UJIAN TENGAH SEMESTER (Part 5)
LIDYA NOVITA - 4423107048
================================
KEBERADAAN, PELESTARIAN DAN FUNGSI
FOLKLORE
v Keberadaan
Folklore
Sejarah
folklor secara selintas
adalah sebagai berikut. Orang
yang pertama kali memperkenalkan istilah folklor ke dalam dunia ilmu pengetahuan adalah
William John Thoms, ahli
kebudayaan antik (antiquarian) Inggris, dalam artikelnya yang dimuat pada
majalah The Athenaeum No. 982, 22 Agustus 1846 (dengan nama samaran
Ambrose
Merton). Thoms menciptakan istilah folklore
untuk sopan-santun Inggris, takhayul, balada, dsb. untuk masa lampau
(yang sebelumnya disebut: antiques, popular antiquities, atau popular
literature).
Folklor
dari bahasa Inggris: „folklore‟, berasal dari dua kata, yaitu: „folk‟ dan „lore‟. Folk
artinya kolektif (collectivity). Folk
adalah sekelompok orang yang
memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan
dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu bisa berwujud kesamaan dalam hal: warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian,
bahasa, taraf pendidikan, dan agama. Yang
lebih penting, mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah
mereka warisi secara turun-temurun (sedikitnya dua generasi), yang dapat mereka
akui sebagai milik bersamanya. Yang paling penting, mereka sadar akan identitas
kelompok mereka sendiri. Jadi, folk bersinonim
dengan kolektif, yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau
kebudayaan
yang sama dan mempunyai kesadaran
kepribadian sebagai kesatuan masyarakat.
Lore artinya tradisi
folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun,
secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau
alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Dari folk
yang berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik,
sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya.
Itulah yang menyebabkan objek studi folklor Indonesia menjadi luas sekali.
Misalnya, dari perbedaan ciri-ciri pengenal fisik, kita bisa mempelajari
folklor orang Indonesia yang berkulit coklat, yang berkulit hitam, putih, atau
kuning, asalkan mereka warga negara Indonesia atau paling tidak sudah beberapa
generasi menjadi penduduk Indonesia.
Misalnya,
dari perbedaan ciri-ciri pengenal kebudayaan „mata pencaharian hidup‟, objek studi kita bisa folklor petani
desa, nelayan, pedagang, peternak, pemain sandiwara,
guru sekolah, tukang becak, bahkan juga wanita tuna susila, waria, tukang
copet, maling, dan seterusnya. Misalnya, dari bahasa yang sama, objek studi
kita bisa folklor orang Jawa,
orang
Sunda, Bugis, Ambon, Menado, dan seterusnya. Misalnya, dari agama yang sama,
objek studi kita bisa folklor orang Indonesia yang beragama Islam, yang beragama Katolik, Protestan, Hindu Dharma,
Budha, malahan juga Kaharingan (Dayak), Molohe Adu (Nias), dan semua
kepercayaan yang ada di Indonesia.
Dari
lapisan masyarakat yang sama, objek studi folklor Indonesia bisa mempelajari
folklor rakyat jelata, kaum bangsawan, dan seterusnya. Dari tingkat pendidikan
yang sama, objek studi kita bisa folklor siswa TK, siswa SD, SMP, SMA, malahan
juga folklor para mahasiswa, sarjana, guru besar, dan seterusnya.
Objek
studi folklor di Indonesia adalah semua folklor dari folk yang ada di
Indonesia, yang di pusat maupun di daerah, yang di kota maupun di desa, yang di
kraton maupun di kampung, yang pribumi maupun keturunan asing (peranakan), yang
warga negara Indonesia maupun warga negara asing asalkan mereka sadar akan
identitas kelompoknya dan mengembangkan kebudayaan mereka di bumi Indonesia.
Bahkan, kita dapat melakukan studi terhadap folklor dari folk Indonesia yang
kini sudah lama bermukim di luar negeri, seperti orang-orang Indo-Belanda di
negeri Belanda atau di California, dan orang-orang Jawa di Suriname.
James
Danandjaja (hal. 21 dst.) menyatakan bahwa folklor
mempunyai
tiga kelompok besar, yaitu: Folklor Lisan, Folklor Bukan
Lisan,
dan Folklor Sebagian Lisan. Penjelasannya sebagai berikut:
1.
Folklor Lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni
lisan.
Yang
termasuk ke dalam kelompok ini adalah:
a.
bahasa rakyat, seperti: logat, julukan,
dan sebagainya.
b.
ungkapan tradisional, seperti:
peribahasa, pepatah, pemeo.
c.
pertanyaan tradisional, seperti:
teka-teki.
d.
puisi rakyat, seperti: pantun,
gurindam, syair.
e.
cerita prosa, seperti: mite, legende,
dongeng.
f.
nyanyian rakyat.
2.
Folklor Sebagian Lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran
unsur lisan dan bukan lisan. Misalnya:
kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater, tarian, adatistiadat, upacara,
pesta, batu permata, dan sebagainya.
3.
Folklor Bukan Lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun
cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok ini dibagi menjadi dua,
ialah:
a.
Material, seperti: arsitek rakyat,
kerajinan tangan, pakaian, perhiasan, masakan, minumam, obat tradisi.
b.
Bukan Material, seperti: musik rakyat,
gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat komunikasi rakyat, dan sebagainya.
Folklor
berbeda dari kebudayaan lainnya, maka kita perlu mengetahui ciri-ciri pengenal
utama folklor pada umumnya. Adapun
ciri-ciri pengenal utama folklor yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1.
Penyebaran dan pewarisannya biasanya
dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut
(atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu
pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2.
Folklor bersifat tradisional, yaitu
disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Itu disebarkan
di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
3.
Folklor ada (exist) dalam versi-versi,
bahkan varian-varian yang berbeda. Itu
disebabkan penyebarannya secara lisan, sehingga dapat dengan mudah
mengalami perubahan. Perubahan biasanya terletak pada bagian luarnya saja,
sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
4.
Folklor bersifat anonim, nama
penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
5.
Folklor biasanya mempunyai bentuk
berumus atau berpola, sebagaimana dalam cerita rakyat atau permainan rakyat
pada umumnya. Cerita rakyat misalnya, selalu mempergunakan katakata klise
seperti „bulan 14 hari‟
untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis.
Juga, „seperti ular berbelit-belit‟ untuk menggambarkan
kemarahan seseorang. Demikian pula, ungkapan-ungkapan
tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimatkalimat atau kata-kata pembukaan dan
penutup yang baku, misalnya: „sahibul
hikayat...dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya‟,
atau „menurut empunya
cerita...demikianlah konon‟. Dongeng Jawa misalnya,
banyak yang dimulai dengan kalimat „Anuju sawijining dina‟ dan
ditutup dengan kalimat „A lan B urip
6.
rukun bebarengan kaya mimi lan mintuna‟.
7.
Folklor mempunyai kegunaan (function)
dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya, mempunyai kegunaan
sebagai alat/media pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi
keinginan terpendam.
8.
Folklor bersifat pralogis, yaitu
mempunyai logika tersendiri yang tidak
sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor
lisan dan sebagian lisan.
9.
Folklor menjadi milik bersama
(collective) dari kolektif tertentu. Ini disebabkan penciptanya tidak diketahui
lagi, sehingga setiap anggota kolektif ybs. Merasa memilikinya.
10. Folklor
biasanya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar,
terlalu spontan. Itu bisa dimengerti karena banyak folklor merupakan proyeksi
emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Dapat
ditambahkan di sini bahwa:
1.
Folklor
tidak „berhenti‟ sebagai folklor manakala telah diterbitkan dalam
bentuk cetakan/rekaman. Suatu folklor akan tetap memiliki identitas folklornya
selama kita tahu bahwa itu berasal dari peredaran lisan. Permasalahan baru
timbul manakala suatu cerita
2.
rakyat telah diolah lebih lanjut.
Misalnya, „Sangkuriang‟
(Jabar) diolah oleh Ayip Rosidi menjadi karya
sastra „Sangkuriang Kesiangan‟ (1961).
3.
Folklor mengungkapkan secara sadar atau
tidak bagaimana suatu kolektif masyarakat berpikir, bertindak, berperilaku, dan
memanifestasikan berbagai sikap mental, pola pikir, tata nilai, dan mengabadikan
hal-hal yang dirasa penting oleh folk kolektif pendukungnya. Misalnya, bagaimana
norma-norma hidup dan perilaku serta manifestasi pola pikir dan batiniah
masyarakat Minangkabau melalui pepatah, pantun, dan peribahasa.
4.
Bagaimana norma-norma hidup dan
perilaku serta manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat Jawa melalui
permainan rakyat (dolanan, tembang), bahasa rakyat (parikan, tembung seroja, sengkalan, dsb.), puisi rakyat, ragam
seni pertunjukan, lelucon, bahkan manifestasi dalam fisik kebudayaan seperti
batik, wayang, tarian, dan sebagainya.
5.
Folklor hanya merupakan sebagian
kebudayaan yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata atau lisan, sehingga ada yang menyebutnya
sebagai „tradisi lisan‟ (oral
6.
tradition). Penyebutan itu sesungguhnya
kurang pas, karena istilah „tradisi lisan‟ mempunyai arti yang terlalu sempit (hanya mencakup:
cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat), sedangkan arti
„folklor‟ lebih luas daripada itu (mencakup juga:
tarian rakyat dan arsitektur rakyat).
7.
Cerita rakyat terdiri atas budaya,
termasuk cerita, musik, tari, legenda, sejarah lisan, peribahasa, lelucon,
kepercayaan, adat, dsb. dalam suatu
populasi tertentu yang terdiri atas tradisi
-- termasuk tradisi lisan -- dari budaya, subkultur, atau kelompok.
Dari
uraian diatas dapat diketahui bahwa folklor dimiliki oleh suat kolektif
masyarakat. Selain itu folklor yang diwariskan turun temurun secara lisan
(mulut- kemulut) dalam suatu kolektif masyarakat yang mempunyai cerita
berbeda-beda diantara satu daerah dengan daerah lain.
Dilihat
dari sisi pendukungnya folklor mempunyai beberapa fungsi. Menurut Wiliam R.
Borton melalui Danandjaja (1991 : 19) fungsi folklor ada empat yaitu:
a.
Sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai
pencerminan angan-angan suatu kolektif.
b.
Alat pengesahan pranata-pranata dan
lembaga-lembaga kebudayaan.
c.
Alat pendidik anak
d.
Alat pemaksa dan pengawas agar
norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
v Folklore
sebagai bekal guide pariwisata
Fungsi
folklor mempunyai arti bahwa folklor sebagai bagian dari kehidupan masyarakat berfungsi untuk mendukung berbagai kegiatan dilingkungan masyarakat. Melalui
folklor dapat diketahui kebudayaanya masyarakat pada waktu berkenaan (zamanya)
baik dari segi pikiran, latar belakang masyarakat, maupun konsepnya serta keinginan
mereka. Juga melalui folklor masyarakat lama menyampaikan bagaimana leluhur
nenek moyang dahulu. Pikiran dan perasaanya tidak menggambarkan secara terbuka
seperti sekarang namun disampaikan dengan cara
tersirat dan halus sekali. Begitulah
pribadi masyarakat dulu yang banyak menampilkan nilai –
nilai kehidupan yang
menyangkut moral dan sebagainya.
Bagi
pada pemandu wisata folklore merupakan pegangan atau bekal mereka untuk menyampaikan berbagai informasi mengenai kebudayaan di suatu daerah yang
menjadi bagian dia untuk mengeksplore kepada para wisatawan. Berbagi keanekaragaman kebudayaan khususnya di Indonesia. Sebagai penambah wawasan bagi dirinya juga,
karena seorang guide pariwisata harus mampu menguasai setiap daerah bukan hanya
latar belakang daerah tersebut tetapi juga kebudayaannya. Juga untuk
memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada wisatawan asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar