Selasa, 07 Juni 2011

Istana Darul Arif Serdang


Sejarah

Sejarah kesultanan Serdang tidak terlepas dari kejayaan Kesultanan Aceh, Kerajaan Haru, dan Kerajaan Serdang. Sejarah Kesultanan Serdang sebenarnya diawali dengan munculnya Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Dia merupakan sosok pemberani yang terkenal sebagai Panglima Besar Tentara dan Panglima Armada Aceh. Mengusung panji-panji kebesaran Kesultanan Aceh di bawah naungan Sultan Iskandar Muda, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan memimpin operasi penaklukkan dan berhasil menundukkan negeri-negeri di sepanjang Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatra, hingga Johor serta Pahang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan itu tidak lain adalah Laksamana Malem Dagang yang memimpin armada Aceh melawan Portugis (1629) dan yang menaklukkan Pahang (1617), Kedah (1620), Nias (1624), dan lain-lainnya.

Berkat jasa dan pengabdian terhadap Kesultanan Aceh, pada 1632 Sultan Iskandar Muda berkenan memberikan penghargaan dengan melantik Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan sebagai wakil Sultan Aceh atau Wali Negeri untuk memimpin wilayah Haru atau yang kemudian dikenal sebagai wilayah Sumatra Timur. Haru sebenarnya merupakan sebuah kerajaan mandiri yang berhasil ditaklukkan Kesultanan Aceh di bawah komando Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan.

Pada masa-masa berikutnya, Kerajaan Haru bersama kerajaan-kerajaan kecil lainnya melakukan perlawanan terhadap Kesultanan Aceh yang muncul sebagai kekuatan baru di sekitar Selat Malaka. Berkali-kali Haru melancarkan gerakan penentangan terhadap dominasi Aceh hingga kerajaan ini berhasil ditaklukkan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memunculkan nama Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan sebagai panglima perang yang paling berhasil pada masa itu. Oleh penguasa Kesultanan Aceh, pada 1632 wilayah Haru diberikan kepada Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan selaku wakil Sultan Aceh. Dari sinilah riwayat Kerajaan Deli dan Kerajaan Serdang dimulai. Pendudukan atas bekas wilayah Kerajaan Haru ini diberikan oleh Kesultanan Aceh dengan misi:
1. Menghancurkan sisa-sisa perlawanan Kerajaan Haru (yang dibantu oleh Portugis).
2. Mengembangkan misi Islam ke wilayah pedalaman.
3. Mengatur pemerintahan yang menjadi bagian dari Imperium Aceh.

Pada 1632 M, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan menikah dengan Puteri Nan Baluan Beru Surbakti, adik dari penguasa Kerajaan Sunggal, Datuk Imam Surbakti. Kerajaan Sunggal merupakan salah satu pemerintahan kecil yang terdapat di wilayah Urung asal Karo di Deli. Pengakuan dari kerajaan-kerajaan kecil di regional itu yang diberikan kepada Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan membuat pemerintahan Deli di bawah naungan Aceh semakin mantap. Setelah Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan meninggal dunia pada 1641 M, kekuasaan atas wilayah Deli diberikan kepada putranya, Tuanku Panglima Perunggit (1614-1700 M) yang kemudian bergelar sebagai Panglima Deli.

Ketika kebesaran Kesultanan Aceh mulai melemah, di mana Sultan Iskandar Muda mangkat dan pemerintahan Aceh dipegang oleh raja-raja perempuan, pada 1669 M Panglima Perunggit memproklamirkan kemerdekaan Deli atas penguasaan Aceh. Sebagai legitimasi, Deli di bawah komando Panglima Perunggit menjalin hubungan dengan Belanda di Malaka. Tuanku Panglima Perunggit atau Panglima Deli meninggal dunia pada 1700 M. Pengganti Tuanku Panglima Perunggit sebagai penguasa Deli adalah sang putra mahkota, Tuanku Panglima Paderap yang memerintah hingga tahun 1720 M. Sepeninggal Tuanku Panglima Paderap, Deli mulai dilanda perpecahan. Selain karena mulai berpengaruhnya Kerajaan Siak di wilayah Sumatra Timur, ancaman yang mengguncang Deli juga disebabkan oleh adanya perebutan kekuasaan di antara anak-anak Tuanku Panglima Paderap. Meski terdapat beberapa versi, ada sejumlah kalangan yang meyakini bahwa anak Tuanku Panglima Paderap berjumlah empat orang, yaitu:
1. Tuanku Jalaludin Gelar Kejuruan Metar, berasal dari turunan bangsawan Mabar, Percut, dan Tg. Mulia.
2. Tuanku Panglima Pasutan, berasal dari turunan bangsawan Deli dan Bedagai.
3. Kejeruan Santun, berasal dari turunan bangsawan Denao dan Serbajadi.
4. Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, berasal dari turunan bangsawan Serdang dan Sei Tuan.

Perang saudara dalam memperebutkan kekuasaan Deli itu terjadi pada sekitar tahun 1723. Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan yang merasa paling berhak atas tahta Deli, karena merupakan anak yang berasal dari permaisuri, tidak berhasil memperoleh haknya. Dalam pertempuran melawan kakak keduanya, Tuanku Panglima Pasutan, Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan menelan kekalahan dan bersama ibundanya, Tuanku Puan Sampali yang tidak lain adalah permaisuri Tuanku Panglima Paderap, terpaksa menyingkir dan mengungsi hingga kemudian mendirikan Kampung Besar (Serdang). Atas kemenangan yang diperoleh dari adiknya itu maka Kesultanan Deli dikuasai oleh Tuanku Panglima Pasutan.

Dalam catatan Tengku Luckman Sinar Basarshah II, yang kini mengemban mandat sebagai Sultan Pemangku Adat Kesultanan Negeri Serdang atau Sultan Serdang ke VIII, disebutkan bahwa menurut adat Melayu yang benar, yang berhak menggantikan Tuanku Panglima Paderap sebagai pemimpin Kerajaan Deli adalah Tuanku Umar Johan selaku putra dari permaisuri. Namun, Tuanku Umar Johan disingkirkan oleh kakaknya karena masih di bawah umur. Atas perlakuan terhadap Tuanku Umar Johan tersebut maka dua orang besar di Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah serta bersama dengan seorang Raja Urung Batak Timur yang menghuni wilayah Serdang bagian Hulu di Tanjong Merawa dan juga seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), merajakan Tuanku Umar Johan selaku Raja Serdang yang pertama diangkat yaitu pada 1723 M.

Sultan Serdang pertama, Tuanku Umar Johan, memiliki tiga orang putra, yakni Tuanku Malim, Tuanku Ainan Johan Alamsyah, dan Tuanku Sabjana atau yang sering dikenal sebagai Pangeran Kampung Kelambir. Oleh karena Tuanku Malim menolak dilantik menjadi raja sebagai pengganti ayahnya, maka yang kemudian didaulat untuk menduduki tahta Kesultanan Serdang setelah Tuanku Umar Johan mangkat adalah Tuanku Ainan Johan Alamsyah (1767-1817). Sultan Ainan Johan Alamsyah beristrikan Tuanku Puan Sri Alam dari Kerajaan Perbaungan yang kemudian bergabung dengan Kesultanan Serdang. Sebelumnya, salah seorang keturunan Panglima Paderap (Raja Deli terakhir) yang lain, yaitu Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun, yang membuka negeri di Denai dan meluas sampai ke Serbajadi, sudah menggabungkan diri dengan Kesultanan Serdang di masa pemerintahan Sultan Serdang yang pertama.

Putra pertama Sultan Ainan Johan Alamsyah, Tuanku Zainal Abidin, terbunuh ketika berperang di Langkat. Maka dari itu, ditunjuklah Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah, putra kedua dari Sultan Ainan Johan Alamsyah, sebagai penerus tahta Kesultanan Serdang. Sultan Thaf Sinar Baharshah yang kemudian dianugerahi nama kebesaran sebagai Sultan Besar Serdang memerintah selama periode 1817-1850 M.

Pada masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah ini Kesultanan Serdang mengalami era jaya dengan menjadi kerajaan yang makmur dan sentosa karena perdagangannya. Nama Kesultanan Serdang begitu besar dan dikenal negeri-negeri lain sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak kerajaan-kerajaan lain, seperti Padang, Bedagai, dan Senembah, yang meminta bantuan militer dari Kesultanan Serdang.

Sebagai pengganti dari Sultan Thaf Sinar Baharshah adalah putranya yang tertua, yaitu Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819-1880). Kepemimpinan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah mendapat legitimasi dari Sultan Aceh, Ibrahim Mansyur Syah, berupa pengakuan Mahor Cap Sembilan.

Ketika pada 1854 Aceh mengirim ekspedisi perang sebanyak 200 perahu perang untuk menghukum Deli dan Langkat, Serdang berdiri di pihak Aceh. Dalam menjalankan pemerintahannya Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah didampingi oleh orang-orang besar, wazir, serta raja-raja taklukkan. Zaman pemerintahan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah memang diwarnai banyak peperangan, baik yang datang dari dalam maupun luar. Selain berkonflik dengan Deli dalam persoalan perluasan wilayah, Serdang juga menghadapi gangguan dari penjajah Belanda yang datang ke Serdang pada 1862. Namun, hegemoni Belanda yang terlalu kuat menyebabkan Serdang kemudian harus takluk dan mendapat pengakuan dari Belanda seperti yang tercantum dalam Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862.

Ketika Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah wafat pada 7 Muharram 1279 Hijriah atau pada bulan Desember 1880, sang putra mahkota, Sulaiman Syariful Alamsyah, masih sangat muda sehingga roda pemerintahan Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali sampai Sulaiman Syariful Alamsyah siap untuk memimpin pemerintahan. Pengakuan resmi dari pemerintah kolonial Belanda atas penobatan raja baru di Serdang ini baru diberikan melalui Acte van Verband tanggal 29 Januari 1887. Pada era kepemimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah ini, pertikaian Serdang dengan Deli semakin memanas kendati beberapa solusi telah dilakukan untuk meminimalisir konflik, termasuk melalui hubungan perkawinan dan kekerabatan. Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berlangsung cukup lama yakni dari era masa ketika kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga pascakemerdekaan Republik Indonesia (1946). Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, pada Desember 1945 Kesultanan Serdang di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah menyatakan dukungan terhadap berdirinya negara Republik Indonesia yang berdaulat.

Selanjutnya, tahun 1946 wilayah Sumatra Timur, termasuk Serdang, dilanda situasi yang mencekam. Pada 3 Maret 1946, terjadi peristiwa menggegerkan yang dikenal sebagai “Revolusi Sosial” di mana terjadi penangkapan terhadap raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh orang-orang komunis. Raja-raja dan kaum bangsawan itu oleh kaum kiri dianggap sebagai pengkhianat karena dulu mengabdi kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Penangkapan terhadap raja-raja di Sumatra Timur itu, seperti yang terjadi di Simalungun di mana raja-raja ditangkap, beberapa orang di antaranya dibunuh, dan istana mereka dijarah. Di Langkat, Sultan ditahan dan beberapa bangsawan tewas, termasuk sastrawan Tengku Amir Hamzah. Sementara di Asahan, Sultan Saibun berhasil meloloskan diri dan berlindung di markas tentara Jepang yang kemudian menyerahkannya kepada pihak Tentara Republik Indonesia (TRI) di Siantar. Demikian juga di wilayah Batubara dan Labuhan Batu, raja-raja dibunuh, termasuk para bangsawan utama, dan harta benda mereka dirampok.

Masih menurut catatan Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, di Serdang keadaan sedikit berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain. Berkat adanya dukungan yang positif dari Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap kaum pergerakan dan perasaan anti Belanda yang telah dikenal umum sejak zaman kolonial Belanda serta sokongan penuh Kesultanan Serdang atas berdirinya negara Republik Indonesia sejak tahun 1945, maka tidak terjadi aksi penangkapan, pembunuhan, atau penjarahan di Serdang. Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah tidak menyandarkan diri kepada pasukan Sekutu karena banyak kerabat dan para bangsawan Serdang yang dianjurkan menempati posisi di dalam struktur angkatan bersenjata Republik, partai-partai politik yang berhaluan Islam dan nasionalis. Oleh karena itu, ketika terjadi “Revolusi Sosial” 3 Maret 1946, diadakanlah suatu perundingan antara Kapten Tengku Nurdin (Komandan Batalion III TRI di Medan) dengan Tengku Mahkota Serdang dan para tokoh adat Kesultanan Serdang. Dari perundingan itu kemudian diambil keputusan bahwa Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada TRI yang dalam hal ini bertindak mewakili pemerintah Republik Indonesia.

Sebagai tindak lanjut atas kesepakatan tersebut, maka keesokan harinya, yakni tanggal 4 Maret 1946, diutuslah Jaksa Tengku Mahmuddin dan Panitera Tengku Dhaifah atas nama Kesultanan Serdang untuk secara resmi menyerahkan administrasi pemerintahan kepada pihak TRI atas nama pemerintah Republik Indonesia yang dipersatukan oleh Komite Nasional Indonesia wilayah Serdang dan sejumlah wakil organisasi masyarakat serta organisasi politik lainnya di kantor Kerapatan di Perbaungan. Timbang terima yang mulai berjalan pada 4 Maret 1946 ke segenap pelosok wilayah Serdang itu agaknya merupakan sebuah peristiwa unik yang berlaku untuk pertamakalinya di Indonesia. Sejak saat inilah Kesultanan Serdang meleburkan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wujud komitmennya terhadap kemerdekaan dan berdirinya negara Indonesia yang berdaulat.

Peranan Sultan Pada Masa Kini

Karena Serdang sebenarnya adalah pecahan dari Kesultanan Deli (itulah mengapa gelaran sultannya memakai istilah Yang Dipertuan Besar Serdang) maka sesudah Indonesia merdeka ia digabung kembali dengan induknya dan dibentuk Kebupatian Deli-Serdang. Ibukotanya mula-mula di Medan lalu dipindah ke Lubuk Pakam.

Setelah reformasi, Serdang berusaha mengajukan usulan agar dapat berdiri sendiri sebagai sebuah Kabupaten yang terpisah dari Deli. Tahun 2004, terbentuk Kabupaten Serdang Bedagai dengan wilayah kira-kira sebagaimana wilayah Kesultanan Serdang dahulu, tetapi ibukotanya bukan lagi di Perbaungan melainkan dipindah ke Bandar Sungai Rempah.

Yang menarik, meski Kepala Daerah (Bupati) kini dipilih secara demokrasi (bukun karena turun-temurun) tetapi Bupati pertama Serdang Bedagai bernama Tengku Ery Tengku Nurdin seorang anak turun Sultan Serdang.

Kebangkitan Kesultanan Serdang saat ini, juga tidak bisa lepas dari himpitan sistem politik negara. Kesultanan Serdang tidak lagi dipahami sebagai representasi perilaku budaya dan adat masyarakatnya. Sehingga, aktivitas kesultanan dibatasi hanya sebagai institusi istiadat saja. Dalam penyelenggaraan istiadatpun diarahkan agar tidak menjadi perenggang masyarakat dengan akar budayanya, apalagi unsur budaya yang berhubungan dengan kesultanan.

Akan tetapi, pada tanggal 12 Juni 2002, diadakan pergantian kesultanan,dari kesultanan Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj, menjadi Tuanku Luckman Sinar Barshah. Upacara penobatan Tuanku Luckman Sinar Baharshah II selaku Pemangku Adat Kesultanan Negeri Serdang yang ke VIII digelar pada 12 Juni 2002 di Perbaungan dan dihadiri 6.000 orang utusan dari seluruh Serdang dan 2.000 orang undangan dari kalangan pemerintah serta empat negara. Tuanku Luckman Sinar Baharshah II yang memegang tahta adat Kesultanan Negeri Serdang hingga sekarang menjadi penegas bahwa Kesultanan Serdang masih eksis sampai hari ini.

Pada masa ini juga diperketat aturan tentang adat-istiadat kerajaan, yaitu antara lain:

1. Adat Sebenar Adat
Adat ini menganut pemahaman sesuai berlakunya Hukum Alam, misalnya: api itu panas, air itu dingin, hidup-mati, siang-malam, lelaki-perempuan, dan lainnya.

2. Adat yang Diadatkan
Adat ini muncul sebagai hasil dari konsensus permufakatan Orang Raja dan Para Orang Besar Kerajaan.

3. Adat yang Teradat
Adat ini lahir dari suatu kebiasaan yang kemudian diikuti secara terus-menerus dan turun-temurun oleh masyarakat, sehingga menjadi resam hingga dijadikan sebagai Hukum Adat dan terdapat sanksi-sanksi adat jika hukum itu dilanggar.

4. Adat-Istiadat
Adat ini berupa seremonial yang dirujuk dari ketentuan yang belaku di istana raja. Adat ini bersifat dinamis, bisa berubah ketika terjadi pergantian raja.

Silsilah Raja-Raja

Berikut nama-nama sultan yang pernah memimpin pemerintahan Kesultanan Serdang:
1. Sultan Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan (1723−1767).
2. Sultan Ainan Johan Alamsyah (1767−1817).
3. Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817−1850).
4. Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819−1880).
5. Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah (1866−1946) . - Selama tahun 1880 − 1866, pemerintahan Kesultanan Serdang dipegang oleh Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali karena Sulaiman Syariful Alamsyah masih sangat belia.
6. Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar (1946−1960).
7. Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj (1997−2001).
8. Tuanku Luckman Sinar Baharshah II (2001−sekarang), dinobatkan pada 2002.

Koleksi Sejarah Yang Dimiliki

Dari sejarah kejayaan Kesultanan Serdang, yang tersisa hanyalah masjid dan kompleks makam raja-raja dan para pembesar kesultanan. Diantaranya :
1. Makam Tuanku Sulaiman Syariful Alamsyah.
2. Makam Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam
3. Masjid Sulaimaniyah

Masjid Sulaimaniyah berada di Desa Kota Galuh, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Masjid Sulaimaniyah merupakan salah satu bukti eksistensi Kesultanan Serdang di masa lalu. Dahulu kala, lokasi masjid ini berada tidak jauh dari Istana Kesultanan Serdang, yaitu Istana Darul Arif. Namun, revolusi sosial yang terjadi di kawasan Sumatra bagian timur telah menyebabkan Istana Darul Arif hanya dapat ditemui dalam buku-buku sejarah atau foto-foto dokumentasi.

Posisi Masjid Sulaimaniyah tepat berada dipinggir jalan utama yang menghubungkan Kota Medan dan Tebing Tinggi. Sehingga siapapun yang melintas dari arah Medan menuju Tebing Tinggi atau sebaliknya, pasti melewati masjid yang menjadi simbol gambaran aktivitas keberagamaan masyarakat Kesultanan Serdang, dari sultan hingga rakyatnya. Melihat nilai historis yang dimiliki Masjid Sulaimaniyah, tidak heran jika banyak para wisatawan yang melintasi masjid ini berusaha menyempatkan diri mengunjungi tempat ini.

Bangunan Masjid Sulaimaniyah walaupun di sebelahnya telah dibangun sebuah menara yang terlihat kokoh menjulang tinggi, secara fisik kelihatan biasa-biasa saja. Tidak ada lengkung bangunan yang begitu tinggi seperti di Masjid Al Mahsun dan kubah-kubah menjulang tinggi sebagaimana di Masjid Azizi. Jika menjadikan bentuk atap Masjid Al Mahsun dan Masjid Azizi sebagai ciri khas sebuah masjid, maka Masjid Sulaimaniyah sama sekali tidak kelihatan seperti masjid, karena atap Masjid Sulaimaniyah berbentuk mahligai, sehingga lebih nampak seperti kantor pemerintahan dengan pucuk rebung berwarna kuning sebagai ragam hiasnya, dan warna hijau sebagai atapnya. Kepastian bahwa bangunan ini merupakan sebuah masjid dapat dilihat dari sebuah tulisan Arab-Melayu berbunyi ”Masjid Sulaimaniyah” yang terpahat di bagian atas depan masjid ini.

Di bagian dinding masjid terdapat sebuah prasasti yang menjelaskan sejarah Masjid Raya Sulaimaniyah. Dalam prasasti tersebut tertulis bahwa Masjid Raya Sulaimaniyah didirikan oleh Sultan Serdang Syariful Alamsyah pada tahun 1894 seiring dengan dipindahkannya ibukota kesultanan dari Rantau Panjang ke Istana kota Galuh Perbaungan. Tahun 1901, Masjid Raya Sulaimaniyah dibangun secara permanen. Dari catatan sejarah yang tertulis itu, dapat juga diketahui bahwa Masjid Raya Sulaimaniyah telah mengalami beberapa renovasi, yaitu tahun 1964, 1967, dan tahun 2004 (selesai tahun 2005).

Atap pada teras Masjid Raya Sulaimaniyah berbentuk piramid bersusun dua, sehingga kelihatan seperti bagian depan sebuah perkantoran. Di belakang atap berbentuk piramid tersebut, terdapat kubah masjid berbentuk segi empat memanjang bersusun empat. Pada bagian atasnya terdapat lambang bulan sabit dan bintang yang menjadi penegas bahwa bangunan ini sebuah masjid. Di dalam masjid terdapat empat tiang berukuran besar yang menjadi penyangga bangunan dengan sebuah lampu hias tergantung di tengah-tengah ruangan. Nuansa Melayu dalam ruangan masjid terasa sangat kuat ketika melihat sebuah mimbar berwarna kuning emas dengan 4 anak tangga berlapis karpet hijau.

Atap bagian depan masjid yang berbentuk piramid, kubah masjid yang bebentuk mahligai berbentuk empat persegi panjang, mimbar berundak empat, dan hiasan pucuk rebung yang memenuhi dinding masjid, serta kuning dan hijau yang menjadi warna dominan masjid merupakan titik-titik keistimewaaan Masjid Raya Sulaimaniyah. Mengapa dikatakan istimewa, karena Masjid Raya Sulaimaniyah secara jelas merupakan ekspresi keislaman yang dihasilkan dari pemahaman Islam dengan menggunakan kaca mata pengetahuan lokal Melayu. Nilai indiginous inilah yang menjadikan Masjid Raya Sulaimaniyah menjadi sangat istimewa.

Arsitektur Istana

Istana Darul Arif Serdang, jauh dari kemewahan. Bahan utama untuk membangun istana ini adalah kayu dan batu bata. Lahan Istana Darul Arif Serdang cukup luas. Istana ini berbentuk seperti rumah panggung. Ada tiga lantai, lantai paling atas digunakan sebagai menara pengintai. Atap istana ini berbentuk segitiga, untuk atap menara dibuat segitiga berundak-undak. Di halaman istana terdapat gapura sebagai pintu masuk.

Transportasi Dan Akomodasi

Untuk menuju ke Istana Darul Arif Serdang. Dapat menggunakan mobil dari arah Pemantang Siantar, Tebing Tinggi atau Kota Medan. Jika melalui jalur laut, dapat berlabuh di dermaga Belawan. Meskipun tidak terlalu ramai, dahulu kala pelabuhan ini sangat penting dalam jalur perdagangan, namun setelah ada pelabuhan batam, pelabuhan ini menjadi sepi. Selain itu, pada jaman dahulu, pelabuhan ini menjadi pintu masuk utama untuk mengunjungi kesultanan yang ada di Sumatera Timur.

Untuk tiket masuk, tidak dipungut biaya. Hanya ada sumbangan seikhlasnya yang diminta dari wisatawan.

(BY:DESVIANA ISNAENI (4423107028))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar