Kamis, 09 Juni 2011

indri yanti 4423107038


Indri Yanti
4423107038
Keraton Banten
Sebelum mengenal keraton banten kita harus memahami tentang keraton. Keraton (bahasa jawa) adalah tempat seorang pengusaha dalam memerintah atau pun tempat tinggalnya. Dalam bahasa Jawa, kata kraton (ke-ratu-an) berasal dari kata dasar ratu yang berarti penguasa. Masyarakat keraton pada umumnya memiliki gelar bangsawan.
Kita mengenal Kesultanan Banten merupakan salah satu Kerajaan besar yang pernah ada. Sebagai daerah sekaligus sebuah bangsa, Banten telah lama dikenal dalam peta masyarakat dunia. Berbagai sumber asing menyebutkan Banten (saat itu dikenal dengan Bantam) sebagai satu dari beberapa daerah yang menjadi rute pelayaran mereka, mulai dari sumber Cina yang berjudul Shung Peng Hsiang Sung (1430), hingga berita Tome Pires (1512). Pun dalam berbagai sumber pustaka nusantara, Banten dikenal dengan berbagai nama misalnya: Wahanten Girang dalam naskah Carita Parahiyangan (1580), Medanggili dalam Tambo Tulangbawang, Primbon Bayah, serta berita Cina (abad ke-13) dan lain-lain.
Banten menurut Sumber Cina “Shung Peng Hsiang Sung” (1430), adalah nama suatu tempat yang menjadi tempat perlintasan pelayaran dengan rute Tanjung Sekong – Gresik – Jaratan; Banten – Timor; Banten – Demak; Banten – Banjarmasin; Kreung – (Aceh)-Barus – Pariaman – Banten. Dan menurut “ Ying-Yai-Sheng-lan (1433) Banten disebut Shunt’a (Sunda), Sumber asing lainnya yang menyebut Banten adalah Catatan Tome Pires (1512) dengan sebutan “Bautan”. Sedangkan nama Wahanten Girang berasal dari Sumber lokal dalam naskah cerita Parahyiangan (1580). Dalam Tambo Tulang bawang dan Primbon Bayah orang menyebut Banten dengan nama Medanggili.
Dalam catatan perjalanan Tome Pires (1513) Banten adalah wilayah pelabuhan yang ramai dan berada di kawasan Kerajaan Sunda , ini menunjukkan bahwa Banten berperan sebagai Bandar kerajaan sunda, dan Banten berada pada jalur perdagangan internasional yang memungkinkan Banten dapat berinteraksi dengan dunia internasional pada awal abad Masehi. Kemungkinan Banten pada abad ke-7 sudah menjadi kota pelabuhan yang dikunjungi para saudagar asing.
Sekilas sejarah Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.
Anak dari Sunan Gunung Jati (Sultan Maulana Hasanudin, memerintah 1552-1570) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf (memerintah 1570-1580). Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.
Banten Girang di tahun 1988 pada program Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak bukti baru yang ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan ditemukannya bukti baru bahwa Banten sudah ada di awal abad ke 11 – 12 Masehi. Banten pada masa itu sudah merupakan kawasan pemukiman yang penting yang ditandai dengan telah dikelilingi oleh benteng pertahanan dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai dari pembuat kain, keramik, pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik manik kaca. Mata uang logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan beberapa kawasan di India.
Secara nyata, tidak ada keputusan final yang dapat diambil sebelum penelitian dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa keberadaannya dimulai pada saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak lagi dapat dipertahankan.
Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten dan sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan Islam Banten terbentuk.
Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis memulai perdagangan dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah pada Lada yang banyak terdapat di kedua sisi Selat Sunda. Bangsa Cina juga sangat berminat pada jenis rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka telah berlayar ke pelabuhan Sunda setiap tahunnya untuk membeli lada. Walaupun Kerajaan Pajajaran masih berdiri, namun kekuasaannya mulai menyusut. Kelemahan ini tidak luput dari perhatian Kerajaan Islam Demak. Beberapa dekade sebelumnya Kerajaan Demak telah menguasai bagian timur pulau Jawa dan pada saat itu bermaksud untuk juga menguasai pelabuhan Sunda. Masyarakat Sunda, memandang serius ekspansi Islam, melihat makin berkembangnya komunitas ulama dan pedagang Islam yang semakin memiliki peranan penting di kota pelabuhan “Hindu”.
Menghadapi ancaman ini, Otoritas Banten, baik atas inisiatifnya sendiri maupun atas seizin Pakuan, memohon kepada bangsa Portugis di Malaka, yang telah berulangkali datang berniaga ke Banten. Di mata otoritas Banten, bangsa Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis sangat anti Islam, dan armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan di sekitar Banten. Banten, di sisi lain, dapat menawarkan komoditas lada bagi Portugis. Negosiasi ini di mulai tahun 1521 Masehi.
Tahun 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya urusan ini, mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh Henrique Leme. Perjanjian dibuat antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari perlindungan yang diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk persediaan lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat Tangerang. Kemurah hatian yang sangat tinggi ini menggaris bawahi tingginya tingkat kesulitan yang dihadapi Banten. Pemilihan pembuatan benteng di daerah Tangerang tidak diragukan lagi untuk dua alasan : yang pertama, agar Portugis dapat menahan kapal yang berlayar dari Demak, dan yang kedua untuk menahan agar armada Portugis yang sangat kuat pada saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota Banten. Aplikasi dari perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang tak terbatas bagi Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum akhirnya armada Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan Francisco de Sá, yang bertanggungjawab akan pembangunan benteng.
Sementara itu, situasi politik telah sangat berubah dan sehingga armada Portugis gagal untuk merapat ke daratan. Seorang ulama yang sekarang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, penduduk asli Pasai, bagian utara Sumatera setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak, pada saat itu telah menetap di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Walaupun pada awalnya kedatangannya diterima dengan baik oleh pihak otoriti, akan tetapi Ia tetap meminta Demak mengirimkan pasukan untuk menguasai Banten ketika Ia menilai waktunya tepat. Dan adalah puteranya, Hasanudin, yang memimpin operasi militer di Banten. Islam mengambil alih kekuasaan pada tahun 1527 M bertepatan dengan datangnya armada Portugis. Sadar akan adanya perjanjian antara Portugis dengan penguasa sebelumnya, Islam mencegah siapapun untuk merapat ke Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai secara serempak kedua pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan yang tidak lagi dapat ditolak oleh Pakuan.
Di banten sendiri ada dua keraton dalam provinsi ini yaitu keraton surosowan dan keraton kaibon.
Keraton Surosowan.
Keraton merupakan bangunan yang memegang peranan sangat penting bagi sebuah kerajaan. Seperti halnya keraton pada umumnya di Jawa, keraton Surosowan juga memiliki makna ganda, yakni sebagai bangunan tempat tinggal sultan dan keluarganya serta perangkat kerajaan lainnya, dan sebagai pusat kerajaan dalam hal ini kerajaan Banten. Mengikuti pola umum tata kota kerajaan Islam di Indonesia, keraton Surosowan juga merupakan pusat kota Banten. Demikian pula, alun-alun terletak di sebelah utara keraton, mesjid Agung Banten di sebelah barat keraton, pasar Karangantu di sebelah timur, dan pelabuhan berada di sebelah utara.

Sekarang, keraton Surosowan terletak di kampung Kasemen, Kecamatan Kasemen, (kawasan Banten Lama) Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Kawasan Banten Lama merupakan salah satu bagian dari Daerah Kabupaten tingkat II Serang, (sekarang Propinsi Banten) berjarak 10 km ke arah utara kota  Serang. Kota Banten Lama berada pada daerah Teluk Banten, dan terletak di dua wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Kasemen dan Kramatwatu, dengan luas kawasan sekitar 18,5 km²

Sejarah :
Berdiri dan dibangun dengan kata "Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis" yang arti bebasnya adalah "Membangun kota dan perbentengan dari bata dan karang". Atas pemahaman geo-politik yang mendalam Sunan Gunung Jati menentukan posisi Keraton, Benteng, Pasar, dan Alun-Alun yang harus dibangun di dekat kuala Sungai Banten yang kemudian diberi nama Keraton Surosowan. Hanya dalam waktu 26 tahun, Banten menjadi semakin besar dan maju, dan pada tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten diubah menjadi negara bagian Kesultanan Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai Sultan di Kesultanan Banten dengan gelar Maulanan Hasanuddin Panembahan Surosowan.

Nama keraton Surosowan diberikan oleh Sultan Hasanuddin atas petunjuk dari ayahnya Sunan Gunung Jati. Orang Belanda ada yang menyebut keraton Surosowan dengan “Fort Diamont” atau Kota Intan. Sementara itu dalam Sajarah Banten, keraton Surosowan disebut juga dengan “Gedong Kedaton Pakuwuan” . Berdasarkan Sejarah Banten, keraton Surosowan dibangun pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin ,sedangkan tembok kelilingnya (benteng) yang terbuat dari bata dan karang dibangun oleh Maulana Yusuf (1570–1580). Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1672) keraton ini hancur akibat terjadi peperangan dengan Sultan Haji yang dibantu Belanda. Pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672–1678) keraton ini dibangun kembali di atas puing-puing keraton Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah rata dengan tanah.

Keraton / Benteng Surosowan dibangun sekitar tahun 1522-1526 pada masa pemerintahan Sultan kedua Banten, Sultan Maulana Hasanudin (anak dari Syarif Hidayatullah, tokoh yang mendirikan cikal bakal Jakarta) dan konon juga melibatkan ahli bangunan asal Belanda, yaitu Hendrik Lucaszoon Cardeel .
Menurut Paulus Van Solt, pada 1605 dan 1607 benteng istana sempat mengalami kebakaran. Namun nasib istana Surosowan luluh lantak setelah Daendels memimpin pasukan Kompeni untuk menghancurkannya pada 21 November 1808.
Sultan Haji dibantu Belanda. Pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672–1687) keraton ini dibangun kembali di atas puing-puing keraton Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah rata dengan tanah tahun 1680–1681. Pada tahun 1808 terjadi perselisihan Sultan Banten dengan Belanda. Pada tahun itu juga keraton Surosowan dihancurkan oleh Belanda di bawah pimpinan Daendels. Penghancuran tersebut berlangsung hingga tahun 1832.

Arsitektur :
Sisi sebelah barat dan timur bagian dalam keraton masih berupa gundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan. Khusus untuk struktur yang telah tampak dipermukaan, karena meliputi areal yang cukup luas dan temuan yang cukup padat, maka dibagi menjadi sembilan sector.

Dari analisis struktur bangunan, diketahui bahwa ada beberapa tipe pondasi digunakan di keraton Surosowan. Tipe yang banyak digunakan adalah tipe yang terdiri atas enam lapisan; dua lapisan terbawah menggunakan karang berbentuk kotak seadanya, dan empat lapisan di atasnya menggunakan bahan bata. Tiap lapisan disusun sedikian rupa sehingga tersusun secara simetris makin ke atas makin mengecil.

Dari struktur dinding juga diketahui terdapat beberapa tipe, umumnya adalah berupa susunan bata utuh
sedemikian rupa sehingga dari sisi luar dinding terlihat: lapis pertama berupa susunan sisi tebal-panjang bata (strek), lapis kedua berupa susunan sisi tebal-lebar bata (kop), lapis ketiga kembali sama seperti lapis pertama, lapis keempat sama dengan lapis kedua, dan seterusnya. Sementara itu, dari struktur lantai diketahui bahwa digunakan dua bahan yaitu ubin (untuk ruang yang penting) dan bata (untuk ruang yang kurang penting dan jalan/gang).

Dinding pembatas setinggi 2 meter mengitari area keraton sekitar 4 hektar. Surowowan mirip sebuah benteng Belanda yang kokoh dengan bastion (sudut benteng yang berbentuk intan) di empat sudut bangunannya. Bangunan di dalam dinding keraton tak ada lagi yang utuh. hanya menyisakan runtuhan dinding dan pondasi kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.

Gaya keraton ini campuran antara gaya lokal dan eropa. Hal tersebut dipengaruhi oleh renovasi dan pembangunan bertahap karena ditemukan beberapa struktur yang tumpang tindih. Benteng istana diperkuat dan dipojok-pojoknya dibangun bastion, bangunan setengah lingkaran dengan lubang-lubang tembak prajurit mengintai dan menembak musuh. Belum lagi sistem parit dan saluran air bawah tanah ke dalam kompleks istana.
Keraton Surosowan ini memiliki tiga gerbang masuk, masing-masing terletak di sisi utara, timur, dan selatan. Namun, pintu selatan telah ditutup dengan tembok, tidak diketahui apa sebabnya. Pada bagian tengah keraton terdapat sebuah bangunan kolam berisi air berwarna hijau, yang dipenuhi oleh ganggang dan lumut. Di keraton ini juga banyak ruang di dalam keraton yang berhubungan dengan air atau mandi-mandi (petirtaan). Salah satu yang terkenal adalah bekas kolam taman, bernama Bale Kambang Rara Denok. Ada pula pancuran untuk pemandian yang biasa disebut “pancuran mas”.
Kolam Rara Denok berbentuk persegi empat dengan panjang 30 meter dan lebar 13 meter serta kedalaman kolam 4,5 meter. Ada dua sumber air di Surosowan yaitu sumur dan Danau Tasikardi yang terletak sekitar dua kilometer dari Surosowan.
Dibagian dalam Istana Surosowan itu sendiri dibangun tempat pemandian yang diberi nama Roro Denok yang sisa-sisa bentuknyanya masih dapat dilihat cukup jelas sampai sekarang. Pada bagian tengah dari kolam tersebut terdapat bangunan persegi empat yang dinamakan Bale kambang. Air yang berada dalam pemandian tersebut berasal dari danau Tasik Ardi dimana sebelum dialairkan ke kolam Roro Denok mengalami proses penjernihan tiga tingkat terlebih dahulu dengan cara dialirkan ke bangunan pengindelan (penjernihan) Merah, Putih dan Emas. Terlihat sekali bahwa pada masa tersebut sudah mampu menguasai teknologi pengolahan air keruh menjadi air layak pakai.
Keraton Surosowan sudah beberapa kali mengalami perubahan. Berdasarkan peta-peta kuno diketahui bahwa pada peta tertua (1596), keraton Surosowan digambarkan masih sangat sederhana berupa satu bangunan rumah dikelilingi pagar dan beberapa bangunan yang terletak di selatan alun-alun. Pata peta 1624, keraton Surosowan sudah digambarkan berupa bangunan berundak dan bertingkat serta dikelilingi rumah-rumah.

Hal menarik lain pada pemandian Roro Denok ini adalah pancuran emas. Pancuran yang sebenarnya terbuat dari tembaga dan bukan emas itu dahulu biasa digunakan untuk mandi para pejabat dan juga abdi kerajaan. Begitu kondangnya nama Pancuran Mas sehingga orang-orang yakin bahwa pancuran itu memang terbuat dari emas. Bukan hal aneh saat Kasultanan Banten runtuh, terjadi penjarahan dan semua pancuran yang ada diambil semua karena mungkin dikira terbuat dari emas.
Gambaran yang hampir sama masih dijumpai pada peta 1726, dimana terlihat bangunan inti keraton memiliki bagian bawah bangunan yang berundak-undak, dan atap yang semakin ke atas makin kecil meruncing, hanya ukuran keraton semakin besar.

Keraton Surosowan paling sedikit telah mengalami lima tahap pembangunan. Dari data pengupasan dan penggalian hanya dapat memperlihatkan adanya dua fase pembangunan berdasarkan indikasi struktur bangunan yang tumpang tindih. Berdasarkan sisa lantai dalam tiap ruang diketahui terbuat dari bahan ubin atau tegel semen berglasur merah, dan bata, serta dapat direkonstruksi ukuran, dan pola pasangnya pada tiap ruang di kompleks keraton. Di samping itu diperoleh pula data untuk merekonstruksi pola pasangan bata dinding bangunan dan pondasi pada bangunan di kompleks
keraton. Sementara itu, berdasarkan pengamatan di lapangan juga diperoleh asumsi beberapa fungsi bangunan yang telah ditampakkan, seperti tempat tinggal sultan, bangsal terima tamu, kolam taman Roro Denok, dan pemandian Pancuran Mas untuk para kerabat keraton.

Secara keseluruhan, tata letak keraton Surosowan berbeda dengan keraton Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Jika pada keraton di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta terbagi atas tiga halaman, maka keraton Surosowan secara garis besar hanya memiliki dua halaman (di luar dan di dalam benteng). Sementara itu, berdasarkan analisis hubungan lokasional dan fungsional diketahui bahwa semua struktur bangunan yang tampak sekarang saling berhubungan dan memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Bangunan di dalam benteng sebelah kanan/barat (sektor A) berkaitan dengan bangunan persenjataan dan pertahanan. Bangunan di depan gerbang sebagai bangunan utama ‘kantor’ dan aktivitas sultan (sektor B sisi barat), dan sebagai bangunan tenaga pendukung atau pelayan kerajaan (sektor B sisi timur), serta sebagai tempat kediaman kerabat sultan (sektor B sisi selatan). Di sebelah timur sektor B, terdapat kediaman sultan (sector E) dan taman kolam Roro Denok dengan bale kambangnya didepannya (sektor D). Bangunanbangunan pada sisi selatan keraton berkaitan dengan penampungan air bersih, pemandian, dan bak pengaturan air kotor (sektor G), serta sebagai bangunan
‘karyawan’ keraton (sektor H).
Keraton Surosowan memiliki dua halaman, yaitu :
  1. Dalam benteng
    1. Istana sultan
    2. Kolam Roro Denok
    3. Datulaya
    4. Kolam Pancuran Mas
    5. Gerbang utara
    6. Gerbang Timur
2.       Luar benteng
      1. Alun-alun
      2. Watu gilang
      3. Masjid Agung Banten
      4. Bangunan Tiyamah
      5. Srimanganti
      6. Meriam Ki Amuk
      7. Baledana

Koleksi sejarah yang dimiliki :
Kini, peninggalan-peninggalan kebesaran Kesultanan Banten hanyalah tinggal reruntuhan bangunan. Reruntuhan Kesultanan Banten menjadi obyek wisata sejarah yang sangat menarik, selain sebagai pusat studi sejarah Banten, obyek wisata ini pula menjadi pusat agama dan budaya di Banten. Beberapa tempat yang pantas untuk dijadikan rujukan berwisata sejarah di Banten.
Kini, Keraton Surosowan tinggal puing-puing setelah diruntuhkan oleh Belanda. Karena kedahsyatan perjuangan rakyat Banten pada waktu itu, dan agar tidak menimbulkan benih-benih perjuangan nantinya, seluruh bangunan Kesultanan Banten dihancurkan, sebagian besar material bangunan diambil dan dialihkan untuk membangun Pusat Pemerintahan Hindia Belanda di Serang, sebagai pusat pemerintahan baru. Bangunan tersebut kini digunakan sebagai Pendopo Gubernur Banten.
Istana berbentuk segiempat seluas 3 hektar itu nyaris rata dengan tanah, sulit sekali membayangkan seperti apa bentuk Istana Surosowan tersebut berdiri sebelum akhirnya dihancurkan oleh Pemerintah Belanda dibawah pimpinan Daendels pada bulan November 1808. Peperangan itu timbul karena kasultanan Banten menolak mengerahkan rakyatnya untuk kerja paksa dalam pembuatan jalan Anyer - Panarukan.
Meskipun secara umum Istana Surosowan bisa dibilang hampir rata dengan tanah namun sisa bangunan benteng yang ada, cukup memberi cerita tersendiri akan kokohnya pertahanan istana. Tembok benteng yang terdiri dari 2 bagian (dalam dan luar) dengan ketebalan  masing-masing 1 meter dan jarak pemisah 3 meter, terisi dengan tanah padat sebagai pengikat. Benteng tersebut terbentuk dari batubata dengan ukuran umumnya dalah 15 x 30 cm, dengan kapur dan pasir sebagai pengikatnya. Dengan begitu kuatnya benteng pertahanan Istana Surosowan ini, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya perang yang terjadi hingga hanya meninggalakan sisa-sisa bangunan yang nyaris rata dengan tanah. Bagaimanapun juga perang memang banyak membawa bencana kepada umat manusia beserta peradabannya.
Peranan keraton untuk masa kini :
Untuk saat ini peranan pemimpin keratin ini berperan pada pengenalana Indonesia pada dunia . karna adanya sumber yang setidaknya mampu menggambarkan betapa Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten yang berada di jalur perdagangan internasional, berinteraksi dengan dunia luar sejak awal abad Masehi. Kemungkinan pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan internasional. Dan berbagai konsekuensi logisnya, Islam diyakini telah masuk dan berakulturasi dengan budaya setempat sebagaimana diceritakan dalam berita Tome Pires pada tahun 1513.
Hal ini menjadi hal yang penting untuk banten sendiri yang menjadikan Indonesia bertransaksi dengan Negara luar di pelabuhannya.
Disahkannya Banten menjadi Provinsi memungkinkan Banten menghidupkan kembali kemegahan keraton Surosowan. Minimal, pemerintah provinsi Banten perlu membangun kembali replika Keraton guna menjadikan Banten lama sebagai pusat kebudayaan Banten. Dengan begitu, warga Banten dapat kembali mengenal sejarah mereka.
Keraton Kaibon
Sejarah :
Ditinjau dari namanya (Kaibon = Keibuan), keraton ini dibangun untuk ibunda Sultan Syafiudin, Ratu Aisyah mengigat pada waktu itu, sebagai sultan ke 21 dari kerajaan Banten, Sultan Syaifusin masih sangat muda (masih berumur 5 tahun) untuk memegang tampuk pemerintahan.
Komplek keraton kaibon yang terletak di kampong kroya. Keraton Kaibon merupakan salah satu bangunan utama pada masa Kesultanan Banten (1526-1684), terpisah dari kompleks Keraton Surosowan sebagai pusat pemerintahan. Hal ini merupakan tradisi masyarakat Jawa dimana Keraton Kaibon merupakan tempat tinggal para istri (Ratu) dan Putri-putri Kesultanan. Dengan kata lain yang lebih populer bahwa Keraton Kaibon adalah Keputrennya Kesultanan Banten. Terletak kurang lebih 2 km dari Pusat Pemerintahan Keraton Surosowan yang dikelilingi persawahan dan jalur transportasi sungai (atau lebih tepatnya kanal khusus yang dibuat pada waktu itu).
Dalam sejarah, Istana Keraton Kaibon ini dihancurkan oleh pemerintah belanda pada tahun 1832. Berbeda dengan kondisi Istana Surosowan yang boleh dibilang "rata" dengan tanah yang dihancurkan pada masa Daendels. Pada Istana Kaibon seluas kurang lebih 1,2 hektar ini, masih tersisa gerbang dan pintu-pintu besar yang ada dalam kompleks istana. Pada Istana Kaibon, setidaknya pengunjung masih bisa melihat sebagin dari struktur bangunan yang masih tegak berdiri. Sebuah pintu berukuran besar yang dikenal dengan nama Pintu Paduraksa (khas bugis) dengan bagian atasnya yang tersambung, tampak masih bisa dilihat secara utuh. Deretan candi bentar khas banten yang merupakan gerbang bersayap juga masih bisa dinikmati di lokasi ini.
Arsitektur :
Keraton Kaibon menghadap ke Barat (ke Keraton Surosowan/Masjid Agung Banten) yang didepannya terdapat kanal sebagai sarana transportasi menuju dan ke Keraton Surosowan. Kini, reruntuhan Keraton menjadi pusat bermain bagi anak-anak masyarakat lingkungan sekitar, seperti bermain bola atau sekedar tempat nongkrong. Sehingga tempat bersejarah ini dikawatirkan akan mengalami kerusakan yang lebih cepat bila tidak diisolasi layaknya peninggalan sejarah.
Di bagian lain, sebuah ruangan persegi empat dengan bagian dasarnya yang lebih rendah atau menjorok ke dalam tanah, diduga merupakan kamar dari Ratu Aisyah. Ruang yang lebih rendah ini diduga digunakan sebagai pendingin ruangan dengan cara mengalirkan air di dalamnya dan pada bagian atas baru diberi balok kayu sebagai dasar dari lantai ruangan. Bekas penyangga papan masih terlihat jelas pada dinding ruangan ini.
Arsitektur Keraton Kaibon ini memang sungguh unik karena sekeliling keraton sesungguhnya adalah saluran air. Artinya bahwa keraton ini benar-benar dibangun seolah-olah di atas air. Semua jalan masuk dari depan maupun belakang ternyata memang benar-benar harus melalui jalan air. Dan meskipun keraton ini memang didesain sebagai tempat tinggal Ibunda raja, tampak bahwa ciri-ciri bangunan keislamannya tetap ada; karena ternyata bangunan inti keraton ini adalah sebuah mesjid dengan pilar-pilar tinggi yang sangat megah dan anggun. Dan kalau mau ditarik dan ditelusuri jalur air ini memang menghubungkan laut, sehingga dapat dibayangkan betapa indahnya tata alur jalan menuju keraton ini pada waktu itu.
Candi Bentar khas banten yang merupkana gerbang bersayap dari kompleks Istana Kaibon. Di bagian lain, sebuah ruangan persegi empat dengan bagian dasarnya yang lebih rendah atau menjorok ke dalam tanah, diduga merupakan kamar dari Ratu Aisyah. Ruang yang lebih rendah ini diduga digunakan sebagai pendingin ruangan dengan cara mengalirkan air di dalamnya dan pada bagian atas baru diberi balok kayu sebagai dasar dari lantai ruangan. Bekas penyangga papan masih terlihat jelas pada dinding ruangan ini.
Dalam konsepsi kuno tentang bangunan-bangunan sakral dan sekuler pada arsitektur Jawa, kita melihat adanya fungsi-fungsi arsitektur tertentu yang memberikan indikasi ciri-ciri sebuah bangunan keagamaan atau bangunan sekuler. Dilihat dari bentuk pintu gerbangnya maka Kaibon menunjukkan ciri-ciri sebuah keraton dengan gaya tradisional.
Hal ini dapat dilihat dari susunan pintu gerbang dan halamannya. Pintu gerbang pertama yang merupakan jalan masuk berbentuk bentar, menunjukkan bahwa halaman yang akan dilalui masih bersifat profan. Pada halaman kedua, jalan masuk ditandai dengan pintu gerbang berbentuk paduraksa. Bentuk paduraksa ini, dalam tradisi bangunan kuno, menunjukkan bahwa halaman yang akan dilalui telah mempunyai nilai sakral.

Keraton ini mempunyai pintu besar yang dimanai pintu dalem. Di pintu gerbang sebelah barat menuju masjid kaibon terdapat tembok yang di payungi pohon beringin. Pada tembok tersebut terdapat lima pintu bergaya jawa dan bali (paduraksa dan bentar). Apabila di bandingkan dengan arsitektur surosowan ,keraton kaibon nampak lebih archaik , terutama bila dilihat dari rancang bangun pintu-pintu dan tembok keraton.
Lokalitas tradisional Siti Hinggil pada keraton Jawa pada umumnya, di keraton Kaibon ini menjadi lokasi penempatan bangunan masjid, yakni di halaman kedua. Yang tersisa kini hanya bagian mihrabnya saja.




Untuk memasuki masjid harus melalui pintu Paduraksa. Dalam konsep arsitektur Hindu, pembedaan jenis pintu Bentar dan Paduraksa mengacu pada jenis/ fungsi bangunan sakral/ profane.
Karena tempatnya yang cukup mempesona dan memiliki historis yang tinggi, Keraton Kaibon tidak jarang digunakan sebagai tempat untuk membuat film, foto pernikahan, dan lain sebagainya.
Masjid Kaibon ini berbentuk persegi panjang dengan sebuah mihrab yang terletak pada dinding barat masjid tersebut berbentuk sebuah ceruk persegi panjang. Pada halaman kedua ini pun terdapat beberapa bangunan yang telah hancur dan yang sebagian hanya tersisa pondasi-pondasinya saja. Biasanya, dalam tradisi bangunan di Jawa, di halaman kedua setelah paduraksa terdapat bangunan tempat tinggal sultan beserta kerabatnya; demikian juga bangunan-bangunan seperti bangsal, srimanganti, dan sebagainya. Di beberapa bangunan ini, terlihat pada beberapa sudut dinding adanya lubang bekas penempatan balok-balok kayu. Hal ini mungkin merupakan sisa lantai bangunan yang terbuat dari papan kayu dari struktur bangunan yang lebih mutakhir.
Di pintu gerbang sebelah barat menuju ke masjid keraton terdapat sebuah tembok besar yang terpayungi oleh pohon-pohon beringin yang tinggi. Pada tembok tersebut terdapat lima buah pintu yang dibuat dalam gaya Jawa atau Bali. Ukuran tembok itu panjang 80 meter dan tingginya 2 meter.
Di sisi timur, dekat aliran sungai, masih ada lagi sebuah pintu masuk ke dalem dengan bentuk yang sama, pintunya berbentuk seperti busur panah, juga hal ini mengingatkan kita pada bentuk bangunan Eropa. Di dekat pintu sebelah timur terdapat puing-puing bekas bangunan rumah-rumah yang dibangun pada permulaan abad XVI (?). Di muka keraton Kaibon, dekat jalan raya, terdapat puing-puing dari sebuah pintu terbuat dari batu yang mana pintu tersebut berhubungan dengan keraton Kaibon dan dinamai Pintu Gapura.

Koleksi sejarah yang dimiliki :
Istana Keraton Kaibon ini dihancurkan oleh pemerintah belanda pada tahun 1832, bersamaan dengan Istana Surosowan. Asal muasal penghancuran keraton, menurut pemandu wisata dari Museum Purbakala Banten Obay Sobari, adalah ketika Du Puy, utusan Gubernur Jenderal Daen Dels meminta kepada Sultan Syafiudin untuk meneruskan proyek pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan, juga pelabuhan armada Belanda di Teluk Lada (di Labuhan). Namun, Syafiuddin dengan tegas menolak. Dia bahkan memancung kepala Du Puy dan menyerahkannya kembali kepada Daen Dels yang kemudian marah besar dan menghancurkan Keraton Kaibon.
Namun  penghancuran ini tidak sampai rata dengan tanah. Kita masih bias melihat bangunan keraton yang ternyata di sekililingnya terdapat saluran air yang langsug menuju laut.
Peranan pada saat ini :
Keraton ini pada saat itu didirikan untuk ibunda Sultan Syafiudin, Ratu Aisyah mengigat pada waktu itu, sebagai sultan ke 21 dari kerajaan Banten, Sultan Syaifusin masih sangat muda (masih berumur 5 tahun) untuk memegang tampuk pemerintahan.
Maka penggunaannya pun tidak terlalu memegang penting untuk Indonesia sekarang selain tempat sejarah dah wisata yang dapat menambah wawasan masyarakat Indonesia. Namun meskipun keraton ini memang didesain sebagai tempat tinggal Ibunda raja, tampak bahwa ciri-ciri bangunan keislamannya tetap ada; karena ternyata bangunan inti keraton ini adalah sebuah mesjid dengan pilar-pilar tinggi yang sangat megah dan anggun. Dan kalau mau ditarik dan ditelusuri jalur air ini memang menghubungkan laut, sehingga dapat dibayangkan betapa indahnya tata alur jalan menuju keraton ini pada waktu itu













Sumber :
Republika.co.id
Navigasi.net
Okezone.com
Jogyapost.com
Id.wikipedia.com
Flickr.com
budaxbantentea.blogspot.com
www.geolocation.ws
travel.okezone.com
humaspdg.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar