Nama : Anggraeni Masrina
NIM : 4423107046
USAHA JASA PARIWISATA 2010
"TRADISI ETNIK NUSANTARA"
Aceh memiliki otonomi yang
diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena
alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara,
Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera
Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh.
Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan
Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26
Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang
terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan
Simeulue.
Aceh
mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam
itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber
hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh
Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman
nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh
Tenggara.
v Latar
Belakang kebudayaan
a.
Lokasi (geografis, astronomis dan kimatologis)
Provinsi Aceh terletak di ujung Barat Laut
Sumatera (2o00’00”- 6o04’30” Lintang Utara dan 94o58’34”-98o15’03”
Bujur Timur) dengan Ibukota Banda Aceh, memiliki luas wilayah 56.758,85 km2
atau 5.675.850 Ha (12,26 persen dari luas pulau Sumatera), wilayah lautan
sejauh 12 mil seluas 7.479.802 Ha dengan garis pantai 2.666,27 km2.
Secara administratif pada tahun 2009, Provinsi Aceh memiliki 23 kabupaten/kota
yang terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota, 276 kecamatan, 755 mukim dan 6.423 gampong atau desa.
Provinsi Aceh memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu
lintas perdagangan Nasional dan Internasional yang menghubungkan belahan dunia
timur dan barat dengan batas wilayahnya : sebelah Utara berbatasan dengan Selat
Malaka dan Teluk Benggala, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera
Utara dan Samudera Hindia, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia dan
sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara.
Kondisi Topografi
Provinsi Aceh memiliki topografi datar
hingga bergunung. Wilayah dengan topografi
daerah datar dan landai sekitar 32 persen dari luas wilayah, sedangkan
berbukit hingga bergunung mencapai
sekitar 68 persen dari luas wilayah. Daerah dengan topografi bergunung terdapat
dibagian tengah Aceh yang merupakan gugusan pegunungan bukit barisan dan daerah
dengan topografi berbukit dan landai terdapat dibagian utara dan timur Aceh. Berdasarkan kelas topografi wilayah, Provinsi
Aceh yang memiliki topografi datar (0 -
2%) tersebar di sepanjang pantai barat – selatan dan pantai utara – timur
sebesar 24.83 persen dari total wilayah; landai (2 – 15%) tersebar di antara
pegunungan Seulawah dengan Sungai Krueng Aceh, di bagian pantai barat – selatan
dan pantai utara – timur sebesar 11,29 persen dari total wilayah; agak curam
(15 -40%) sebesar 25,82 persen dan sangat curam (> 40%) yang merupakan
punggung pegunungan Seulawah, gunung Leuser, dan bahu dari sungaisungai yang
ada sebesar 38,06 persen dari total wilayah.
Provinsi Aceh memiliki ketinggian rata-rata
125 m diatas permukaan laut. Persentase wilayah berdasarkan ketinggiannya
yaitu: (1) Daerah berketinggian 0-25 m dpl merupakan 22,62 persen luas wilayah
(1,283,877.27 ha), (2) Daerah berketinggian 25-1.000 m dpl sebesar 54,22 persen
luas wilayah (3,077,445.87 ha), dan (3) Daerah berketinggian di atas 1.000 m
dpl sebesar 23,16 persen luas wilayah (1,314,526.86 ha).
Kondisi
Klimatologi
Provinsi
Aceh memiliki Persentase lamanya
penyinaran matahari tercatat jumlah penyinaran matahari maksimum terjadi antara pukul
10.00 – 11.00 WIB yaitu sebesar
8,6 persen dan jumlah penyinaran matahari terendah terjadi antara pukul 15.00 –
16.00 Wib sebesar 4.5 persen, suhu tertinggi terjadi pada tanggal 04 September
2010 sebesar 28,4 ÂșC, dan rata-rata suhu terendah tercatat tanggal 29 September
2010 sebesar 25,4 persen sedangkan rata-rata kelembaban udara tertinggi terjadi
pada tanggal 29 September 2010 sebesar 91 persen dan terendah terjadi pada
tanggal 04 September 2010 sebesar 69 persen. Sedangkan rata-rata tekanan udara
terendah terjadi pada tanggal 18 September 2010 yang bernilai 1011,0 mb
sedangkan rata-rata tekanan udara tertinggi tercatat 06,27 mb dan 28 September sebesar 1012,9 mb.
Untuk jumlah penguapan di stasiun klimitologi indrapuri, September 2010
tercatat jumlah penguapan terendah terjadi pada tanggal 29 September 2010
dengan nilai penguapan sebesar 0.3 mm,sedangkan jumlah penguapan tertinggi
terjadi pada tanggal 10 September 2010 dengan jumlah penguapan 7,0 mm.
Sementara persentase kecepatan angin terbanyak pada kecepatan Calm (0 Knot)
sebesar 57,4 persen dan persentase kecepatan angin terendah yaitu pada
kecepatan 11-17 Knot sebesar 1,3 persen. Sedangkan persentase arah angina
terbanyak pada bulan Agustus 2010 didominasi arah dari Barat Laut sebanyak 8%
dan arah angin terendah dari Timur Laut dengan persentase sebesar < 1.4%.
Demografis
(jumlah,sebaran)
Jumlah penduduk Aceh pada akhir 2009 adalah
4.363.477 jiwa, dengan total jumlah kepala keluarga atau rumah tangga adalah
1.073.481 kepala keluarga/rumah tangga. Laju pertumbuhan penduduk Aceh selama 5
tahun (2006-2009) terakhir sebesar 1,66
persen. Kota Sabang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang
terendah dibandingkan kabupaten/kota lain di Aceh yakni sebesar 0,10 persen,
sedangkan yang tertinggi adalah Kabupaten Aceh Jaya yakni sebesar 7,90
persen. Sebaran penduduk di wilayah aceh
masih belum merata. Kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk terbesar
adalah Kabupaten Aceh Utara (532.535 jiwa) dan jumlah penduduk terkecil adalah
Kota Sabang (29.184jiwa).
b. Sejarah
(periode aksara, periode Hindu/Budha, periode muslim, periode Kolonial, periode
Merdeka)
Periode Aksara
Catatan
sejarah tertua dan pertama-tama mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh, didapati
dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti
Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra
bagian utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha(sebelum
masuknya agama Islam).Pada abad ke 13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam
bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan
pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang
(Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok. Di dalam catatan Ma Huan
(Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho,
dicatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru),
Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri).
Dalam
catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang
oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai
negara Aceh modern. Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan
dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah,
India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada
jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, di mana para pedagang
dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran
ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India.
Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo
(abad 13) dan Ibnu Batutah/Batistuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari
Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke
Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik,
dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam
pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra
Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu. Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah
satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat
penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini
disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India),
yang singgah atau menetap di Pasai. Di kota Samudra Pasai ini banyak tinggal
komunitas Tionghoa, seperti adanya "kampung Cina", seperti ditulis
dalam Hikayat Raja-raja Pasai.
Jadi
jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri, komunitas Tionghoa telah berada
di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur
perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan
internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana
yang berkarakter kosmopolitan dan multietnis. Tome Pires menyebutkan bahwa kota
Pasai adalah kota penting yang berpenduduk 20.000 orang. Pada tahun 1524
Samudra Pasai ditaklukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh
Darussalam dan sejak itu Samudra Pasai merosot dan pudar pamornya untuk
selamanya. Puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika pada jaman
Sultan Iskandar Muda (1607-36), Aceh pada waktu jaman Iskandar Muda ini adalah
negara yang paling kuat di seluruh Nusantara, bahkan di Asia Tenggara.
Kekuasaan
Aceh pada saat itu meliputi Barus, Tiku, Pariaman(Minangkabau), Riau, Siak,
sebagian Bangkahulu dan sebagia Semenanjung Malaya(Johor, Pahang, Perak). Aceh
meluaskan kekuasaannya dan memerangi Portugis, Kesultanan Johor, Pahang dll.
Aceh juga merupakan sebuah negara maritim dan sebagai salah satu pusat
perdagangan internasional. Banyak pedagang asing singgah dan menetap di Aceh,
seperti dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam,
Eropah dll. Pada saat itu Aceh menjalin kerjasama militer dengan negara Turkey
Ottoman. Di kota kerajaan ini (Banda Aceh sekarang), banyak dijumpai
perkampungan perkampungan dari berbagai bangsa, seperti kampong Cina, Portugis,
Gujarat, Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya. Kota Banda Aceh ini
benar-benar sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter internasional dan
multietnis. Seperti di Samudra Pasai, Aceh juga banyak menghasilkan Lada yang
diekspor ke Tiongkok.
Pada
waktu itu orang Aceh telah menguasai pembuatan atau pengecoran pembuatan Meriam
dan tidak semua meriam di Aceh adalah buatan luar negeri (seperti meriam buatan
Turki atau Portugis). Orang Aceh mendapatkan ilmu pembuatan meriam ini dari
orang Tionghoa (Kerajaan Aceh, Denys Lombard). Demikian juga dengan pertenakan
sutera yang sudah dikuasai oleh orang Aceh yang kemungkinan besar diperkenalkan
oleh orang-orang Tionghoa. Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah mantunya
sendiri yang bernama Sultan Iskandar Tsani (1636-41).
Periode
pemerintahan Iskandar Tsani ini adalah awal dari kemerosotan Kerajaan Aceh
Darussalam, periode pemerintahannya juga sangat singkat. Iskandar Thani tidak
melakukan politik ekspansi wilayah lagi seperti mertuanya dan lebih memusatkan
kepada pengetahuan dan ajaran Islam.
Pada
jaman Iskandar Tsani ini, di ibukota
kerajaan telah dibangun sebuah taman yang dinamakan "Taman Ghairah",
seperti yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri(orang Ranir, Gujarat, penasihat Sultan, ahli tasawuf). Diceritakan bahwa
didalam taman itu telah dibangun sebuah "Balai Cina" (paviliun) yang
dibuat oleh para pekerja orang Tionghoa.
Peranan
orang Tionghoa di bidang perdagangan di Aceh diperkirakan bertambah besar pada
paruh kedua abad ke-17. Selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen
di ibukota Aceh ini, ada juga pedagang musiman yang datang dengan kapal layar
(10-12 kapal sekali datang) pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Juli.
Kapal-kapal (Jung) Tionghoa tersebut juga membawa beras ke Aceh (impor beras
dari Tiongkok). Mereka tinggal dalam perkampungan Cina dekat pelabuhan, yang sekarang mungkin
lokasinya disekitar "Peunayong" (Pecinan Banda Aceh).
Bersama
dengan kapal itu juga datang para pengrajin bangsa Tionghoa seperti tukang
kayu, mebel, cat dll. Begitu tiba mereka mulai membuat koper, peti uang, lemari
dan segala macam lainnya. Setelah selesai mereka pamerkan dan jual di depan
pintu rumah. Maka selama dua atau dua bulan setengah berlangsunglah "pasar
(basar) Cina" yang meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti
biasanya orang-orang Tionghoa ini tidak lupa juga untuk bermain judi seperti
kebiasaannya. Pada akhir September, mereka berlayar kembali ke Tiongkok dan
baru kembali lagi tahun depannya. Barang-barang dari Tiongkok ini ada beberapa
diantaranya diekspor ke India.(Kerajaan Aceh, Denys Lombard).
c. Kebudayaan
ASAL MULA NAMA ACEH
ASAL MULA NAMA ACEH
Aceh
adalah nama sebuah Bangsa yang mendiami ujung paling utara pulau sumatera yang
terletak di antara samudera hindia dan selat malaka. Aceh merupakan sebuah nama
dengan berbagai legenda dan mitos , sebuah bangsa yang sudah dikenal dunia
internasional sejak berdirinya kerajaan poli di Aceh Pidie dan mencapai puncak
kejayaan dan masa keemasan pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam di masa
pemerintahan Sulthan Iskandar Muda hingga berakhirnya kesulthanan Aceh pada
tahun 1903 di masa Sulthan Muhammad Daud Syah.
Dan
walau dalam masa 42 tahun sejak 1903 s/d 1945 Aceh tanpa pemimpin, Aceh tetap
berdiri dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari tangan Belanda
dan Jepang yang dipimpin oleh para bangsawan, hulubalang dan para pahlawan Aceh
seperti Tgk Umar, Cut Nyak Dhien dan lain-lain dan juga Aceh mempunyai andil
yang sangat besar dalam mempertahankan Nusantara ini dengan pengorbanan rakyat
dan harta benda yang sudah tak terhitung nilainya hingga Aceh bergabung dengan
Indonesia karena kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh yang termakan oleh
janji manis dan air mata buaya Soekarno.
Banyak
sekali tentang mitos tentang nama Aceh, Berikut beberapa mitos tentang nama
Aceh :
1.
Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi
jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat
singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap.
Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk.
Sepeti dikutip oleh H.M. Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) catatan
Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat
rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai
Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah,
melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.Orang-orang Arab Saba mengangkut
rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari
pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah
tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.
2.
Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku
Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad
ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat
bersimpang-siur dan terpencar-pencar.
3.
HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa
bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante), Lanun,
Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari
negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut erat
hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah
sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh
Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua
Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho danTangse.
Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang
menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah
ke tempat-tempat lainnya. Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh”
dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li,
lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh
adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam
catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang
terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan
dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.
4.
Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami
diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan
orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.
5.
Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama
Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen,
Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein,
Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya
Atjeh.
6.
Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi
lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita
lama, mirip dongeng. Di antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal
Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang
bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh).Para anak buah kapal (ABK) itu pun
kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba
mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan
pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah.
Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung
Pande (dahulu),Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.
7.
Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan
kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat
cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho”
(baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh.
Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.
8.
Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi di
sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di
atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang
dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak
berkata pada adiknya “Berikan ia padaku karena kamu sudah mengandung dan aku
belum. ”Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa
pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di atas balai-balai yang
di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang
baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi
heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang
hamil, tapi si kakak yang melahirkan).
9.
Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang
sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi
pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamaipohon aceh.
Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh.
10.
Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari
negerinya, tetapi abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh. Ia mengatakan
kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang artinya ”adik”. Sejak itulah
putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan sebagai nama
daerah, yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.
11.
Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh
berasal dari sebuah kejadian, yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu
melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya telah lahir.
Dan, dari sinilah asal kata Aceh.
12.
Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah.
Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang
artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah.
13.
Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Acehadalah dari
suku Mantir (Mantee, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini
mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang
Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa
Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar