UTS Tradisi Etnik Nusantara (Bag.3)
Folklore Sebagian Lisan
Tiara Oktaviama
4423107047
TARI PAKARENA
Memang tak ada orang
yang tahu persis sejarah Pakarena. Tapi dari cerita-cerita lisan yang
berkembang, tak diragukan lagi tarian ini adalah ekspresi kesenian rakyat Gowa.
Menurut Munasih
Nadjamuddin yang seniman Pakarena, tarian Pakarena berawal dari kisah mitos
perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino
(bumi) zaman dulu. Sebelum detik-detik perpisahan, boting langi mengajarkan
penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternak hingga
cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan
inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino
menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi.
Sebagai seni yang
berdimensi ritual, Pakarena terus hidup dan menghidupi ruang batin masyarakat
Gowa dan sekitarnya. Meski tarian ini sempat menjadi kesenian istana pada masa
Sultan Hasanuddin raja Gowa ke-16, lewat sentuhan I Li’motakontu, ibunda sang
Sultan. Demikian juga saat seniman Pakarena ditekan gerakan pemurnian Islam
Kahar Muzakar karena dianggap bertentangan dengan Islam. Namun begitu tragedi
ini tidak menyurutkan hati masyarakat untuk menggeluti aktifitas yang menjadi
bagian dari hidup dan kehidupan yang menghubungkan diri mereka dengan Yang
Kuasa.
Belakangan ini
tangan-tangan seniman kota dan birokrat pemerintah daerah (pemda) telah
menyulap Pakarena menjadi industri pariwisata. Dengan bantuan tukang seniman
standar estetika diciptakan melalui sanggar-sanggar agar bisa dinikmatin orang
luar. Untuk mendongkrak pendapatan daerah, alasannya. Sebagian seniman
mengikuti standar resmi dan memperoleh fasilitas pemda. Tapi sebagian seniman
lain enggan mengikuti karena dianggap tidak sesuai tradisi adat setempat, meski
menanggung resiko tidak memperoleh dana pembinaan pemda atau tidak diundang
dalam pertunjukan-pertunjukan.
Dg Mile (50 tahun),
misalnya. Seniman Pakarena asal desa Kalase’rena, Kec. Barang lompo ini
tergolong teguh pendirian. Ia biasanya mencari berbagai cara berkelit untuk
tidak menghadiri undangan departemen pariwisata. Kadang beralasan sedang ada
acara ritual sendiri di kampungnya atau menghadiri sunatan dan pengantin
tetangganya, atau kalau pun tidak bisa menolak maka ia akan menuntut syarat
agar teman-temannya tidak terlantar usai pertunjukan.
Cara lain yang agak
berbeda ditunjukkan Sirajuddin Bantam. Anrong guru Pakarena dari Gowa ini
terang-terangan menolak tampil jika ada pejabat yang mau mendikte tampilan
penarinya. Bahkan saat diminta tampil, ia tidak segan mempertanyakan lebih dulu
keperluan pertunjukan itu dan sejauh mana menguntungkan teman-temannya. Karena
ia tahu ada jenis tarian yang bisa dipertontonkan dan mana yang hanya bisa
tampil di acara-acara tertentu. Sirajuddin juga kadang ngibulin pejabat
yang menuntut tampilan tertentu dengan tiba-tiba mengubah sendiri skenario
tarian di atas panggung.
Sikap yang ditempuh
para seniman ini memang bukan tanpa resiko. Mereka harus merawat tradisi
Pakarena dengan hidup pas-pasan tanpa bantuan pemerintah. Hanya dengan kreatifitas
saja mereka bisa bersaing dengan seniman kota yang menikmati fasilitas dan
kesejahteraan jauh di atas rata-rata.
Kecerdikan ini
misalnya dipunyai Sirajuddin dan Dg Mile. Sirajuddin mendokumentasikan sendiri
tarian Pakarena dan lalu memperkenalkannya ke publik sampai mancanegara. Tentu
saja dia dan para seniman kampung yang bersamanya juga mengkreasi Pakarena ini.
Tapi ia sungguh menyadari mana tarian yang bisa dikreasi dan mana yang tidak. “Royong
yang biasa dipakai ritual, tak perlu ditampilkan. Hanya pakarena Bone Balla
yang ditampilkan,” ujar pemilik sanggar tari Sirajuddin ini, sembari
menjelaskan bahwa Bone Balla biasa dipertontonkan kerajaan untuk
menyambut para tamu.
Sementara itu, Dg Mile
yang juga pemilik sanggar Tabbing Sualia ini lebih memilih tampil sendiri tanpa
bergantung sama pemda. Paling banter dia dan kelompoknya hanya mau tampil bila
bekerja sama dengan LSM tertentu yang peduli terhadap kesenian rakyat. ”Selama
ini saya lebih suka main dengan Latar Nusa ketika mau menampilkan kesenian
Pakarena di dalam dan di luar negeri,” kata Dg Mile menyebut nama LSM itu.
Begitulah, rupanya
kaum seniman memiliki pengertian beda mengenai Pakarena. Orang macam Dg Mile
dan Sirajuddin menyadari, Pakarena yang ”dipasarkan” pemda selama ini cenderung
terpisah dari kehidupan, tradisi, dan makna yang diimajinasikan komunitas.
Proses itu hanya menguntungkan seniman kelas menengah di kota dan kepentingan
tertentu di pemerintahan. Seperti keinginan pemda mengubah pakaian penari
tradisi di Sulsel agar sesuai dengan norma agama tertentu.
Jelas ini melahirkan
kerisauan. Dg Mile sampai-sampai menjelaskan berulangkali kalau Pakarena
tidaklah syirik karena ditujukan kepada Yang Kuasa. Sirajuddin pun meminta agar
para agamawan tidak menggunakan syariat yang formalis saja dalam menilai
kesenian, tapi menggunakan hakikat atau tarekat. “Jika pemahaman mereka benar,
tidak ada kesenian kita yang bertentangan dengan agama,” ujar Sirajuddin,
sambil mencontohkan istilah passili dalam Pakarena yang berarti
memerciki para seniman dan peralatannya dengan sejumput air agar membawa
keberuntungan, selaras dengan agama. ”Lalu mana lagi yang harus diberi warna
atau nuansa agama,” kata Sirajuddin mengakhiri argumentasinya.
Kalau sudah begini,
soalnya menjadi tergantung siapa yang menafsir. Kebenaran kembali ada dalam
keyakinan para penghayatnya. Bukan elit agama atau birokrasi yang kerap
memonopoli makna.[Liputan oleh Syamsurijal Adhan]
Sikap batinnya hening,
penuh kelembutan, dedikatif, itulah kesan yang tersirat dari gemulainya gerakan
penari ini. Tari Pakarena yang dibawakan penari ini adalah tarian kas
masyarakat Sulawesi Selatan. Setiap penari harus melakukan upacara ritual adat
yang disebut jajatang, dengan sesajian berupa beras, kemeyan dan lilin. Ini
dimaksudkan untuk memperoleh kelancaran sepanjang pertunjukan berlangsung.
Pakarena adalah bahasa
setempat berasal dari kata Karena yang artinya main. Sementara ilmu hampa
menunjukan pelakunya. Tarian ini mentradisi di kalangan masyarakat Gowa yang
merupakan wilayah bekas Kerajaan Gowa.
Ini dulunya, pada
upacara-upacara kerajaan Tari Pakarena ini dipertunjukkan di Istana. Namun
dalam perkembangannya, Tari Pakarena ini lebih memasyarakat di kalangan rakyat.
Bagi masyarakat Gowa, keberadaan Tari Pakarena tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan mereka sehari-hari.
Kelembutan mendominasi kesan pada tarian ini. Tampak jelas menjadi
cermin watak perempuan Gowa sesungguhnya yang sopan, setia, patuh dan hormat
pada laki-laki terutama terhadap suami. Gerakan lembut si penari sepanjang
tarian dimainkan, tak urung menyulitkan buat masyarakat awam untuk membedakan
babak demi babak. Padahal tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Gerakan yang
sama, nyaris terangkai sejak tarian bermula. Pola gerakan yang cenderung mirip
dilakukan dalam setiap bagian tarian.
Sesungguhnya pola-pola ini memiliki makna khusus. Gerakan pada
posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan berputar
mengikuti arah jarum jam. Menunjukkan siklus kehidupan manusia.
Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan.
Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya
terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu
tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu sekitar
dua jam.
Tidak salah kalau seorang penari Pakarena harus mempersiapkan
dirinya dengan prima, baik fisik maupun mental. Gerakan monoton dan melelahkan
dalam Tari Pakarena, sedikit banyak menyebabkan kaum perempuan di Sulawesi
Selatan, tak begitu berminat menarikannya.
Kalaupun banyak yang belajar sejak anak-anak, tidak sedikit pula
yang kemudian enggan melanjutkannya saat memasuki jenjang pernikahan. Namun
tidak demikian halnya seorang Mak Joppong. Perempuan tua yang kini usianya
memasuki 80 tahun ini, adalah seorang pelestari tari klasik Pakarena.
Ia seorang maestro tari khas Sulawesi Selatan ini. Ia seorang empu
Pakarena. Mak Joppong sampai sekarang masih bersedia memenuhi undangan. Untuk
tampil menarikan Pakarena yang digelutinya sejak usia 10 tahun ini.
Disebut-sebut, perempuan inilah yang mampu menarikan Pakarena dengan utuh,
lengkap dengan kesakralannya sebagai sebuah tarian yang mengambarkan kelembutan
perempuan Gowa.
Mak Joppong tak pernah mau ambil pusing dengan bayaran yang
diterimanya. Dedikasi penuh pada tarian ini, membuatnya rela menerima
seberapapun besarnya bayaran yang diberikan si pengundang.
Padahal selepas ditinggal suaminya wafat, kehidupannya banyak
bergantung pada kesenian yang telah lama diusungnya ini. Namun biasanya, ia
menerima bayaran sekitar 500 ribu hingga 1 juta rupiah, untuk tampil semalam
suntuk, termasuk biaya sewa pakaian dan alat-alat. Tubuh yang sudah renta
termakan usia. kulit yang semakin keriput sejalan perjalanan hidup, tak
membuatnya surut dalam berkarya bersama Tari Pakarena. Bahkan untuk membagi
kebisaan yang didapat dari ayahnya ini. Ia sejak tahun 1978, mengajarkan Tari
Pakarena kepada para gadis di kampungnya di Desa Kambini, Kecamatan Palangga,
Kabupaten Gowa.
Di rumahnya, yang merupakan rumah panggung kas Gowa yang disebut
Balarate, para gadis melangkah, melengok, mengerakan tangannya mengikuti gerak
si empu Pakarena Mak Joppong.
Saat ini ada 6 gadis yang menjadi anak didiknya, dan tak
sepeserpun, Mak Joppong memunggut biaya. Tari Mak Joppong amat terasa sedih
disaat salah seorang anak didiknya memasuki jenjang pernikahan. Karena
biasanya, usai menikah, anak didiknya tak lagi menekuni Tari Pakarena. Sebuah
kebiasaan di Gowa, adalah hal yang tabu dan malu, bila seorang perempuan yang
telah menikah tampil di muka umum.
Pandangan umum inilah yang menyebabkan Tari Pakarena seolah hanya
selesai sampai di situ. Padahal tidak demikian buat Mak Joppong, Pakarena
adalah Tarian sakral yang tidak semua perempuan mampu menarikannya. Ketekunan
dan kesabaran menjadi modal utama buat Penari Pakarena. Itulah salah satunya
yang dimiliki Mak Joppong hingga kini.
Kini nasib Tari Pakarena seolah hanya bersandar pada Mak Joppong
semata. Selain hanya ia yang paham akan seluk beluk tarian ini, ia pula lah
yang tetap setia mengusung tari tradisional yang pernah jaya di masa kerajaan
Gowa dulu.
Penari
Pakarena, begitu lembut mengerakan anggota tubuhnya. Sebuah cerminan wanita
Sulawesi Selatan. Sementara iringan tetabuhan yang disebut Gandrang Pakarena,
seolah mengalir sendiri. Hentakannya yang bergemuruh, selintas tak seiring
dengan gerakan penari. Gandrang Pakarena, adalah tampilan kaum pria Sulawesi
Selatan yang keras.
Tarian Pakarena dan musik pengiringnya bak angin kencang dan
gelombang badai. Terang musik Gandrang Pakarena bukan hanya sekedar pengiring
tarian. Ia juga sebagai penghibur bagi penonton. Suara hentakan lewat empat
Gandrang atau gendang yang ditabuh bertalu-talu ditimpahi tiupan tuip-tuip atau
seruling, para pasrak atau bambu belah dan gong, begitu mengoda penontonya.
Komposisi dari sejumlah alat musik tradisional yang biasanya
dimainkan 7 orang ini, dikenal dengan sebutan Gondrong Rinci. Pemain Gandrang
sangat berperan besar dalam musik ini. Irama musik yang dimainkan sepenuhnya
bergantung pada pukulan Gandrang. Karena itu, seorang pemain Gandrang harus
sadar bahwa ia adalah pemimpin dan ia paham akan jenis gerakan Tari Pakarena.
Biasanya selain jenis pukulan untuk menjadi tanda irama musik bagi
pemain lainnya, seorang penabuh Gandrang juga mengerakan tubuh terutama
kepalanya. Ada dua jenis pukulan yang dikenal dalam petabuhan Gandrang. Yang
pertama adalah pukulan Gundrung yaitu pukulan Gandrang dengan menggunakan stik
atau bambawa yang terbuat dari tanduk kerbau. Yang kedua adalah pukulan tumbu
yang dipukul hanya dengan tangan. Gemuruh suara yang terdengar dari sejumlah
alat musik tradisional Sulawesi Selatan ini, begitu berpengaruh kepada
penonton. Mereka begitu bersemangat, seakan tak ingat lagi waktu pertunjukan yang
biasanya berlangsung semalam suntuk.
Semangat inipula yang membuat para pemain musiknya semakin
menjadi. Waktu bergulir, hentakan Gandrang Pakarena terus terdengar. Namun
entah sampai kapan Gandrang Pakarena akan terus ada. Nasibnya amat bergantung
pada Tarian Pakarena sendiri yang kini masa depannya seolah hanya berada di
tangan Mak Joppong. Muda-mudahan semangatnya tak akan pudar, seiring dengan
irama musiknya yang mencerminkan kerasnya lelaki Sulawesi Selatan.
Sumber :
http://southcelebes.wordpress.com/2008/08/11/profil-tari-pakarena-makassar/
http://www.transtiket.com/news-detail.html?id=Tari_Pakarena
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar