Kamis, 09 Juni 2011

UAS KKI "KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT" by : Andini Binayuda Ekawati (4423107020)


KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
Oleh : Andini Binayuda Ekawati (4423107020)
 
I.                   ARSITEKTUR KERATON
Keraton yang berlokasi di hutan Garjitawati desa Beringin dan Pacetokan atau yang sekarang lebih dikenal dengan Jalan Alun-alun Utara, Kadipaten Yogyakarta ini memiliki luas bangunan mencapai 14.000 m2 dan 7 bagian, untuk 7 bagian itu sendiri memiliki makna dalam filosofis agama Hindu bahwa 7 adalah angka yang sempurna serta menutuk kosmologi Jawa bahwa di dunia memiliki 3 lapisan, lapisan teratas adalah tempat tinggal para dewa, lapisan tengah adalah tempat tinggal manusia serta lapisan bawah yang merupakan tempat persemayaman roh-roh kejahatan, masing-masing dari tingkatan itu memiliki lapisan lagi yang total keseluruhannya berjumlah 7. Ketujuh bagian ruangan itu diantaranya adalah Alun-alun Utara sampai Siti Hingil Utara, Keben atan Kemandungan Utara, Srimanganti, Pusat Keraton, Kemagangan, Kemagangan Kidul, serta Alun-alun Selatan sampai Siti Hingil Selatan. Untuk arsitektur dari keraton ini apabila dilihat dari keseluruhan keraton berbentuk satu pola tatanan yang konsentris dalam tatanan ini kedudukan titik pusat sangat dominan untuk penyeimbang dari tatanan yang lain. Keberadaan pusat ini di wujudkan dalam bentuk Bangsal/Purbayeksa atau Prabuyasa yang berfungsi sebagai pusat kedudukan dan tempat tingal sang raja.  Bangsal ini dikelilingi oleh ke tujuh bagian seperti yang dijabarkan diatas. Keraton ini juga dilengkapi dengan 5 lapisan yang masing-masing berfilosofis diantaranya adalah Lapisan Pertama pada lapisan pertama ini terdapat dua alun-alun yaitu alun-alun utara serta alun-alun selatan, di alun-alun utara terdapat masjid, pakapalan, dan pagelaran yang membentuk sebuah Catur Gatara. Lalu alun-alun selatan yang terdapat sebuah kandang gajah.  Salah satu ciri utama dari arsitektur keraton ini adalah adanya pohon beringin yang bernama “Wok” yang berarti gadis, dan ditengah alun-alun terdapat dua pohon beringin yang bernama “Supit Urang” yang berarti khitan. Kedua pohon ini ditutupi oleh sebuah dinding yang bermakna bahwa ada salah satu bagian tubuh manusia yang harus ditutupi. Alun-alun ini dibatasi oleh pohon Pakel dan Kuweni (sejenis pohon mangga) Pakel sendiri memiliki arti “akhil-baligh” serta Kuweni yang memiliki arti “berani”. Beranjak ke Lapisan Kedua disini terdapat Siti Hingil Utara dan Siti Hingil Selatan, Siti berarti “tanah” sedangkan Hingil berarti “Tinggi” secara harfiah SIti Hingil memiliki arti “Tanah Tinggi” mengapa disebut dengan tanah tinggi karena di Siti Hingil inilah terdapat posisi kedudukan tertinggi melebihi bangsal-bangsal lainnya. Siti Hingil dikelilingi jalan yang bernama “Pamengkang” yang melambangkan dua kaki manusia.  Lapisan Ketiga lapisan ketiga ini adalah Kemandungan yaitu sebuah temoat menuju tempat utama Kemandungan sendiri berari sebuah “Kandungan” pada dinding sebelah kanan dan kiri terdapat pintu yang berfilosofi dapat memnerikan dampak negatif terhadap seorang anak.  Bagian halaman di hiasi pohon Jambu, Cengkirgading, Palem, dan Kepel. Lapisan Keempat merupakan Pelataran Srimanganti tempat sultan menerima tamu baik formal maupun non formal.  Sedangkan Lapisan Kelima adalah Pusat Konsentrik disinilah pelataran kedhaton yang paling dalem dan keramat. Pusat kedhaton ini mempresentasikan gunung keramat temoat bersemayamnya para dewa. Prabayeksa dan Bangsal Kencana merupakan tempat sultan menerima tamu sekelas presiden atau gubernur. Di komplek inilah tempat sultan tinggal atau yang lebih dikenal dengan Gedong jene’ terletak di sebelah utara kedhaton. Arsitek kepala dari istana ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono I yang merupakan raja pertama pendiri Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Bangunan pokok dan desain tata ruang keraton mengikuti landscape kota Yogyakarta jaman kuno diselesaikan sekitar tahun 1755-1756 kemudian bangunan-bangunan lain ditambahkan oleh sultan-sultan selanjutnya, untuk pemugaran dan restorasi dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubowono VIII. Secara umum tiap kompleks ditutupi oleh pasir dari Pantai Selatan, kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang disebut dengan Regol yang bergaya Semar Tinandu. Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya di sekat oleh dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Bangunan-bangunan keraton biasanya terlihat bergaya seperti JawaTradisional di beberapa bagian tertentu terdapat sedikit unsur Portugis dan Belanda bahkan China. Bangunan di setiap kompleks biasayan berkonstruksi joglo. Konstruksi joglo yang terbuka tanpa dinding disebut Bangsal sedangkan yang berdinding disebut Gedhog. Selain itu ada bangunan ber kanopi bamboo yang disebut Tratag.  Permukaan atap joglo biasanya bernentuk trapezium terbuat dati sirap atua tanah liat berwarna merah atau kelabu. Tiang penyangga dari joglo bernama Soko Guru, biasanya tiang-tiang ini berwarna hijau dengan sedikit warna emas atau merah sebagai penghias di tiang. Untuk batu alias warna tiang biasanya berwarna hitam atau keemasan atau disebut dengan Ompak. Untuk bagian bangunan yang lainnya biasanya berwarna senada seperti Manguntur Tangkil yang memiliki ornament Putri Mirong yang merupakan stilasi dari kalografi berbentuk Allah dan Muhammad dan Alif Lam Ra ditengah tiangnya. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri. Untuk itulah mengapa arsitektur keraton Yogya ini sarat akan mithologi dan filosofis jawa yang dicampurkan dengan sedikin aksen tata cara bangunan ala Hindu dan juga sarat akan filosofis agama Islam didalamnya. Dengan warna hijau dan emas yang sangat menjadi ciri khas dari keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sementara untuk arsitektur kompleks Masjid Raya Kasultanan yang terletak di alun-alun utara atau Masjid Gede Yogyakarta atau yang biaa disebut Masjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk berbentuk ”tajug” persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, ”mihrab” (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut ”maksura”. Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah. Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid.
Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan ”’Pagongan”’. Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati ”Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga” dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati ”KK Guntur Madu”. Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya yang digunakan dalam upacara ”Jejak Boto”Jejak Boto secara harfiah bermakna menendang batu bata. pada upacara Sekaten di tahun Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi ”Kangjeng Kyai Pengulu”semacam Menteri Agama/Imam Agung/Mufti Kerajaan. di sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.

I.                   SEJARAH KERATON
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I beberapa bulan pasca perjanjian Giyanti yang terjadi pada 29 Rabiulakhir 1680 atau 13 Februari pada 1755 ada hari Kamis Kliwon. Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan Kabanaran menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering disebut dengan Palihan Nagari . Palihan Nagari inilah yang menjadi titik awal keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itulah Susuhunan Kabanaran kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. Setelah Perjanjian Giyanti ini, Sri Sultan Hamengku Buwana mesanggrah di Ambarketawang sambil menunggui pembangunan fisik kraton. Lokasi keraton sendiri merupakan bekas tempat pesanggrahan yang bernama hutan Garjitawati pesanggrahan ini digunakan untuk iring-iringan para layon (jenazah) dari kerajaan Mataram (Kartasura-Surakarta) yang akan di makamkan di Imogiri, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa lokasi keraton ini dahulunya adalah sebuah sumber mata air Pacethokan yang berada di tengah hutan Beringan. Entah mengapa Sri Sultan memilih pendirian keraton ditengah hutan, padahal seharusnya sebelum seorang raja mendirikan sebuah pusat pemerintahan hendaknya meneliti dahulu tentang letak strategis, unsur tanah, dan posisi tempat namun ia memilih hutan bermata air untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Sebuah legenda trekenal menceritakan bahwa pada zaman dahulu terdapat seorang Pakatik atau tukang sabit yang kehausan ketika ia sedang mencari minum ia bertemu dengan segerombolan Burung Kuntul yang bertebangan ke arah suatu tempat, sang Pakatik mengikuti arah burung itu terbang karena berharap bertemu dengan mata air atau sumber air, betul saja ketika ia sampai di suatu hutan ia menemui sumber air yang bermata air sangat jernih. Ketika ia sedang meminum terkagetlah dia bertemu dengan seekor naga besar yang mengaku bernama Kyai Jaga dia adalah seorang Mbaureksa (Penjaga keselamatan hutan) dia memerintahkan kepada sang Pakatik untuk menyampaikan ke Sultan bahwa apabila ingin membuat sebuah keraton atau pusat pemerintahan hendaknya menggunakan hutan itu karena hutan Beringanlah yang terbaik, dengan tergesa-gesa sang Pakatik menemui Sri Sultan yang saat itu masih tinggal di Pesanggrahan Purapara yang letaknya di sebelah barat hutan Beringan. Maka dari itu keesokannya Sri Sultan segera membabat hutan Beringan dan membangun keraton sebagai kepala arsiteknya adalah ia sendiri. Konon katanya setelah dibangun keraton terdapat tugu di sebelah utara dimana tugu tersebut adalah tempat bersemayam Kyai Jaga. Didalam beberapa sumber sejarah juga menyebitkan bahwa dalam pengukuran keraton Sri Sultan sendiri lah yang mengukurya menggunakan jengkal. Untuk pembangunan keraton beserta kota Ngayogyakarta ini diperlukan waktu selama kurang lebih satu tahun. Pembangunan keraton selesai tepat pada hari Kamis Pahing tepat tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan 7 Oktober 1756. Saat itulah Sri Sultan beserta keluarga Boyongan atau berpindah tempat dari Pesanggrahan Ambarketawan ke Keraton Ngayogyakarta hadiningrat. Peristiwa perpindahan ini ditandai dengan upacara Candra Sengkala Memet Dwi Naga Rasa Tunggal berupa dua ekor naga yang ekornya saling melilit dan diukir diatas sebuah Banon/Renteng Kelir. Momentum ini juga yang dijadikan sebagai hari jadi kota Yogyakarta. Karena mulai saat itulah pembangunan kota mulai dibangun bertahap, seperti pusat pemerintahan, perekonomian, dan budaya dan semuanya mulai beraktifitas pada zaman itu.  Sementara untuk sejarah dari salah satu kompleks yang ramai dikunjungi di keraton ini, yaitu Taman Sari da dalam berbagia versi, salah satu versi nya adalah sebagai berikut, etiap kabupaten harus menyampaikan pajak daerah. Pajak tersebut diserahkan 2 kali dalam setahun yaitu setiap bulan Ramadhan dan bulan Rabiulawal. Ketentuan pajak ini kini tersimpan dalam catatan di Kraton Yogyakarta dan Surakarta.
Dilain pihak, Raden Rangga Prawirasentika yang menjabat sebagai bupati Madiun tidak sanggup untuk membayar pajak 2 kali setahun. Kemudian Sri Sultan menggantinya dengan memerintahkan untuk membuat gamelan sekaten, tandu, dan tamansari. Perintah tersebut disanggupi oleh bupati Madiun tersebut. Gamelan sekaten dan tandu diselesaikan dengan baik, kecuali tamansari. Raden Rangga Prawirasentika merasa pembuatan tamansari lebih berat daripada pajak. Sri Sultan kemudian meneruskan pembangunan tamansari dengan memerintahkan KPH Natakusuma. Sejarah Masjid Gedhe Kauman yang berada di salah sau kompleks keraton juga perlu diperhatikan sejarahnya
Masjid Gedhe Jogjakarta adalah masjid tertua yang dibangun oleh Kerajaan Islam Ngayogyokarto Hadiningrat atau Kasultanan Jogjakarta. Masjid Gedhe dibangun setelah Sri Sultan Hamengku Buwana I selesai membangun kraton baru, sebagai pusat pemerintahan baru hasil dari perundingan Giyanti (13-Februari- 1755 ). Perundinganm Giyanti merupakan penyelesaian akhir konflik internal Kerajaan Mataram akibat intervensi Belanda, sehingga Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, yaitu Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat.Sri Sultan Hamengku Buwana I sebelum jadi raja, ia seorang muslim yang taat mengerjakan sholat, puasa wajib dan puasa senin-kamis. Selain itu, ia juga pemberani dalam ber-amarmakruf-nahi mungkar membersihkan kemaksiatan, menegakkan keadilan dan kebenaran, serta melawan penjajahan. Ketika perang gerilya melawan Belanda, ia mumbuat pos-pos strategis untuk pasukannya dilengkapi dengan Mushola. Oleh karena itu, maka ketika Sri Sultan Hamengku Buwana I jadi raja, maka di samping membangun keraton ia pun juga mengutamakan membangun masjid jamik, sebagai sarana ibadah raja bersama rakyatnya. Dengan demikian, maka pada tahun 1773 M, Sri Sultan Hamengkubuwono I berhasil membangun masjid yang diberi nama awal dengan Masjid Gedhe, kemudian masjid itu dikenal pula dengan nama Masjid Agung, dan Masjid Besar, pada akhir ini ditetapkan sebagai Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun letak Masjid Gedhe di sebelah barat laut Kraton Yogyakarta, juga di barat Alun-alun Jogjakarta.
Dalam rangka memakmurkan Masjid Gedhe, kepengurusannya dipegang oleh Penghulu Kraton, dibantu oleh Ketib, Modin, Merbot, dan Abdi Dalem Pamethakan serta Abdi Dalem Kaji Selusinan dan Abdi Dalem Barjamangah. Mereka itu sebagian ditempatkan di lingkungan sekitar Masjid Gedhe, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kampung bernama Pakauman ( tempat para Kaum = Qoimmuddin = Penegak Agama ). Dengan demikian Masjid Gedhe menjadi makmur, sebagai pusat berjama’ah dan juga menjadi pusat pengkajian serta pengadilan agama Islam di Yogyakarta.

III.          KOLEKSI SEJARAH YANG DIMILIKI KERATON YOGYAKARTA
Warisan budaya maupun benda-benda bersejarah peninggalan keraton Yogya mulai dari tahap pembangunan sampai benda-pusaka serta kereta kencana masih tersimpan dengan cukup apik di kompleks ruangan tertentu. Tentunya para abdi dalem lah yang merawat serta menjaga benda-benda tersebut. Sekarang ini pada jam dan waktu yang ditentukan oleh pihak keraton, keraton Yogya dibuka untuk umum namun hanya di salah satu kompleks yang dijadikan sebagai museum. Beberapa warisan yang tersimpan juga termasuk dengan adta budaya dari keraton yang sampai sekarang masih dilestarikan, itu sebabnya mengapa keraton Yogya ini memiliki filosofi dan mitologi yang sangat tinggi. Upacara yang masih dilestarikan sebagai koleksi sejarah yang paling popular adalah Upacara Tumplek Wajik, Gerebegan, dan Penucian benda pusaka serta Upacara Labuhan. Upacara yang sudah rutin dilaksanakan sejak zaman kerajaan dan sekarang menjadi satu ikon dari kota Yogyakarta. Dan harus dilindungi dari klaim pihak asing. Upacara Tumplak Wajik sendiri adalah upacara penumplakan wajik (sejenis makanan yang tebuat dari ketan) acara ini merupakan acara awal dari Gerebegan, wajik ditumpahkan sebagai alas gunungan dalam upacara Gerebegan. Dalam acara ini dihadiri oleh para pendiri dan sesepuh keraton serta disajikan beberapa sesajian khas. Selain itu acara juga berlangsung selama dua hari dan diiringi oleh music angklung dan music kenthongan sejenis alat penumbuk padi sebagai music pengiring dari acara ini. Sedangkan Gerebeg sendiri adalah upacara menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW. Dilaksanakan pada tanggal 12 bulan Maulud. Ciri khas dari upacar ini adalah adanya gunumnan yang berisi makanan, sayuran serta buah buhan segar sebagai bentuk syukur masyarakat Yogyakarta terhadap seluruh hasil bumi, gunungan ini di arak keliling kota Yogyakarta dan diperebutkan oleh masyarakat. Karena mereka beranggapan bahwa dengan mendapat makanan dari gunungan itu akan mendapat berkah. Gunungan ini terdiri dari berbagai lapisan seperti Gunungan Kakung, Gunungan Pawohan, dan Gunungan Kutug/Bromo. Tidak hanya itu salah satu koleksi budaya yang dimiliki keraton yaitu Sekaten, sekaten dilaksanakan selama 7 hari berturut-turut. Upacara ini ditandai dengan keluarnya Gamelan Sekati KK Guntur Madu dan KK Ngawilaga. Sedangkan Upacara Siraman Pusaka adalah upacara yang dilaksanakan setiap bulan Sura pada kalender Jawa.acara dilakukan dengan memandikan pausaka-pusaka atau biasanya berupa keris peninggalan zaman kerajaan yang masih disimpan sampai sekarang. Di sekitar  kompleks keraton terdapat satu museum yang menyimoan sekitar 18 kereta kuda milik keraton, beberapa kuda simpanan kerajaan sejak zaman pemerintahan terdahulu hingga pemerintahan sultan sekarang. Ada beberapa kereta yang masih digunakan untuk beberapa uoacara-upacara adat yang diselenggarakan oleh keraton misalnya dalam acara Siraman Pusaka. Karena kereta-kereta tersebut dianggao juga swbagai pusaka, maka kereta-keretka koleksi ini masing-masing diberi nama, pemberian nama pada kereta ini juga mengikuti pemberian nama terhadap keris-keris pusaka.  Diantara nama-nama kereta koleksi keraton adalah sebagai berikut Nyai Jimat, Kyai Garudayaksa, Kyai Jaladara, Kyai Ratapralaya, Kyai Jetayu, Kyai Wimanaputra, Kyai Jongwiyat, Kyai Harsunaba, Bedaya Permili, Kyai Manik Retno, Kyai Kuthakaharjo, Kyai Kapolitin, Kyai Kus Gading, Landower, Landower Surabaya, Landower Wisman, Kyai Puspoko Manik dan Kyai Mondrojuwolo. Kereta Nyai Jimat dan Kyai Garudayaksa merupakankereta yang paling keramat, sehingga air bekas cucian kereta diperebutkan oleh warga. Kereta-kereta Kraton Yogyakarta ini berdasarkan bentuknya dibedakan ke dalam 3 macam kelompok yaitu Kereta terbuka beroda dua misalnya Kapolitin, Kereta terbuka beroda empat misalnya Kyai Jongwiyat, Landower, Landower Wisman, Landower Surabaya, Kyai Manik Retno, Kyai Jetayu, Bedoyo Permili dan Kereta tertutup beroda empat misalnya Nyai Jimat, Kyai Garudayaksa, Kyai Wimanaputra, Kyai Harsunaba, Kyai Kuthakaharjo, Kyai Puspoko Manik, Kyai Kus Gading. Selain kereta, beberapa pusaka juga di museumkan di dalam keraton salah satu pusaka yang di perlihatkan adalah Regaila, yaitu pusaka emas yang digunakan saat serah terima jabatan sultan. Disini juga terdapat senjata-senjata laras panjang, senjata, aneka keris-keris simpanan keraton yang sering di pamerkan dalam setiap event pameran, biasanya berjumlah 170 keris. Selain itu di alah satu kompleks keraton terdapat pula Taman Sari, Tamansari merupakan salah satu warisan budaya Keraton Kasultanan Yogyakarta yang masih berdiri kokoh. Tamansari dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I tahun 1758. Sampi saat ini Tamansari telah mengalami beberapa kali renovasi sehingga terlihat lebih indah dengan tidak menghilangkan nilai historis dan estetika aslinya. Letak Tamansari tidak jauh dari Keraton Yogyakarta yaitu hanya sekitar 300 meter disebelah barat keraton.
Objek utama dari Tamansari ini adalah kolam air yang dikelilingi benteng setinggi 6 meter seiring fungsinya pada masa pembangunanya yaitu sebagai kolam pemandian para istri- istri Sri Sultan Hamengkububunwono I. Konon pada masa itu Tamansari digunakan Sultan untuk melihat para istrinyanya ketika sedang mandi. Untuk itu disana ada tempat seperti menara yang dibuat tinggi sebagai tempat untuk mengamati para istrinya yang sedang mandi tersebut. Untuk cerita lengkap mengenai sejarah Tamansari ini di tempat wisata budaya tersebut juga banyak tersedia para pemandu yang akan memberikan segala informasi tentang Tamansari serta mengantarkan wisatawan menuju semua bagian dari kompleks tersebut. Selain itu ada pula beberapa koleksi pakaian khas keraton Yogya yang biaa digunakan sebagai pakaian kerajaan atau oakaian pengantin Yogya. Pakaian adat pengantin Kraton Yogyakarta di kemukakan secara lengkap, dari penantun Pengantin Wanita hingga selapan. Adapun pembahasan mengenai pakaian adat pengantin wanita, majang tarub, siraman, lenggahan midodareni, ijab, bertemunya pengantin, lenggahan ageng, jangan menir, sepekan, dan selapanan.Karya budaya ini bermanfaat sebagai bahan inventarisasi dan pendokumentasi kakayaan budaya bangsa. Melalui karya budaya ini juga sebagai media informasi sehingga bisa di ketahui masyarakat luas, dan dapat mengambil manfaat dari pesan moral yang terkandung di dalamnya.Beberapa contoh diantaranya adalah Pakaian Pengantin Paes AgengPakaian pengantin Keraton Yogyakarta atau biasa dikenal dengan istilah Paes Ageng merupakan salah satu warisan budaya kraton Yogyakarta. Busana ini digunakan pada saat upacara Panggih yang pada umumnya dilanjutkan dengan acara resepsi. Busana pengantin khas Jogja ini bercirikan lembaran dodot kampuh, cinde dan kain batik khas Jogjakarta.Pengantin wanita mengenakan dodot atau kampuh odot atau kampuh dengan perhiasan, paes hitam dengan prada, rambut sanggul bokor dengan gajah ngolig. Beberapa perhiasan seperti Klat Bahu Naga, Gelang Bumbungan, serat kalung susun tiga dikenakan sehingga menimbulkan kesan gemerlap. Perhiasan lain yang biasa  dikenakan oleh pengantin wanita adalah sepansang cincin, bros pada uket cinde, pending, serta mengenakan alas kaki atau slop yang berbahan beludru dan bersulam benang emas.Mempelai pria mengenakan kuluk atau penutup kepala, ukel ngore  yg dilengkapi sisir dan cundhuk mentul kecil. Pengantin pria juga mengenakan dodot atau kampuh, cinde dan kain batik. Mempelai pria mengenakan  keris yang dihias dengan untaian bunga dikenakan di bagian belakang.Berbagai hiasan yang terbuat dari rangkaian bunga terutama melati dikenakan baik oleh mempelai laki-laki maupun perempuan. Ada juga Sumur Gumiling dan Masjid bawah tanah keraton jaman kejayaan keraton, yaitu Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa bangunan yang bernama Sumur Gumuling dulunya adalah sebuah masjid bawah tanah yang digunakan pada jaman kejayaan Kraton Jogja. Untuk menuju ke Sumur Gumuling kita harus melalui gerbang Sumur Gumuling. Gerbang Sumur Gumuling dulu ada dua buah, yaitu gerbang barat dan gerbang timur. Sebenarnya gerbang-gerbang ini adalah bagian ujung dari urung-urung yang menuju ke Sumur Gumuling. Gerbang barat sekarang hanya tinggal sisa-sisanya saja demikian juga urung-urungnya telah runtuh sehingga tak mungkin dilewati, sedang gerbang timur masih dalam kondisi yang cukup baik dan urung-urungnya pun masih bisa untuk dilewati. Seain itu di Keraton Yogya juga banyak terdapat naskah kuno, naskah-naskah kuno yang masih tersimpan disebut Kawruh, Piwulang, atau Pitutuh Luhur. Naskah-naskah ini adalah peninggalan para leluhur yang masih tersimpan rapih, naskah-naskah ini biasanya menceritakan tentang Babad, Serat, Sastra Pewayangan, Sastra Suluk dan sejenisnya.  Babad adalah cerita yang berisi sejarah kerajaan atau suatu wilayah, Serat adalah berisi tentang ajaran-ajaran atau piwulang atau kisah dalam dunia pewayangan, khususnya kisah Mahabarata dan Ramayana, Sastra Pweayangan adalah karya astra atau cerita dari dunia pewayangan dari suatu daerah, dan Suluk berisi ajaran mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, ajaran moral, dan lain-lain. Sementara untuk naskah dengan  bentuk metrum macapat juga muncul dalam karya sastra sejarah seperti Babad Giyanti, Babad Pakepung, Babad Prayut dan sebagainya. Pada jaman itu muncul karya futuristik yang digubah barangkali kita dapat bercermin diri akan keberadaan kita sekarang. Tatkala Pangeran Mangkubumi bergerilya di kawasan Kedu dan Kebanaran pernah berujar secara bersahaja, yang dikutip dalam Babad Giyanti: "Satuhune Sri Narapati Mangunahnya Brangti Wijayanti." Ucapan itu menunjukkan keprihatinan beliau, bahwa kultur Barat sebagai akses gencarnya politik kolonialisme Belanda yang mencekik, akan membuat raja-raja Jawa terkena demam asmara dan lemah-lunglai tanpa daya. Ada pula sebuah koleksi yang tidak terlalu diketahui oleh umum yaitu Kumbang ali-ali yang berbentuk cincin, pusaka Keraton Kasultanan Yogyakarta. Pusaka ini memang kurang diketahui masyarakat umum. Bentuknya sederhana tetapi punya nilai historis tinggi. Sebab cincin ini pernah digunakan Pangeran Mangkubumi ketika masih muda untuk menempa diri. Bersama pendhereknya, beliau mesu raga dan olah kebatinan di sepanjang Kali Pepe, Surakarta. Sesungguhnya latihannya sederhana, cincin dilepas dan dilemparkan ke dalam sungai. Kemudian Pangeran Mangkubumi menyelam mencari cincin tersebut sampai mendapatkannya kembali.

IV.              PERANAN SULTAN DEWASA INI
Peranan sultan dewasa ini khususnya di Yogyakarta tentu sangat memiliki peran penting, ini dikarenakan raja atau sultan Yogya yang dikenal sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono ini selain sebagai raja juga menjabat sebagai gubernur atau kepala pemerintahan daerah khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mungkin sama saja pada zaman-saman sebelumnya, para sultan selain menjadi raja turut serta memegan kendali pemerintahan di kerajaan dan wilayah kerajaannya. Namun untuk Sri Sultan Hamengkubuwono X yang menjabat dari tahun1946-sekarang bentuk kepemimpinannya sangat modern, selain sebagai kepala kerajaan, ia juga menjabat sedabagi ketua umum Kandida Yogyakarta, bahkan ia turut serta dalam kancah politik Indonesia dengan menjadi ketua umum DPP Golkar untuk wilayah Yogyakarta, ia huga menjadi ketua KONI Yogyakarta serta direktur utama dari PT. Punakawan yang bergerak dalam bidang konstruksi sdan menjadi presiden komisaris PG Madukismo an sekarang diangkat menjabat sebagai ketua Team ahli gubernur Yogyakarta pada tahun 2010. Bahkan pada pemilu tahun 2009 kemarin ia mencalonkan diri sebagai presiden RI. Sri Sultan Hamengkubuwono X atau yang bernama asli Bendara Raden Mas Herjuno Darpito ini adalah anak tertua dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan istri keduanya yaitu KRA Widyaningrum. Ia menikah dengan GKR Hemas atau Tatiek Drajad Suprihastuti pada tahun 1968 dan memiliki lima orang puteri. Ia  mulai dinobatkan sebagai sultan pada 7 Maret 1989 dengan gelar Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa. Dan mulai menjabat sebagai gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1998 meneruskan Paku alam VIII dalam masa jabatannya selama 1998-2003 ia tidak memiliki wakil gubernur, barulah pada perode jabatan selanjutnya dimulai tahun 2003 ia mulai menggunakan wakil gubernur yaitu Paku Alam IX. Dalam penobatannya menjadi sultan ia meneruskan Sri Sultan Hamengkubuwono IX atau dengan nama asli Bendoro Raden Mas Dorodjatun di Ngasem yang meninggal pada tahun 1988 di Washington DC. Ia juga berperan dalam peristiwa serangan umum satu maret dan pernah menjabat sebagai wakil presiden RI pada tahun 1973-1978 dan juga dikenal sebagai bapak pramuka. Dewasa ini peranan sultan khususnya dalam ruang lingkup Yogyakarta sudah sangat berkembang, sultan dapat fleksibel menjabat dalam kancah pemerintahan nasional dan dapat bergabunag dengan organisasi-organisasi yang berbau sosial ataupun politik. Bahkan istri dari sultan un juga dapat bergabung dalam organisasi-organisasi sosial ataupun kewanitaan. Memang pada dasarnya peranan sultan dari zaman terdahulu hingga saat ini tidak terlalu jauh berbeda hanya saja yang membedakan adalah kondisi zaman dahulu dengan sekarang, mungkinzaman kepemimpinan sultan terdahulu hanya sebagai kepala kerajaan yang memerintah dan memegang penuh kekuasaan kerjaan dibantu para pembantu-pembantu istana, namun konsep kepemimpinan sultan di era sekarang sangat meluas, seperti yang sudah dipaparkan di atas seorang sultan dapat leluasa dan fleksibel dalam bergabung bahkan memiliki jabatan lebih dari satu selain jabatannya sebagai sultan. Tentunya kemodernan ini tidak lantas melunturkan tradisi yang ada yang sudah dipegang kuat oleh sebuah kerajaan atau keraton dalam hal upacara budaya yang bisaa rutin dilakukan dikeraton. Tentu peranan sultan sangat besar sebagai pemimpin keraton karena khususnya dalam tata cara kepemimpinan keraton ini menggunakan silsilah keluarga atau kepemimpinan yang turun temurun, jadi sultan yang memimpin pada masing-masing masanya tentu mempunyai warisan dan memegang sebuah kepercayaan dari pendahulunya sehinga ia tetap konsisten sebagai kepala keraton, misalnya dengan tetap melestarikan dan melaksanakan segala bentuk upacara adat yang memang sudah menjadi tradisi turun temurun. Tidak hanya upacara yang diperuntukan untuk khalayak ramai, namun juga tradisi-tradisi yang mungkin bersifat pribadi dalam lingkup kekeluargaan keraton. Sang sultan pun juga harus menerapkan ini kepada putera-puteri mereka, karena merekalah penerus tahta kerajaan seperi para pendahulu mereka. Inilah nama-nama sultan yang telah memimpin Daerah Istimewa Yogyakarta dari masa ke masa ; Sri Sultan hamengkubuwono I “Raden Mas Sanjaya” (1755-1792), Sri Sultan Hamengkubuwono II “Raden Mas Sundoro” (1826-1828), Sri Sultan Hamengkubuwono III “Raden Mas Sujoro” (1810-1811 dan 1812-1814), Sri Sultan Hamengkubuwono IV “Raden Mas Ibnu Jarot” (1814-1823), Sri Sultan Hamengkubuwono V “Raden Mas Gathot Menol” (1823-1826), Sri Sultan Hamengkubuwono VI “Raden Mas Sutojo” (1855-1877), Sri Sultan Hamengkubuwono VII “Raden Mas Murtejo” (1877-1920), Sri Sultan Hamengkubuwono VIII “Raden Mas Sujadi” (1921-1939), Sri Sultan Hamengkubuwono IX “Raden Mas Dorojatun Di Ngasem” (1920-1988), dan yang periode saat ini Sri Sultan Hamengkubuwono X “Raden Mas Herjuno Darpito” (1989-sekarang). Merka semua menjalankan tugas pemerintahan memimpin Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat serta Daerah Istimewa Yogyakarta secara turun temurun, meneruskan masa jabatan ayah mereka yang sudah wafat atau mengambil alih kepemimpinan kakak mereka yang telah wafat. Jadi proses penobatan terhadap raja baru dilaksanakan apabila raja yang berkuasa telah meninggal dan diteruskan oleh putera-puteri mereka atau saudara laki-laki mereka. Inilah dasar mengapa kebudayaan serta tradisi di Yogyakarta tetap utuh sampai sekarang, karena para pemimpinnya memegang mandat pemerintahan atas azas kekeluargaan, mereka bertanggung jawab memimpin dan memegang amanah dari para leluhur mereka.
Source by :
·         “Keraton Yogyakarta” www.keratonyogya.indo.net.id
·         “Sejarah Keraton Yogya/History Of Keraton Yogya” Buku karangan SABDACARAKATAMA
·         Chandra Ryan Khrsna blog
·         www.jogjatrip.com
·         id.wikipedia.org
·         www.kaskus.com
·         www.yogyess.com
·         www.kaskus.com
·         kratonJogja.com
·         Cagar Budaya, website Dinas Pariwisata Yogyakarta www.pariwisatajogja.go.id


1 komentar:

  1. Assalamualaikum wr.wb,saya WIWI ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada eyang guntur atas bantuan eyang. kini impian saya selama ini sudah jadi kenyataan dan berkat bantuan eyang guntur pula yang telah memberikan angka ritual kepada saya yaitu 4D dan alhamdulillah berhasil..sekali lagi makasih yaa eyang karna waktu itu saya cuma bermodalkan uang cuma 100rb dan akhirnya saya menang. Berkat angka GAIB hasil ritual eyang guntur saya sudah bisa melanjutkan kulia saya lagi dan kini kehidupan keluarga saya jauh lebih baik dari sebelumnya,bagi anda yg ingin seperti saya silahkan HUB eyang di nomor hpnya: 0823-3744-3355 atau dan ramalan eyang guntur memang memiliki ramalan GHOIB” yang dijamin 100% tembus.

    BalasHapus