NAMA : YULI
HADI
NO. REG :
4423107053
UTS TRADISI
ETNIK
A. LOKASI
Yogyakarta adalah daerah destinasi
wisata nomor dua setelah Bali. Yogyakarta sudah tidak asing lagi di telinga
para wisatawan domestik maupun mancanegara karena eksotisme budaya dan tradisi
yang terdapat di Yogyakarta sangatlah banyak serta objek wisata yang menarik
bagi wisatawan. Berbagai jenis wisata telah dikembangkan di wilayah ini,
seperti wisata kuliner, wisata belanja, wisata alam, wisata budaya, wisata
pendidikan, wisata sejarah serta wisata malam.
Nama Yogyakarta diambil
dari dua kata, yaitu Ayogya yang berarti "kedamaian", dan Karta yang
berarti "baik". Yodya
ditambah dengan karta, yang mengandung arti serba baik. Demikianlah, kerajaan
itu, kemudian, disebut Yodyakarta. Dalam perkembangannya, mungkin karena
ucapan, nama itu menjadi Yogyakarta hingga sekarang.
Daerah Istimewa Yogyakarta
merupakan Sebuah wilayah di bumi Merah
Putih Indonesia yang masih menjunjung tinggi budaya dan tradisi Jawa. Lokasi Daerah istimewa Yogyakarta sendiri memiliki
letak yang sangat strategis yaitu Kota
Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan batas-batas wilayah
sebagai berikut ,sebelah utara :
Kabupaten Sleman, Sebelah timur :
Kabupaten Bantul & Sleman, sebelah
selatan : Kabupaten Bantul, sebelah
barat : Kabupaten Bantul & Sleman.Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur
dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan,
disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia
vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah
vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat,
lahan pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan. Data tahun 1999
menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena
beralih fungsi, (lahan pekarangan)
B. DEMOGRAFI
B. DEMOGRAFI
Pertambahan
penduduk Kota dari tahun ke tahun cukup tinggi, pada akhir tahun 1999 jumlah
penduduk Kota 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk
Kota Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata
15.197/km². Jumlah penduduk kota Yogyakarta, berdasar Sensus Penduduk 2010 [4]., berjumlah 388.088 jiwa, dengan
proporsi laki-laki dan perempuan yang hampir setara.
Islam merupakan agama mayoritas
yang dianut masyarakat Yogyakarta, dengan jumlah penganut Kristen dan Katolik
yang relatif signifikan. Seperti kebanyakan dari Islam kebanyakan di kota-kota
pedalaman Jawa, mayoritas masih mempertahankan tradisi Kejawen yang cukup kuat.
Yogyakarta juga menjadi tempat
lahirnya salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah yang
didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman, Ngupasan,
Gondomanan, Yogyakarta. Hingga saat ini, Pengurus Pusat Muhammadiyah masih
tetap berkantor pusat di Yogyakarta.
Yogyakarta dikenal sebagai kota
pelajar, karena hampir 20% penduduk produktifnya adalah pelajar dan terdapat
137 perguruan tinggi. Kota ini diwarnai dinamika pelajar dan mahasiswa yang
berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Perguruan tinggi yang dimiliki oleh
pemerintah adalah UGM, UNY, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan UIN Sunan
Kalijaga
C. SEJARAH
Nama kota Yogyakarta memiliki
sejarah yang panjang. Dimulai dari sejarah alas Paberingan yang pertama kali
dimanfaatkan oleh Panembahan Hanyakrawati (RM Jolang) raja kedua Mataram II
(1601-1613) yang menggantikan Panembahan Senopati Ing Ngalaga (1586-1601) dan
kemudian menjadi kawasan yang selalu terpilih dan muncul melalui wisik yang
diterima oleh beberapa raja-raja Mataram berikutnya.
Kata Yogyakarta sendiri merupakan
pergeseran lafal (pengucapan) dari kata bahasa Jawa Ngayogyakarta, bentukan
dari dua kata ngayogya dan karta. Kata ngayogya dari kata dasar yogya artinya
pantas, baik. Ngayogya artinya menuju cita-cita yang baik dan karta artinya
aman, sejahtera. Ngayogyakarta artinya mencapai kesejahteraan (bagi negeri dan
rakyatnya).
Nama tersebut bukan diciptakan oleh
pendiri Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yakni Pangeran Mangkubumi (Sultan
Hamengku Buwono I), tetapi telah dicita-citakan kurang lebih 37 tahun
sebelumnya oleh paman buyutnya, yakni Paku Buwana I (Pangeran Puger, adik
Amangkurat I), raja ke-2 Keraton Kartasura.
Situs pusat keraton Mataram II yang
pertama terletak di Ngeksigondo yang masih dapat kita saksikan sisa-sisa
bangunan terbuat dari bata dan nama-nama kawasan yang hingga kini tetap
digunakan seperti Banguntapan, Kanoman, Gedong Kuning, Gedong Kiwa, Gedong
Tengen, bekas Pemandian Warungbata, Winong, Sar Gedhe (jadi Kota Gede),
Kompleks Makam Senopaten dan sebagainya yang tersebar sejak 1 kilometer sebelah
utara hingga selatan Kota Gede.
Dan alas Paberingan yang terletak
sekitar 5 kilometer sebelah barat Ngeksigondo, pada masa pemerintahan
Panembahan Hanyakrawati telah dibangun menjadi hutan rekreasi raja berpagar
keliling bambu (krapyak) untuk perburuan kijang, dinamakan alas Krapyak. Di
situ pula Hanyakrawati terluka parah hingga akhirnya wafat, dibunuh oleh
pejabat istananya sendiri Pangeran Wiramenggala (Kyai Ageng Bengkung). Atas
peristiwa itulah Hanyakrawati dikenal sebagai Panembahan Seda Krapyak.
Dibawah bayangan
gunung setinggi 2.914 meter, yang disebut Gunung Merapi, berdiri Ngayogyakarto
Hadiningrat, salah satu kerajaan Mataram di Jawa.
Kini disebut sebagai Yogyakarta mulai tahun 1755, ketika wilayah Kerajaan Mataram dibagi menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta (Solo).
Kini disebut sebagai Yogyakarta mulai tahun 1755, ketika wilayah Kerajaan Mataram dibagi menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta (Solo).
Keraton Yogyakarta
dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada saat itu, dan beliau menggunakan keraton
sebagai pusat daerah paling berpengaruh di Jawa sejak abad ke-17. Keraton tetap
menjadi pusat kehidupan tradisional dan meskipun ada modernisasi di abad ke-20,
keraton tetap memancarkan semangat kemurnian, yang ditandai dengan
kebudayaannya selama berabad-abad.
Yogyakarta
merupakan salah satu pusat kebudayaan di Jawa. Musik gamelan merupakan
pandangan dari masa lalu, klasik dan sejaman, pertunjukan tari-tarian Jawa yang
sangat indah dan memabukkan, pertunjukkan wayang kulit dan ratusan kesenian
tradisional yang membuat para pengunjung terpesona.
Periode hindu/ budha
Periode hindu/ budha
Awal terbentuknya
Keraton Ngayogyakarta adalah di wilayah Jawa Tenggah, pada sekitar abad ke-8, perkembangan sebuah
Kerajaan Mataram Kuno. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno disebut Bhumi
Mataram yang terletak di pedalaman Jawa Tenggah. Daerah tersebut memiliki
banyak pegununggan dan sungai seperti Sungai Bogowanto, Sungai Progo, dan
Bengawan Solo. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno juga sempat berpindah
ke Jawa Timur. Perpindahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tenggah ke Jawa
Timur disebabkan oleh dua hal.
1. Selama abad ke-7 sampai ke-9,
terjadi serangan-serangan dari Sriwijawa ke Kerajaan Mataram Kuno. Besarnya
pengaruh Kerajaan Sriwijaya itu menyebabkan Kerajaan Mataram Kuno semakin terdesak
ke wilayah timur.
2. Terjadinya Letusan Gunung Merapi
yang dianggap sebagai tanda pralaya atau kehancuran dunia. Kemudian, letak
kerajaan di Jawa Tenggah dianggap tidak layak lagi untuk ditempati.
Dinasti Sanjaya
Dinasti Sanjaya
Prasasti Canggal yang ditemukan di
halaman Candi Gunung Wukir memberikan gambaran yang cukup jelas tentang
kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini bertuliskan tahun654 Saka
atau 732, ditulis dengan huruf Palawa yang menggunakan bahasa Sansekerta.
Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan
oleh keponakannya Sanjaya. Masa pemerintahan Sanna dan Sanjaya dapat kita
ketahui dari deskripsi kitab Carita Parahyangan. Dalam prasasti
lain, yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya dianggap sebagai pendiri Dinasti
Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.
Sanjaya dinobatkan sebagai raja
pada tahun 717 dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kedududkan Sanjaya
sangat kuat dan berhasil menyejahterakan rakyat Kerajaan Mataram Kuno. Sanjaya
menyebarkan pengaruh Hindu di pulau Jawa. Hal ini ditempuh dengan cara
mengundang pendeta-pendeta Hindu untuk mengajar di Kerajaan Mataram Kuno. Raja
Sanjaya juga mulai pembangunan kuil-kuil pemujaan berbentuk candi. Stelah Raja
Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama
Rakai Panangkaran.
Raja Rakai Panangkaran banyak
mendirikan candi, seperti Candi Sewu, Candi Plaosan dan Candi Kalasan. Dari
bukti-bukti tersebut, diketahui bahwa Raja Rakai Panangkaran beragama Buddha.
Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran berturut-turut adalah Rakai Warak
dan Rakai Garung. Raja Mataram Kuno selanjutnya adalah Rakai Pikatan.
Persaingan dengan Dinasti Syilendra yang waktu itu diperintahkan oleh Raja
Samaratungga dianggap menghalangi cita-citanya untuk menjadi Penguasa tunggal
di Pulau Jawa.
Pada abad ke-9 terjadi penggabungan
kedua dinasti tersebut melalui pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari
keluarga Sanjaya dengan Pramodawardhani (Putri Raja Samaratungga), dari
keluarga Syailendra. Namun, perkawinan antara Rakai Pikatan dengan
Pramodawardhani tidak berjalan lancer. Setelah Samaratungga wafat, Kekuasaan
beralih kepada Balaputradewa yang merupakan adik tiri dari Pramodawardhani.
Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu Boko (856), menunjukkan telah
terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa.
Balaputradewa mengalami kekalahan
dan melarikan diri ke Swarnadwipa(Sumatra). Ia kemudian berkuasa sebagai
raja, mengantikan kakeknya di kerajaan Sriwijaya. Hal ini dapat dapat diketahu
dari Prasasti Nalanda (India), yang menyatakan bahwa Raja Deewapaladewa dari
Bengala menghadiahkan sebidang tanah kepada Raja Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk
membagun sebuah biara.
Setelah Balaputradewa dikalahkan,
wilayah Kerajaan Mataram Kuno menjadi semakin luas kearah selatan (sekarang
yogyakarta). Daerah ini dahulunya adalah wilayah Dinasti Syailendra. Rakai
Pikatan mengusahakan agar rakyat dinasti Sanjaya dan Syailndra dapat hidup
rukun. Pada masa ini, dibangun kuil pemujaan berbentuk candi, Seperti Candi
Prambanan. Menurut Prasasti Siwagraha, Rakai Pikatan dan raja-raja Mataram Kuno
berikutnya masih tetap menganut agama Hindu Siwa.
Berdasarkan Prasasti Balitung,
setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Rakai
Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga jd pelaksana
pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih yang dipimpin oleh seorang
mahapatih ini sangat penting perananya. Raja Mataram selanjutnya adalah Rakai
Watuhumalang. Raja Mataram Kuno yang diketahui kemudian adalah Dyah Balitung
yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Maha Dambhu
adalah Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan
kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan.
Dimasa pemerintahannya, Raja
Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan menambah susunan hierarki.
Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu Rakryan I
Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat
lainnya. Rakryan I Halu,dan Rakryan I Sirikan Struktur
tiga pejabat itu menjadi warisan yang terus digunakan oleh kerajaan-kerajaan
Hindu berikutnya, seperti Kerajaan Singasari dan Majapahit.
Selain struktur pemerintahan baru,
Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung. Prasasti yang juga dikenal
sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di Kerajaan Mataram Kuno
yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Setelah Raja Balitung wafat pada tahun 910, Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami
pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur.
Sri Maharaja Daksa, yang pada masa pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan
i Hino, tidak lama memerintah Kerajaan Mataram Kuno. Penggantinya, Sri
Maharaja Tulodhong juga mengalami nasib serupa.
Dibawah pimpinan Sri Maharaja Rakai
Wawa. Kerajaan Mataram Kuno dilanda kekacauan dari dalam, yang membuat kacau
ibu kota. Sementara itu, kekuatan ekonomi dan politik Kerajaan Sriwijaya makin
mendesak kedudukan Mataram di Jawa. Pada masa itu, wilayah kerajaan mataram
kuno juga dilanda oleh bencana letusan Gunung Merapi yang sangat membahayakan
ibu kota kerajaan. Seluruh masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh Rakai
Wawa. Ia wafat secara mendadak. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Mpu
Sindok yang waktu itu menjadi Rakryan i Hino.
Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra berkuasa
didaerah Begelan dan Yogyakarta pada pertengahan abad ke-8. Beberapa sumber
sejarah tentang Dinasti Syailendra yang berhasil ditemukan, antara lain prasasti
Kalasan, Kelurak, Ratu Boko, dan Nalanda. Prasasti Kalasan (778), menyebutkan
nama Rakai Panangkaran yang diperintahkan oleh Raja Wisnu, penguasa Dinasti
Syailendra, untuk mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah viharabagi
para pendeta. Rakai Panangkaran kemudian memberikan Desa Kalasan kepada Sanggha
Buddha. Prasasti Ratu Boko (856), menyebutkan Raja Balaputradewa kalah
dalam perang saudara melawan kakaknya, yaitu Pramodhawardani. Kemudian, ia
melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Nalanda (860), menyebutkan asal
usul Raja Balaputradewa. Disebutkan bahwa Raja Balaputradewa adalah putra dari
Raja Samaratungga dan cucu dari Raja Indra.
Pada abad ke-8, Dinasti Sanjaya
yang memerintah KerajaanMataram Kuno mulai terdesak oleh dinasti Syailendra.
Hal itu kita ketahui dari prasasti Kalasan yang menyebutkan bahwa Rakai
Panangkaran dari keluarga Sanjaya diperintah oleh Raja Wisnu untuk mendirikan
Candi Kalasan, sebuah candi Buddha. Dinasti Syailendra muncul dalam sejarah
Kerajaan Mataram Kuno tidak lebih dari satu abad. Pengaruh Dinasti Syailendra
terhadap kerajaan Sriwijaya juga semakin kuat karena Raja Indra menjalankan
strategi perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang bernama
Samaratungga dengan salah seorang putri Raja Sriwijaya.
Pengganti Raja Indra adalah Raja
Samaratungga. Pada masa kekuasaannya, dibangun Candi Borobudur. Namun, sebelum
Candi tersebut selesai dibangun, Raja Samaratungga meninggal dunia, dalam
sebuah perang saudara. Balaputradewa kemudian melarikan diri ke Kerajaan
Sriwijaya dan menjadi raja disana.
· Periode
muslim
Sejak peradaban muslim awal di
pedalaman Jawa bagian tengah baru muncul setlah sekian lama Islam merambah
pesisir utara Jawa sejak awal milenium kedua Masehi. Salah satu bukti terkuat
tersebarnya Islam di pusat tanah Jawa mewujud dalam bentuk sebuah kesultanan
Islam, Mataram. Usai meredupnya pamor Kasultanan Pajang, Mataram muncul sebagai
sebuah kerajaan Islam pada paruh kedua abad XVI M. Kasultanan yang
diproklamasikan oleh Panembahan Senopati itu pun menandai jejak ter-Islamkannya
tanah yang sejak ratusan tahun sebelumnya juga bernama Mataram yang kental
dengan warna Hindu - Buddha-nya. Kotagede adalah tempat yang menjadi ibukota
pertama Mataram Islam, sebelum kemudian berpindah ke Plered pada paruh awal
abad XVII M.
Sejak awal, konsep pemerintahan
Mataram Islam yang diusung adalah konsep ajaran Islam yang tercermin antara
lain dalam gelar raja sebagai khalifatullah, wakil Allah di dunia. Secara
fisik, perwujudan konsep Islam tampil dengan keberadaan masjid kerajaan (Masjid
Besar Mataram) yang dibangun di dekat keraton, di sebelah barat alun-alun.
Namun, praktik-praktik pra-Islam tetap dipelihara dan diwujudkan dalam
pengkulturan terhadap raja dan berbagai upacara yang harus dilaksanakan, baik
di kompleks masjid maupun makam kerajaan.
· Periode
kolonial dan periode merdeka
Daerah Istimewa Yogyakarta
merupakan wilayah yang kemudian menjadi keraton dan ibukota Yogyakarta telah
lama dikenal sebelum Sultan Hamengkubuwono 1 memilih tempat itu sebagai pusat
pemerintahannya. Wilayah itu dikenal dalam karya sejarah tradisional (Babad)
maupun dalam leluri dari mulut ke mulut. Babad Giyantidalem yang
bernama Gerjiwati di wilayah itu. Kemudian oleh Paku Buwana II dinamakan Ayogya.
Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian
bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813,
didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II )
kemudian bergelar Adipati Paku Alam I.
Daerah yang mempunyai asal-usul
dengan pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut
Zelfbesturende Landschappen. Di zaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah
Swapraja. Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengakui Kasultanan maupun Pakualaman,
sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan
dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum dalam
Staatsblad 1941 No. 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941
No. 577.
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan
RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada
Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah
Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung
menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sri sultan Hamengku Buwono IX dan
Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung
jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah:
1. Piagam kedudukan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari
Presiden RI
2. Amanat Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (yang
dibuat sendiri-sendiri secara terpisah)
3. Amanat Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (yang dibuat
bersama dalam satu naskah).
Dengan dasar pasal 18 Undang-undang
1945, DPRD DIY menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah
Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan
Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati.
Pasal 18 undang-undang dasar 1945
itu menyatakan bahwa "pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang
dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan
Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa".
Sebagai Daerah Otonom setingkat
Propinsi, DIY dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan
maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman.
D. KEBUDAYAAN
D. KEBUDAYAAN
Dasar filosofi pembangunan daerah
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai
cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta
berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Secara filosofis, budaya Jawa khususnya Budaya DIY dapat digunakan sebagai
sarana untuk Hamemayu Hayuning Bawana. Ini berarti bahwa Budaya tersebut
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat ayom ayem tata, titi, tentrem karta
raharja. Dengan kata lain, budaya tersebut akan bermuara pada kehidupan
masyarakat yang penuh dengan kedamaian, baik ke dalam maupun ke luar.
Yogyakarta menjadi seperti saat
ini, karena latar belakang yang dimilikinya. Berbagai peristiwa yang dialami
kota ini melahirkan budaya jawa serta menumbuhkan nilai-nilai etika orang jawa
yang terkenal akan kesopanan dan keramahannya. Budaya kerajaan yang telah
lampau masih melekat erat pada kota Yogyakarta, hal ini ditunjukkan pada sistem
pemerintahan kesultanan yang masih dapat dipertahankan. Sehingga berpengaruh
pada kehidupan masyarakat di Yogyakarta.
Dalam suatu sistem nilai kebudayaan
tertentu, di satu pihak senantiasa diyakini terdapat ideal-ideal yang harus
dikiblati, namun di lain pihak selalu terjadi distorsi-distorsi, bahkan
penyimpangan-penyimpangan dalam praktek kehidupan. Meskipun harus diakui bahwa
dalam perilaku kongkrit masyarakat Yogyakarta boleh jadi terjadi distorsi dan
penyelewengan atas nilai-nilai yang diidealkan (adiluhung), namun dalam
naskah Tata Nilai Budaya Yogyakarta ini tetap dirumuskan ideal-ideal yang
diyakini sebagai kiblat dalam meraih keutamaan, karena pada hakikatnya manusia
itu bukan hanya “produk” kebudayaan belaka, melainkan juga sekaligus “pencipta”
kebudayaan. Oleh karena itu, manusia dapat dan bahkan harus merancang suatu
strategi kebudayaan bagi masa depannya, menuju kehidupan bersama yang lebih
berkeadaban.
Tata nilai budaya Yogyakarta ialah
tata nilai Budaya Jawa yang memiliki kekhasan dalam semangat pengaktualisasian
nilai-nilai kejawaan pada umumnya. Tata Nilai Budaya Yogyakarta merupakan
sistem nilai yang dijadikan kiblat (orientasi), acuan (referensi), inspirasi,
dan sumber pedoman bagi perilaku budaya dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur kehidupan budaya masyarakat Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar