Kamis, 09 Juni 2011

PURI AGUNG KLUNGKUNG

Edwina Yustitya
4423107030
PURI AGUNG KLUNGKUNG
Pengertian Puri
Puri berasal dari bahasa Sanskerta yang diserap ke dalam bahasa Jawa Kuno yang berarti benteng, istana berbenteng, kota istana atau tempat persemayaman raja Namun dalam bahasa Jawa Kuno dikenal juga istilah pura yang berasal dari bahasa Sanskerta. Agaknya pura memiliki pengertian lebih luas daripada puri. Pura berarti kota, ibu kota, kerajaan, istana raja dan berarti halangan
Geertz menyatakan bahwa puri sebenarnya hampir sama dengan pura. Jika pura adalah tempat persemayaman dewa dalam wujud abstrak, puri adalah tempat persemayaman raja yang merupakan penjelamaan dewa yang meng-ejowantah pada diri manusia. Dengan demikian puri adalah “bangunan suci” dalam konsep religi. Kesimpulan Greetz ini didasarkan kenyataan bahwa raja dalam sistem kerajaan di Bali adalah seorang yang dihormati dan dimuliakan seluruh rakyatnya, sehingga ia tidak boleh tampil sembarangan di depan umum. Demikian pula puri tempat tinggal sang raja, dianggap sebagai bangunan yang pantas dihormati atau bahkan dukuduskan. Pada daerah tertentu, di puri
Puri dapat dibedakan menjadi tiga macam. Pertama, Puri Dewa Agung yang hanya ada satu, sebagai tempat persemayaman Dewa Agung, "penguasa seluruh Bali dan Lombok" di Klungkung. Puri ini dinamakan juga Puri Smarapura atau Puri Klungkung. Kedua, adalah Puri Agung atau Puri Gede, yaitu tempat tinggal penguasa yang memegang pemerintahan (raja) di suatu kerajaan, misalnya Puri Agung Gianyar, Puri Gede Karangasem, Puri Agung Mengwi, dan lain-lain. Ketiga, puri tempat tinggal di tengah masyarakat, namun bukan tempat tinggal pemegang pemerintahan. Bangunan seperti itu disebut puri saja atau jero. Puri atau jero adalah tempat tinggal para kaum bangsawan yang terpisah dari kompleks puri agung milik raja.

Puri Agung Klungkung
Puri Agung Klungkung adalah kompleks bangunan bersejarah yang berlokasi di Semarapura-Klungkung, Bali. Puri ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Klungkung. Istana atau Puri Klungkung ini didirikan pada sekitar akhir abad ke-17. Bangunan dari puri ini sebagian besarnya telah hancur pada masa penaklukan Belanda tahun 1908.
Kerajaan Klungkung pada masa itu dianggap sebagai kerajaan yang paling tinggi dan paling penting dari Sembilan kerajaan lainnya yang ada di Bali sejak akhir abad ke-17 sampai tahun 1908.

Sejarah Perang Puputan Klungkung (Puri Agung klungkung)
Perang puputan klungkung yang terkenal pada saat ini terjadi sekitar satu abad yang lalu, tepatnya pada tanggal  28 April 1908. Pada saat itu untuk mempertahankan kerajaan, Raja klungkung yang pada saat itu dijabat oleh Ida Dewa Agung Jambe ( Ida Dewa Agung Putera IV), keluar dari puri dengan gagah berani dengan membawa senjata tombak.
Dewa agung Jambe tidak sendiri pada saat keluar dari puri atau kerajaan. Raja Ida Dewa Agung Jambe diiringi oleh para petinggi kerajaan, keluarga, dan seluruh warga kerajaan tidak terkecuali dengan wanita dan anak-anak. Mereka semua bergerak menuju pasukan belanda yang sudah berjaga di depan puri dengan jarak sekitar 100 meter. Ida Dewa Agung Jambe dan para pengikutnya tidak gentar dalam menghadapi Belanda demi kehormatan diri dan kerajaan mereka.
Saat telah berhadapan dengan pasukan belanda, Raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe kemudian menancapkan keris pusakanya ke dalam tanah. Hal ini dilakukannya dengan keyakinan agar timbul lubang besar yang akan menelan dan membinasakan para pasukan perang Belanda. Tetapi bukan lubang yang muncul tetapi justru letusan peluru meriam yang terdengar. Letusan meriam tersebut ditujukan dan mengenai lutut dari Raja Ida Dewa Agung Jambe. Meski terluka, dengan gagah dan perkasa Raja Klungkung tersebut bangkit kembali.  Tetapi pasukan Belanda terus menggempurnya dengan tembakan, hingga akhirnya Raja Ida Dewa agung Jambe tewas di tempat.
Melihat keadaan tersebut, para petinggi Kerajaan Klungkung yang mengiringi Raja Ida Dewa Agung Jambe beserta para wanita dan anak-anak segera membentuk dan melakukan serangan dengan menggunakan senjata tombak. Namun pasukan Belanda tidak kenal kasihan, mereka tetap menembaki dan menggempur warga dan petinggi kerajaan walaupun didalamnya terdapat wanita dan anak-anak. Letusan-letusan senjata artileri dan infanteri pasukan Belanda merobohkan mereka satu persatu.Setelah peristiwa perang tersebut berakhir, para keluarga kerajaan yang masih tersisa di asingkan ke Pulau Lombok oleh Belanda.
Perang Puputan Klungkung diakhiri dengan gugurnya Raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe beserta para petinggi kerajaan, keluarga, dan kerabat kerajaan. Peristiwa tersebut menunjukan betapa besarnya semangat perjuangan dari rakyat Kerajaan Klungkung untuk menempatkan kehormatan dan harga diri mereka di atas segalanya. Perang di jalankan bukan untuk meraih kemenangan secara fisik, tetapi juga untuk kemenangan kehormatan, harga diri dan semangat juang. Mereka lebih baik mati darim pada kehormatan dan harga diri mereka hilang dirampas oleh pihak Belanda.
Dalam peristiwa perang ini, tampaknya Belanda bersikap dengan hati-hati. Meskipun pihaknya telah menghancurkan dan merobohkan sebagian besar bangunan dari puri Kerajaan Klungkung, tetapi Kori Agung puri masih dibiarkan tetap berdiri. Kori Agung ini disisakan karena merupakan simbol kebesaran dari puri Kerajaan Klungkung.

Sejarah Kerajaan Klungkung dengan Kerajaan Majapahit
Diantara kerajaan-kerajaan lain yang ada di Bali, Kerajaan Klungkunglah yang memiliki pertalian sejarah secara langsung dengan Kerajaan Majapahit. Karena hal tersebut, Kerajaan Klungkung dianggap memiliki kedudukan yang paling tinggi diantara kerajaan-kerajaan lain yang terdapat di Bali. Sedangkan kerajaan-kerajaan lain di Bali mulai berkembang ketika pusat pemerintahan kerajaan di Bali ada di Gelgel, ketika Dalem Sagening memegang kendali pemerintahan pada 1502.
Kerajaan Majapahit berhasil mengalahkan Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten pada tahun 1343. Pada saat itu berlangsung masa Bali kuna/kuno. Sejak kekalahan Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, Bali berada di bawah kekuasaan dan pemerintahan Kerajaan majapahit. Setelah peristiwa tersebut, Sri Kresna Kepakisan lalu ditunjuk sebagai adipati di bali pada tahun 1352. Setelah ditunjuknya Sri Kresna Kepakisan sebagai adipati Bali, mulailah Trah Ksatria Dalem menduduki wilayah terpenting di Bali yang pada saat itu berpusat di Samprangan Gianyar (Lingarsappura). Dan peristiwa tersebut merupakan rangkaian sejarah dari keberadaan Kerajaan Klungkung.
Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Dalam perkembangannya kemudian, di masa pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir pada tahun 1380 sampai 1460, pusat kerajaan dipindahkan ke Gelgel (Swecapura). Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Tetapi ketika Bali mengalami zaman keemasan di masa pemerintahan Dalem Waturenggong bertahta di Gelgel tahun 1460 sampai 1490,  Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan pada tahun 1478 Masehi. Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung yang menjabata sejak tahun 1550 sampai 1580, sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made pada tahun 1605 sampai 1686. Ketika Kerajaan Majapahit sudah dianggap runtuh, Kerajaan Gelgel menyatakan diri sebagai pelanjut kebesaran Majapahit di Bali.
Tetapi  trah ksatria Dalem di Kerajaan Gelgel harus berakhir. Setelah terjadi pemberontakan Patih Agung Maruti pada tahun 1650. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura. Pusat pemerintahan Kerajaan Gelgel akhirnya dipindahkan ke Klungkung, karena kewibawaan Gelgel sudah dianggap tercemar. Raja pertama Kerajaan Klungkung adalah  Dewa Agung Jambe yang dinobatkan pada tahun 1710 dan memerintah hingga tahun 1775.  Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten. Kerajaan-kerajaan pecahan Klungkung diantaranya Kerajaan Badung, yang kemudian menjadi Kabupaten Badung; Kerajaan Bangli, yang kemudian menjadi Kabupaten Bangli; Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng; Kerajaan Gianyar, yang kemudian menjadi Kabupaten Gianyar; Kerajaan Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten Karangasem; Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi Kabupaten Klungkung; Kerajaan Tabanan, yang kemudian menjadi Kabupaten Tabanan.
Setelah pemerintahan kolonial Belanda masuk ke Bali, dinasti Ksatria Dalem di Kerajaan Klungkung akhirnya harus berakhir pada tanggal 28 April 1908, yang tersisa hanya gerbang (kori agung) puri. Berbeda dengan peninggalan Kerajaan Klungkung yang dirawat , bata-bata bekas bangunan peninggalan Majapahit justru dirusak, dicari dan dihancurkan penduduk untuk dijadikan bahan semen merah, lalu dijual.

Bangunan Puri Agung Klungkung
Ketika memasuki komplek Puri Agung Klungkung, saat ini dapat ditemukan tiga buah Candi Bentar (gapura/pintu gerbang) yang terdapat pada penyengker (tembok pembatas) luarnya. Sebuah lagi terdapat di penyengker timur yang merupakan pintu masuk bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Puri Agung Klungkung, selain itu di sisi utara juga terdapat dua Candi Bentar. Satu Candi Bentar juga terletak di dalam halaman yang berfungsi sebagai pintu atau gerbang masuk menuju bangunan Bale Kambang atau Taman Gili  yang di hubungkan oleh jalan setapak yang memiliki penyengker. Di atas panyengker tersebut berdiri patung-patung berbagai jenis dan ukuran, di antaranya patung Semar, Petruk, patung Dewa-Dewi dan patung lain-lain.
Sebelum dihancurkan oleh Belanda, sebelah timur laut dan barat laut dari Puri Agung Klungkung merupakan alun-alun kerajaan, sebelah tenggaranya Puri Delod Pasar. Sebelum Perang Puputan Klungkung terjadi, di Puri Agung Klungkung terdapat beberapa ruangan. Ruangan tersebut diantaranya adalah Kerta Ghosa, Bale Kambang dan Kori agung (Pamedal Agung).
Konsep yang digunakan dalam membuat bangunan Puri Agung Klungkung adalah konsep yang didasari oleh kepercayaan Hindu terhadap Dewa. Puri Agung Klungkung dibangun dengan berdasarkan tentang konsep letak-letak dewa penjaga dari delapan arah mata angin. Selain hal tersebut, yang unik dan menarik dari bangunan Puri Agung Klungkung ini adalah kesamaan bentuk-bentuk bangunan dan ruangan yang ada di dalamnya. Kesamaan tersebut seperti, bentuk bangunan yang berundak atau bertingkat, bangunan berbentuk segi empat, atap bangunan memiliki bentuk limas segi empat dan dibuat dengan serabut ijuk, terdapat hiasan dan ukiran pada setiap ruang dan bangunan, terdapat hiasan patung dan naga pada tangga, dan sebagian besar bangunan berkonsep terbuka atau tidak memiliki dinding.
Puri Agung Klungkung ini merupakan puri yang memiliki penataan ruang dan arsitektur yang indah serta menarik. Karena hal tersebut, saat ini Puri Agung Klungkung menjadi salah satu benda Cagar Budaya yang terdapat di Bali. Selain dari segi arsitektur bangunannya, Puri Agung Klungkung dijadikan sebagai benda Cagar Budaya karena didalamnya terdapat kandungan-kandungan pesan dan makna yang khusus.
Makna khusus yang tersebut dan terkandung di dalam Puri Agung Klungkung adalah, Puri sebagai bangunan dan tempat suci, Puri sebagai tempat persemayaman raja (dan raja dipercayai sebagai penjelmaan dewa), serta Puri sebagai pusat kerajaan dan pemerintahan.

Kerta Ghosa
Menurut sejarah, dahulu Kerta Ghosa merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat rapat, berembug dan tempat musyawarah bagi raja-raja Klungkung beserta para petinggi Kerajaan Klungkung. Kerta Ghosa adalah sebuah bangunan yang terletak di sebelah timur laut di dalam Puri agung klungkung.
Kerta ghosa merupakan sebuah bangunan yang terbuka, dengan kata lain tidak dikelilingi oleh dinding. Kerta Ghosa memiliki dua tingkatan yang disangga oleh tiang-tiang kayu yang berukir dengan ukiran gaya Bali. Jumlah tiang kayu yang menyangga Kerta Ghosa berjumlah dua puluh tiang (saka) kayu.
Lantai (bataran) pertama memiliki sepuluh tiang (saka) berukir.Setiap tiang ditumpu dengan sendi bermotif patung binatang, di antaranya ada patung gajah, domba, babi, kucing, sapi, sampai macan. Tepi bataran dikelilingi denhan railing kayu yang memiliki tinggi sekitar 60 cm dari permukaan lantai. Lantai di atasnya (naik dua undag) terdapat pula 10 saka berukir.
Tingkat pertama dari Kerta Ghosa berfungsi sebagai tempat untuk berjalan, sedangkan tingkat kedua difungsikan untuk pengadilan. Pada ruangan ini terdapat enam buah kursi dan satu buah meja berbentuk persegi. Kursi-kursi yang terdapat di ruangan ini memiliki pegangan tangan yang berbeda bentuk.
Dua kursi pertama, pegangan tangannya berbentuk naga. Dua kursi berukir naga ini sangat istimewa karena merupakan tempat duduk untuk pendeta brahmana selaku Bagawantha peradilan, dan yang satu lagi merupakan tempat duduk untuk raja. Dua kursi selanjutnya memiliki pegangan tangan berbentuk lembu. Kursi dengan pegangan tangan lembu ini merupakan tempat duduk untuk juru tulis dan juru panggil pesakitan. Satu bangku lainnya berukirkan singa dan merupakan tempat duduk bagi perwakilan Belanda, dan satu kursi terakhir berlengan ukiran kerbau untuk hakim peradilan.
Ukiran naga tidak hanya terapat pada kursi raja, di tangga masuk Kerta Ghosa juga terdapat ukiran naga yang memanjang mengikuti jalur tangga.
Kerta Ghosa memiliki atap berbentuk limas segi empat dan terbuat dari serabut ijuk yang sangat kuat. Kerta Ghosa saat itu di cat dengan warna emas yang membuat bangunan Kerta Ghosa tampak lebih indah.

Bale Kambang
bale kambang
Bale Kambang (Taman Gili) adalah salah satu bangunan yang berada di dalam Puri Agung Klungkung. Bale Kambang adalah bangunanyang berbentuk seolah-olah seperti seekor kura-kura yang terdapat ditengah-tengah kolam. Untuk mencapai ke Bale kambang ini, di sisi utara bangunan dibangun dan disiapkan sebuah jembatan untuk akses jalan masuk. Tepat di depan jembatan, sebelum masuk akan terlihat sebuah gapura Candi Bentar. Gapura Candi Bentar ini merupakan sebuah gerbang atau pintu masuk untuk menuju ke bangunan utama Bale Kambang.
Pada dasarnya, bangunan ini memiliki tiga lapis ketinggian. Lantai pertama, dikitari kolam, keliling tepinya memiliki 27 jenis patung. Sementara tepi terluar kolam itu sendiri memiliki 35 jenis patung (12 di sebelah barat, 12 di timur dan 11 di selatan).
Bangunan beratap dimulai dari lantai (bataran) kedua dengan 14 tiang atau saka. Separo bagian ke atas dari tiang-tiangnya berukir dan memiliki canggah wang. Sendi yang ada pada setiap saka berbentuk lempeh (ceper) bujur sangkar, khas dan unik berukir, berukuran sekitar 50 x 50 cm berketinggian 25 cm. Berlantai terakota berpola pasangan bata mendatar. Lantai ini berfungsi sebagai selasar keliling dari bentuk denah segi empat panjang yang memanjang dari arah utara-selatan. Menginjak lantai tertinggi, ditemukan pula 14 saka, namun di sini sepenuh tiang-tiangnya berukir. Tepi lantai dikelilingi dengan railing kayu motif jaro, berketinggian sekitar 40 cm dari muka lantainya. Sendi-sendi di bawah tiang berukuran jauh lebih kecil ketimbang sendi-sendi lantai sebelumnya. Namun bahan lantainya serupa dengan material lantai selasar. Konstruksi pertemuan bagian atas tiang dengan balok aslinya tak memiliki canggah wang, kini , untuk membantu kekuatan konstruksi , dipasang besi plat kecil (lebar 3 cm) menyangga sineb dan lambang-nya.
Pada bagian kedua balok yang membentang di bawah atap (ekspose) masing-masing duduk patung singa bersayap, dengan corak dan warna sedikit berbeda. Lebih unik lagi, bidang langit-langit bangunan bale kambang ini sepenuhnya bergambar gaya Kamasan-Klungkung dengan narasi (cerita) Ramayana dan Mahabharata.
Bentuk dari bangunan Bale Kambang ini berundak atau bertingkat, dimana lantai pertamanya berada sejajar dengan pintu gapura Candi Bentar (gerbang masuk Bale Kambang ). Atap bangunan Bale Kambang ini berbentuk limas segi empat dan bahan dasarnya terbuat dari serabut ijuk sama seperti bangunan Kerta Ghosa.
Bale Kambang ini memiliki arti simbolis dan filosofis bagi orang Hindu. Filosofis ini dikaitkan dengan keberadaan gunung Mahameru yang letaknya dikelilingi oleh tujuh lautan dan pegunungan. Bangunan Bale Kambang yang dibangun di atas kolam ini diibaratkan sebagai gunung Mahameru yang dikelilingi oleh tujuh lautan. Dan lautan yang mengelilingi gunung Mahameru di simbolkan dengan kolam tempat dibangunnya Bale Kambang.
Bale Kambang merupakan tempat untuk memutuskan hasil dan kesimpulan rapat. Selain itu, Bale Kambang dibangun dengan tujuan sebagai tempat peristirahatan dan pertapaan Raja Klungkung. Bale Kambang dijadikan sebagai tempat pertapaan, agar raja dapat menentramkan hatu dan menjernihkan pikiran dalam menghadapi dan mengambil keputusan tentang persoalan dan urusan-urusan kerajaan. Bale Kambang ini dipilih sebagai tempat pertapaan raja, karena tempat ini memiliki suasana yang sejuk dan tentram, serta memiliki penataan ruang yang sangat mendukung.

Kori Agung Puri
Menurut sebuah sumber, Kori dari Puri agung Klungkung ini dibuat oleh I Gusti Ibul dan I Gusti Ungu. Kedua orang ini hidup sekitar tahun 1830-an. Bentuk dari Kori Agung ini mirip seperti sebuah mahkota. Kori Agung Puri Klungkung memiliki sebuah pintu utama yang terletak ditengah dan dua pintu penunjang di sisi kanan dan kiri pintu utama. Pada Kori Agung ini terlihat hiasan-hiasan yang tidak lazim di temukan di puri-puri yang lainnya. Hiasan yang terdapat di Kori Agung Puri Klungkung adalah hiasan patung-patung yang tampak seperti serdadu Belanda. Hiasan patung tersebut terletak didepan gerbang, hiasan patung serdadu Belanda ini juga terlihat di badan candi yang terdapat di puri.
Arah luar dari Kori Agung Puri Klungkung menghadap ke arah gunung (utara). Arah luar dari Kori Agung ini tidak umum untuk puri-puri yang terdapat didaerah Bali. Pada umumnya pintu gerbang puri-puri di Bali menghadap ke arah barat (kauh) atau kea rah laut (kelod). Bagian depan puri biasanya menghadap ke arah gunung atau kea rah terbutnya matahari, karena arah ini dipercaya memiliki tata nilai yang suci.
Sebuah sumber mengatakan, Kori agung Puri Kerajaan Klungkung yang mengarah ke utara ini memiliki makna dan filosofi khusus. Filosofi Kori agung ini dikaitkan dengan hubungan antara Kerajaan Klungkung dengan Kerajaan Majapahit. Kori Agung dibuat menghadap ke arah utara karena arah pintu gerbang dari Keraton Majapajit juga menghadap kearah utara.
Di Bali, hanya Kerajaan Klungkung yang memiliki garis hubungan sejarah langsung dengan Kerajaan Majapahit. Sehingga, ada keputusan bahwa hanya Puri Klungkung yang boleh membuat pintu gerbang menghadap ke arah utara seperti orientasi gerbang Keraton Majapahit, walaupun di wilayah Bali selatan arah utara itu identik dengan arah ke gunung yang memiliki nilai suci.
Dari data-data sejarah yang telah terkumpul, sebenarnya Keraton Majapahit memiliki dua pintu gerbang, yaitu pintu gerbang barat yang disebut dengan Pura Waktra dan pintu gerbang utara yang di lengkapi dengan pintu besi. Namun yang menjadi pintu utama dari Keraton Majapahit merupakan pintu gerbang yang menghadap ke arah utara.
Menurut sejarah, di depan Kori agung (Pamedal Agung) tersebut raja Klungkung gugur di tangan pasukan Belanda. Saat ini di sebelah barat Kori Agung terdapat museum. Bangunan museum tersebut telah mengalami perbaikan setelah terjadinya Perang PUputan Klungkung. Gaya arsitektur dari bangunan museum ini mendapat pengaruh dari gaya Belanda. Bangunan museum sendiiri terdiri dari pilar tinggi besar yang menyangga bangunan, atap canopy yang berbentuk pelana. Terdapat relief tapel barong dan kekarangan di kiri dan kanan bawah pilar penyangga.

Lukisan Kamasan
Kamasan merupakan salah satu jenis lukisan khas Bali. Lukisan ini di beri nama kamasan kerena lukisan tersebut berasal dari sebuah desa yang bernama Desa Kamasan. Desa Kamasan tersebut terletak di Kabupaten Klungkung, di sebelah tenggara Pulau Bali. Selain itu, asal usul kata kamasan juga dimungkinkan berasal dari kata ka-emas-an, yang merupakan satu komunitas pengarjin benda-benda dari emas atau logam berharga yang telah muncul pada masa perundagian. Hal ini terus berlanjut dengan adanya produk seni ukir pada logam emas atau perak yang berbentuk pinggan (bokor, dulang dan lain-lain) telah dijadikan perlengkapan barang- barang perhiasan Keraton Suweca Linggaarsa Pura Gelgel. Selain seni ukir, berkembang pula seni lukis wayang untuk hiasan di atas kain berupa bendera (kober, umbul-umbul, lelontek), kain hiasan (ider-ider dan parba) yang menjadi pelengkap dekorasi di tempat-tempat suci (pura) atau bangunan di komplek keraton.
Desa Kamasan mendapatkan masa keemasan sebagai desa pengerajin saat pemegang tahta gelgel II berkuasa. Penguasa tersebut adalah Dalem Waturenggong yang memerintah sejak tahun 1460 sampai 1550. Pada masa itu pula, kerajaan gelgel mencapai puncak kemakmuran dan kemasyuran.
Pada masa itu banyak terdapat banjar-banjar seperti sangging dan pande mas. Tempat tersebut merupakan bengkel-bengkel yang digunakan oleh masyarakat dan kelompok kerja untuk membuat kerajinan. Masyarakat saat itu bekerja dan mengabdi kepada raja mereka hingga akhir hayat.
Masyarakat beranggapan dan mempercayai bahwa raja adalah dewa yang bertugas untuk menjaga jagad raya (alam semesta beserta isinya) agar tetap dalam keadaan seimbang dan selaras, serta tetap aman dan makmur rakyatnya.
Seni dianggap sebagai salah satu unsure terpenting dalam menjaga keseimbangan dan keselarasan jagad raya, oleh karena itu, penguasa memiliki tugas dan berkewajiban untuk memelihara serta melindungi kesenian, terutama karya seni yang sacral dan memiliki arti filosofis.
Salah satu karya seni yang menjadi cirri khas dari kamasan adalah lukisan yang bertemakan dengan tema wayang. Lukisan kamasan jika dilihat dari sejarahnya, telah berusia sangat tua. Hal ini dapat dilihat dari gaya dan bentuk lukisan serta garis besar dan alur dari cerita yang digambarkan. Kebanyakan lukisan kamasan yang ditemukan menggambarkan kisah-kisah dalam ajaran yang dipercayai oleh umat Hindu, dan kebudayaan masyarakat sekitar pada masa tersebut.
Asal-usul lukisan wayang tradisional gaya Kamasan, menurut I Made Kanta seperti dikutip Agus Mulyadi Utomo (2004), merupakan kelanjutan dari tradisi melukis wong-wongan (manusia dengan alam sekitar) pada zaman prasejarah hingga masuknya agama Hindu di Bali dan keahlian tersebut mendapatkan kesempatan berkembang dengan baik
Alur cerita yang dilukis dengan menggunakan gaya Kamasan banyak yang mengandung unsur seni dan juga makna filosofis yang diambil dari cerita Ramayana dan Mahabharata, termasuk juga bentuk pawukon dan palelidon.
Salah satu contoh dan sisa peninggalan dari lukisan gaya kamasan masih dapat terlihat di komplek  Puri Agung Klungkung. Lukisan tersebut dapat terlihat tepatnya di atap langit-langit Kerta Ghosa dan Taman Gili (Bale Kambang). Dari lukisan tersebut, terlihat bahwa seni lukis kamasan pengaruhi oleh kepercayaan agama Hindu. Hal itu karena di lukisan kamasan para dewa dan pahlawan sangat berperan untuk pengungkapan seni.

Lukisan Gaya Kamasan di Bangunan Puri Klungkung 


Lukisan kamasan tergambar dilangit-langit dari atap bangunan Kerta Ghosa dan Bale Kambang. Lukisan tersebut membuat banunan tersebut menjadi unik dan terlihat lebih indah.
Lukisan yang tergambar di langit-langit bangunan Kerta Ghosa saat ini telah mengalami perubahan. Yang di ubah dari lukisan kamasan yang ada di atap Kerta Ghosa ini adalllah alas lukisnya. Dahulu alas lukis yang di gunakan adalah kain, tapi sekarang untuk memelihara keutuhan lukisan, alas lukis diganti menggunakan papan. Perubahan ini dilakukan semata-mata hanya untuk menjaga keutuhan lukisan dan tidak merubah arti dari lukisan tersebut.
Lukisan yang terdapat atau tergambar di langit-langit Kerta Ghosa ini dibagi menjadi sembilan tingkatan atau petak. Setiap tingkatan atau petak dari lukisan memiliki cerita dan makna yang berbeda-beda satu sama lainnya.
Petak pertama adalah cerita tentang Tantri Kandaka. Cerita Tantri Kandaka ini berkisah tentang tipu muslihat dalam kehidupan masyarakat. Petak kedua dan ketiga bercerita tentang cerita Atma Presangsa, yakni tentang penderitaan roh di neraka yang ditemukan oleh Bima dalam perjalanan mencari roh ayah dan ibunya. Cerita di petak kedua dan ketiga ini adalah cerita yang paling popular di masyarakat, dan menjadi ciri khas dari bangunan Kerta Ghosa. Cerita ini dikenal juga dengan Karma  pala atau hukum karma.
Petak keempat menggambarkan tentang Sang Garuda. Di cerita tersebut Garuda dikisahkan sedang mencari Amerta, yang diambil dari Adiparwa. Petak kelima tentang Palelindon (gempa), yaitu ciri dan arti atau makna terjadinya gempa bumi secara mitologis. Petak keenam dan ketujuh adalah cerita tentang Bima yang  bertemu dengan para Dewa dari kahyangan. Petak kedelapan tentang surga bagi roh roh. Di deretan terakhir petak Sembilan, ditempati oleh gambaran tentang kehidupan Nirwana.  
Lukisan-lukisan yang tergambar di atap Bale Kertagosa dapat menjadi media pendidikan moral dan spiritual bagi para pengunjungnya. Secara keseluruhan, lukisan yang ada di langit-langit bangunan Bale Kertagosa adalah sejumlah 267 lembar papan.
Selaim di langit-langit Kerta Ghosa, lukisan kamasan juga tergambar di langit-langit bangunan Bale Kambang. Lukisan yang terdapat di atap Bale kambang ini memiliki enam tingkatan/petak.
Petak pertama adalah lukisan yang menceritakan tentang Palelintangan. Palelintangan ini adalah cerita yang mngisahkan tentang nasib seseorang yang di tentukan oleh hari jadi atau hari lahirnya. Petak yang  kedua adalah cerita tentang Pan Berayut. Cerita Pan Berayut ini adalah dongeng anak-anak yang menceritakan tentang sepasang suami istri yang memiliki 18 anak. Petak ketiga sampai keenam menceritakan cerita dari Kitab Sutasoma yang di tulis oleh Mpu Tantular

Penobatan Raja Puri Klungkung
Raja Puri Klungkung saat ini adalah Ir. Tjok. Gde Agung Semaraputra, gelar yang disandang adalah Ida Dalem Semaraputra. Raja saat ini di nobatkan sebagai raja pada tanggal 10 oktober tahun 2010. Hari tersebut merupakan hari bahagia bagi seluruh keluarga Puri klungkung.
Raja Klungkung ini dinobatkan melalui upacara Abhiseka Ratu. Prosesi upacara dimulai dengan upacara mungkah lawang yang dilaksanakan di Gedong Puri Agung Klungkung yang lokasinya berada di sebelah barat dari pada pendopo agung. Upacara sakral ini dipimpin oleh pamangku setempat dan didampingi oleh sejumlah pemuka puri.
Setelah itu prosesi upacara selanjutnya adalah menandu Tjok. Gde Agung Semaraputra ke Merajan Puri. Prosesi tandu ini dilakukan karena akan diadakan upacara majaya-jaya dan paseleng di Merajan Puri. Tandu diangkat oleh empat orang yang memakai pakaian hitam-htam dan dengan dua pembawa tedung seperti ibaratnya penobatan raja pada jaman dahulu.
Saat perjalanan di tandu ke Merajan Puri, Tjok. Gde Agung Semaraputra di ikuti dan di damping oleh istrinya yang bernama A.A. Sagung Mas Parasari. Selain itu anak-anaknya dan keluarga puri jiga ikut mendampingi.
Sebelum memasuki Merajan Puri, Tjok. Gde Agung Semaraputra melakukan prosesi Mabikalai, yaitu prosesi pembersihan dan pensucian.
 Usai upacara di merajan baru dilanjutkan dengan upacara di Bale paselang yang sudah dipenuhi dengan banten. Selain itu saat itu juga para Sulinggih lanang istri yang ada turut langsung menyaksikan sekaligus mendoakan. Upacara dipeselang dipuput oleh Ida Ratu Dalem. Usai itu baru bisekanya diumumkan dihadapan para raja undangan dan masyarakat yang hadir. Dan resmilah Tjok. Gde Agung Semaraputra menjadi Raja dari Puri Klungkung.
Upacara penobatan raja ini tidak hanya di hadiri oleh keluarga Puri dan perwakilan raja-raja Bali. Acara penobatan Raja Puri Agung Klungkung ini juga di hadiri dan di saksikan oleh perwakilan raja-raja se-Nusantara.
Sebenaranya upacara Abhiseka Ratu ini telah di rancang sejak tahun 2005, dan rencananya di gelar pada tahun 2008. Namun acara ini di tunda karena tahun tersebut bertepatan dengan 100 tahun peristiwa puputan Klungkung, dan akhirnya baru di laksanakan pada akhir tahun 2010.

Peranan Raja Klungkung Saat ini
Saat ini Raja Klungkung memiliki tugas untuk melestarikan adat, budaya dan agama. Menurut konsep Puri Klungkung, untuk mensejehterakan rakyat tidak hanya sesuatu hal yang fisik yng harus di penuhi tetapi juga hal-hal yang sifatnya spiritual dan rohani jiga harus terpenuhi.


Silsilah Raja-Raja Klungkung (Hingga Tahun 1908)
•Dewa Agung Jambe (Sri Agung Jambe) Raja Klungkung I. Sri Agung Jambe di angkat menjadi raja pada tahun 1686. Berbeda dari sebelumnya, gelar yang di gunakan tidak memakai gelar Dalem. Hal ini di nilai sebagai keinginan untuk melepaskan diri dari ikatan kerajaan Majapahit.
•Dewa Agung Made Raja Klungkung II. Dewa Agung made adalah anak dari Dewa Agung Jambe dan di nobatkan menjadi Raja Klungkung yang ke-II
•Dewa Agung Dimadya Raja Klungkung III. Dewa Agung Dimadya adalah putera dari Dewa Agung Made. Dewa Agung Dimadya menggantikan ayahnya dan di nobatkan menjadi Raja Klungkung selanjutnya.
•Dewa Agung Sakti Raja Klungkung IV. Dewa Agung Sakti adalah keturunan dari Dewa Agung Dimadya. Informasi tentang pemerintahannya tidak ada karena dia tidak terlalu menonjol.
•Dewa Agung Putra I Raja Klungkung V. Dewa Agung Putra I adalah raja Klungkung ke lima yang merupakan anak dari Dewa Agung Sakti dan memiliki gelar Dewa Agung Putra Kusamba.
•Dewa Agung Putra II (Dewa Agung Putra Balemas) Raja klungkung VI.  Raja Klungkung yang ke enam inilah yang mengawali konflik dengan pemerintah Belanda dengan penandatanganan surat kontrak pada tahun 1841. Dewa Agung Putra Balemas adalah anak dari Dewa Agung Putra Kusamba.
•Dewa Agung Istri Kanya Raja Klungkung VII. Dewa Agung Istri Kanya adalah adik perempuan dari Dewa agung Putra Balemas. Walaupun seorang perempuan, tetapi dialah yang memimpin peristiwa perang Kusamba dalam menentang intervensi Belanda.
•Dewa Agung Ktut Agung Raja Klungkung VIII.  Dia merupakan putra bungsu dari Dewa Agung Sakti. Sebelum menjadi raja, Dewa Agung Ktut Agung membantu Dewa Agung Istri dalam pertempuran perang Kusamba.
•Dewa Agung Putra III Raja Klungkung IX. Bergelar Betara Dalem Ring Rum. Dewa Agung Putra III ini adalah satu-satunya raja yang kembali memakai gelar Dalem.
•Dewa Agung Putra IV Raja Klungkung X. Memiliki gelar Dewa Agung Jambe dan merupakan putra dari Betara Dalem Ring Rum. Dewa Agung Jambe ini gugur dalam perang puputan pada tanggal 28 April 1908.


Sumber
permenkaretmolor.multiply.com
id.wikipedia.org
agunkbangli.blogspot.com
bali-article.blogspot.com


8 komentar:

  1. artikel yang menarik, thanks ya..

    BalasHapus
  2. artikelnya sangat membantu, thanks:D

    BalasHapus
  3. Assalamualaikum wr.wb,saya WIWI ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada eyang guntur atas bantuan eyang. kini impian saya selama ini sudah jadi kenyataan dan berkat bantuan eyang guntur pula yang telah memberikan angka ritual kepada saya yaitu 4D dan alhamdulillah berhasil..sekali lagi makasih yaa eyang karna waktu itu saya cuma bermodalkan uang cuma 100rb dan akhirnya saya menang. Berkat angka GAIB hasil ritual eyang guntur saya sudah bisa melanjutkan kulia saya lagi dan kini kehidupan keluarga saya jauh lebih baik dari sebelumnya,bagi anda yg ingin seperti saya silahkan HUB eyang di nomor hpnya: 0823-3744-3355 atau dan ramalan eyang guntur memang memiliki ramalan GHOIB” yang dijamin 100% tembus.

    BalasHapus
  4. Pembagian pecahan kerajaan yg disebut diatas meragukan, kalo gk salah dulu memantau bukan kerajaan klungkung, tapi Gel gel

    BalasHapus
  5. Anda butuh angka ghoib 2d 3d 4d singapura/hongkong yang di jamin tembus selama 5 kalli putaran silahkan hubungi eyang woro manggolo di 0823-9177-2208 atau anda bisa karna saya sudah menbuktikannya,terima kasih. الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    BalasHapus