana kemudian beralih fungsi menjadi mess pegawai dan tentara. Usaha untuk mengembalikan keindahan istana dimulai tahun 1978. Pemerintah pusat melakukan pemugaran dan menjadikannya sebagai bangunan lama yang harus dilindungi dan dilestarikan.

lare-lare.jpg
Beberapa bangunan bersejarah bisa ditemukan di dalam lingkungan istana, yaitu pintu-pintu gerbang dan sebuah tiang bendera setinggi 50 meter. Pintu gerbang sebelah barat dan sebelah timur bernama Lare-lare merupakan pintu resmi kesultanan yaitu tempat masuknya sultan, para pejabat kesultanan dan tamu-tamu sultan. Lare-lare berbentuk masjid tiga tingkat. Tingkat atas (loteng merupakan tempat untuk menyimpan Tambur RasanaE dan dua buah lonceng. Tambur RasanaE dibunyikan sebagai tanda pemberitahuan adanya upacara kebesaran, sedangkan kedua lonceng dibunyikan untuk pemberitahuan tanda bahaya dan waktu.
Puncak musim panas di Bima biasanya berlangsung sampai November. Terkadang berkepanjangan hingga awal Desember. Dalam kurun waktu itu udara di siang hari menyengat. Kota Bima selain lewat udara, dapat juga dicapai lewat darat dari Poto Tano, Sumbawa dan jalur laut. Perjalanan dengan mobil dari lapangan terbang Sultan Muhammad Salahuddin hanya sekitar 20 menit menuju Kota Bima. Jarak antara lapangan terbang dan pusat kota sekitar 20 kilometer. Di barat ada pelabuhan laut, jaraknya sekitar satu kilometer dari pusat kota.

Tidak banyak pemandangan menarik di sepanjang perjalanan selama musim panas, kecuali alunan ombak pantai Teluk Bima. Selebihnya gunung-gunung yang diapit pantai dan bukit-bukit gundul. Beberapa kilometer sebelum memasuki kota, kita menjumpai pelabuhan dan depot minyak Pertamina dan tempat rekreasi, Pantai Lawata. Pantai tersebut panjangnya lebih kurang setengah kilometer yang dinaungi oleh bukit berbatu. Ada beberapa bangunan di atas bukit di dekat pantai. Pada hari-hari libur, tempat tersebut banyak didatangi masyarakat. Lawata ibarat sebuah gerbang “selamat datang”, memberi isyarat bahwa perjalanan akan segera memasuki Kota Bima. Di mulut kota terdapat sebuah terminal bus yang bernama Terminal Dara. Dinamakan demikian karena terletak di Desa Dara.
Juga tidak banyak hal menarik yang ditemui di dalam kota, kecuali sebuah bangunan kuno Istana Bima atau akrab dikenal dengan Asi Mbojo, bangunan berlantai dua hasil perpaduan arsitektur asli Bima dan Belanda. Istana ini menggantikan bangunan sebelumnya yang dibangun pada abad ke-19, yang bergaya Portugis. Ukurannya jauh lebih kecil dibanding istana sekarang. Kini bangunan Istana Bima menjadi museum dengan nama Museum Asi Mbojo.
Memandang Museum Asi Mbojo sekarang, kita seperti pergi ke masa lalu, ketika Kerajaan Bima berjaya. Bangunan yang pernah menjadi istana raja-raja Bima itu mampu bercerita banyak tentang masa lalu moyang orang Bima yang legendaris. Di sebelah timur areal istana berdiri Masjid Agung Bima. Dulu namanya Masjid Agung Al-Muwahidin. Sebelah barat adalah lapangan taman kota yang dulunya adalah lapangan sepak bola. Selebihnya adalah toko-toko, losmen-losmen dan pelabuhan laut. Kotoran kuda-kuda penarik “Benhur“, kendaraan tradisional Bima, bertebaran di jalan-jalan beraspal. Di musim panas kotoran itu menjadi debu yang menyapu kota.
Asi Mbojo di masa jayanya tidak sepi dari kegiatan sehari-hari kesultanan. Walaupun saat ini tersia-sia, pada masa lalu Asi Mbojo merupakan tempat sakral yang menjadi pusat pemerintahan, seni dan budaya, pusat penyiaran Islam dan Pengadilan Hadat.  Asi Mbojo didampingi Asi Bou, sebuah rumah panggung asli Bima, merupakan tempat kediaman resmi sultan dan keluarganya. Tapi kini mereka menyendiri dan kesepian. Istana atau Asi dalam Bahasa Bima dikenal oleh masyarakat Bima pada sekitar abad ke-11 Masehi.
Kalau di Jogjakarta disebut Kerathon karena disitu adalah tempat tinggal Ratu. Sedangkan di Bima bernama Asi. Asi secara Etimologi berarti Mengeluarkan dari dalam perut baik melalui mulut maupun alat kelamin. Secara Terminologi berarti Rumah  atau bagian yang berfungsi sebagai pusat Pemerintahan, Peradilan, Pengembangan Agama dan Budaya serta tempat tinggal Raja/Sultan beserta keluarganya. Dari dua tinjauan di atas jelas bahwa Asi adalah tempat untuk mengeluarkan keputusan-keputusan penting kerajaan dengan konsep filosofi Tohompa Ra Ndai Sura Dou Labo Dana(  Kepentingan Rakyat harus didahulukan daripada kepentingan pribadi atau golongan).

Menurut Sejarahwan M. Hilir Ismail, dalam perjalanan sejarah Bima terdapat 9 buah Asi yang didirikan sepanjang Sejarah. Dan Asi Pertama dibangun di sekitar bukit Parapimpi Kota Bima ( Stasion RRI Mataram Bima sekarang), kemudian ada juga Asi yang dibangun di sekitar Kampung Pane dan sekitarnya. Namun Asi yang monumental adalah Istana Bima yang sekarang beralih fungsi menjadi Museum Asi Mbojo di pusat kota Bima dan di kota Raba yaitu di Kantor DPRD Kota Bima di sebelah timur jalan Ishaka Abdullah Raba. Dua Asi tersebut dibangun pada tahun 1927 oleh Arsitek Ambon bernama Obzizter Rehatta pada masa Sultan Ibrahim.
Pembangunan Asi tersebut berlangsung selama 3 tahun dan Sultan Ibrahim sementara tinggal di Asi Bou (rumah Panggung) yang ada di sebelah timur Asi Mbojo sekarang. Asi yang ada pusat Kota Bima menjadi tempat tinggal Sultan Ibrahim bersama Istri mudanya dan pusat Pemerintahan Kesultanan Bima. Sedangkan Asi yang di Raba juga dibgunakan sebagai kantor Sultan dan tepat tinggal bersama Istri pertamanya.
Dalam perkembangan sejarah, Asi Mbojo pernah beberapa kali berubah fungsi terutama setelah meninggalnya Sultan Muhammad Salahuddin. Bangunan bersejarah ini pernah menjadi Gedung Daerah, Asrama Kompi, Kampus sunan Giri, Jadi tempat penampungan orang-orang PKI dan barulah pada tahun 1986, Bupati Bima saat itu H. Umar Harun, Bsc mengusulkan agar Asi Mbojo menjadi Museum. Perangkat dan peninggalan Kerajaan dan Kesultanan Bima juga pada masa sakitnya Sultan Muhammad Salahuddin dititipkan kepada Pemerintah Swapraja Bima yang saat itu dijabat oleh Abidin Ishaka. Hal itu dilakukan untuk mengamankan seluruh asset milik Kesultanan Bima. Namun pada perkembangan selanjutnya, koleksi itu sudah banyak yang hilang. Sampai saat ini hanya beberapa saja benda-benda pusaka itu yang dapat disaksikan  oleh generasi-generasi Dana Mbojo.
Arsitektur Istana Bima
Dari Serasuba ke arah timur pandangan langsung tertuju pada satu bangunan yang langsung bisa ditebak berupa museum, karena tertulis pada papan nama Museum Asi Mbojo Daerah Kabupaten Bima.
Museum Asi Mbojo, bangunan eksotis kuno bergaya arsitektur perpaduan asli Bima dan Eropa, tepatnya pengaruh Belanda, dahulunya merupakan kompleks Istana Kesultanan Bima.
Bangunan permanen berlantai dua ini telah berusia lebih dari 80 tahun. Dibangun selama 3 tahun (1927-1929), bangunan yang dirancang oleh arsitek yang bernama Re Hatta ini terdapat dua pintu gerbang utama dan memiliki halaman yang cukup luas, sekitar lebih dari 500 meter persegi. Bentuk bangunan persegi panjang dengan luas lantai sekitar 600 meter pesegi dan langsung menghadap ke Serasuba.
Di bagian kanan dari museum terdapat Masjid Sultan Muhammad Salahuddin Bima yang berumur lebih tua daripada museum yaitu 138 tahun (dibangun pada tahun 1872). Konsepsi tata letak bangunan istana, masjid dan alun-alun Serasuba tidak jauh berbeda dengan konsep tata letak istana lainnya di Indonesia. Alun-alun yang bersebelahan dengan masjid dan di sisi lainnya menyatu dengan halaman Istana Asi Mbojo mencerminkan bahwa masing-masing unsur membentuk satu kesatuan yang utuh antara pemerintahan (istana), religi (masjid) dan masyarakat (alun-alun).

Gerbang dan Halaman Museum Asi Mbojo
Kompleks Museum Asi Mbojo terdiri dari beberapa bagian utama dengan pembagian ruang terbuka dan tertutup yang seimbang. Ada 2 unit bangunan utama dengan 2 pintu gerbang utama kompleks museum yang sangat megah diatas lahan terbuka yang masih asri hingga saat ini. Dari Alun-alun Serasuba sudah terlihat pintu gerbang yang cukup besar untuk ukuran suatu pintu gerbang. Pintu gerbang tersebut merupakan Pintu gerbang barat disebut Lare-lare, dahulunya dipergunakan sebagai tempat masuknya sultan, pejabat kesultanan dan tamu kesultanan, berbentuk bangunan segi delapan dengan tiga tingkatan struktur.
Konstruksi bangunan masih menggunakan kayu dan atap seng berwarna merah marun. Pada tingkat atas merupakan tempat penyimpanan Tambur Rasanae, sebuah lonceng yang dibunyikan sebegai petanda akan dilaksanakan upacara kebesaran serta dua buah lonceng lainnya untuk pemberitahuan tanda bahaya dan waktu dijaman kesultanan dahulu. Pintu gerbang utama kompleks museum terdapat disebelah barat dan timur bangunan. Sementara itu pintu gerbang timur yang disebut Lawa Kala (Lawa Se) dahulunya dipergunakan untuk para ulama karena berdekatan dengan masjid. Saat ini untuk pengunjung museum hanya masuk melalui pintu gerbang bagian barat.
Memasuki areal Kompleks Museum Asi Mbojo, sekumpulan rusa telah menyambut dihamparan halaman luas bagian depan dan samping bangunan utama museum. Terdapat pula beberapa peninggalan meriam peninggalan kolonial Belanda yang mengarah ke bagian utara dan alun-alun Serasuba diselingi pohon palem yang menambah kesan eksotis bangunan.
Bangunan Utama Museum Asi Mbojo
Museum Asi Mbojo sebenarnya berbentuk persegi panjang dengan pintu masuk utama yang mengahadap ke barat. Bangunan terbagi menjadi 3 bagian dimana bagian utama (2 lantai) diapit oleh 2 bagian lainnya sebagai pintu masuk samping yang masing-masing menghadap ke utara dan selatan. Pada bagian depan Museum Asi Mbojo terdapat teras bergaya Eropa sebagai pintu masuk utama bangunan berukuran sekitar 30 meter persegi dan tinggi 90 cm dari permukaan halaman. Seluruh bagian teras menggunakan konstruksi beton dengan ornamen jendela kaca dibagian atas pilar.
Sebenarnya teras utama bangunan ini adalah 2 lantai dimana pada bagian atas berfungsi sebagai balkon dan dari balkon ini dapat melihat dengan jelas alun-alun Serasuba. Terdapat pula railing klasik dengan bercelah dibagian kanan dan kiri teras serta pada bagian balkon. Railing pada bagian teras berbeda dengan yang terdapat di selasar samping bagunan dimana pada bagian tersebut menggunakan motif batu kali yang masif.
Pada bangunan utama pada lantai dasar menggunakan konstruksi bangunan beton dengan bata merah dilapisi cat berwarna coklat muda. Sementara itu untuk lantai atas menggunakan bahan kayu mulai dari bagian dinding, lantai hingga langit-langit ruangan dan dihiasi dengan jendela kaca khas Eropa. Seluruh atap bangunan menggunakan bahan sirap dan material ini sudah digunakan sejak awal bangunan ini berdiri. Selain itu yang lebih menarik adalah terdapat sopi-sopi kayu berwarna hijau dan bertingkat untuk sirkulasi angin dan penanda kayu yang disilangkan pada tiap ujung atap sebagai simbol keagungan bangunan kesultanan.

Interior Museum Asi Mbojo
Ternyata bagian interior dari bangunan Museum Asi Mbojo masih terawatt sangat baik. Disetiap sudut ruangan masih terpajang barang-barang milik Kesultanan Bima mulia dari ranjang tidur, kain, lemari, foto para sultan dan lainnya. Perpaduan warna coklat, coklat muda, putih, hijau hingga merah memberikan kesan hangat disetiap ruangan.
Beberapa ruangan telah mengalami perubahan akibat dari pengaruh Kolonial. Seperti adanya washtafel, meja rias hingga ranjang dan lampu-lampu kamar. Sekat atau dinding pemisah antar ruangan terbuat dari lapisan papan kayu yang terbagi dalam bidang rata-rata berukuran 2 meter persegi. Banyaknya bukaan berupa jendela dan ventilasi menjadikan ruangan tidak terasa panas karena sirkulasi udara yang baik.
Bangunan Istana Asi Bou
Pada saat pembangunan kompleks istana ini dilakukan, Sultan dan anggota keluarganya berdiam di Istana Baru atau yang disebut Asi Bou. Istana yang hingga saat ini masih berdiri, berada persis di timur bangunan Asi Mbojo dan tidak banyak orang yang mengetahuinya karena terkesan tertutup dan lebih kecil daripada Asi Mbojo. Seluruh konstruksi bangunan menggunakan kayu dan bergaya rumah panggung khas Bima.
Ornamen khas Bima banyak mengambil unsur-unsur alam. Terlihat dari bentuk yang diambil lebih banyak ke bentuk tumbuhan seperti daun dan bunga. Warna hijau dan merah marun mendominasi warna ornamen yanga digunakan. Terlihat dari beberapa sudut bangunan yang memperlihatkan sisi keindahan dari bangunan monumental di Kota Bima.

Sejarah Masuknya Islam di Bima
Keadaan alam Bima memang sangat strategis bagi perkembangan politik agama dan perdagangan. Wilayah bagian  utara berbatasan langsung dengan laut flores , sebagai urat nadi perniagaan Nusantara sejak abad 14 M. Terletak di tengah rangkaian kepulauan nusantara dan memiliki pelabuhan alam yang terlindung dari serangan gelombang dan angin musim barat. Hasil alamnya cukup beragam dan menjadi bahan ekspor yang sangat laris pada zamannya. Inilah yang merupakan salah satu sebab bima bisa tampil sebagai negara maritim tersohor sejak abad 15 sampai pertengahan abad 20 M.

Sebagai negara maritim yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir dari berbagai penjuru negeri, seharusnya Bima lebih awal menerima pengaruh islam. Mengingat abad X M, saudagar-saudagar Islam Arab sudah banyak yang berkunjung ke Maluku (Ternate dan Tidore ) untuk membeli rempah-rempah. Tetapi dalam kenyataanya, berdasarkan berbagai sumber tertulis yang untuk sementara dapat dijadikan pegangan, masyarakat pesisir Bima baru mengenal islam sekitar pertengahan abad XVI M, yang dibawa oleh para Mubaliq dan pedagang dari kesultanan Demak, kemudian dilanjutkan oleh mubaliq dan pedagang kesultanan Ternate, pada akhir abad XVI M.
Menurut Sejarahwan M. Hilir Ismail, tahun 1540 M merupakan tonggak awal kedatangan Islam di tanah Bima. Proses islamisasi itu berlangsung dalam tiga tahap yaitu periode kedatangan Islam tahun 1540 – 1621, periode pertumbuhan islam tahun 1621-1640 M, dan periode kejayaan islam pada tahun 1640 – 1950 M. pada tahap awal sebelum Islam menjadi agama resmi kerajaan, ajaran Islam sudah masuk di wilayah-wilayah pesisir Bima.
Berdasarkan kajian dan penelitian itulah, ditetapkanl  dua tahap masuknya islam di tanah Bima. Hal itu didasarkan pada keterangan dari catatan lokal yang dimiliki,  ternyata tahap awal kedatangan Islam di Dana Mbojo, peranan Demak dan Ternate sangat besar. Para mubaliq dan pedagang dari dua negeri tersebut silih berganti menyiarkan Islam di Dana Mbojo. Selain itu para pedagang Bima pun memiliki andil dalam penyiaran Islam tahap awal. Secara kronologis kedatangan Islam di Bima yaitu tahap pertama dari Demak dan kedua dari Ternate.
Pada abad ke-16 M, Bima sudah menjadi salah satu pusat perdagangan yang ramai di wilayah bagian timur Nusantara. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 M, pada masa itu pelabuhan Bima ramai dikunjungi oleh para  pedagang Nusantara dan para pedagang Bima berlayar menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda dan Malaka serta singgah di setiap pelabuhan di Nusantara. Pada saat inilah kemungkinan para pedagang Demak datang ke Bima selain berdagang juga untuk menyiarkan agama Islam.
Keterangan Tome Pires juga diperkuat Panambo Lombok, DR. E Urtrech, SH mengatakan bahwa “ pengislaman di pulau Lombok terjadi pada masa pemerintahan sunan prapen putera Sunan Giri  yang pernah menundukkan Sumbawa dan Bima. “ Saya sepakat dengan M. Hilir bahwa kata “ Menundukkan “ dalam keterangan Panambo Lombok itu tidaklah tepat, karena proses islamisasi di tanah air secara umum tidak dilakukan dengan jalan kekerasan melainkan dengan misi damai, dakwah dan perdagangan serta perkawinan silang. Kata menundukkan itu sebenanrnya lebih mengarah pada kesadaran masyarakat untuk memeluk Islam.  Disamping itu, jika terjadi penundukkan berarti raja Bima saat itu sudah memeluk Islam dan diikuti oleh rakyatnya. Tapi pada kenyataannya Islam baru secara resmi menjadi agama kerajaan pada tahun  1640 M.
Tahap kedua, Islam masuk di Bima melalui Ternate. Dari catatan Raja-Raja Ternate, dapat diketahui betapa gigihnya sultan Ternate bersama rakyatnya, dalam menegakkan nur islam di wilayah timur nusantara. Pada masa sultan Khairun, sultan Ternate ketiga (1536-1570), telah dibentuk aliansi Aceh-Demak-Ternate. Dan juga telah dibentuk lembaga kerjasama Al Maru Lokatul  Molukiyah yang diperluas istilahnya menjadi Khalifah Imperium Nusantara. Aliansi ini dibentuk untuk meningkatkan kerja sama antara tiga negara islam itu dalam penyebaran pengaruh Islam di wilayah Nusantara.

Pada masa sultan Baabullah(tahun 1570-1583), usaha penyiaran  Islam semakin ditingkatkan dan pada masa inilah, para Mubaliq dan pedagang Ternate meningkatkan kegiatan dakwah di Bima.  Hal itu terus berlanjut sesuai keterangan BO Istana, bahwa para Mubaliq dari Sulawesi Selatan  yang dikirim oleh Sultan Alauddin Gowa tiba di Sape pada tanggal 11 Jumadil Awal 1028 H bertepatan dengan tanggal 16 April 1618, tiga belas tahun setelah Raja Gowa dan Tallo memeluk Agama Islam, bahkan lima belas tahun setelah Raja Luwu memeluk Agama Islam.
Para mubaliq dari Tallo, Luwu, dan Bone tiba di Bima pada saat  situasi politik dan keamanan sangat tidak menguntungkan. Pada saat itu sedang terjadi konflik politik yang berkepanjangan, akibat tindakan dari Salisi salah seorang putera Raja Ma Wa’a Ndapa, yang berambisi untuk menjadi raja. Intrik dan rekayasa politik dijalankan oleh Salisi.  Ia membunuh keponakannya yaitu putera Raja Samara yang telah dilantik menjadi Putera Mahkota. Keponakannya itu dibakar hidup-hidup di padang rumput Wera, yang merupakan areal perburuan bagi raja dan keluarga Istana. Sehingga putera Mahkota itu dikenal dengan nama Ruma Mambora Di Mpori Wera. (Tuanku yang wafat di padang rumput Wera).
Suasana seperti itu tidaklah menyurutkan tekad dan semangat para mubaliq untuk menyiarkan islam di Bima. Mereka terus berupaya untuk menemui Putera Mahkota La Ka’I dalam pelariannya di dusun Kamina. Sebuah dusun di hutan belantara yang berada di puncak gunung La Mbitu di sebelah tenggara Bima.
Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H bertepatan dengan tanggal 7 Pebruari 1621 M, Putera Mahkota La Ka’I bersama pengikutnya mengucapkan dua kalimat syahadat dihadapan para mubaliq sebagai gurunya di Sape. Sejak itu, putera mahkota La Ka’I berganti nama menjadi Abdul Kahir. Pengikut La Ka’I Bumi Jara Mbojo bernganti nama menjadi Awaluddin, Manuru Bata putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese berganti nama menjadi Sirajuddin.
Pada tanggal 5 Juli 1640 M, Putera Mahkota Abdul Kahir dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama setelah melewati perjuangan panjang merebut tahta kerajaan dari pamannya salisi. Hal itu  yang menandai beralihnya sistim pemerintahan dari kerajaan kepada kesultanan. Sejak saat itu, Islam bersinar terang di Bumi Bima dan masa –masa selanjutnya menjadi kesultanan tersohor di Nusantara Timur.
Koleksi Istana Bima atau Museum Asi Mbojo
Isi dari beberapa koleksi Museum Asi Mbojo antara lain Benda-benda Pusaka peninggalan Kerajaan dan kesultanan Bima, dan yang paling terpopuler dari Koleksi Museum  yaitu “Gunti Rante” sebuah parang yang sangat menakjubkan di ukir pada Zaman Majapahit dan Mahkota Sulthan yang terbuat dari Emas. Koleksi – koleksi Benda Pusaka, pengunjung Museum dapat melihatnya di ruangan Galeri Benda Pusaka di lantai satu, di lantai satu juga terdapat ruangan galeri benda-benda perkakas dan baju-baju peninggalan  masyarakat pada zaman kerajaan dan kesultanan, di lantai satu ini dulu merupakan kantor pusat pemerintahan Kabupaten Bima 1951 hingga 1960. Bangunan – bangunan  di lantai satu dan dua masih asli dan tidak pernah di Renovasi hingga sekarang.
dan bila pengunjung juga ingin melihat Kamar tempat menginapnya Bung Karno (Ir. Soekarno) pengunjung dapat melihatnya di lantai 2, di lantai 2 pengunjung juga bisa melihat kamar – kamar Sulthan,  putra Mahkota, dan kamar Putri. Ibu Nurhaini (45) Pegawai Museum yang bertugas untuk menemani para pengunjung untuk berkeliling kepada kami (Solud) bercerita “ bahwa dulu istana Asi yang pertama pernah di Bom pada masa peperangan sehingga di bangun Asi Kontu (istana belakang) untuk sementara, dan bangunan Museum saat ini adalah bangunan Asi yang kedua setelah yang pertama di bom” begitulah yang diceritakan oleh ibu Nurhaini.
Bila ingin berkunjung ke Museum Asi Mbojo pasti tidaklah sulit menemukannya, karena letaknya yang strategis pas di sebelah alun-alun Kota Bima, karcis untuk masukpun sangat murah untuk Dewasa atau Umum  hanya Rp. 2000, anak- anak Rp. 500, Turis Rp. 3000, dan Pelajar dan Mahasiswa Rp. 1000.
Menurut kepercayaan Masyarakat Bima bahwa Museum Asi Mbojo masih memiliki Aura mistisnya, banyak kejadian-kejadian aneh dan hal-hal gaib yang terjadi di Museum ini, karena Asi (Istana) masih dijaga oleh para leluhur. Karakter bangunan Museum Asi Mbojo dalam pandangan Masyarakat Bima pada umumnya sangat Religius, dulu merupakan tempat semua masyarakat belajar Islam pada zaman Kesultanan Bima.
Sumber :
Wordpress.com
bima-mbojo.blogspot.com
Kebangkitan Islam Di Dana Mbojo M. Hilir Ismail,  Upacara Adat Hanta UA PUA  Alan Malingi



Rabu, 15 Juni 2011

WAWANCARA KELOMPOK 1

Aditya Prabowo Raharjo 4423107027
Anggraeni Masrina          4423107046
Indri Yanti                      4423107038
Yuli Hadi                        4423107053 



PROFIL  NARASUMBER
Nama                       : Akhmad Ames
Pekerjaan                  : Budayawan
Umur                       : 75 Tahun


Q : Apakah kebudayaan itu? Apa yg dimaksud dengan kebudayaan?
A : Kebudayaan berasal dari kata budayah yang dapat diartikan sebagai hasil rasa, cipta, dan karsa manusia. Mengingat kebudayaan adalah tumpahan ekspresi hidup manusia maka budaya itu mesti dilestarikan keberadaannya dengan baik di tengah masyarakatnya. Kalau budaya adalah rasa, cipta, dan karsa manusia maka untuk hasil dari budaya itulah yang dinamakan dengan kebudayaan. Walau ada yang mengartikan lain bahwa kebudayaan adalah proses berfikir manusia yang menghasilkan berbagai ciptaannya dalam meningkatkan taraf hidup dirinya, tapi pada dasarnya kebudayaan adalah wujud Maha Karya tangan manusia.

Q : Apa yg menyebabkan perkembangan budaya indonesia ini menurun padahal banyak sekali peninggalan dari nenek moyang untuk tetap dilestarikan? dan apa contohnya?
A : Seperti yang kita ketahui, perkembangan budaya indonesia selalu saja naik dan turun. Pada awalnya, Indonesia sangat banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang kita terdahulu, hal seperti itulah yang harus dibanggakan oleh penduduk indonesia sendiri, tetapi sekarang-sekarang ini budaya indonesia agak menurun dari sosialisasi penduduk, kini telah banyak yang melupakan apa itu budaya Indonesia. Semakin majunya arus globalisasi rasa cinta terhadap budaya semakin berkurang, dan ini sangat berdampak tidak baik bagi masyarakat asli Indonesia. Terlalu banyaknya kehidupan asing yang masuk ke Indonesia, masyarakat kini telah berkembang menjadi masyarakat modern. Namun akhir-akhir ini Indonesia semakin gencar membudidayakan sebagian budaya indonesia, buktinya, masyarakat luar lebih mengenal budaya indonesia dibandingkan masyarakat indonesia.
Sebagai contoh adalah batik hasil dari budaya indonesia, batik tersebut belakangan ini termasuk bahan-bahan yang diminati oleh masyarakat luar. Muncul trend ini dikarenakan batik telah diresmikan bahwa batik tersebut telah ditetapkan oleh UNESCO pada hari jumat tanggal 02 oktober 2009 sebagai warisan budaya indonesia, dan hari itulah ditetapkannya sebagai hari batik nasional.


Q : Apa saja yang menjadi kekuatan dalam mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia?
A : Ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang memicu perubahan sosial, Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri, seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya secara langsung maupun persebaran kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka . Didalam budaya seni, Indonesia mempunyai kemajuan. Khususnya tarian tradisional telah mengalami kemajuan yang cukup baik dan telah meranjak ke internasional. Akan tetapi ada beberapa bagian dari budaya indonesia yang di klaim oleh negara lain. Berikut, data dari budaya yang di klaim oleh negara lain:
1. Lagu rasa sayange dari maluku oleh pemerintah malaysia
2. Tari reog ponorogo dari jawa timur oleh pemerintah malaysia
3. Alat musik gamelan dari jawa oleh pemerintah malaysia
4. Lagu kakak tua dari maluku oleh pemerintah malaysia
5. Lagu anak kambing saya dari nusa tenggara oleh pemerintah malaysia
6. Kopi toraja dari sulawesi selatan oleh perusahaan jepang
7. Musik indang sungai garinggiang dari sumatera barat oleh malaysia
8. Kain ulos oleh malaysia
9. Alat musik angklung oleh pemerintah malaysia
10. Lagu jali-jali oleh pemerintah malaysia
11. Tari pendet dari bali oleh pemerintah malaysia
Dari data tersebut, bisa dibuktikan bahwa masyarakat indonesia sendiri kurang memperhatikan bagian dari budaya indonesia. Dan diharapkan untuk masyarakat indonesia lebih memperhatikan bagian dari peninggalan budaya indonesia. Dan sekarang akan diupayakan oleh pemerintah agar mendidik anak-anak muda untuk perduli terhadap hal tersebut, dan lebih mengenalkan dari dini sikap akan pentingnya pengetahuan budaya indonesia.

Q : Tahap apa saja yang mempengaruhi perkembangan budaya itu sendiri menurut van peursen?
A : Melihat perkembangannya dari proses berfikir manusia nya ada tiga tahap yang mempengaruhi berkembang kebudayaan itu, Van Peursen dalam hal ini berpendapat bahwa ada tiga tahap bagi manusia untuk mendapatkan kebudayaannya itu. Dari tiga tahap yang dimaksud di antaranya adalah tahap Mitologis, Ontologis, dan Fungsional.
Pada tahap mitologis manusia berada dalam lingkungan yang penuh dengan dunia mistis. Yaitu suatu masa yang mempengaruhi sikap manusia bahwa ia merasa dirinya terkepung oleh hal-hal atau kekuatan ghoib yang ada di sekelilingnya. Biasanya kekuatan ghoib itu membentuk mitos-mitos yang dipercayainya sangat sakral, seperti adanya dewa-dewi atau bentuk benda yang lainnya yang ia anggap mempunyai tuah.
Supaya sesembahan mereka tidak marah atau murka terhadap mereka maka mereka akan memberi sesajen sebagai persembahan terhadap dewa-dewanya tersebut. Namun perlu diingat kalau mitologi-mitologi semacam ini hanya ada pada kehidupan masyarakat atau bangsa yang masih primitive.
Sementara itu pada tahap perkembangan yang bersifat Ontologis, mungkin kita akan mendapati sedikit dari hal-hal yang bersifat mitos itu. Yang kita dapati adalah suatu perubahan sikap manusia yang mempunyai keinginan besar untuk menyelidiki segala hal yang berhubungan dengan kondisi lingkungannya. Maka dari sini manusia tidak lagi merasa dirinya berada dalam kepungan dan kurungan zaman yang mengikat. Tetapi segala sesuatu mulai disusunnya berdasarkan hakekat terjadinya sesuatu dan segala hal yang mempunyai nilai dalam ilmu pengetahuan.
Kalau pada tahap yang terakhir yakni fungsional manusia mulai memperkenalkan diri ataupun mencari relasi dalam mempromosikan keahlian dirinya di tengah-tengah masyarakat. Pada tahap inilah akan kita jumpai suatu hubungan yang akan membentuk suatu interaksi sosial masyarakat.

Q : Secara garis besar kebudayaan Indonesia dapat kita klasifikasikan dalam dua kelompok besar. Yaitu Kebudayaan Indonesia Klasik dan Kebudayaan Indonesia Modern. Menurut anda bagaiamana argumen tentang kebudayaan indonesia yg modern tersebut?
A : Secara garis besar kebudayaan Indonesia dapat kita klasifikasikan dalam dua kelompok besar. Yaitu Kebudayaan Indonesia Klasik dan Kebudayaan Indonesia Modern. Kebudayaan Indonesia modern dimulai ketika bangsa Indonesia merdeka. Bentuk dari deklarasi ini menjadikan bangsa Indonesia tidak dalam kekangan dan tekanan. Dari sini bangsa Indonesia mampu menciptakan rasa dan karsa yang lebih sempurna.
Kebudayaan Indonesia yang multikultur seperti itu, ketika dikaji dari sisi dimensi waktu, dapat dibagi pula pengertiannya :
1. Pertama, kebudayaan (Indonesia) adalah kebudayaan yang sudah terbentuk. Definisi ini mengarah kepada pengertian bahwa kebudayaan Indonesia adalah keseluruhan pengetahuan yang tersosialisasi/internalisasi dari generasi-generasi sebelumnya, yang kemudian digunakan oleh umumnya masyarakat Indonesia sebagai pedoman hidup. Jika dilacak, kebudayaan ini terdokumentasi dalam artefak/atau teks. Melihat kebudayaan dari sisi ini, kita akan mudah terjebak kepada dua hal. Pertama, apa yang sudah ada itu diterima sebagai sesuatu yang sudah baik bahkan paripurna. Ungkapan seperti kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang adiluhung, merupakan contoh terbaiknya. Di sini, apa yang disebut kebudayaan adalah dokumen yang harus dijadikan pedoman kalau kita tidak ingin kehilangan ke-jawa-annya. Ungkapan: “ora Jawa” atau “durung Jawa” adalah ungkapan untuk menilai laku yang sudah bergeser dari text tersebut.
2. Kedua, kebudayaan (Indonesia) adalah kebudayaan yang sedang membentuk. Pada definisi kedua ini menjelaskan adanya kesadaran bahwa sebetulnya, tidak pernah ada masyarakat manapun di dunia ini yang tidak bersentuhan dengan kebudayaan dan peradaban lain, termasuk kebudayaan Indonesia atau kebudayaan Jawa. Hanya saja ada pertanyaan serius untuk memilih definisi kedua ini, yaitu bagaimana lalu kebudayaan kita berdiri tegak untuk mampu menyortir berbagai elemen kebudayaan asing yang cenderung capitalism yang notabene, dalam batas-batas tertentu, negative pada saat yang sama, kebudayaan global yang kapitalistik itu, telah masuk ke berbagai relung-relung kehidupan masyarakat “tanpa” bisa dicegah. Kalau begitu, pertanyaannya ialah: membatasi, menolak, atau mengambil alih nilai-nilai positif yang ditawarkan. Persoalan seperti ini dulu sudah pernah menjadi perdebatan para ahli kebudayaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Armen Pane dkk versus Sutan Takdir Alisyahbana dan sampai sekarang pun sikap kita tidak jelas juntrungnya.
3. Ketiga, adalah kebudayaan (Indonesia) adalah kebudayaan yang direncanakan untuk dibentuk. Ini adalah definisi yang futuristic, yang perlu hadir dan dihadirkan oleh warga bangsa yang menginginkan Indonesia ke depan harus lebih baik. Inilah yang seharusnya menjadi fokus kajian serius bagi pemerhati Indonesia,  khususnya para mahasiswa dan dosen-dosen ilmu budaya.

Q : bagaimana kondisi sosial budaya di Indonesia saat ini ?
A : Kondisi sosial budaya Indonesia saat ini ada beberapa faktor, yaitu:
1. Bahasa, sampai saat Indonesia masih konsisten dalam bahasa yaitu bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa-bahasa daerah merupakan kekayaan plural yang dimiliki bangsa Indonesia sejak jaman nenek moyang kita. Bahasa asing belum terlihat popular dalam penggunaan sehari-hari, paling pada saat seminar, atau kegiatan ceramah formal diselingi denga bahasa Inggris sekedar untuk menyampaikan kepada audien kalau penceramah mengerti akan bahasa Inggris.
2. Sistem teknologi, perkembangan yang sangat menyolok adalah teknologi informatika. Dengan perkembangan teknologi ini tidak ada lagi batas waktu dan negara pada saat ini, apapun kejadiannya di satu negara dapat langsung dilihat di negara lain melalui televisi, internet atau sarana lain dalam bidang informatika.
3. Sistem mata pencarian hidup/ekonomi. Kondisi pereko-nomian Indonesia saat ini masih dalam situasi krisis, yang diakibatkan oleh tidak kuatnya fundamental ekonomi pada era orde baru. Kemajuan perekonomian pada waktu itu hanya merupakan fatamorgana, karena adanya utang jangka pendek dari investor asing yang menopang perekonomian Indonesia.
4. Organisasi Sosial. Bermunculannya organisasi sosial yang berkedok pada agama (FPI, JI, MMI, Organisasi Aliran Islam/Mahdi), Etnis (FBR, Laskar Melayu) dan Ras.
5. Sistem Pengetahuan. Dengan adanya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) diharapkan perkembangan pengetahuan Indonesia akan terus berkembang sejalan dengan era globalisasi.
6. Religi. Munculnya aliran-aliran lain dari satu agama yang menurut pandangan umum bertentangan dengan agama aslinya. Misalnya : aliran Ahmadiyah, aliran yang berkembang di Sulawesi Tengah, NTB dan lain-lain.
7. Kesenian. Dominasi kesenian saat ini adalah seni suara dan seni akting. Seni tari yang dulu hampir setiap hari dapat kita saksikan sekarang sudah mulai pudar, apalagi seni yang berbau kedaerahan. Kejayaan kembali wayang kulit pada tahun 1995 – 1996 yang dapat kita nikmati setiap malam minggu, sekarang sudah tidak ada lagi. Seni lawak model Srimulat sudah tergeser dengan model Extravagansa. Untuk kesenian nampaknya paling dinamis perkembangannya.
8. Sedang menghadapi suatu pergeseran-pergeseranbudaya. Hal ini mungkin dapat difahami mengingat derasnya arus globalisasi yang membawa berbagai budaya baru serta ketidak mampuan kita dalam membendung serangan itu dan mempertahankan budaya dasar kita.

Q: apa dampak bagi masyrakat itu sendiri tentang kondisi sosial budaya saat ini sperti yang telah di sebutkan diatas? Positifkan atau negatifkah? Jelaskan?
A : dampak bagi masyarakat
Kebudayaan Indonesia adalah serangkaian gagasan dan pengetahuan yang telah diterima oleh masyarakat-masyarakat Indonesia itu sebagai pedoman bertingkahlaku dan menghasilkan produks-produk kebudayaan itu sendiri. Hanya persoalannya, ide-ide dan pengetahuan masyarakat-masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan-perubahan, baik karena factor internal maupun eksternal.
Berikut dampak kebudayaan Indonesia bagi masyarakat, antara lain:
Ø  Pengaruh Positif itu dapat berupa:
1. Peningkatan dalam bidang sistem teknologi, Ilmu Pengetahuan, dan ekonomi.
2. Terjadinya pergeseran struktur kekuasaan dari otokrasi menjadi oligarki.
3. Mempercepat terwujudnya pemerintahan yang demokratis dan masyarakat madani dalam skala global.
Ø  Pengaruh Negatif nya, yaitu:
1. Menimbulkan perubahan dalam gaya hidup, yang mengarah kepada masyarakat yang konsumtif komersial. Masyarakat akan minder apabila tidak menggunakan pakaian yang bermerk.
2. Terjadinya kesenjangan budaya. Dengan munculnya dua kecenderungan yang kontradiktif. Kelompok yang mempertahankan tradisi dan sejarah sebagai sesuatu yang sakral dan penting. Dan kelompok ke dua, yang melihat tradisi sebagai produk masa lalu yang hanya layak disimpan dalam etalase sejarah untuk dikenang.
3. Sebagai sarana kompetisi yang menghancurkan. Proses globalisasi tidak hanya memperlemah posisi negara melainka juga akan mengakibatkan kompetisi yang saling menghancurkan.
4. Malu menggunakan budaya asli Indonesia karena telah maraknya budaya asing yang berada di wilayah Indonesia.



konsep iklan

Aditya pramudito
Annas suryotoro

 konsep iklan untuk menjual obyek wisata pulau onrust

1.      Melalui flora dan fauna di pulau onrust
·         Mengambil gambar flora dan fauna yang ada di pulau onrust untuk di jadikan foto profil wisata pulau / diadakan perlombaan foto.
2.       letak geografis dan pemandangan pulau
·         Lebih menguntungkan dari pulau lain, bisa dijadikan tempat pemotretan.
·         Diadakan pemugaran supaya lebih menarik untuk diadakan perjalanan wisata
3.      Sejarah pulau
·         Lebih digali tentang sejarah pulau onrust, dan bisa di kemas sebagai wisata sejarah dan pendidikan
4.      Aktifitas di dalam pulau
·         Bisa digunakan kegiatan wisata olahraga, misal outbond dan bumi perkemahan
5.      Sekitar pulau onrust
·         Berhubung sekitar pantai tidak banyak terdapat karang kita bisa mempergunakan untuk perlombaan air. Misal perlombaan memancing, jetski dan perahu layar

Selasa, 14 Juni 2011

UAS KEBUDAYAAN DAN KESENIAN INDONESIA

NAMA : DANU GUHSRI BROTOSOMO
NIM     : 4423077213
UAS KEBUDAYAAN DAN KESENIAN INDONESIA
ISTANA SAORAJA BONE
UNIVERITAS NEGERI JAKARTA 


SEJARAH KABUPATEN BONE
MASIH bayi sudah menjadi raja negeri besar. Inilah yang terjadi pada diri Karempalua karena sudah menjadi ketetapan pamannya, Raja Bone II La Ummase’. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 – 1496) adalah Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’. Kedudukannya ini diterima dari pamannya sejak berusia satu malam (masih bayi). Kalau ada sesuatu yang akan diputuskan maka To Suwalle yang memangkunya menjadi juru bicaranya. Kemudian yang bertindak selaku Makkedangen Tana (Perdana Menteri) adalah To Sulewakka.
Ketika memasuki usia dewasa, barulah La Saliyu Karampelua mengunjungi orang tuanya di Palakka. Sesampainya di Palakka, kedua orang tuanya sangat gembira dan diberikanlah pusakanya yang menjadi miliknya, juga Pasar Palakka. Sejak itu orang Palakka tidak lagi berpasar di Palakka tapi pindah ke Bone. La Saliyu Karampelua dikenal sangat mencintai dan menghormati kedua orang tuanya. Ata’ alena (hamba sendirinya) dikeluarkan dari Saoraja (istana) dan ditempatkan di Panyula. Sementara hamba yang didapatkan setelah menjadi Arumpone di tempatkan di Limpenno. Orang Panyula dan orang Limpennolah yang mempersembahkan ikan. Dia pula yang menjadi pendayung perahunya dan pengusungnya jika Arumpone ini bepergian jauh.
La Saliyu Karampelua sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki sifat - sifat rajin, jujur, cerdas, adil dan bijaksana. Ia juga dikenal pemberani dan tidak pernah gentar menghadapi musuh. Konon sejak masih bayi tidak pernah terkejut bila mendengarkan suara - suara besar dan aneh. Arumpone ini dikawinkan orang tuanya dengan sepupunya yang bernama We Tenri Roppo, ana’ pattola (putri mahkota) Arung Paccing. Dari perkawinan itu lahirlah We Banrigau Daeng Marowa dan We Pattana Daeng Mabela MakkaleppiE Arung Majang. Oleh Arumpone Petta Karempalua, sebagian orang Bukaka dibawa ke Majang untuk menjadi rakyat MakkaleppiE yang kemudian mendirikan Sao LampeE ri Bone, yang diberinya nama Lawelareng. Sehingga digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng atau Puatta Lawelareng.
Raja Bone III ini melanjutkan kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar dan berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti : Pallengoreng, Sinri, Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale, Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung, Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate Riawang Ale.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah menguasai wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada masa itu), sehingga organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu La Saliu membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone. Pertama, Negeri – negeri yang memakai bendera Woromporongnge’ : Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang, Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing, Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa, Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung dan Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri Woromporongnge’ : Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi Kajao Arasong”.

 Sejarah mencatat bahwa Bone merupakan salah satu kerajaan besar di nusantara pada masa lalu. Kerajaan Bone yang dalam catatan sejarah didirikan oleh ManurungngE Rimatajang pada tahun 1330, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Latenritatta Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta Torisompae Matinroe ri Bontoala, pertengahan abad ke-17 (A. Sultan Kasim,2002). Kebesaran kerajaan Bone tersebut dapat memberi pelajaran dan hikmah yang memadai bagi masyarakat Bone saat ini dalam rangka menjawab dinamika pembangunan dan perubahan-perubahan sosial, perubahan ekonomi, pergeseran budaya serta dalam menghadapi kecenderungan yang bersifat global. Belajar dan mengambil hikmah dari sejarah kerajaan Bone pada masa lalu minimal terdapat tiga hal yang bersifat mendasar untuk diaktualisasikan dan dihidupkan kembali karena memiliki persesuaian dengan kebutuhan masyarakat Bone dalam upaya menata kehidupan kearah yang lebih baik.Ketiga hal yang dimaksud adalah :Pertama, pelajaran dan hikmah dalam bidang politik dan tata pemerintahan. Dalam hubungannya dengan bidang ini, sistem kerajaan Bone pada masa lalu sangat menjunjung tinggi kedaulatan rakyat atau dalam terminology politik modern dikenal dengan istilah demokrasi. Ini dibuktikan dengan penerapan representasi kepentingan rakyat melalui lembaga perwakilan mereka di dalam dewan adat yang disebut "ade pitue", yaitu tujuh orang pejabat adat yang bertindak sebagai penasehat raja. Segala sesuatu yang terjadi dalam kerajaan dimusyawarahkan oleh ade pitue dan hasil keputusan musyawarah disampaikan kepada raja untuk dilaksanakan.Selain itu di dalam penyelanggaraan pemerintahan sangat mengedepankan azas kemanusiaan dan musyawarah. Prinsip ini berasal dari pesan Kajaolaliddong seorang cerdik cendikia Bone yang hidup pada tahun 1507-1586 yang pernah disampaikan kepada Raja Bone seperti yang dikemukakan oleh Wiwiek P . Yoesoep (1982 : 10) bahwa terdapat empat faktor yang membesarkan kerajaan yaitu:

1. Seuwani, Temmatinroi matanna Arung MangkauE mitai munrinna gauE (Mata Raja tak terpejam memikirkan akibat segala perbuatan).
2. Maduanna, Maccapi Arung MangkauE duppai ada' (Raja harus pintar menjawab kata-kata).
3. Matellunna, Maccapi Arung MangkauE mpinru ada' (Raja harus pintar membuat kata-kata atau jawaban).
4. Maeppa'na, Tettakalupai surona mpawa ada tongeng (Duta tidak lupa menyampaikan kata-kata yang benar).

Pesan Kajaolaliddong ini antara lain dapat diinterpretasikan ke dalam pemaknaan yang mendalam bagi seorang raja betapa pentingnya perasaan, pikiran dan kehendak rakyat dipahami dan disikapi.Kedua, yang menjadi pelajaran dan hikmah dari sejarah Bone terletak pada pandangan yang meletakkan kerjasama dengan daerah lain, dan pendekatan diplomasi sebagai bagian penting dari usaha membangun negeri agar menjadi lebih baik.Urgensi terhadap pandangan seperti itu tampak jelas ketika kita menelusuri puncak-puncak kejayaan Bone dimasa lalu.


Kirab Kerajaan Bone

Dan sebagai bentuk monumental dari pandangan ini di kenal dalam sejarah akan perjanjian dan ikrar bersama kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng yang melahirkan TELLUM POCCOE atau dengan sebutan lain "LaMumpatue Ri Timurung" yang dimaksudkan sebagai upaya memperkuat posisi kerajaan dalam menghadapi tantangan dari luar.Kemudian pelajaran dan hikmah yang ketiga dapat dipetik dari sejarah kerajaan Bone adalah warisan budaya kaya dengan pesan. Pesan kemanusiaan yang mencerminkan kecerdasan manusia Bone pada masa lalu.Banyak refrensi yang bisa dipetik dari sari pati ajaran Islam dalam menghadapi kehidupan, dalam menjawab tantangan pembangunan dan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang semakin cepat. Namun yang terpenting adalah bahwa semangat religiusitas orang Bone dapat menjawab perkembangan zaman dengan segala bentuk perubahan dan dinamikanya. Demikian halnya (kabupaten Bone) potensi yang besar yang dimiliki, yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan demi kemakmuran rakyat. Potensi itu cukup beragam seperti dalam bidang pertanian, perkebunan, kelautan, pariwisata dan potensi lainnya. Demikian masyarakatnya dengan berbagai latar belakang pengalaman dan pendidikan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendorong pelaksanaan pembangunan Bone itu sendiri. Walaupun Bone memiliki warisan sejarah dan budaya yang cukup memadai, potensi sumber daya alam serta dukungan SDM, namun patut digaris bawahi jika saat ini dan untuk perkembangan ke depan Bone akan berhadapan dengan berbagai perubahan dan tantangan pembangunan yang cukup berat. Oleh karena itu diperlukan pemikiran, gagasan dan perencanaan yang tepat dalam mengorganisir warisan sejarah, kekayaan budaya, dan potensi yang dimiliki ke dalam suatu pengelolaan pemerintahan dan pembangunan.

a. Letak WilayahKabupaten Bone sebagai salah satu daerah yang berada dipesisir Timur Sulawesi Selatan memiliki posisi strategis dalam perdagangan barang dan jasa di Kawasan Timur Indonesia, yang secara administratif terdiri dari 27 Kecamatan, 333 Desa dan 39 Kelurahan, yang letaknya 174 km kearah timur Kota Makassar, berada pada posisi 4° 13’- 506’ Lintang Selatan dan antara 119° 42’-120° 30’ Bujur Timur.b. LuasLuas wilayah Kabupaten Bone 4.559 km2 dengan rincian lahan sebagai berikut :- Persawahan : 88.449 Ha - Tegalan/Ladang : 120.524 Ha - Tambak/Empang : 11.148 Ha - Perkebunan Negara/Swasta : 43.052,97 Ha - Rutan : 145.073 Ha - Padang rumput dan lainnya : 10.503,48 Hac. Batas Wilayah- Sebelah Utara berbatasan Kabupaten Wajo, Soppeng- Sebelah Selatan berbatasan Kabupaten Sinjai,Gowa - Sebelah Timur berbatasan Teluk Bone - Sebelah Barat berbatasan Kabupaten Maros, Pangkep, Barrud. DemografiJumlah penduduk 655.091 jiwa terdiri dari : pria 308.433 jiwa dan wanita 346.658 jiwa dengan kepadatan rata-rata 140 jiwa/km2e. IklimWialayah Kabupaten Bone termasuk daerah beriklim sedang. Kelembaban udara berkisar antara 95% -99% dengan tempratur berkisar 260C – 340%. Pada periode April – September, bertiup angin timur yang membawa hujan. Sebaliknya pada bulan Oktober-Maret bertiup Angin Barat, saat dimana mengalami musim kemarau di Kabupaten Bone.
Selain kedua wilayah yang terkait dengan iklim tersebut, terdapat juga wilayah peralihan, yaitu: Kecamatan Bontocani dan kecamatan Libureng yang sebagian mengikuti wilayah barat dan sebagian lagi wilayah timur. Rata-rata curah hujan tahunan diwilayah Bone bervariasi, yaitu: rata-rata < 1.750 mm; 1750 – 2000 mm; 2000 – 2500 mm dan 2500 – 3000 mm.
Pada wilayah Kabupatan Bone terdapat juga pengunungan dan pembuktian yangdari celah-celah terdapat aliran sungai. Disekitanya terdapat lembah yang cukup dalam. Kondisi sebagai yang berair pada musim hujan kurang lebih 90 buah. Namun pada musim kemarau sebagian mengalami kekeringan, kecuali sungai yang cukup besar, seperti sungai walenae, Cenrana, Palakka, Jaling, Bulu-bulu, Salomekko, Tobunne dan Sebagai Lekoballo.

Upacara Adat


Tudang Ade
1. Nama                       : Upacara Tudang Ade (duduk secara Adat)
2. Tempat pelaksanaan : 108 (seratus delapan) orang
3. Waktu pelaksanaan   : 108 (seratus delapan) orang
4. Maksud diadakannya upacara :
  a.
Memusyawarahkan hal-hal penting yang menyangkut pemerintahan atau permasalahan yang dihadapi oleh kerajaan untuk mencapai kesepakatan dan mufakat. Hal ini menunjukkkan bahwa dalam pemerintahannya Raja Bone tidak bersifat otoriter melainkan Demokrasi, karena Raja senantiasa melibatkan seluruh Dewan Kerajaan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut Kerajaan dan kepentingan Rakyat. Selain itu upacara ini juga menunjukkan bahwa Raja Bone adalah seorang Raja yang murah hati dan ramah terhadap bawahannya dengan menjamu mereka makanan ringan khas kerajaan serta perlu untuk diterima secara adat.
  b.
Apabila Kerajaan kedatangan tamu resmi dari kerajaan lain dan dianggap perlu untuk diterima secara adat.
5. Unsur pelaksanaan Upacara sebanyak 110 orang
6. Rangkaian Upacara sebagai berikut :
  a.
Tomarilaleng, Makedang Tana, Ponggawa, Anreguru, Anakarung dan Ade Pitu mengambil tempat yang sudah ditentukan.
  b.
Arung Palili datang dan mengambil tempat yang sudah ditentukan.
  c.
Para isteri Ade Pitu dan isteri Bangsawan lain melakukan hal tersebut di atas.
  d.
Para Joa juga melakukan hal yang sama.
  e.
Raja dan Permaisuri memasuki ruang pertemuan dan duduk pada tempat yang telah disiapkan.
  f.
Acara Mappaota, seluruh hadirin disuguhi sirih dan nampak oleh beberapa orang pria untuk tamu pria dan wanita bagi tamu wanita.
  g.
Arungpone mulai bersabda kemudian terjadi dialog dengan para anggota Dewan Kerajaan dan Para Bangsawan, membicarakan hal penting dalam kerajaan serta mencari jalan pemecahannya melalui musyawarah.
  h.
Setelah pembicaraan selesai, dihidangkan minuman dan makanan kecil o1eh parakka' (pe1ayan) sesuai adat dan tata cara kerajaan.
  i.
Arungpone meninggalkan ruang pertemuan diikuti seluruh peserta ”tudang ade”. 
 
 
 
Tari Pajaga Andi
1. Nama : Tari Pajaga Andi
2. Tema :
 
Tari ini menggambarkan penobatan para putra dan putri Bangsawan Bugis Bone kepada Arungpone (Raja) pada zaman Kerajaan dan dipertunjukkan di dalam Saoraja (Istana Raja Bone)
3. Jenis gerakan :
  a.
Makkasiwiang (Gerakan penobatan)
  b.
Akkalabbirang (Penghargaan kepada Raja)
  c.
Soro Passapu (Adat istiadat Bangsawan)
  d.
Mappasoro Ajangang (Mengakhiri Tarian)
  e.
Massimang (Mohon Diri)
4. Kostum dan perhiasan :
  a.
Baju Tokko (Baju Bodo)
  b.
Sarung
  c.
Perhiasan :
    - Bangkara (Anting-anting)
    - Rante (Kalung)
    - Potto (Gelang)
    - Mastura (Kalung kecil)
    - Saloko (Hiasan Rambut)
5. Alat Peraga :
  a. Kipas
  b. Selendang
6. Alat Musik :
  a. Gendang
  b. Gong
  c. Parappasa
  d. Kancing
  e. Bancing  
ArrajangE
 
 
Selempang Emas Raja

Keris dan Kalewang
 
Tombak & Senjata Adat
 

DAFTAR RAJA-RAJA BONE

  1. MANURUNGNGE RIMATAJANG MATASILOMPOE (1330 - 1365)
  2. LA UMMASA PETTA PANRE BESSIE (1365 - 1368)
  3. LA SALIU KERANG PELUA (1368 - 1470)
  4. WE BENRIGAU MALLAJANGNGE RI CINA (1470 - 1510)
  5. LA TENRI SUKKI MAPPAJUNGE (1510 - 1535)
  6. LA ULIO BOTOE MATINROE RI ITTERUNG (1535 - 1560)
  7. LA TENRI RAWE BONGKANGE MATINROE RI GUCINNA (1560 - 1564)
  8. LA ICCA MATINROE RI ADDENENNA (1564 - 1565)
  9. LA PATTAWE MATINROE RI BETTUNG (1565 - 1602)
  10. LA TENRI TUPPU MATINROE RI SIDENRENG (1602 - 1611)
  11. LA TENRI RUWA SULTAN ADAM MATINROE RI BANTAENG (1611 - 1616)
  12. LA TENRI PALE MATINROE RI RI TALLO (1616 - 1631)
  13. LA MADDAREMMENG MATINROE RI BUKAKA (1631 - 1644)
  14. LA TENRI WAJI ARUNG AWANG MATINROE RI SIANG ( PANGKEP) (1644 - 1645)
  15. LA TENRI TATTA DAENG SERANG MALAMPEE GEMMENA ARUNG PALAKKA (1645 - 1696)
  16. LA PATAU MATANNA TIKKA MATINROE RI NAGAULENG (1696 - 1714)
  17. BATARI TOJA SULTAN SAINAB SAKIYATUDDING (1714 - 1715)
  18. LA PADASSAJATI TO APPAWARE SULTAN SULAEMAN PETTA RI JALLOE (1715 - 1718)
  19. LA PAREPPA TO SAPPEWALI SULTAN ISMAIL MATINROE RI SOMBA OPU (1718 - 1721)
  20. LA PANAONGI TO PAWAWOI ARUNG MAMPU KARAENG BISEI (1721 - 1724)
  21. BATARI TOJA DATU TALAGA ARUNG TIMURUNG (1724 - 1749)
  22. LA TEMMASSONGE TO APPAWALI SULTAN ABDUL RAZAK MATINROE RI MALIMONGENG (1749 - 1775)
  23. LA TENRI TAPPU SULTAN ACHMAD SALEH MATINROE RI ROMPEGADING (1775 - 1812)
  24. TO APPATUNRU SULTAN ISMAIL MUHTAJUDDIN MATINROE RI LALENG BATA (1812 - 1823)
  25. I MANI RATU ARUNG DATA SULTAN RAJITUDDIN MATINROE RI KESSI (1823 - 1835)
  26. LA MAPPASELING SULTAN ADAM NAJAMUDDIN MATINROE RI SALASSANA (1835 - 1845)
  27. LA PARENRENGI SULTAN AKHMAD MUHIDDIN ARUNG PUGI MATINROE RI AJANG BENTENG (1845 - 1857)
  28. WE TENRI WARU SULTANAH UMMULHUDA PANCAITANAH, BESSE KAJUARA PELAINGI PASEMPE (1857 - 1860)
  29. ACHMAD SINGKERUKKA SULTAN ACHMAD IDRIS MATINROE RI PACCING (1860 - 1871)
  30. FATIMA BANRI DATU CITTA MATINROE RI BOLAMPARENA (1871 - 1895)
  31. LAWAWOWOI KARAENG SIGERI MATINROE RI BANDUNG (1895 - 1905)
  32. LAMAPPANYUKKI SULTAN IBRAHIM MATINROE RI GOWA (1931 - 1946)