Jumat, 10 Juni 2011

Puri Mangkunegaran

Madito Mahardika
4423107021


                                                            

Sejarah Puri Mangkunegaran

Puri Mangkunegaran sangat erat kaitannya dengan perjuangan Raden Mas Said atau dikenal juga dengan julukan Pangeran Sambernyawa. Beliau adalah pendiri dari Puri Mangkunegaran sekaligus Praja Mangkunegaran. Praja atau kadipaten Mangkunegaran adalah Kadipaten yang pernah berukuasa di wilayah karesidenan Surakarta dan sekitarnya sejak tahun 1757 sampai dengan 1946. Penguasanya adalah cabang dari wangsa Mataram. Lahirnya Mangkunegaran dahulu kala berawal dari meletusnya Perang Suksesi Jawa III. Perang Suksesi Jawa III adalah perang yang terjadi antara pasukan pendukung VOC ( Pakubuwana II kemudian kebijakannya ini dilanjutkan oleh putranya, Pakubuwana III) yang berkonfrontasi dengan pasukkan anti VOC (Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi atau Bendoro Raden Mas Sujana). Berbicara mengenai awal mula Puri Mangkunegaran tentu kita pasti akan menyinggung mengenai asal-usul Raden Mas Said. Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said dilahirkan di Kartasura pada hari Minggu Legi, Tanggal 4 Ruwah Jimakir 1650 tahun jawa, Windu Adi Wuku Wariagung, atau pada tanggal 8 April 1725 Masehi. Ayah Raden Mas Said adalah kanjeng Pangeran Aryo Mangkoenagoro (Kartasura). Semasa kecil Raden Mas Said harus sudah hidup mandiri tanpa kasih sayang dari seorang ibu karena ibundanya meninggal pada saat melahirkannya kala itu. sedangkan ayahandanya ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke Srilangka karena dianggap membelot dan tidak mau patuh kepada pihak Belanda ketika Raden Mas Said berusia dua tahun.
dilahirkan di Kartasura pada hari Minggu Legi, Tanggal 4 Ruwah Jimakir 1650 tahun jawa, Windu Adi Wuku Wariagung, atau pada tanggal 8 April 1725 Masehi. Ayah Raden Mas Said adalah kanjeng Pangeran Aryo Mangkoenagoro (Kartasura). Semasa kecil Raden Mas Said harus sudah hidup mandiri tanpa kasih sayang dari seorang ibu karena ibundanya meninggal pada saat melahirkannya kala itu. sedangkan ayahandanya ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke Tanah Kaap ketika Raden Mas Said berusia dua tahun. akibatnya masa kecil Raden Mas Said dilalui layaknya bukan sebagai seorang bangsawan terpandang sebagaimana pada umumnya. Makan, minum, dan tidur beliau lakukan bersama-sama anak-anak abdi dalem. bahkan tidak jarang beliau justru tinggal di kandang kuda. kondisi seperti itulah yang membentuk sifat kebersamaan yang tinggi, kedekatan dan kesahajaan dengan rakyat biasa yang dia lakukan tanpa berbasa-basi. Sifat ini menjadi ciri khas Raden Mas Said dan turut serta dibawa dalam perjuangannya di masa dewasa. bahkan padad masa itu sifat kepemimpinan Raden Mas Said menjadi inspirasi bagi para pengikut dan prajuritnya dengan sebuah slogan Tiji Tibeh dan Manunggaling kawulo Gusti. Tiji Tibeh merupakan singkatan mukti Siji Mukti Kabeh (berhasil satu berhasil semua, mati satu mati semua). sedangkan Manunggaling Kawulo Gusti, ini merupakan konsep kebersamaan antara pemimpin dan yang dipimim maupun sesama prajurit. Konsep ini juga yang dikembangkan di bidang pemerintahan sewaktu beliau menjadi KGPAA MN I. Konsep ini tertuang dalam konsep Tri Darma, yakni Rumongso Melu Handarbeni (merasa ikut memiliki), Wajib Melu Hanggondheli (berkewajiban ikut mempertahankan), dan Mulat Sariro Hangrosowani (berani melakukan instrospeksi diri).
Pada tahun 1742, terjadi kemelut di Kartasura. Kraton Kartasura dikepung oleh prajurit Cina. semua ini terjadi akibat dari pengaruh Monopoli belanda di seluruh jawa. misalnya saja di Batavia. Belanda telah menguasai segalanya termasuk golongan etnis china yang berdagang di Indonesia pada masa itu juga telah tertekan dan tersingkir dari roda utama perdagangan di Jawa. maka tepatnya pada 30 Juni 1742 pasukan Cina menyerang Mataram yang ada di Kartasura pada masa pemerintahan Pakubuwana II, penyerangan ini karena Mataram dianggap oleh pasukan China sebagai negara boneka Belanda. Penyerangan ini dipimpin oleh Mas Garendi / Sunan Kuning. Geger pasukan Pecinan ini telah membuat para bangsawan keraton melarikan diri dan memilih untuk bersembunyi. Pakubuwana II(raja mataram ketika masih di kartasura/solo) lari ke Ponorogo Jawa Timur, Pangeran Puger membangun pertahanan di Sukowati, Sragen. Saat terjadi pengepungan, Raden Mas Said yang saat itu berusia 16 tahun, sempat keluar dari Istana Kartasura. Beliau pergi menuju Nglaroh Wonogiri bersama-sama sahabatnya, yang nantinya menjadi pasukan inti dalam pasukan raden Mas Said. Pasukan inti ini berkembang menjadi perwira-perwira yang setia lagi loyal yang dikenal sebagai Punggowo Baku Kawandoso Joyo. Dari desa Pule Nglaroh inilah konsolidasi perjuangan dimulai. Di Nglaroh beliau bertemu dengan Raden Ajeng Patahati binti Kyai Khasan Nur Iman yang kemudian diambil sebagai istri. Raden Mas Said bekerjasama dengan Sunan Kuning atau Raden Mas Garendi dalam melawan penetrasi dan Invasi Belanda terhadap pemerintahan Kraton Kartasura. Pemimpin pasukan Belanda Van Velsen berhasil dibunuh. Di bidang spiritual keagamaan setelah kurang lebih 5 tahun berjuang, pada tahun 1747 M beliau berguru kepada ulama di Gunung Lawu yang bernama Ajar Adisana dan Ajar Adirasa.
Dalam tahun-tahun selanjutnya, Pangeran Mangkubumi yang juga merupakkan paman raden Mas Said sendiri akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Raden Mas Said. Pada usia 22 tahun Raden Mas Said dijodohkan dengan putri dari Pangeran Mangkubumi yang bernama Raden Ajeng Inten. Semua ini dilakukkan lantaran dasar kebersamaan perjuangan, rasa hormat terhadap Pangeran Mangkubumi dan ketegasan bahwa prinsip perjuangan Raden Mas Said bukan sekedar kekuasaan. maka dalam suatu momentum yang baik pada tanggal 1 Sura tahun jawa 1675 (1749), Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai Raja oleh Raden Mas Said. Kemudian selama hampir 9 tahun Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said berjuang bersama-sama melawan kompeni Belanda di medan pertempuran. Hal ini diceritakan dalam sebuah Babad Lelampahan, yaitu Dagboek atau buku harian Raden Mas Said yang berbentuk kumpulan tembang. Sebelum Perjanjian Giyanti, yaitu pada tahun 1752 Masehi telah terjadi perang besar di Ponorogo. Kendati jumlah pasukan Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) jauh lebih sedikit ketimbang pihak lawan, tetapi dengan strategi yang jitu dan didukung sumpah setia, kebulatan tekad, ketangguhan, ketangkasan, dan keberanian para pasukannya, musuh dapat dihancurkan. Di pihak musuh 600 prajurit tewas, sedang di pihak tentara Raden Mas Said hanya 3 prajurit yang meninggal dan 29 orang luka-luka. Peperangan dahsyat lainnya adalah di Sito Kepyak Rembang. Dengan pedangnya, Pangeran Sambernyawa berhasil menewaskan Komandan Detasemen Kumpeni Belanda, Kapten Van Den Pol. yang tewas terpenggal kepalanya dengan tangan kirinya di sambar oleh Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) Perang ini terjadi pada tahun 1756 pada saat Raden Mas Said berusia 30 tahun. Kepala sang Kapten bersamaan dengan tangan kirinya diserahkan kepada Garwa Ampil tercinta sebagai pelunasan janji Raden Mas Said kepadanya. Dalam masa itu Raden Mas Said telah melakukan 250 kali pertempuran dan Raden Mas Said telah berkali-kali lolos dari penyergapan pihak Belanda. Keberhasilannya dalam membina pasukan yang tangguh sehingga sulit dikalahkan oleh pihak lawan dan kemahirannya dalam berperang membawa Raden Mas Said berhasil mengantarkannya pada  sebuah julukannya yang sekarang kita ketahui yaitu Pangeran Sambernyawa. Pangeran Sambernyawa mampu menewaskan 600 orang musuh sementara Hasil rampasan perang yang ia peroleh dari hasil kemenangannya atas musuh-musuh yang berhasil dikalahkannya itu antara lain berupa sejumlah besar bubuk mesiu, 120 ekor kuda, 140 pedang, 160 karabin, 130 pistol dan perlengkapan-perlengkapan militer lainnya itu kesemua hasil barang rampasan itu dihibahkan kepada para prajurit-prajuritnya.
Taktik tempurnya yang menggunakan konsep sendiri yaitu dedemitan, weweludan, dan jejemblungan, yang pada hakekatnya semua tindakan taktis harus dijiwai dengan pertimbangan yang masak, kerahasiaan yang tinggi untuk mendapatkan pandadakan, serta kecepatan gerak dan mampu mengecoh lawan. Keputusan menyerang benteng Belanda di Yogyakarta sebenarnya merupakan strategi tak lazim, misterius dan tak diperhitungkan lawan, karena telah sekian lama Pangeran Sambernyawa menarik lawannya di daerah hutan dan gunung. Walau diperingatkan Patih Kudanawarsa, beliau tetap tidak bergeming Sabdo Pandito Ratu Tan Keno Wola-Wali. Pasukannya diperintahkan bersiap sedia mati di jalan Allah SWT. Ternyata benteng Belanda berhasil diserang, 5 orang tentara Belanda tewas dan yang luka-luka cukup banyak. Menjelang tengah malam, Pangeran Sambernyawa memutuskan untuk mundur. Karena apabila diteruskan akan merugikan pihaknya sendiri. Walaupun pasukan Raden Mas Said tidak memperoleh kemenangan mutlak pada penyerangan Benteng Belanda itu, keberaniannya menyerang benteng Belanda di tengah kota Yogyakarta menjadi bukti bahwa Pangeran Sambernyawa merupakan pemimpin dan panglima perang yang sangat ditakuti dan banyak merugikan Belanda. Kehebatan Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said tidak terkalahkan oleh siapapun ini membuat belanda hingga akhirnya meminta bantuan kepada Pakubuwono III agar sebisa mungkin mengajak berunding secara kekeluargaan dengan maksud untuk meminta perdamaian. Dan akhirnya atas permintaan secara kekeluargaan pula pihak Mangkunegaran berhenti berperang dihutan dan diakui kehebatannya.
Berikut sejarah Pangeran Sambernyawa menurut penuturan Mas Ngabehi Cipto Astono, penjaga dan perawat Astana Mangadeg. Masa perjuangan Pangeran Sambernyawa terus berlangsung selama 16 tahun. “Beliau diasingkan oleh keluarga keraton yang waktu itu telah dikuasai oleh Hindia Belanda,” tutur Mas Ngabehi. “Pangeran Sambernyawa yang mempunyai nama Raden Mas Said, keluar dari keraton dan berbaur dengan rakyat kecil untuk memimpin pasukan melawan Hindia Belanda,” lanjutnya. Pangeran Sambernyawa dan pasukannya bergerilya sampai ke daerah Tawangmangu, Karanganyar. Kemudian bertemu dengan dua orang pertapa yang bernama Kyai Adi Roso dan Kyai Adi Sono di daerah Sumokaton. Oleh kedua pertapa itu, Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said disuruh pergi berdiam diri di Gunung Mangadeg untuk bertapa dan memohon petunjuk dari Sang Pencipta, yaitu Allah SWT.
“Dalam pertapaannya di Gunung Mangadeg, Pangeran Sambernyawa mendapat barokah pusaka berupa samurai dan stambul. Setelah selesai dari pertapaannya, beliau bertemu dengan Ludono Warso yang kemudian diangkat menjadi patih saat Pangeran Sanbernyawa telah menjadi Raja Mangkunegaran I,” kata Mas Ngabei. Pangeran Sambernyawa terus melanjutkan perjuangan melawan Hindia Belanda ke wilayah Wonogiri. “Di sana beliau diangkat menjadi raja oleh para pengikutnya di Wonogiri. Namun, pengangkatan dan pembentukan kerajaan tersebut menemui banyak kendala, hingga beliau memutuskan untuk tidak menjadi raja dan membatalkan pembentukan kerajaan.” Pangeran Sambernyawa memilih melanjutkan perjuangannya melawan V.O.C Hindia Belanda sampai akhirnya berhasil memukul mundur dari bumi Mataram. Setelah V.O.C Hindia Belanda mundur, pucuk pimpinan kerajaan Mataram kosong, maka diangkatlah raja baru bergelar Pakubuwono III bertempat di Kartosuro. Yang kemudian memanggil Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi ke keraton untuk mengajak bersama-sama memperbaiki tatanan pemerintahan kerajaan, Mengingat pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi adalah keponakannya. Namun Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi menolak permintaan tersebut, karena dilatarbelakangi rasa iri sebab Pakubuwono III tidak ikut dalam berjuang mengusir penjajah malah diangkat menjadi raja. Sedangkan Pangeran Sambernyawa yang berjuang melawan penjajah Hindia Belanda selama enam belas tahun tidak diangkat menjadi raja. Pangeran Sambernyawa menolak untuk masuk kekeraton dan meminta kepada Pakubuwono III wilayah tanah jajahannya sendiri. Permintaan Pangeran Sambernyawa kemudian dikabulkan dan disetujui oleh Pakubuwono III, sehingga kerajaan Mataram dipecah menjadi tiga, yaitu kerajaan Surakarta dan Kerajaan Ngayogyakarta yang diperingati dengan perjanjian Giyanti, serta berdirinya Puri Mangkunegara dengan perjanjian Salatiga. Puri Mangkunegaran dipegang oleh Pangeran Sambernyawa yang dinobatkan menjadi Raja Mangkunegara I pada tahun 1759 M, hingga beliau wafat pada tahun 1795 M.
Makam Pangeran Sambernyawa berada di Astana Mangadeg karena untuk mengingat kembali masa perjuangannya dalam mengusir penjajah Hindia Belanda selama enam belas tahun dan mendapatkan barokah dengan bertapa di Gunung Mangadeg. “Di Astana Mangadeg kini telah dibangun monumen yang diberi nama Monumen Tri Darma sebagai tanda tempat dulunya Pangeran Sambernyawa bertapa untuk mencari petunjuk pada Sang Pencipta dalam pengabdiannya pada Bumi Pertiwi,” tuturnya. “Selain itu, untuk mengingat petunjuk kedua pertapa yaitu kyai Adi Sono dan kyai Adi Roso, di bangunlah gapura, bertuliskan nama kedua kyai tersebut.” Lanjutnya. Bangunan Astana Mangadeg saat ini terdiri dari tiga komplek bangunan, yaitu komplek makam Mangkunegaran I berserta keturunannya, Komlek makam keturunan Mangkunegaran II dan III, dan komplek makam dari beberapa keturunan yang lain. Pembangunannya diprakarsai oleh yayasan Mangadeg pada tahun 1970.


Sejarah didirikannya Praja Mangkunegaran
Atas dasar dukungan rakyat yang setia pada Raden Mas Said akan perjuangan beliau dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta ajakan yang tulus dari Pakubuwono III, Raden Mas Said bersama para petinggi utama pasukan dan bala tentaranya, memasuki nagari Surakarta pada hari Kamis 4 Jikakir 1682 Jawa atau 1756 Masehi. Pada akhir perjuangan bersenjata beliau, sangat jelas tercermin keteguhan sikap yang jauh dari kelemahan seorang pemimpin yang selama ini tidak pernah terlihat dalam diri Raden Mas Said. Selanjutnya beliau mendirikan sebuah Istana di pinggir Kali Pepe. dan Tempat itulah yang sampai sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunagaran. Mulai saat itu konsentrasi perjuangan beliau mulai terfokus dalam bidang-bidang pembangunan pemerintahan, politik, ekonomi, budaya, spiritual keagamaan dan kesejahteraan rakyat. Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said memerintah Praja Mangkunegaran selama 40 tahun, sejak 24 February 1757 hingga 28 Desember 1795, dengan gelar Mangkoenagara I.
Selanjutnya sebagai bentuk pengakuan kedaulatan Mangkunegaran. Suatu perjanjian damai dilaksanakan di Kalicacing Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757, yang melibatkan Sunan Hamengkoe Boewono I dan Kumpeni Belanda. Isi dari perjanjian damai tersebut adalah Mangkunagaran berdaulat pada territorial seluas 4000 karya terbentang dari mulai daerah Keduang, Laroh, Matesih, Wiroko, Hariboyo, HOnggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan selatan serta Kedu. Raden Mas Said kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Mangkoenagoro I. Dari hasil perjanjian damai tersebut isinya juga mewajibkan Kompeni membayar semacam pajak kepada pihak Mangkunagaran sebesar 4000 real per tahun. Sebuah hasil negosiasi yang hebat dan pasti membutuhkan keahlian dalam bernegoisasi. Baik pada masa perjuangan bersenjata maupun sebagai Kelapa Pemerintahan Praja Mangkunagaran Raden Mas Said dikenal luas sebagai : ahli strategi, politikus, negarawan, ekonom kerakyatan yang ulung, dan berwawasan jender. Hal ini dibuktikan dengan memberi kemampuannya hadir dalam berbagai peran di berbagai bidang kepada perempuan antara lain menjadi prajurit yang handal. Beliau seorang pemimpin yang sangat religius, muslim sejati. Beliau juga telah menulis Al-Quran 30 juz sampai delapan kali.
Melalui Keppres RI No. 048/TK/tahun 1988 mendiang Pangeran sambernyawa atau raden Mas Said dianugrahi Bintang Mahaputra Adipurna (Kelas I) dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Kekerabatan Mangkunegaran sebagai wujud kemanunggalan dinasti Mangkunagoro dan Trah Punggawa Baku Mangkunagoro I, sekarang telah genap berusia 250 tahun. Semenjak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 17 Agustus 1945, Mangkunegaran menyatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sri Paduka Mangkunegaran VIII atas nama rakyat dan keluarga Mangkoenagoro menyatakan bahwa Mangkunagaran merupakan Daerah Istimewa dari Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945. Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno menetapkan bahwa Sri Paduka Mangnegaran VIII tetap dalam kedudukannya sebagai pemimpin, dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Mangkunegaran VIII akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, raga untuk keselamatan dan kesejahteraan daerah Mangkunagaran sebagai salah satu bagian dari Republik Indonesia. Situasi politik yang menimbulkan kondisi sangat gawat, mendorong Presiden RI mengeluarkan PP 16/SD pada tanggal 15 Juli 1946 yang inti dari isi perintah itu adalah menjadikan Daerah Kasunanan dan Mangkunagaran "untuk sementara waktu" menjadi suatu daerah Karisidenan dengan dipimpin oleh seorang Residen.

Arsitektur Puri Mangkunegaran
Halaman Depan Puri Mangkunegaran

Sumber Gambar diambil dari : http://imageshack.us

Kolam Air Mancur Puri mangkunegaran

 Sumber Gambar diambil dari : http://imageshack.us
Gerbang Puri mangkunegaran
Sumber Gambar diambil dari : http://imageshack.us



Arsitektur Puri Mangkunegaran secara keseluruhan dapat dikatakan menganut arsitektur istana-istana jawa masa kuno. Pada pintu masuk Istana ini dapat kita lihat sebuah tata letak taman yang menggunakan unsur-unsur keindahan alam seperti sebuah taman yang berbentuk bulat dan jalan untuk kendaraan mengitari taman tersebut. Sebuah Kolam Air berikut dengan Air Mancur berbentuk angsa tampak menghiasi dan turut memperindah pintu masuk utama Puri Mangkunegaran. Gerbang Masuk penyambut tamu yang di cat emas serta air mancur angsa yang juga di cat dengan warna yang sama membuat kesan kebangsawanan bangunan ini semakin terasa.
Tampak Area Puri Mangkunegaran melalui Satelite
Sumber Gambari diambil dari Google earth


                    

Dari penglihatan satelit atau Birdview tampak bahwa luas keseluruhan Puri Mangkunegaran yang begitu besar. Suasana yang asri juga tertangkap dengan indera penglihatan dengan banyaknya penghijauan di sekitar area Puri. Meskipun telah lama dibangun namun Puri ini tetap terlihat baik dan masih megah karena perawatan yang dilakukan oleh para abdi dalem Puri Mangkunegaran.
Sumber Gambar diambil dari : http://imageshack.us
Sumber Gambar diambil dari : http://imageshack.us

Sumber Gambar diambil dari : http://imageshack.us

                    

Dari Hall Utama Pendopo Ageng Puri mangkunegaran dapat kita lihat bahwa nuansa Putih mendominasi seluruh area Puri. Atap Puri Mangkunegaran juga dihiasi dengan cat berwarna putih sehingga menghasilkan kesan yang terang dan cerah di dalam Hall utama Pendopo Ageng Puri Mangkunegaran. Bila diliihat secara garis besar Hall utama Puri Mangkunegaran bisa dibilang mirip dengan Keraton Surakarta yang juga terdapat di Kota Solo. Hal ini membuktikan kedekatan Sejarah dan garis keturunan. Lantai yang digunakan di dalam Hall Utama adalah Marmer  yang telah terpasang sejak pembangunan pertama kali Puri Mangkunegaran yang diprakarsai oleh Raden Mas Said yang dikenal juga Sebagai Pangeran Sambernyawa dan Mangkoenagoro I. Hiasan-hiasan lampu yang digunakan dalam Puri Mangkunagaran didatangkan langsung dari Eropa. Di Pendopo Ageng ini biasanya dipentaskan pagelaran tari pada hari rabu jam 10.00 – 12.00 WIB. Untuk memasuki hall pendopo ageng ini para pengunjung diharuskan melepas alas kaki. Para abdi dalem dan penjaga Puri mangkunegaran sudah menyediakan kantong plastik agar kita bisa membawa alas kaki kita kemana-mana. hall utama Pendopo Ageng ini luas keseluruhannya adalah 3000 m2, menjadikannya sebagai pendopo terbesar dan terluas di Indonesia. tiang-tiang Pendopo Ageng ini dibuat dari Kayu Jati yang didatangkan langsung dari hutan Donoloyo di Wonogiri. ketangguhan Kayu Jati yang menopang pendopo ini sangatlah perkasa karena kayu ini sudah menopang pendopo ageng selama lebih dari 300 tahun.

Sumber Gambar diambil dari : http://imageshack.us


Sumber Gambar diambil dari : http://imageshack.us

Sumber Gambar diambil dari : http://imageshack.us



                 

Desain interior Puri mangkunegaran merupakan sebuah rancangan arsitektur yang memiliki berbagai perpaduan dari gaya klasik. Di Puri Mangkunegaran terdapat nilai-nilai tradisional namun dibangun dengan teknologi modern yang dalam metode pembangunannya digunakan oleh para pembuat rumah pada hari ini. Aspek interior yang dapat kita ditemukan di Puri Mangkunegaran antara lain berasal dari gaya interior jawa, toraja dan eropa. Hal ini terjadi karena pada awalnya Konsep pembangunan Puri Mangkunegaran murni menggunakan konsep bangunan ala jawa, namun seiring berjalannya waktu Puri Mangkunegaran banyak menerima pemberian-pemberian dari luar kota dan luar negri sehingga aspek interior Puri mangkunegaran pada hari ini menjadi unik dengan perpaduan Interior luar jawa yang bersinkronisasi dengan interior jawa.
Pada langit-langit Pendopo Ageng tepatnya di tengah pendopo terdapat sebuah interior lukisan kumodawati. masing-masing dari warna lukisan-lukisan tersebut memiliki arti masing-masing yang berbeda satu sama lain. misalnya warna Kuning yang memiliki arti yaitu mencegah kantuk, warna biru yang memiliki arti sebagai menolak bencana, warna Hitam yang memiliki arti sebagai penolak rasa lapar, warna hijau yang memiliki arti untuk menjauhkan diri dan pikiran dari segala hal yang buruk, warna putih memiliki makna hubungan dengan nafsu, sementara warna merah memiliki arti kemarahan, dan warna Pink yang berarti untuk menghilangkan rasa takut dari segala bentuk lawan. Sementara itu masuk semakin kedalam area Puri mangkunegaran didalamnya terdapat sebuah ruangan yang besar bernama Dalem Ageng. Di dalam Dalem Ageng, bentuk langit-langit di ruangan ini berbentuk limasan yang mana ditopang oleh delapan soko guru atau dalam Bahasa Indonesia berarti tiang utama. didalamnya juga merupakan sebuah ruangan yang kini berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan pemajangan koleksi bersejarah Puri mangkuegaran. Di dalam ruangan Dalem Ageng kita akan disuguhi pemandangan yang menciptakan sebuah suasana pada jaman Jawa masa lampau dimana banyak benda bersejarah yang dipamerkan disitu. Di tengah-tengah ruangan Dalem Ageng kita akan melihat tempat seperti peraduan yang ditutupi kelambu. tempat yang ternyata bukanlah tempat untuk tidur ini sebenarnya adalah tempat untuk menyajikan sesaji atau yang juga biasa disebut sebagai krobongan. Budaya Sesaji ini adalah peninggalan dari pengaruh kebudayaan Hindu, Budha di Jawa yang pada hari ini masih dijalankan di Puri mangkunagaran. sampai hari ini masyarakat di pedesaan-pedesaan di Solo atau Surakarta masih menyiapkan sesaji-sesaji sebelum menanam padi. maksudnya adalah agar tanamannya dilindungi hingga masa panen tiba. diatas krobongan tersebut terdapat lambang Suryosumirat lambang Mangkunegaran. di kiri dan kanan krobongan ada sentong yang merupakan tempat untuk melakukan semedi. di depan krobongan terdapat patung Dewis Sri dan saudaranya Sadana yang merupakan lambang kesuburan.
di Puri Mangkunegaran terdapat sebuah ruangan yang fungsinya adalah untuk menjamu tamu penting keluarga mangkunegaran. ruangan tersebut bernama Balai Peraci Moyoso. Selain digunakan oleh pihak keluarga Puri Mangkunegara untuk menjamu tamu penting, balai ini juga disewakan kepada masyarakat umum untuk digunakan sebagai tempat pertemuan. dewasa ini Balai Peraci Moyoso digunakan sebagai rapat-rapat persiapan pemilu dan pilkada kota Solo. Di jendelanya terdapat gambar-gambar kaca patri tentang budaya Jawa, antara lain gambar pemain gamelan.

Koleksi Sejarah Yang Dimiliki

Koleksi Sejarah yang terdapat di Puri mangkunegaran kebanyakan merupakan peninggalan dari masa-masa pangeran mangkounagoro sebelumnya. Namun selain peninggalan bersejarah dari generasi sebelumnya itu, Koleksi Sejarah di Puri Mangkunegaran juga ada yang berasal dari luar jawa seperti dari Eropa. Selain koleksi-koleksi kesejarahan yang terdapat di ruangan Dalem Ageng Puri Mangkunegaran, di dalam Dalem Ageng juga terdapat berbagai macam koleksi peralatan-peralatan untuk pementasan tari-tarian. tari bedoyo serimpi misalnya yang peralatan dan aksesoris tariannya dibuat dari perak. tari ini menggambarkan bahwasannya ketika tari dipentaskan tarian tersebut menceritakan pertemuan penguasa laut pantai selatan dengan keluarga mataram. biasanya tari ini dipentaskan dan diselenggarakan ketika ulang tahun Pangeran mangkunegara yang sedang memimpin Praja Mangkunegara saat itu. lalu untuk pemilihan penarinya tidak sembarang orang bisa menarikan tarian Bedoyo Serimpi ini di dalam suatu pergelaran resmi. ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh sang penari jika ia lantas terpilih untuk mementaskan tarian bedoyo serimpi. syaratnya adalah sang penari haruslah masih seorang gadis, tidak sedang berhalangan dan juga berasal dari keluarga Praja Mangkunegara. Jumlah penarinya sendiri ketika pementasan berlangsung selalu berjumlah ganjil dan mereka diharuskan untuk berpuasa beberapa hari sebelum pementasan.
Selain aksesoris tari-tarian dan segala kelengkapannya, di dalam ruangan Dalem Ageng juga terdapat banyak koleksi bersejarah Keluarga Puri Mangkunegaran yang turun-temurun diwariskan dan disimpain di ruang Dalem Ageng. tidak hanya dari Jawa saja melainkan juga banyak yang berasal dari luar jawa dan dari berbagai penjuru dunia. misalnya saja di ruangan Dalem Ageng ini terdapat beberapa koleksi crystal Italia yang kala itu diperoleh sebelum Indonesia merdeka, lalu mata uang kuno peninggalan masa kerajaan Majapahit yang digunakan sebagai alat pembayaran antar keluarga, sebuah gelang intan putih dari Martapura, koleksi berbagai medali dari luar negeri yang jumlahnya cukup banyak, sebuah ukiran gading gajah dari negeri Cina. kristal dan sebuah miniatur dari Kerajaan Belanda, Pedang dari Eropa dan Jepang termasuk di dalamnya sebuah katana atau pedang yang berukuran kecil yang biasa digunakan para Samurai Jepang untuk melakukan seppuku (bunuh diri) atau lebih umum dikenal dengan harakiri, sebuah crystal dari ratu Febiola Belgia, dan crystal Perancis pemberian Napoleon III. dari sekian banyak koleksi yang dipamerkan dan terdapat di Puri Mangkunegaran ada sebuah Badong diantara koleksi perhiasan emas 18 karat Puri Mangkunegaran. Badong adalah alat penutu kelamin pria. dan keberadaan Badong peninggalan Mangkunegara III di Puri mangkunegaran ini bukannya tanpa sebab musabab. alkisah ketika Mangkunegara III masih menjadi pemimpin Puri Mangkunegaran ia memiliki istri yang sangat tidak ingin agar Mangkunegara III menikah lagi diluar pengetahuannya. maka dari itulah sang istri "menghadiahi" Mangkunegara III sebuah badong dan badong ini selalu dikenakan oleh Mangkunegara III kemanapun bila ia pergi keluar Puri. dan yang lebih mengejutkan lagi dari cerita badong ini, badong tersebut dikunci dan kuncinya dipegang sendiri oleh sang Istri. selain badong yang memiliki cerita unik tersebut ada juga perhiasan penutup alat kelamin perempuan yang kini hanya tinggal ada tiga buah saja. diantara koleksi cincin ada sebuah cincin unik yang cukup menarik perhatian. cincin tersebut tidak berfungsi selayaknya cincin yang selama ini kita ketahui, yaitu sebagai perhiasan dan dikenakan di jari tangan. Cincin yang dapat ditemukan di Puri mangkunegaran ini berfungsi sebagai stempel dan dipasangkan di jempol kaki. alkisah pada jaman dahulu surat-surat penting ditulis diatas selembar kulit hewan tidak menggunakan dedaunan terlebih kertas. dengan kondisi kulit hewan yang ketebalannya berbeda dengan kertas yang kita kenal hari ini maka dimanfaatkanlah jari kaki yang dapat melakukan cap lebih dalam memanfaatkan berat badan sebagai sebagai pemberat agar cap yang dihasilkan semakin mantap. dengan kata lain jika pada masa itu jika ingin mengecap maka sang pengecap harus menggunakan cincin tersebut di ibu jarinya dan mengecap surat tersebut.
di sisi lain ruang Dalem Ageng kita dapat melihat peralatan dan perlengkapan Tari Langendrian yang kali ini lakonnya dimainkan seluruhnya oleh laki-laki. Tarian ini menceritakan tentang peperangan antara kebaikkan dan keburukkan. aksesoris-aksesoris yang digunakan pada tarian Langendarian antara lain seperti hiasan kepala, kelat bahu dan sepasang simping yang dikenakan di telinga penari. aksesoris Simping ini tidak hanya sekedar aksesoris biasa melainkan memiliki sebuah makna sebagai lambang kebijaksanaan. selain peralatan dan perlengkapan Tarian Langendrian itu, di Ruang Dalem Ageng Puri Mangkunegaran juga ditemukan sebuah benda seperti cengkal yang fungsinya untuk melindungi alat kelamin anak laki-laki setelah dikhitan. selain itu juga terdapat sebuah cermin dari abad ke sepuluh yang menggunakan air sebagai kacanya. lalu Puri Mangkunegaran juga meminjamkan kepada siapapun yang ingin menggunakan barang-barang tertentu. di dalam Puri istilah ini biasa disebut dengan Ampilan. yaitu Barang-barang khusus dapat dipinjamkan untuk upacara-upacara tertentu seperti jumenengan. Barang-barang yang terklasifikasikan sebagai barang Ampilan antara lain tempat sirih, tempat cerutu, tempat minuman keras, dan penutup makanan. dan yang unik ada sepasang sandal untuk laki-laki yang berfungsi untuk ketika sang pemimpin Puri berulang tahun maka calon pengganti pangeran (dalam hal ini laki-laki) akan menggunakan sepasang sandal tersebut untuk menghadiri upacara ulang tahun sang pangeran atau dengan kata lain ayahnya.
Sebelum meninggalkan ruangan Dalem Ageng kita akan menemukan sebuah bilik pameran keris-keris dan kepala keris yang sudah ada di Puri Mangkunegaran Sejak jaman Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. adapun dua jenis keris disana yaitu keris lurus dan keris luk. keris lurus adalah keris sebelum abad ke-13, bentuknya lurus tanpa ada modifikasi seperti berkelak-kelok dan semacamnya. sedangkan keris luk adalah keris yang telah dimodifikasi bentuknya dari keris lurus menjadi berbentuk berkelak-kelok. keris luk ini menurut catatan sejarah mulai dibuat setelah abad ke-13. Keris luk ini banyak dibawa oleh para perantau Jawa yang merantau ke Malaysia. karena itulah bangsa Eropa mengira keris berasal dari Malaysia karena disanaah pertama kali mereka melihat keris. dalam kebudayaan Jawa, keris merupakan sesuatu yang sakral bahkan bisa digunakan untuk menggantikan kehadiran seseorang dalam sebuah acara penting. misalnya saja di sebuah undangan, untuk mewakili orang yang berhalangan hadir maka digunakkan lah keris tersebut untuk menggunakan kehadirannya.

Peran Keluarga Puri Mangkunegaran Hari ini
KGPAA Mangkunegara IX

Sumber gambar diambil dari : http://upload.wikimedia.org

Puri mangkunegaran berbeda denga Kraton Surakarta, perbedaan ini bukan hanya terletak dalam perbedaan nama namun yang paling utama adalah perbedaan dalam sistem politik. Puri Mangkunegaran tidak memiliki kekuatan politik karena mereka hanyalah adipati, bukan raja, sementara keistimewaan kekuatan politik berada di ranah Kraton Surakarta. Pangeran yang sekarang memimpin Puri Mangkunegaran adalah Mangkunegara IX yang memiliki gelar lengkap Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara IX atau disingkat KGPAA Mangkunegara IX. Istrinya bergelar gusti Kanjeng Putri Mangkunegara atau biasa disingkat dengan GKP Mangkunegara. KGPAA Mangkunegara IX atau biasa disebut Mangkunegara IX saja adalah putra laki-laki kedua dari mangkunegara VIII. pada masa remajanya ia bernama GPH. Sujiwakusuma. ketika penobatannya sebagai pemimpin Puri Mangkunegaran yang baru, naiknya GPH. Sujiwakusuma ini menimbulkan berbagai kontroversi. dikatakan sebagai kontroversial karena untuk pertama kalinya dalam sejarah kerajaan kenusantaraan seorang pemimpin dipilih dengan melibatkan orang luar keluarga kerajaan. namun dibalik berbagai polemik dan kontroversi tersebut akhirnya KGPAA mangkunegara IX resmi dijabat oleh GPH. Sujiwakusuma yang hingga kini masih memimpin Puri Mangkunegaran di Solo.
Saat ini KGPAA Mangkunegara IX menjabat sebagai politisi Partai Demokrat di Komisi II DPR RI. KGPAA Mangkunegara IX saat ini berkontribusi tidak hanya demi kota Solo saja melainkan ia juga mengabdikan dirinya kepada masyarakat Indonesia melalui perannya di Komisi II DPR. yang dimana tugas utamanya adalah untuk mengatur pemerintahan dalam negeri, dan otonomi daerah, aparatur negara, agraria dan komisi pemilihan Umum (KPU) yang bersekertariat di gedung Nusantara II Lantai 2, diatas bank mandiri di Jakarta. ini berarti bahwa kini Mangkunegara IX sudah menjadi salah satu wakil rakyat yang juga turut berpartisipasi dalam mengatur pemerintahan yang ada di dalam negeri khususnya dalam hal ini adalah Otonomi Daerah karena dengan adanya wakil dari Solo dan khususnya Puri Mangkunegaran ini Mangkunegara IX menjadi wakil bagi instansi kepemerintahan kota Solo di komisi II DPR RI.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum wr.wb,saya WIWI ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada eyang guntur atas bantuan eyang. kini impian saya selama ini sudah jadi kenyataan dan berkat bantuan eyang guntur pula yang telah memberikan angka ritual kepada saya yaitu 4D dan alhamdulillah berhasil..sekali lagi makasih yaa eyang karna waktu itu saya cuma bermodalkan uang cuma 100rb dan akhirnya saya menang. Berkat angka GAIB hasil ritual eyang guntur saya sudah bisa melanjutkan kulia saya lagi dan kini kehidupan keluarga saya jauh lebih baik dari sebelumnya,bagi anda yg ingin seperti saya silahkan HUB eyang di nomor hpnya: 0823-3744-3355 atau dan ramalan eyang guntur memang memiliki ramalan GHOIB” yang dijamin 100% tembus.

    BalasHapus