Senin, 06 Juni 2011

Tugas Cindy Aprina Mirasari "Sejarah Kalimantan Timur"

Oleh                 : Cindy Aprina Mirasari
No. Reg           : 4423107052
Univ. Negri Jakarta

                                Kalimantan Timur

Kalimantan Timur adalah wilayah yang berstatus provinsi di Indonesia. Provinsi ini merupakan salah satu dari empat provinsi di Kalimantan.
Kalimantan Timur merupakan provinsi terluas kedua di Indonesia, dengan luas wilayah 245.237,80 km2 atau sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura atau 11% dari total luas wilayah Indonesia. Provinsi ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Negara Bagian Sabah dan Serawak, Malaysia Timur.

Seni dan Budaya

Musik

Tarian

  • Tarian Bedewa dari suku Tidung (Kabupaten Nunukan)
  • Tarian Iluk Bebalon dari suku Tidung (Kota Tarakan)
  • Tarian Besyitan dari suku Tidung (Kabupaten Malinau)
  • Tarian Kedandiu dari suku Tidung (Kabupaten Bulungan)
  • Tarian Gantar dari Suku Dayak Benuaq
  • Tarian Ngeleway dari Suku Dayak Benuaq
  • Tarian Ngerangkaw dari Suku Dayak Benuaq
  • Tarian Kencet dari Suku Dayak Kenyah
  • Tarian Datun dari Suku Dayak Kenyah
  • Tarian Hudoq dari Suku Dayak Wehea
  • Tarian Kejien dari Suku Dayak Wehea
  • Belian
  • Tarian Jepin Ujang Bentawol Suku Tidung (Kota Tarakan)

Penyembuhan Penyakit

Tolak Bala/Hajatan/Selamatan

Perkawinan

Senjata Tradisional

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/4/48/Mandau-senjata.jpg/125px-Mandau-senjata.jpg

Upacara Adat Kematian


Pariwisata, Seni dan Budaya

Lagu Daerah

  • Burung Enggang (bahasa Kutai)
  • Meharit (Bahasa Kutai)
  • Sabar'ai-sabar'ai (Bahasa Banjar)
  • Anjat Manik (Bahasa Berau Benua)
  • Bebilin (Bahasa Tidung)
  • Andang Sigurandang (Bahasa Tidung)
  • Bedone (Bahasa Dayak Benuaq)
  • Ayen Sae (Bahasa Dayak)
  • Sorangan (Bahasa Banjar)
  • Lamin Talunsur (Bahasa Kutai)
  • Buah Bolok (Bahasa Kutai)
  • Aku Menyanyi (Bahasa Kutai)
  • Sungai Kandilo (Bahasa Pasir)
  • Rambai Manguning (Bahasa Banjar)
  • Ading Manis (Bahasa Banjar)
  • Indung-Indung (Bahasa Melayu Berau)
  • Basar Niat (Bahasa Melayu Berau)
  • Berampukan (Bahasa Kutai)
  • Undur Hudang (Bahasa Kutai)
  • Kada Guna Marista (Bahasa Banjar)
  • Tajong Samarinda (Bahasa Kutai)
  • Citra Niaga (Bahasa Kutai)
  • Taman Anggrek Kersik Luwai
  • Ne Poq Batangph
  • Banuangku
  • Kekayaan Alam Etam (Bahasa Kutai)
  • Mambari Maras (Bahasa Banjar)
  • Kambang Goyang (Bahasa Banjar)
  • Apandang Jakku
  • Keledung
  • Ketuyak
  • Jalung
  • Antu
  • Mena Wang Langit
  • Tung Tit
  • To Kejaa
  • Ting Ting Nging
  • Endut-Endut
  • Enjung-Enjung
  • Julun Lajun
  • Sungai Mahakam
  • Samarinda Kota Tepian (Bahasa Kutai)
  • Jagung Tepian
  • Kandania
  • Sarang Kupu
  • Adui Indung
  • Nasi Bekepor (Bahasa Kutai)
  • Nasib Awak
  • Tenau
  • Luwai
  • Balarut di Sungai Mahakam (Bahasa Banjar)
  • Leleng (Bahasa Kenyah)
  • Merutuh(Bahasa Tonyooi-Benuaq)

Seni Suara

  • Bedeguuq (Dayak Benuaq)
  • Berijooq (Dayak Benuaq)
  • Ninga (Dayak Benuaq)
  • Enluei (Dayak Wehea)

Seni Berpantun

  • Perentangin (Dayak Benuaq)
  • Ngelengot (Dayak Benuaq)
  • Ngakey (Dayak Benuaq)
  • Ngeloak (Dayak Benuaq)

Agama

Masyarakat di Kalimantan Timur menganut berbagai agama yang diakui di Indonesia, yaitu:

Perekonomian

Hasil utama provinsi ini adalah hasil tambang seperti minyak, gas alam dan batu bara. Sektor lain yang kini sedang berkembang adalah agrikultur, pariwisata dan industri pengolahan.
Kalimantan Timur memiliki beberapa tujuan pariwisata yang menarik seperti kepulauan Derawan di Berau, Taman Nasional Kayan Mentarang dan Pantai Batu Lamampu di Nunukan, peternakan buaya di Balikpapan, peternakan rusa di Penajam, Kampung Dayak Pampang di Samarinda, Pantai Amal di Kota Tarakan, Pulau Kumala di Tenggarong dan lain-lain.

Sumber Daya Alam

Masalah sumber daya alam di sini terutama adalah penebangan hutan ilegal yang memusnahkan hutan hujan, selain itu Taman Nasional Kutai yang berada di Kabupaten Kutai Timur ini juga dirambah hutannya. Kurang dari setengah hutan hujan yang masih tersisa, seperti Taman Nasional Kayan Mentarang di bagian utara provinsi ini. Pemerintah lokal masih berusaha untuk menghentikan kebiasaan yang merusak ini.

Sosial Kemasyarakatan

Kalimantan Timur memiliki beberapa macam suku bangsa. selama ini yang dikenal oleh masyarakat luas, padahal selain dayak ada 1 suku yang juga memegang peranan penting di Kaltim yaitu suku Kutai. Di Kalimantan Timur terdapat juga banyak suku suku pendatang dari luar, seperti Bugis, Jawa dan Makassar. Bahasa Jawa dan Bahasa Bugis adalah dua dari banyak bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat Kalimantan Timur.




Objek Wisata :

-         Wisata Alam
Bukit Bangkirai

Taman Nasional Kutai

Hutan Lindung Sungai Wain

Sungai Mahakam





Wisata Sejarah
Kedaton Kutai Katanegara

Museum Mulawarman

Makam Sultan Kutai Ke 16

Wisata Minat dan Khusus

Jembatan Kutai Kartanegara

Kebun Raya Samarinda

Taman Argowisata Batuah

Desa Budaya Pampang





Wisata Olahraga :

Susur Gua di Ambulabung






Wisata Belanja :


Pasar Inpres Kebun Sayur






PEMERINTAHAN :

Gubernur






Asal Usul Danau Lipan

Di kecamatan Muara Kaman kurang lebih 120 km di hulu Tenggarong ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ada sebuah daerah yang terkenal dengan nama Danau Lipan. Meskipun bernama Danau, daerah tersebut bukanlah danau seperti Danau Jempang dan Semayang. Daerah itu merupakan padang luas yang ditumbuhi semak dan perdu.
Dahulu kala kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan. Tepi lautnya ketika itu ialah di Berubus, kampung Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan nama Benua Lawas. Pada masa itu ada sebuah kerajaan yang bandarnya sangat ramai dikunjungi karena terletak di tepi laut.
Terkenallah pada masa itu di kerajaan tersebut seorang putri yang cantik jelita. Sang putri bernama Putri Aji Bedarah Putih. Ia diberi nama demikian tak lain karena bila sang putri ini makan sirih dan menelan air sepahnya maka tampaklah air sirih yang merah itu mengalir melalui kerongkongannya.
Kejelitaan dan keanehan Putri Aji Bedarah Putih ini terdengar pula oleh seorang Raja Cina yang segera berangkat dengan Jung besar beserta bala tentaranya dan berlabuh di laut depan istana Aji Bedarah Putih. Raja Cina pun segera naik ke darat untuk melamar Putri jelita.
Sebelum Raja Cina menyampaikan pinangannya, oleh Sang Putri terlebih dahulu raja itu dijamu dengan santapan bersama. Tapi malang bagi Raja Cina, ia tidak mengetahui bahwa ia tengah diuji oleh Putri yang tidak saja cantik jelita tetapi juga pandai dan bijaksana. Tengah makan dalam jamuan itu, puteri merasa jijik melihat kejorokan bersantap dari si tamu. Raja Cina itu ternyata makan dengan cara menyesap, tidak mempergunakan tangan melainkan langsung dengan mulut seperti anjing.
Betapa jijiknya Putri Aji Bedarah Putih dan ia pun merasa tersinggung, seolah-olah Raja Cina itu tidak menghormati dirinya disamping jelas tidak dapat menyesuaikan diri. Ketika selesai santap dan lamaran Raja Cina diajukan, serta merta Sang Putri menolak dengan penuh murka sambil berkata, "Betapa hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara makannya saja menyesap seperti anjing."
Penghinaan yang luar biasa itu tentu saja membangkitkan kemarahan luar biasa pula pada Raja Cina itu. Sudah lamarannya ditolak mentah-mentah, hinaan pula yang diterima. Karena sangat malu dan murkanya, tak ada jalan lain selain ditebus dengan segala kekerasaan untuk menundukkan Putri Aji Bedarah Putih. Ia pun segera menuju ke jungnya untuk kembali dengan segenap bala tentara yang kuat guna menghancurkan kerajaan dan menawan Putri.
Perang dahsyat pun terjadilah antara bala tentara Cina yang datang bagai gelombang pasang dari laut melawan bala tentara Aji Bedarah Putih.
Ternyata tentara Aji Bedarah Putih tidak dapat menangkis serbuan bala tentara Cina yang mengamuk dengan garangnya. Putri yang menyaksikan jalannya pertempuran yang tak seimbang itu merasa sedih bercampur geram. Ia telah membayangkan bahwa peperangan itu akan dimenangkan oleh tentara Cina. Karena itu timbullah kemurkaannya.
Putri pun segera makan sirih seraya berucap, "Kalau benar aku ini titisan raja sakti, maka jadilah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat memusnahkan Raja Cina beserta seluruh bala tentaranya." Selesai berkata demikian, disemburkannyalah sepah dari mulutnya ke arah peperangan yang tengah berkecamuk itu. Dengan sekejap mata sepah sirih putri tadi berubah menjadi beribu-ribu ekor lipan yang besar-besar, lalu dengan bengisnya menyerang bala tentara Cina yang sedang mengamuk.
Bala tentara Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu dibinasakan. Tentara yang mengetahui serangan lipan yang tak terlawan itu, segera lari lintang-pukang ke jungnya. Demikian pula sang Raja. Mereka bermaksud akan segera meninggalkan Muara Kaman dengan lipannya yang dahsyat itu, tetapi ternyata mereka tidak diberi kesempatan oleh lipan-lipan itu untuk meninggalkan Muara Kaman hidup-hidup. Karena lipan-lipan itu telah diucap untuk membinasakan Raja dan bala tentara Cina, maka dengan bergelombang mereka menyerbu terus sampai ke Jung Cina. Raja dan segenap bala tentara Cina tak dapat berkisar ke mana pun lagi dan akhirnya mereka musnah semuanya. Jung mereka ditenggelamkan juga.
Sementara itu Aji Bedarah Putih segera hilang dengan gaib, entah kemana dan bersamaan dengan gaibnya putri, maka gaib pulalah Sumur Air Berani, sebagai kekuatan tenaga sakti kerajaan itu. Tempat Jung Raja Cina yang tenggelam dan lautnya yang kemudian mendangkal menjadi suatu daratan dengan padang luas itulah yang kemudian disebut hingga sekarang dengan nama Danau Lipan.


Asal Mula Ikan Pesut, Cerita Dari Kalimantan Timur
http://www.fishyforum.com/images/smilies/003.gif

Konon tinggallah sekelompok keluarga yang berdiam diantara kota Bangun dan Muara Muntai. Diantara mereka ada yang bernama Pak Ipung. Pak Ipung mempunyai seorang istri dan dua orang anak, laki-laki dan perempuan yang masih kecil.

Seperti penduduk lain, pekerjaan Pak Ipung adalah bertani dan menangkap ikan. Pada suatu hari, istri Pak Ipung jatuh sakit sehingga ia tidak dapat ikut suaminya ke ladang. Penyakit istri Pak Ipung dari hari ke hari bukannya membaik, tetapi makin parah.

Telah banyak dukun diminta bantuannya untuk memberikan pertolongan. Ia juga diobati dengan bebelian yaitu upacara adat yang dilakukan dukun belian untuk mengobati si sakit. Akan tetapi, tidak membawa hasil juga. Akhirnya atas kehendak Yang Maha Kuasa, istri Pak Ipung meninggal dunia.

Kini, tugas Pak Ipung bertambah. Selain ke kebun dan mencari ikan, ia juga mengurus rumah tangga dan kedua anaknya.

Hari berjalan terus hi ngga tibalah saatnya diadakan acara Pelas Tahun di Kampung Pak Ipung. Pelas Tahun adalah upacara adat suku pedalaman Kalimantan sebagai tanda terima kasih kepada Sang Hyang yang telah memberikan panen yang baik.

Pak Ipung datang ke upacara adat itu dan mengikuti pesta adat dengan menari dan menyanyi bersahut-sahutan. Ia menari dengan seorang gadis cantik.

Setelah sekian lama menduda, muncul keinginan Pak Ipung untuk memperistri gadis itu. Ternyata Pak Ipung tidak bertepuk sebelah tangan. Si Gadis bersedia menjadi istri Pak Ipung.

Pada bulan-bulan pertama kehidupan rumah tangga, keluarga ini sangat cocok satu sama lain. Istri Pak Ipung sangat baik kepada kedua anak tirinya. Ia memelihara mereka dengan kasih sayang seperti anak kandung sendiri.

Hari berjalan terus. Keadaan rumah tangga Pak Ipung yang bahagia itu tidak dapat berjalan lama. Istri Pak Ipung mulai kesal kepada anak tirinya. Ia mulai mengurangi makanan mereka.

Ia pun menghukum mereka jika mereka tidak melaksanakan perintah dengan baik. Anak-anak itu juga disuruh mengambil kayu api di hutan. Tiap anak harus mengambil kayu api sesuai dengan bagian yang sudah ditentukan.

Pada suatu hari, kedua anak itu pergi ke hutan mencari kayu api. Akan tetapi hari itu mereka kuranga mujur. Sampai matahari condong ke barat, mereka belum berhasil mengumpulkan kayu sesuai dengan bagian yang telah ditetapkan. Karena takut dimarahi ibu tiri, mereka memutuskan untuk bermalam di hutan.

Keesokan harinya ketika terbangun mereka merasa lapar karena belum makan seharian. Oleh karena itu, mereka berjalan di hutan mencari buah-buahan yang dapat dimakan.

Telah berjam-jam mereka mencari buah tetapi belum juga menemukannya. Sampai di suatu tempat mereka bertemu dengan seorang kakek tua. Kakek tua itu bertanya, "Apa yang kalian cari di tengah hutan lebat ini?"

Mereka menjelaskan bahwa mereka disuruh mencari kayu bakar oleh ibu tiri mereka. Akan tetapi sampai menje lang malam, bagian yang sudah ditetapkan ibu tiri belum dapat mereka penuhi.

Mereka tidak berani pulang terpaksa bermalam di hutan. kini mereka sedang mencari buah untuk dimakan sebab mereka belum makan seharian.

Kakek tua itun menyarankan agar mereka menuju ke utara. Di sana mereka akan menemukan sebuah pohon yang amat lebat buahnya. "Buah itu sangat lezat rasanya. Kalian boleh mengambil sesukanya. Tetapi ingat kalian tidak boleh pergi dua kali mengambil buah itu", kata kakek tua itu.

Anak-anak itu pun pergi ke arah yang ditunjuk kakek tua. Tidak lama kemudian mereka sampai di tempat tujuan. Pohon itu sangat lebat dan ranum buahnya. Kakaknya yang laki-laki segera memanjat pohon itu, sedangkan adiknya menunggu di bawah. Ia mengumpulkan buah-buah yang dipetik kakaknya.

Setelah merasa cukup kakaknya turun. Mereka makan buah sekenyang-kenyangnya. Ingat akan pesan kakek tua yang menolong mereka sisa buah itu mereka bawa sebagai bekal karena mereka tidak bo leh pergi mengambil dua kali buah pohon itu.

Kedua anak itu pun kembali berjalan tanpa arah menurut kehendak kaki. Setelah beberapa hari mengembara di hutan, persediaan makanan mereka habis. Akhirnya, mereka memutuskan kembali ke rumah dengan harapan ibu tiri tidak marah lagi.

Ketika mereka masuk ke rumah, kedua orang tua mereka tidak ada. Semua perkakas rumah juga tidak ada. Mereka menanyakan kepada tetangga. Tetangga menjelaskan bahwa orang tua mereka sudah pindah. Setelah mendengar penjelasan itu mereka pun meninggalkan rumah. Akan tetapi, mereka tidak tahu ke mana arah tujuan.

Setelah berjalan seharian, mereka tiba di ladang yang tidak berpenghuni. Di ladang itu juga terdapat pondok. Mereka menemukan makanan di dalam pondok. Karena rasa lapar makanan itu mereka makan.

Keesokan harinya pagi-pagi benar mereka melanjutkan perjalanan. Menjelang tengah hari mereka sampai di tepi sungai. Ketika sedang melepaskan lelah, tiba-tiba muncul seorang tua do h adapan mereka.

Orang tua itu bertanya, "Apa kerja kalian di hutan ini dan dimanakah orang tua kalian?" Kakaknya menjawab bahwa mereka sedang mencari orang tua mereka yang pindah entah ke mana.

Orang tua itu menasihati agar mereka berjalan menuju hulu sungai. Di sana mereka akan menemukan pohon yang rebah melintangi sungai. Mereka disuruh menyeberang sungai lewat pohon tumbang itu dan akan menemukan sebuah pondok yang baru didirikan. Itulah pondok orang tua mereka.

Setelah mendengar penjelasan orang tua itu dan mengucapkan terima kasih, mereka melanjutkan perjalanan sesuai petunjuk orang tua tadi. Benar juga, tidak lama berjalan, mereka menemukan pohon rebah melintangi sungai, Mereka menyeberangi sungai lewat pohon itu. Setelah berjalan beberapa saat mereka menemukan pondok yang baru didirikan.

Mereka masuk ke dalam pondok tetapi pondok itu tidak berpenghuni. Mereka melihat periuk besi terjerang di atas tungku. Terdorong rasa lapar, nasi ketan dalam periu k itu mereka makan sampai habis tanpa merasakannya.

Setelah nasi habis dimakan, tiba-tiba seluruh tubuh mereka terasa panas. Mereka pun keluar rumah menuju sungai untuk mendinginkan tubuh. Mereka berlari sambil membuka baju dan melemparkan baju ke tanah.

Menurut yang empunya cerita pada waktu mereka berlari menuju sungai semua tanaman dan tumbuhan yang mereka lewati habis terbakar. Setiba di sungai mereka segera menceburkan diri. Mereka timbul tenggelam sambil menyemburkan air dari hidung.

Ketika orang tua mereka kembali dari ladang, mereka terkejut melihat dua helai baju ada di halaman pondok. Mereka yakin bahwa baju itu baju anak mereka. Apa yang terjadi pada mereka setelah lama tidak pulang ? Mereka juga melihat pohon-pohon, rumput dan tumbuh-tumbuhan sepanjang jalan menuju sungai hangus terbakar.

Pak Ipung dan istri mengikuti jalan itu. Setiba di sungai mereka melihat dua ekor ikan timbul tenggelam berenang menuju hulu sungai sambil menyemburkan air dari hidung. Pak Ipung dan istri yakin bahwa dua ekor ikan itu adalah anak mereka. Mereka sangat sedih terlebih istri Pak Ipung. Ia sangat menyesali segala perbuatannya terhadap kedua anak tirinya.


Sistem Pemerintahan Tradisional Masyarakat Bugis Makassar

Posted by Fawwaz Mughny on May - 2 - 2011
Masyarakat dibagi menjadi tiga kelas besar yaitu aristokrasi, orang merdeka, dan budak. Orang-orang merdeka merupakan bagian terbesar penduduk, Sembilan puluh persen lebih. Adapun budak, baik secara turun temurun maupun orang-orang yang terikat utang, merupakan satu kelompok kecil di bagian masyarakat paling bawah, sedangkan bangsawan merupakan lapisan masyarakat sangat tipis di atas. Namun, golongan bangsawanlah yang menguasai tanah dan memegang posisi monopoli atas kekuasaan. Golongan ini memisahkan diri dari golongan masyarakat lainnya lewat diberlakukannya peraturan pengeluaran yang ketat, penggunaan sebutan-sebutan khusus seperti Andi, Karaeng, Arung, Datu dan sebagainya, dan larangan keras terhadap para putri bangsawan untuk kawin dengan pria dari lapisan bawahannya. Larangan ini, bersama-sama dengan peraturan bahwa semua anak dari pria bangsawan termasuk kelas itu, memastikan bahwa keturunan yang diakui dari kaum bangsawan adalah orang bangsawan juga. Pekerjaan utama bangsawan adalah bidang pemerintahan, khususnya mengatur penggunaan tanah dan menyelesaikan persengketaan. Baik kedudukan politik maupun kekuasaan ekonomi berkaitan erat dengan status kelas, karena pada umumnya diterima bahwa tidak ada orang yang dapat memaksakan kekuasaan atas orang lain yang berpangkat lebih tinggi daripada dia sendiri.
Dilihat dari bawah, para anggota bangsawan semuanya dianggap sebagai ana’ karaeng (anak raja), tetapi di kalangan bangsawan sendiri dilakukan pembedaan yang sangat teliti. Unsure patrilinier dan matrilinier kedua-duanya berlaku. Setiap anak yang ayahnya bangsawan adalah bangsawan juga, apapun kelas ibunya, akan tetapi, di kalangan bangsawan tinggi tingkatan ditentukan oleh kelas sang ibu. Tingkatan tertinggi, ana’ matola atau anak patola, adalah anak-anak perempuan keturunan bangsawan asli. Tingkatan terendah di kalangan bangsawan adalah anak-anak yang ibunya adalah orang bebas, atau budak, mereka dikenal sebagai ana’ cera’. Di antara kedua tingkatan itu, dalam keanekaragaman peringkat yang hamper tidak terhitung, adalah anak-anak yang kedua orangtuanya dari kalangan bangsawan akan tetapi salah seorang, atau kedua-duanya bukan ana’ matola. Raja dan kepala-kepala yang penting lainnya dapat saja laki-laki atau perempuan, tetapi haruslah ana’ matola.
Para pemimpin utama kerajaan seringkali adalah sanak keluarga dekat raja, yang tingkatannya sama tinggi atau hamper sama tinggi dengan sang penguasa sendiri. Dalam beberapa hal mereka ini adalah penguasan bagian wilayah kerajaan atau kerajaan bawahan, dalam hal lain mereka tampak mempunyai fungsi riil sebagai bagian dari kelompok kerajaan. Para pemimpin senior ini merupakan hadat, yaitu dewan yang fungsi utamanya ialah member nasehat kepada raja dan membantunya dalam memecahkan persengketaan, tetapi juga mempunyai kekuasaan besar dalam pemilihan dan penurunan seorang raja.
Sekalipun raja yang sedang memerintah mempunyai pengaruh besar dalam menetapkan seorang pengganti, hadat inilah yang secara formal menegaskan pilihan tersebut. Menurut tradisi, sifat-sifat seorang raja yang dikehendaki adalah bahwa ia (laki-laki atau perempuan) haruslah jujur, mampu, murah hati dan berani. Ada kepercayaan umum bahwa sifat-sifat semacam itu diwarisi, dan dengan demikian didapati terutama sekali di kalangan kaum bangsawan tertinggi, golongan ana’ matola, sekalipun hadat mengakui bahwa ada raja kemungkinan determinisme genetika mereka salah dalam menilai kualitas kepemimpinan. Tentulah seorang calon dari keturunan murni akan mendapat perhatian utama, karena kewibawaan orang semacam itu akan kurang dipertanyakan jika dibanding dengan kewibawaan seseorang yang berderajat lebih rendah, betapapun bijaksana atau beraninya.
Seseorang yang berhak menjadi raja karena keturunan, yang ditunjuk demikian oleh penguasa sebelumnya, dan yang memperlihatkan sifat-sifat kepemimpinan yang diharapkan, dapat memusatkan perhatian pada pengembangan kekayaan, wilayah, dan kekuasaan kerajaan. Seseorang yang kekurangan satu di antara persyaratan ini mungkin sekali harus memusatkan diri pada usaha mempertahankan kedudukannya terhadap orang lain yang berdarah lebih murni, atau lebih bersemangat, yang juga menyatakan berhak atas tahta.
Bagaimanapun, keberhasilan akan bergantung untuk sebagian besar pada hubungan penguasa dengan para pemimpin bawahan atau pada kemampuannya menghimpun jumlah pengikut yang cukup besar, yang kesetiaannya dapat diandalkan oleh penguasa tersebut. Dalam beberapa kejadian kelompok keluarga penguasa merupakan inti dari pengikut. Akan tetapi karena ada persaingan untuk kedudukan dalam kelompok keluarga tersebut, para anggota yang dipandang berstatus hampir sama dan karena perluasan kekuatan memerlukan jumlah pengikut yang lebih besar, maka seorang penguasa karena kebutuhan akan berpaling ke luar lingkungan keluarga. Salah satu cara untuk mendapatkan pengikuti yang setia adalah memberi tanah kedudukan.
Teknik-teknik kepemimpinan tradisional lain yang dikenal, yang dapat digunakan baik untuk menghimpun pengikut maupun dalam proses memerintah yang sebenarnya, digambarkan sebagai: bujuk, justai, dan pukul. Bujuk atau pujian, harus yang pertama-tama dicoba, kalau ini gagal, berikan janji, mungkin kedudukan tinggi boleh ditawarkan tetapi tidak perlu dipenuhi. Dan akhirnya, bagi mereka yang menolak bujukan, kekerasan dapat diterapkan untk mendatangkan hasil yang diingini. Tetapi yang tersebut belakangan harus diterapkan dengan hati-hati, sebab seorang lawan yang terdesak sampai ke satu sudut akan lebih menyukai kematian daripada kompromi, ini karena menyerah dipandang sebagai aib yang tidak tertanggungkan.
Kaum bangsawan dari tingkatan lebih rendah memerintah satuan-satuan bawahan kerajaan, atau menjadi anggota pengikut pribadi penguasa. Ada keluwesan yang cukup besar dalam komposisi wilayah kerajaan. Sekalipun batas-batas satuan tertentu, atau “wilayah inti”, mungkin ditetapkan cukup tepat, para pemimpin wilayah bawahan ini, terutama yang terletak di perbatasan antara kerajaan-kerajaan besar, mungkin saja mengalihkan kesetiaan mereka kepada penguasa lainnya yang menurut anggapan mereka lebih mampu memberikan kedamaian bahkan perlindungan, atau kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan dan petualangan. Karena kekeluargaan diperhitungkan secara bilateral, dan karena terjadi banyak hubungan perkawinan di kalangan bangsawan Sulawesi Selatan, kebanyakan pemimpin sedikit banyak bersaudara satu sama lain, dan juga dengan para pemimpin yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain, dengan pemimpin bawahan atau dengan para pengikut, seringkali diperkuat dengan perkawinan, dan perkawinan itu sendiri merupakan ungkapan formal dari hubungan yang sederajat atau lebih rendah dari pihak-pihak yang terlibat.
Hierarki para pemimpin dan kerajaan ini berada di atas masyarakat desa, dan dianggap telah berkembang daripadanya. Desa-desa tampaknya mula-mula dihuni oleh para anggota dari satu kelompok keluarga, yang bersama memuja suatu hiasan, atau barang, yang dipandang mengandung kekuatan gaib dan diwarisi dari para leluhur yang mula-mula memilikinya. Kepercayaan pada kekuatan gaib pusaka keluarga itu merupakan suatu pusat pemersatu untuk kelompok keluarga itu. Dan kepercayaan pada kekuatan gaib tempat-tempat tertentu seperti gua, pegunungan, puncak gunung, pohon, telaga memberikan kohesi spiritual kepada masyarakat desa itu ketika orang-orang yang bukan keluarga pindah ke daerah tersebut. Tampaknya, telah terjadi migrasi intern yang cukup besar dalam daerah Bugis dan Makassar, dan tidak hanya orang-orang asing masuk ke dalam desa yang sudah ada, melainkan kelompok-kelompok penduduk desa akan memisahkan diri dari permukiman induk dan mendirikan desa bawahan di dekatnya. Setiap masyarakat desa memilih pemimpinnya sendiri, biasanya dari keturunan pendiri desa. Hubungan dipertahankan antara permukiman asal dan permukiman yang kemudian timbul daripadanya, secara keseluruhan hal ini kelak mungkin merupakan inti suatu kerajaan kecil.
Mungkin mula-mula sebagai sarana untuk menyelesaikan persengketaan antara satuan-satuan yang berdekatan, atau sebagai pertahanan terhadap gangguan dari kelompok-kelompok yang lebih jauh dan lebih kuat, maka para pemimpin satuan lalu membentuk suatu dewan yang berkuasa, yaitu hadat dan selanjutnya para pemimpin ini memilih di antara mereka seorang penguasa konfederasi. Tiap satuan tetap mempunyai otonomi cukup besar dalam mengatur urusan mereka sendiri, dan kekuasaan kepala federasi itu sangat bergantung pada hubungannya dengan para pemimpin bawahan dan pada kewibawaan pribadinya.
Hubungan berdasar perjanjian antara penguasa dan rakyat ditandai dengan sumpah yang diambil dalam upacara penobatan, atau dalam upacara-upacara yang lebih sering untuk masa tanam dan masa panen. Dalam upacara penobatan, hadat biasanya bertindak sebagai wakil rakyat. Pada pokoknya, penguasa berjanji untuk memberikan keadilan dan perlindungan terhadap lawan dan kelaparan, yakni sebagai imbalan bagi kesetiaan rakyat dan atas kesediaan mereka membajak dan memanen tanahnya.

Tokoh Bugis :

Jenderal M. Yusuf, Pria Bugis yang MisteriusSiapa M. Jusuf? Tidak banyak tulisan yang bisa mengungkapkan pria Bugis yang satu ini. Masalahnya, ia sendiri selalu menolak untuk ditulis. Sikap ini diperteguh kenyataan, M. Jusuf bukan tipe orang yang dengan mudah mengumbar ceritera. Ia amat pelit dalam mengungkap sesuatu kepada publik, apalagi yang berkait dengan dirinya. Maka, sosok sejati M. Jusuf hanya bisa dipahami melalui penuturan orang ke orang, yang kebetulan pernah dekat dan bekerjasama dengan dirinya.Jenderal M. Yusuf bisa dibilang adalah sosok yang misterius.

Sikap yang terkesan tertutup ini bukan karena ia menutupi wilayah kelabu. Kesan ketertutupan itu lahir semata-mata karena M. Jusuf tidak senang merepotkan orang lain. Ia bukan pribadi yang menikmati kehebohan atas sebuah kejadian yang melibatkan orang lain. Ia bukan tipe orang yang bersenang-senang di atas ketelanjangan orang lain. Karena itu, setiap kejadian yang melibatkan dirinya dan orang lain, amat sulit dibeberkan. Ia tidak ingin mencederai orang lain dan keluarganya karena sebuah kejadian di masa silam. Baginya, masa silam tidak bisa dijadikan alat untuk merusak orang dan keluarganya. Ia simpulkan sikap ini dalam kosa kata Bahasa Bugis (ampe), artinya watak atau etika. Prinsip ini dipegangnya hingga kepergiannya.
Ihwal kejujuran, tidak perlu dipolemikkan. Semua orang yang mengenal dekat M. Jusuf, pasti mengacungkan jempol. Kejujuran M. Jusuf berbanding lurus dengan kesederhanaannya. Beberapa dekade, ia menjadi petinggi di republik ini, kehidupannya tetap sama. Asesori kenikmatan sesaat amat jauh dari kehidupannya. Ia malah, tak memahami nilai uang. Beberapa orang, termasuk kemenakannya, , pernah diberi uang kurang dari setengah juta rupiah. Ketika ia memberi uang itu, ia selalu wanti-wanti orang yang diberinya, menjaga diri agar tidak dirampok di jalan. Bagi M. Jusuf, uang itu seakan milyaran yang harus dibawa. Dalam perspektif ini, M. Jusuf teguh memegang prinsip kepemimpinan Bugis, seorang pemimpin yang berwibawa harus pemimpin yang berwatak malempu (lurus atau jujur).
Dalam prinsip hidup, M. Jusuf amat mengutamakan kejujuran karena ia tidak pernah percaya, pemimpin yang tidak jujur, bisa berwibawa. Orang yang bersih adalah orang yang bebas mengambil keputusan, dan pemimpin yang bebas mengambil keputusan, adalah pemimpin yang berwibawa.
Prinsip hidup sejenis ini menimbulkan rupa-rupa tafsir. Ada yang menilai, M. Jusuf menutupi berbagai kejadian masa lalu karena imenyangkut reputasi dirinya. Lalu, orang mengambil kejadian masa lalu yang melibatkan M. Jusuf, yakni, terbunuhnya Kahar Muzakkar. Hingga kini, nisan dan kuburan Kahar Muzakkar, tidak diketahui publik, padahal, saat ia tertembak mati, jenazahnya dibawa ke Makassar. Setelah itu, hanya teka–teki yang bermunculan, yang tidak pernah dijawab M. Jusuf hingga kini.
Sekilas, ada sesuatu yang ganjil dengan kejadian ini. Namun, ketertutupan M. Jusuf tentang misteri ini, amat logis dan gampang dipahami. M. Jusuf merahasiakan jenazah Kahar Muzakkar demi menghindari pertumpahan darah ke depan. M. Jusuf menutupi ini untuk menghindari adanya sebuah tempat, yang bisa dijadikan simbol kemarahan dan kebencian, yang suatu saat, bisa memicu pelatuk kemarahan bagi pengikut atau orang yang sefaham dengan Kahar Muzakkar. Bagi M. Jusuf, nisan adalah simbol yang bisa jadi mithos, dan mithos bisa dijadikan jalan menuju apa saja.
Masih dalam kaitan dengan Kahar Muzakkar. Saat M. Jusuf memutuskan mendatangkan tentara dari Jawa untuk memberantas pasukan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, orang bertanya. Mengapa M. Jusuf tidak menggunakan saja pasukan pemerintah yang sudah ada di kedua provinsi itu, yang juga tentara-tentara bersuku Bugis/Makassar, sama dengan suku Kahar Muzakkar? Mengapa M. Jusuf mengambil kebijakan seakan membiarkan sukunya digempur pasukan luar? Tak pernah ada jawaban M. Jusuf ke publik hingga kini.
Kebijakan tanpa penjelasan publik, ternyata dilakukan M. Jusuf, semata karena ia ingin cepat menyelesaikan kasus ini. Baginya, jika Kahar Muzakkar digempur dengan pasukan lokal, persoalan bisa berlarut-larut sebab pasukan lokal yang ada, pasti memiliki tali temali kekeluaragaan dengan Kahar Muzakkar, atau pengikut dan pasukan Kahar Muzakkar. Ikatan emosional seperti itu bisa memperpanjang agenda perang, atau memperpanjang agenda dendam.
Kesan ketertutupan seolah diperteguh praktek hidup sehari-hari M. Jusuf. Ia tak mudah, misalnya, menghadiri pesta, termasuk perkawinan. Baginya, yang paling penting dalam hidup adalah hadir saat orang lain kesusahan. Prinsip ini diaplikasikan, misalnya, ada kerabat yang sakit. M. Jusuf mengurus orang yang sakit sampai kepada hal yang amat detail. Dan itu dilakukan tanpa memberi kabar kepada publik.
Apakah rentetan misteri kejadian di republik ini, yang melibatkan M. Jusuf, langsung atau tak langsung, menjadi teka teki? Saya kira tidak. Soalnya, M. Jusuf selalu menulis catatan harian tentang banyak hal yang dialami. Ia menuliskan kejadian itu dalam aksara Bugis. Sebagai orang yang jujur, tulisan-tulisannya, juga refleksi dari kenyataan sebenarnya dan ditorehkan dengan kejujuran pula.
Kini, Jenderal yang misterius dandiidolakan oleh bangsa itu, khususnya prajurit dan perwira TNI, terbaring tenang. Kepergian jenderal yang lurus ini, tentu amat berbekas di kalangan TNI, sebab M. Jusuf adalah pimpinan TNI yang amat memperhatikan nasib prajurit dan peralatan TNI. Di era Jusuf, pembelian peralatan TNI dilakukan besar-besaran, yang hingga kini masih dipakai.
Saat menjadi Menhankam/Panglima TNI, M. Jusuf membarui peralatan TNI. Satu di antara adalah sejumlah pesawat hercules. Ia sama sekali tak menyangka, pesawat hercules yang dibelinya, adalah pesawat terakhir yang mengangkutnya dari Jakarta ke Makassar, dengan tubuh rapuh.
Kami bangga dengan Bapak, beristirahatlah dengan tenang.

Sang Maestro itu Telah BerpulangPada hari Senin kemarin seperti biasa, saya (Admin) menunaikan shalat subuh berjamaah di sebuah masjid yang sederhana bernama Masjid “Al-Manaar” Muhamamdiyah di Kota Pangkajene Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan. Usai shalat subuh berjamaah pengurus masjid mengumumkan kalau salah satu jama’ah masjid bahkan pernah menjadi Imam tetap di Masjid Al-Manaar bernama H. Muhammad Salim telah berpulang ke Rahmatullah pada hari Ahad/27 Maret 2010 seusai mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat maghrib. Saat itu terus terang saya bersikap biasa-biasa saja, barulah pagi harinya saat membaca koran terbaru saya terkejut karena ternyata H. Muhammad Salim yang dimaksud adalah orang yang sangat berpengaruh dan berjasa dalam dunia kasusasteraan Sulawesi Selatan. Beliau adalah penerjemah manuskrip lontarak I La Galigo. Beliau memang putra Sidrap, berasal dari Desa Allakkuang yang berjarak sekitar 5 kilometer sebelah selatan Ibukota Sidrap, Pangkajene. Jika bukan karena kerja keras Muhammad Salim, 75, kisah I La Galigo mungkin hanya akan terkurung dalam manuskrip tua yang perlahan menuju kepunahan. Boleh dikata, Muhammad Salim lah yang punya andil besar hingga I La Galigo mendunia, terutama setelah dipentaskan dalam bentuk teater di Asia, Eropa, dan Amerika, oleh sutradara teater terkenal asal Amerika Serikat, Robert Wilson. Sejak 2002, I La Galigo sudah “Go Internasional” ke  Singapura, Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Melbourne, Milan, dan Taipei. Berkat pementasan kelas internasional ini pula, Sureq I La Galigo bakal segera ditetapkan sebagai Memory of World oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Kisah Bugis kuno itu akan menjadi milik dunia.
Muhammad Salim memang telah memiliki ketertarikan terhadap epik I La Galigo sejak kecil. Putra Sidrap kelahiran Allakuang, 4 Mei 1936 silam ini selalu terpikat saat Sureq I La Galigo didendangkan oleh sesepuh di kampungnya yang masih memahami bahasa Bugis kuno. Sureq I La Galigo mengisahkan prosesi penciptaan dunia versi Bugis purba. Tokoh sentral dalam kisah ini adalah Sawerigading, putra penguasa dunia tengah, ksatria sakti mandraguna dan seorang pengelana. Sedangkan I La Galigo merupakan salah seorang putra Sawerigading yang mewarisi kesaktian dan jiwa pengembara sang ayah. Kisah Sawerigading yang begitu fantastis membuat Salim terus mencari dan mengumpulkan naskah-naskah yang ada. Namun bukan pekerjaan mudah menyusun kisah itu. Bayangkan saja, manuskrip lontarak I La Galigo terpencar di desa-desa di Sulsel.
Untung saja, kerja keras Salim mengejar naskah-naskah I La Galigo ini, diketahui pihak Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal Leiden (KIVTL), Belanda. Pihak perpustakaan kemudian mengundang Salim ke Belanda untuk menerjemahkan tumpukan naskah I La Galigo yang juga tersimpan di sana. Manuskrip Sureq I La Galigo di Leiden merupakan naskah yang disusun oleh Arung Pancana Toa yang kemudian dibawa oleh Dr B.F Matthes ke Belanda pada masa kolonial. Pada 1987,  Salim terbang ke Belanda. Di Perpustakaan KITVL, Salim memulai misinya menerjemahkan naskah lontarak I La Galigo yang oleh orang-orang Bugis di masa kini, mungkin sudah susah diartikan. Bagi dia sendiri, bahasa Bugis terbagi pada tiga klasifikasi, yaitu Bugis Pasaran, Bugis Podium dan Bugis Lontarak.
“Bahasa yang dipakai di tengah masyarakat adalah bahasa pasaran. Bugis Podium itu bahasa yang dipakai dalam ceramah-ceramah. Kalau Bahasa Bugis Lontarak, itulah yang digunakan dalam Sureq I La Galigo,” kata Salim suatu waktu.
Dia mencontohkan, kata “jika” dalam Bahasa Bugis dikenal beberapa kata yang artinya sama. Seperti “rekko”, “nakko”, “yakko” dan “neirikkua”. “Semua itu artinya ‘jika’ atau ‘kalau’. Tapi dalam lontarak, yang dipakai adalah ‘Neirikkua’,” tambahnya. Di Leiden, Salim menghabiskan waktu hampir dua bulan. Meski seluruh biaya hidupnya selama di Leiden ditanggung oleh pihak Kerajaan Belanda, kerja Salim tetap saja tidak mudah. Bagaimana tidak, sekitar 200 lembar lontarak sudah rusak parah. Mikrofilm yang dipakai untuk memperjelas huruf-huruf yang sudah berusia lebih 1,5 abad itu pun sudah tidak terlalu banyak membantu. Akhirnya, pihak perpustakaan melakukan autopsi huruf. Saat itu, Salim memperkirakan terjemahan akan memakan 1500 lembar kertas folio. Salim lalu kembali ke Makassar dengan membawa kopian Sureq.
Namun betapa terkejutnya Salim saat menghitung kembali jumlah lembar yang akan dihabiskan dalam proses penerjemahan. Perkiraannya saat di Leiden ternyata meleset. Bukan 1500 lembar, tetapi 3000 lembar. Dengan hitung-hitungan normal 300 lembar yang diterjemahkan dalam setahun, itu berarti Salim membutuhkan waktu setidaknya 10 tahun untuk merampungkan terjemahan seluruh 3000 halaman tersebut.
“Saat itu kan masih pakai mesin tik. Jadi prosesnya menjadi sangat lama. Beda dengan sekarang yang sudah dibantu dengan mesin komputer,” tutur suami Hj Jamiah ini.
Pihak perpustakaan Leiden tak kalah terkejutnya. Bagi mereka, 10 tahun itu waktu yang sangat lama. Salim pun berjanji akan mencoba semampunya untuk mempersingkat waktu penerjemahan. Sejak saat itu, Salim yang saat itu tercatat sebagai PNS mulai menjalani misi berat tersebut. Waktu libur harus dia lupakan. Salim akhirnya menuntaskan misi yang dimulainya pada 1 Oktober 1988 itu. Dia berhasil menyelesaikan seluruh 3000 lembar terjemahan pada 30 Desember 1994 dalam 12 jilid tebal. “Saya menyelesaikannya dalam waktu lima tahun dua bulan,” kenangnya.
Keberhasilan Salim dalam menerjemahkan manuskrip I La Galigo mulai menarik perhatian kalangan akedemisi. Prof Dr Fachruddin Ambo Enre ikut terlibat dalam penyesuaian Bahasa Indonesia. Setahun kemudian dan atas bantuan Kerajaan Belanda, jilid pertama I La Galigo diterbitkan dalam bentuk buku setebal 575 halaman. Buku dengan sampul kapal Phinisi yang dicetak sebanyak 1000 ekslampar oleh Universitas Hasanuddin. Untuk buku yang setebal kitab itu, harga jualnya hanya Rp 10.000 per ekslampar.
Pada tahun 2000, jilid kedua I La Galigo kembali diterbitkan. Lagi-lagi atas bantuan dari Kerajaan Belanda. Buku jilid kedua ini setebal 611 halaman dan dijual Rp 65.000. Namun nampaknya hanya 2 jilid inilah yang dapat dipersembahkan salah satu putra terbaik Sulawesi Selatan ini, karena beliau telah di panggil Sang Khalik lebih cepat di usianya ke-75. Mudah-mudahan segala amal ibadah beliau di terima disisi-Nya, Amin. Dan semoga saja ada putra Sulawesi Selatan selanjutnya yang meneruskan karya beliau dalam mengerjakan jilid-jilid I Lagaligo selanjutnya hingga selesai.



Tokoh Bugis : Jusuf Kalla

Muhammad Jusuf Kalla merupakan tokoh asal Bugis kedua setelah B.J. Habibie yang memegang tampuk pimpinan tertinggi di Indonesia. Kalau Bapak Habibie menjadi Wakil Presiden dan kemudian menggantikan Soeharto saat mengundurkan diri sebagai Presiden, maka Jusuf Kalla adalah Wakil Presiden terpilih berpasangan dengan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono periode 2004-2009. Yusuf Kalla  lahir di Wattampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942. Ia menyelesaikan pendidikan pada Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin Makassar tahun 1967 dan The European Institute of Business Administration Fountainebleu, Prancis (1977). Pada Oktober 2004 menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) berhasil sebagai pemenang Pemilu. SBY dilantik sebagai Presiden RI ke-6 dan M. Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI ke-10. Pasangan ini menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI yang pertama kali dipilih rakyat secara langsung. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke-4), M. Jusuf Kalla dipercayakan selama kurang dari setahun (1999-2000) sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI merangkap Kepala Bulog. Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) ia dipilih menduduki jabatan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Jusuf Kalla kemudian mengundurkan diri sebagai Menko Kesra RI sebelum maju sebagai calon wakil presiden, mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Selain tugas-tugas sebagai Menko Kesra, M. Jusuf Kalla telah meletakkan kerangka perdamaian di daerah konflik Poso, Sulawesi Tengah, dan Ambon, Maluku. Lewat pertemuan Malino I dan Malino II dan berhasil meredakan dan menyelesaian konflik di antara komunitas Kristen dan Muslim.
Kunjungan kerjanya sebagai Menko Kesra ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada awal tahun 2004 memberinya inspirasi untuk menerapkan pengalaman penyelesaian konflik Ambon-Poso di NAD. Upaya penyelesaian Aceh di dalami dan dilanjutkan penanganannya saat setelah dilantik menjadi Wakil Presiden RI. Akhirnya, kesepakatan perdamaian untuk NAD antara Pemerintah dan tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berhasil ditandatangani di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.
Pengalaman pada organisasi pemuda/mahasiswa seperti Ketua HMI Cabang Makassar tahun 1965-1966, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UNHAS) 1965-1966, serta Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tahun 1967-1969 memberi bekal untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sulit tersebut.

Tahun 1965 sesaat setelah pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), M. Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Pemuda Sekber Golkar Sulawesi Selatan dan Tenggara (1965-1968). Kemudian, terpilih menjadi Anggoa DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Periode 1965-1968 mewakili Sekber Golkar. Pada Musyawarah Nasional (Munas) Golkar di Bali, bulan Desember 2004 ia terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar Periode 2004-2009. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Anggota Dewan Penasihat DPP Golkar, dan menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Utusan Golkar (1982-1987), serta Anggota MPR-RI Utusan Daerah (1997-1999).
Putra pasangan Hadji Kalla dan Hajjah Athirah ini sebelum terjun ke pemerintahan dikenal luas oleh dunia usaha sebagai pengusaha sukses. Usaha-usaha yang dirintis ayahnya, NV. Hadji Kalla, diserahkan kepemimpinannya sesaat setelah ia diwisuda menjadi Sarjana Ekonomi di Universitas Hasanuddin Makassar Akhir Tahun 1967.
Di samping menjadi Managing Director NV. Hadji Kalla, juga menjadi Direktur Utama PT Bumi Karsa dan PT Bukaka Teknik Utama.
Usaha yang digelutinya, di samping usaha lama, ekspor hasil bumi, dikembangkan usaha yang penuh idealisme, yakni pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan, jembatan, dan irigasi guna mendorong produktivitas masyarakat pertanian.
Anak perusahaan NV. Hadji Kalla antara lain; PT Bumi Karsa (bidang konstruksi) dikenal sebagai kontraktor pembangunan jalan raya trans Sulawesi, irigasi di Sulsel, dan Sultra, jembatan-jembatan, dan lain-lain. PT Bukaka Teknik Utama didirikan untuk rekayasa industri dan dikenal sebagai pelopor pabrik Aspal Mixing Plant (AMP) dan gangway (garbarata) di Bandara, dan sejumlah anak perusahaan di bidang perumahan (real estate); transportasi, agrobisnis dan agroindustri.

Atas prestasinya di dunia usaha, Jusuf Kalla dipilih oleh dunia usaha menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Sulawesi Selatan (1985-1997), Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Indonesia (1997-2002), Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Sulawesi Selatan (1985-1995), Wakil Ketua ISEI Pusat (1987-2000), dan Penasihat ISEI Pusat (2000-sekarang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar