KUNINGAN
AHMAD INDRA FAJAR
UJIAN TENGAH SEMESTER
LETAK DAN GEOGRAFIS
Kabupaten Kuningan adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Kuningan. Letak astronomis
kabupaten ini di antara 108°23" - 108°47" Bujur Timur dan 6°45"
- 7°13" Lintang Selatan. Kabupaten ini terletak di bagian timur Jawa
Barat, berbatasan dengan Kabupaten Cirebon di utara, Kabupaten Brebes (Jawa Tengah) di timur, Kabupaten Ciamis di selatan, serta Kabupaten Majalengka di
barat. Kabupaten Kuningan terdiri atas 32 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 361 desa
dan 15 kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Kuningan.
Bagian timur wilayah kabupaten ini adalah
dataran rendah, sedang di bagian barat berupa pegunungan, dengan puncaknya Gunung Ceremai (3.076 m) yang biasa salah kaprah disebut
dengan Gunung Ciremai, gunung
ini berada di perbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Gunung Ceremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat..
Dilihat dari posisi geografisnya terletak di bagian
timur Jawa Barat berada pada lintasan jalan regional yang menghubungkan kota Cirebon dengan wilayah Priangan Timur dan sebagai jalan
alternatif jalur tengah yang menghubungkan Bandung-Majalengka dengan Jawa Tengah. Secara
administratif berbatasan dengan
- Sebelah Utara : Kabupaten Cirebon
- Sebelah Timur : Kabupaten Brebes (Jawa Tengah)
- Sebelah Selatan : Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah)
- Sebelah Barat : Kabupaten Majalengka
TOPOGRAFI
Permukaan
tanah Kabupaten Kuningan relatif datar dengan variasi berbukit-bukit terutama Kuningan bagian Barat dan bagian Selatan yang mempunyai
ketinggian berkisar 700 meter di atas permukaan laut, sampai ke dataran yang
agak rendah seperti wilayah Kuningan bagian Timur dengan
ketinggian antara 120 meter sampai dengan 222 meter di atas permukaan laut.
Kondisi
wilayah Kabupaten Kuningan yang berada di kaki Gunung Ceremai (lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut)
sangat bervariasi yaitu dengan ketinggian antara 25 - 2.000 meter di atas
permukaan laut. Sebagian besar wilayah Kabupaten Kuningan berada pada ketinggian antara 500 - 1.000 meter di
atas permukaan laut yang mencapai 58,90%, sedangkan wilayah dengan ketinggian
di atas 1.000 dpl hanya 6,08%. Kondisi itupun menyebabkan Kabupaten Kuningan mempunyai kemiringan yang bervariasi.
Ketinggian di suatu tempat mempunyai pengaruh
terhadap suhu udara, oleh sebab itu ketinggian merupakan salah saru faktor yang
menentukan dalam pola penggunaan lahan untuk pertanian, karena setiap jenis
tanaman menghendaki suhu tertentu sesuai dengan karakteristik tanaman yang
bersangkutan. Kemiringan tanah yang dimiliki Kabupaten Kuningan
terdiri dari : dataran rendah, dataran tinggi, perbukitan, lereng, lembah
dan pegunungan. Karakter tersebut memiliki bentang alam yang cukup indah dan
udara yang sejuk, sangat potensial bagi pengembangan pariwisata.
Sebagian besar tekstur tanah termasuk kedalaman
tekstur sedang dan sebagian kecil termasuk tekstur halus. Kondisi tersebut
berpengaruh terhadap tingkat kepekaan yang rendah dan sebagian kecil sangat
tinggi terhadap erosi.
Tingkat kepekaan terhadap erosi disebabkan
ketidaksesuaian antara penggunaan tanah dengan kemampuannya sehingga berakibat
rusaknya proses fisika, kimia dan biologi tanah tersebut. Beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap besar kecilnya intensitas tingkat kepekatan terhadap
terhadap erosi adalah faktor : lereng, sistem penggarapan, pengolahan
tanah, jenis tanah dan prosentase penutup tanah.
Tingkat kepekaan erosi di Kabupaten Kuningan
diklasifikasikan menjadi lima kelas, yaitu :
- Sangat Peka : 14.258,42 Ha
- Peka : 17.568,96 Ha
- Agak Peka : 20.473,43 Ha
- Kurang Peka : 21.845,69 Ha
- Tidak Peka : 36.307,00 Ha
KONDISI TANAH
Berdasarkan penelitian tanah tinjau Kabupaten Kuningan
memiliki 7 (tujuh) golongan tanah yaitu : Andosol, Alluvial, Podzolik,
Gromosol, Mediteran, Latosol dan Regosol.
- Golongan tanah Andosol terdapat di bagian barat kecamatan Kuningan yang cocok untuk ditanami tembakau, bunga-bungaan, sayuran, buah-buahan, kopi, kina, teh, pinus dan apel.
- Golongan tanah Alluvial terdapat di bagian timur Kecamatan Kuningan, Kecamatan Kadugede bagian utara, Kecamatan Lebakwangi bagian utara, Kecamatan Garawangi dan Kecamatan Cilimus cocok untuk tanaman sawah, palawija dan perikanan.
- Golongan tanah Podzolik terdapat di bagian selatan kecamatan Kadugede, bagian timur kecamatan Ciniru, bagian timur kecamatan Luragung, bagian selatan kecamatan Lebakwangi dan kecamatan Ciwaru cocok untuk ladang dan tanaman keras.
DEMOGRAFI
Penduduk
Kabupaten Kuningan Tahun 2010 Menurut Hasil Suseda sebanyak 1.122.376 orang
dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 0,48% pertahun dan Angka Harapan
Hidup (AHH) 70,76 tahun. Penduduk laki-laki sebanyak 580.796 orang dan penduduk
perempuan sebanyak 564.801 orang dengan sex ratio sebesar 99,3 %
artinya jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibanding penduduk laki-laki.
Diperkirakan hampir 25% penduduk
Kuningan bersifat comuter, mereka banyak yang bermigrasi ke
kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan sebagainya.
Penduduk Kuningan umumnya adalah suku Sunda
yang menggunakan Bahasa Sunda dalam kesehariannya, namun untuk daerah
perbatasan dengan Jawa tengah mereka juga ada yang bertutur dengan menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Sunda
yang digunakan di Kuningan memiliki ciri tersendiri (bahasa wewengkon)
dibandingkan dengan bahasa Sunda yang digunakan di daerah Priangan barat.
Mayoritas Penduduk Kuningan beragama Islam sekitar 98% (di daerah desa Manislor terdapat
komunitas penduduk yang menganut aliran Ahmadiyah), lainnnya beragama Kristen Katolik yang tersebar di wilayah Cigugur, Cisantana, Citangtu, Cibunut,
sedangkan sisanya beragama Protestan dan Budha
yang kebanyakan terdapat di kota Kuningan. Di wilayah Cigugur juga
terdapat penduduk yang menganut aliran kepercayaan yang disebut Aliran Jawa
Sunda. Sebagain besar penduduk kabupaten Kuningan bermatapencaharian sebagai
petani (petani penggarap dan buruh tani), dan lainnya bekerja sebagai Pedagang,
Pegawai negeri Sipil, TNI, Polisi, Wiraswasta dan sebagainya.
SEJARAH KUNINGAN
Ada
beberapa kemungkinan tentang asal-usulnya Kuningan dijadikan nama daerah ini. Salah satu
kemungkinan adalah bahwa istilah tersebut berasal dari nama sejenis logam,
yaitu kuningan. Dalam bahasa Sunda
(juga bahasa Indonesia), kuningan adalah sejenis logam yang
terbuat dari bahan campuran berupa timah, perak dan perunggu. Jika disepuh
(dibersihkan dan diberi warna indah) logam kuningan itu akan berwarna kuning
mengkilap seperti emas sehingga benda dibuat dari bahan ini akan tampak bagus
dan indah. Memang logam kuningan bisa dijadikan bahan untuk membuat aneka
barang keperluan hidup manusia seperti patung, bokor, kerangka lampu maupun
hiasan dinding.
Di
Sangkanherang, dekat Jalaksana sebelum tahun 1914 ditemukan beberapa patung
kecil terbuat dari kuningan. Paling tidak sampai tahun 1950-an barang-barang yang
terbuat dari bahan logam kuningan itu sangat disukai oleh
masyarakat elit (menak) di daerah Kuningan. Barang-barang yang dimaksud berbentuk alat perkakas
rumah tangga dan barang hiasan di dalam rumah. Benda-benda dari bahan kuningan itu juga disukai pula oleh sejumlah masyarakat Sunda,
Jawa,
Melayu, dan beberapa kelompok masyarakat di Nusantara
umumnya. Di daerah Ciamis
dan Kuningan sendiri terdapat cerita legenda yang bertalian dengan
bokor (tempat menyimpan sesuatu di dalam rumah dan sekaligus sebagai barang
perhiasan) yang terbuat dari logam kuningan. Kedua cerita legenda dimaksud menuturkan tentang
sebuah bokor kuningan yang dijadikan alat untuk menguji tingkat keilmuan
seorang tokoh agama.
Di Ciamis
dalam cerita Ciung Wanara - bokor itu digunakan untuk menguji seorang pendeta
Galuh (masa pra-Islam) bernama Ajar Sukaresi yang bertapa di Gunung Padang.
Pendeta ini diminta oleh Raja Galuh yang ibukota kerajaannya berkedudukan di
Bojong Galuh (desa Karangkamulya) sekarang yang terletak sekitar 12 km sebelah
timur kota Ciamis,
untuk menaksir perut istrinya yang buncit, apakah sedang hamil atau tidak.
Kesalahan menaksir akan berakibat pendeta itu kehilangan nyawanya. Sesungguhnya
buncitnya perut putri tersebut merupakan akal-akalan Sang Raja, dengan
memasangkanbokor kuningan pada perut sang putri yang kemudian ditutupi dengan kain
sehingga tampak seperti sedang hamil. Perbuatan tersebut dilakukan semata-mata
untuk mengelabui dan mencelakakan Sang Pendeta saja. Pendeta Ajar Sukaresi yang
sudah mengetahui akal busuk Sang Raja tetap tenang dalam menebak teka-teki yang
diberikan oleh Sang Raja, Sang Pendeta pun berkata bahwa memang perut Sang
Putri tersebut sedang hamil. Sang Raja pun merasa gembira mendengar jawaban
dari Pendeta tersebut,karena beliau berpikir akal busuknya untuk mengelabui
Sang Pendeta berhasil. Sang Raja dengan besar kepala berkatabahwa tebakan Sang
Pendeta salah, dan kemudian memerintahkan kepada prajuritnya agar pendeta
tersebut dibawa ke penjara dan segera Sang Raja mengeluarkan perintah agar
pendeta tersebut di hukum mati.
Teryata
tak berapa lama kemudian diketahui bahwa Sang Puteri tersebut benar-benar
hamil. Muka Raja tersebut merah padam,hal ini tak mungkin terjadi pikirnya.
Dengan gelap mata Sang Raja tersebut marah dan menendang bokor kuningan, kuali
dan penjara besi yang berada di dekatnya. Bokor, kuali dan penjara besi itu
jatuh di tempat yang berbeda. Daerah tempat jatuhnya bokor kuningan, kemudian diberi nama Kuningan yang terus berlaku sampai sekarang. Daerah tempat
jatuhnya kuali (bahasa Sunda: kawali) dinamai Kawali (sekarang kota kecamatan
yang termasuk ke dalam daerah Kabupaten Ciamis
dan terletak antara Kuningan dan Ciamis,
sekitar 65 km sebelah selatan kota Kuningan), dan daerah tempat jatuhnya
penjara besi dinamai Kandangwesi (kandangwesi merupakan kosakata bahasa Sunda
yang artinya penjara besi) terletak di daerah Garut
Selatan.
Dalam
Babad Cirebon dan tradisi Lisan Legenda Kuningan bokor kuningan itu digunakan untuk menguji tokoh
ulama Islam (wali) bernama Sunan Gunung Jati. Jalan ceritanya kurang
lebih sama dengan cerita Ciung Wanara, hanya di dalamnya terdapat beberapa hal
yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud terletak pada waktu dan tempat terjadinya
peristiwa, tujuan dan akibat pengujian itu, dan tidak ada peristiwa penendangan
bokor. Jika cerita Ciung Wanara menuturkan gambaran zaman kerajaan Galuh yang
sepenuhnya bersifat kehinduan atau masa pra-Islam,
maka Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengisahkan tuturan pada zaman peralihan dari masa Hindu
menuju masa Islam atau pada masa proses Islamisasi. Dengan demikian, isi cerita
Ciung Wanara lebih tua daripada isi Babad Cirebon atau tradisi lisan Legenda Kuningan. Cerita Ciung Wanara mengungkapakan tempat
peristiwanya di Bojong Galuh, sedangkan Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengemukakan bahwa peristiwanya terjadi di Luragung
(kota kecamatan yang terletak 19 km sebelah timur Kuningan).
Tidak
seperti dalam cerita Ciung Wanara, penaksiran kehamilan Puteri dilatarbelakangi
oleh tujuan mencelakakan pendeta Ajar Sukaresi dan berakibat pendeta tersebut
dihukum mati, dalam Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan penaksiran kehamilan tersebut dimaksudkan untuk
menguji keluhuran ilmu Sunan Gunung Jati semata-mata dan berdampak mempertinggi
kedudukan keulamaan wali tersebut. Anak yang dilahirkannya adalah seorang bayi
laki-laki yang kemudian dipelihara dan dibesarkan oleh Ki Gedeng Luragung,
penguasa daerah Luragung. Selajutnya Sunan Gunung Jati menjadi Sultan di Cirebon. Setelah dewasa bayi itu diangkat oleh Sunan Gunung
Jati menjadi pemimpin atau kepala daerah Kuningan dengan nama Sang Adipati Kuningan.
Jadi,
dari nama jenis logam bahan pembuatan bokor itulah daerah ini dinamakan daerah Kuningan. Itulah sebabnya, bokor kuningan dijadikan
sebagai salah satu lambang daerah Kabupaten
Kuningan. Lambang lain daerah ini adalah kuda yang berasal
dari kuda samberani milik Dipati Ewangga, seorang Panglima perang Kuningan.
Menurut tradisi lisan Lagenda Kuningan yang lain, sebelum bernama Kuningan nama daerah ini adalah Kajene. Kajene katanya
mengandung arti warna kuning (jene dalam bahasa Jawa berarti kuning). Secara umum warna kuning
melambangkan keagungan dalam masyarakat Nusantara. Berdasarkan bahan bokor kuningan dan warna kuning itulah, kemudian pada masa awal
Islamisasi daerah ini dinami Kuningan. Namun keotentikan Kajene sebaga
nama pertama daerah ini patut diragukan, karena menurut naskah Carita Parahyangan sumber tertulis yang disusun di daerah Ciamis
pada akhir abad ke-16 Masehi, Kuningan sebagai nama daerah (kerajaan)
telah dikenal sejak awal kerajaan Galuh, yakni sejak akhir abad ke-7 atau awal
abad ke-8 Masehi. Sementara itu, wilayah kerajaan Kuningan terletak di daerah Kabupaten Kuningan sekarang.
Adalagi
menurut cerita mitologi daerah setempat yang mengemukakan bahwa nama daerah Kuningan itu diambil dari ungkapan dangiang kuning, yaitu nama
ilmu kegaiban(ajian) yang bertalian dengan kebenaran hakiki. Ilmu ini dimiliki
oleh Demunawan, salah seorang yang pernah menjadi penguasa (raja) di daerah ini
pada masa awal kerajaan Galuh. Dalam tradisi agama Hindu
terdapat sistem kalender yang enggambarkan siklus waktu upacara keagamaan
seperti yang masih dipakai oleh umat Hindu-Bali
sekarang. Kuningan menjadi nama waktu (wuku) ke 12 dari sistem kalender
tersebut. Pada periode wuku Kuningan selalu daiadakan upacara keagamaan sebagai
hari raya. Mungkinkah, nama wuku Kuningan mengilhami atau mendorong pemberian
nama bagi daerah ini?
Yang jelas, menurut Carita Parahyangan dan
Fragmen Carita Parahyangan, dua naskah yang ditulis sezaman pada daun lontar
beraksara dan berbahasa Sunda Kuna, pada abad ke-8 Masehi, Kuningan sudah disebut sebagai nama kerajaan yang terletak
tidak jauh dari kerajaan Galuh (Ciamis sekarang) dan kerajaan Galunggung (Tasikmalaya sekarang). Lokasi kerajaan tersebut terletak di
daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Kuningan.
Kehidupan organisasi kemasyarakatan di Kabupaten
Kuningan telah dimulai sejak + 3.500 tahun sebelum masehi (zaman neolitik dan
megalith), hal ini didasarkan atas temuan peninggalan yang hingga kini dapat
kita lihat di Taman Purbakala Cipari Kelurahan Cigugur, antara lain berupa
menhir, dolmen, kuburan batu, perkakas batu, dan keramik.
Namun demikian, alternatif penentuan hari jadi
Kuningan yang diusulkan oleh Tim Penulisan Sejarah Kuningan yang dibentuk
dengan Surat Keputusan Bupati Kuningan No. 349/Hk.021.1/SK/Bp/XII/1976 tanggal
16 Desember 1976, pada awal penetapannya di dasarkan atas dua usulan, yaitu:
- Berpegang pada periode awal atau periode "ARILE" yaitu tanggal 11 April 732 yang bertitik tolak pada penobatan Seuweukarma sebagai Raja Kuningan Pertama,dan;
- Berpegang kepada masuknya agama Islam ke Kuningan yang diawali dengan masuknya “Sunan Gunung Jati” ke daerah Luragung pada tahun 1481, tepatnya saat penobatan Kepala Pemerintahan di Kuningan pada tanggal 1 September 1498
Akhirnya berdasarkan kesepakatan yang didasari oleh
titi mangsa permulaan masuknya Agama Islam ke Daerah Kuningan, maka
ditetapkanlah alternatif ke dua sebagai Hari Jadi Kuningan yaitu 1 September
1498 yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kuningan Nomor
21/Dp.003/XII/1978 tanggal 14 Desember 1978.
KEPALA PEMERINTAHAN DARI ZAMAN KE
ZAMAN
- Zaman Hindu
- Seuweukarma
- Sanjaya
- Rahiang Tamperan
- Rahiang Banga
- Rakean Darmasiksa
- Aria Kamuning
- Zaman Islam
- Sang Adipati Kuningan
- Geusan Ulun
- Dalem Mangkubumi
- Zaman Penjajahan Belanda & Jepang
- R. Brata Adiningrat
- Doejeh Brataamidjaja
- R. Dali Soejanataatmadja
- R. Moch. Achmad
- R. Umar Said
- Zaman RI 1940 - Sekarang
- R. Noer Armadibrata (1945-1951)
- R. Asikin Joedadibrata (RECOMBA 1947-1948)
- R. Hollan Soekmadiningrat (RECOMBA 1948-1949)
- R. Abdoel Rifai (RECOMBA 1949-1950)
- R. Moch. Hafil
- R. Tikok Moch. Ichlas (1951-1952)
- R. Soemitra (1952-1954)
- Tb. Amin Abdulah (1954-1957)
- Yusuf (Pejabat 1957-1958)
- Saleh Alibasah (1958-1961)
- Usman Djatikusumah (1961-1966)
- Rd. Komar Suryaatmadja
- S. Soemintaatmadja (Pejabat 1966-1967)
- R. Aruman Wirananggapathi (1967-1973)
- Karli Akbar (1973-1978)
- R.H. Unang Sunardjo, SH. (1978-1983)
- H. M. Jufri Pringadi (1983-1988)
- Drs. H. Subandi (1988-1993)
- H. Yeng DS Partawinata, SH (1993-1998)
- Drs. H. Arifin Setiamihardja, MM (1998-2003)
- H. Aang Hamid Suganda,S,Sos - Drs. H. Aan Suharso, M.Si (2003-2008)
- H. Aang Hamid Suganda,S.Sos - Drs. H. Momon Rochmana, M.M. (2008-2013)
KEBUDAYAAN
DI KUNINGAN
Saptonan
merupakan agenda tahunan yang diadakan setiap momen peringatan Hari
Jadi Kuningan. Seperti pernah beberapa
kali diadakan di lapang Randu Kelurahan Cijoho, lapang Kertawangunan
Kecamatan Sindangagung dan lapang sekitar kawasan wisata Linggajati Kecamatan
Cilimus. Hal ini terkait dalam upaya memperkenalkan kepada warga di
daerah ini,Memang banyak warga yang penasaran untuk menyaksikan pergelaran yang
boleh dibilang langka ini. Buktinya, setiap tahun pertunjukan ini selalu
dinanti warga.
Sebelum
pergelaran saptonan dan panahan dimulai, biasanya diawali dengan prosesi atau
upacara yang menggambarkan keadaan masa kerajaan. Sejumlah peserta mempersiapkan
unjuk kebolehan untuk mengikuti adu ketangkasan menunggang kuda, dengan
mengenakan kostum mirip pada jaman kerajaan. Sementara, demang mengenakan
pakaian yng lebih sederhana seperti kain odot, celana pangsi, sandal karet
(sendal bandol) yang talinya sampai lutut. Begitu pula para menak, pamager sari
mengenakan pakaian yang sama seperti dipakai adipati dan tumenggung. Ada
pula mengenakan pakaian kebaya. Adipati, tumenggung dan demang
menunggangi kuda diikuti oleh para prajurit atau ponggawa yang mengenakan
pakaian sampur, rompi, calana kain dodot, sendal serta membawa tumbak,
tameng dan keris, kujang, pedang, gondewa dan umbul-umbul.
Menurut
Kepala Disparbud Kabupaten Kuningan, Sapton berasal dari kata Saptu (Sabtu)
yakni acara rutin dilaksanakan setiap hari Sabtu setelah kegiatan seba raga
(sidang) yang diadakan di sekitar Istana Karajaan Kajene (Kuningan) tempo dulu.
pergelaran sapton agak mirip dengan pacuan kuda tradisional. Hanya saja,
saptonan bukan lomba memacu kuda, tapi merupakan uji ketangkasan
menunggangi kuda sambil; melempar tombak ke arah ember berisi air yang
digantung di tiang atau gawang sapton tersebut.
Sapton
sebenarnya memiliki makna yang dalam seperti heroisme, katangkasan
berkuda ini dulunya dalam rangka bela nagara serta simbol kekompakan pemerintah
dengan rakyatnya. Sedangkan panahan tradisional, lanjut dia, yakni salah satu
warisan luluhur karajaan Kuningan yang ditularkan kepada rakyatnya agar mampu
menggunakan gondewa sebagai alat bela diri dalam menghadapi gangguan
ketentraman rakyat pada jaman dahulu. Selain itu, mengandung makna
pendidikan atau ajaran untuk lebih memusatkan diri dan menahan emosi. Sebab
dengan jiwa yang tenang biasanya kesuksesan mudah dicapai. budaya yang sifatnya
sejarah dan nilai tradisional ini tidak hanya dijadikan tontonan, tapi mampu
menggugah masyarakat dalam upaya memelihara kearifan lokal dan menjadi daya
tarik wisata daerah.
MASUKNYA
ISLAM KE KUNINGAN
Berdasarkan keterangan
berbagai sumber sejarah (terutama sumber sejarah Cirebon) diketahui bahwa
masuknya Islam ke Kuningan terjadi pada tahun 1450. Pembawa ajaran Islam itu
disebarkan pertama kali oleh Syekh Bayanullah, atau lebih dikenal dengan
sebutan Syekh Maulana Akbar, jadi waktunya sebelum kedatangan Sunan Gunung Jati
ke Luragung (Buni Haji) dan Winduherang – Kuningan (1460).
www.kuningankab.go.id
ijin share ya kak terimakasih
BalasHapuscara membuat sosis rumahan
daftar judi slot
BalasHapusdaftar judi slot online
daftar situs slot terpercaya
judi slot online terpercaya
judi slot terpercaya