DESVIANA ISNAENI 4423107028
Pada umumnya kehidupan
sehari-hari suku-suku di pedalaman mengandalkan naluri, termasuk dalam upaya
menyesuaikan serta menyelaraskan diri dengan lingkungan alam sekitarnya. Banyak
teknik atau cara yang digunakannya tergolong berteknologi cukup “tinggi” dan
mampu memprediksi kebutuhan hidupnya hingga masa depan.
Kecenderungan tersebut
diperlihatkan secara jelas pada arsitektur vernakular suku Baduy Dalam di
Kampung Cibeo. Bentuk dan gaya bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana,
dibangun berdasarkan naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat berlindung
dari gangguan alam dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat dalam
penataan eksterior dan interiornya.
Seluruh bangunan rumah tinggal
suku Baduy menghadap ke utara-selatan dan saling berhadapan. Menghadap ke arah
barat dan timur tidak diperkenankan berdasarkan adat. Di samping itu, ada hal
yang cukup menarik dan penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara mereka
memperlakukan alam atau bumi. Mereka tidak pernah berusaha mengubah atau
mengolah keadaan lahannya-misalna ngalelemah taneuh, disaeuran, atawa
diratakeun-untuk kepentingan bangunan yang akan didirikan di atasnya.
Sebaliknya, mereka berusaha
memanfaatkan dan menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi lahan yang ada.
Hasilnya memperlihatkan permukiman yang alami. Bangunan-bangunan tersebut
bagaikan sebuah kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpak-umpak
mengikuti kontur atau kemiringan tanahnya.
Rumah tinggal suku Baduy Dalam
termasuk jenis bangunan knock down dan siap pakai, yang terdiri dari beberapa
rangkaian komponen. Selanjutnya, komponen-komponen tersebut dirakit atau
dirangkai dengan cara diikat menggunakan tali awi temen ataupun dengan cara
dipaseuk.
Konstruksi utamanya yang
berfungsi untuk menahan beban berat, seperti tihang-tihang, panglari,
pananggeuy, dan lincar, dipasang dengan cara dipaseuk karena alat paku dilarang
digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua kayu yang
disambungkan lebih menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah mengering.
Sementara komponen seperti bilik
(dinding), rarangkit (atap), dan palupuh (lantai) hanya sekadar diikat atau
dijepit pada bambu atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, bangunan rumah
tinggal suku Baduy termasuk jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya
bersifat fleksibel dan elastis. Rumah panggungBangunan rumah tinggalnya
berbentuk rumah panggung. Karena konsep rancangannya mengikuti kontur lahan,
tiang penyangga masing-masing bangunan memiliki ketinggian berbeda-beda. Pada
bagian tanah yang datar atau tinggi, tiang penyangganya relatif rendah. Adapun
pada bagian yang miring, tiangnya lebih tinggi. Tiang-tiang penyangga tersebut
bertumpu pada batu kali agar kedudukannya stabil.
Batu kali merupakan komponen yang
cukup penting pula di lingkungan kampung suku Baduy. Selain digunakan untuk
tumpuan tiang penyangga, batu kali juga digunakan sebagi penahan tanah agar
tidak longsor. Caranya dengan ditumpuk membentuk benteng, atau dipakai untuk
membuat anak tangga, selokan, ataupun tempat berjalan yang sangat berguna
terutama jika musim hujan tiba.
Jenis atapnya disebut sulah
nyanda. Pengertian dari nyanda adalah posisi atau sikap bersandar wanita yang
baru melahirkan. Sikap menyandarnya tidak tegak lurus, tetapi agak merebah ke
belakang. Jenis atap sulah nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis atap julang
ngapak. Jika jenis atap yang disebutkan terakhir memiliki dua atap tambahan di
kedua sisinya, atap jenis sulah nyanda hanya memiliki satu atap tambahan yang
disebut curugan. Salah satu atap pada sulah nyanda lebih panjang dan memiliki
kemiringan yang rendah.
Rumah tinggal suku Baduy hanya
memiliki satu pintu masuk yang ditutup dengan panto, yaitu sejenis daun pintu
yang dibuat dari anyaman bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu jari dan
dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig. Orang Baduy
tidak mengenal ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun
tidak pernah tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka sendiri.
Semuanya dibuat dengan perkiraan dan
kebiasaan semata. Dalam menentukan ukuran lebar pintu masuk, mereka cukup
menyebutnya dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur selebar ukuran alat
untuk menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika ditinggalkan
penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk mengunci pintu
dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari samping luar
bangunan. Ruangan Inti
Pembagian interiornya terdiri
dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas, dan imah. Sosoro dipergunakan untuk
menerima kunjungan tamu. Letaknya memanjang ke arah bagian lebar rumah.
Selanjutnya, ruang tepas yang membujur ke arah bagian panjang atau ke belakang
digunakan untuk acara makan atau tidur anak-anak. Antara ruangan sosoro dan
tepas tidak terdapat pembatas. Keduanya menyatu membentuk huruf L terbalik atau
siku.
Tampaknya bagian inti dari rumah
suku Baduy terletak pada ruangan yang disebut imah karena ruang tersebut
memiliki fungsi khusus dan penting. Selain berfungsi sebagai dapur (pawon),
imah juga berfungsi sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya.
Mereka tidak memiliki tempat
tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas tersebut digunakan hanya
sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan disimpan di atas rak. Cara
tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah sangat fleksibel dan multifungsi. Di
sekeliling ruangan imah terdapat rak-rak untuk menyimpan peralatan dapur dan
tikar untuk tidur.
Secara garis besar, yang
dinamakan imah adalah sebuah ruangan atau bagian inti dari tata ruang dalam
rumah tinggal suku Baduy. Hampir seluruh kegiatan berpusat pada ruangan
tersebut, baik hal-hal yang bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan
minuman, maupun hal-hal yang batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai
pasangan suami-istri dan kepala keluarga.
Melalui kegiatan bergotong royong
seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat menyelesaikan sekitar sepuluh
bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang 100-120 meter persegi. Hal ini
dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang seluruh komponennya.
PAKAIAN SUKU BADUY
Suku Baduy adalah suku yang
menetap di ujung Pulau Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua kelompok
masyarakat, yaitu Baduy Luar, yang tinggal luar daerah Baduy Dalam,dan baduy
dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam pandangannya mereka
yakin berasal dari satu keturunan, yang memiliki satu keyakinan, tingkah laku,
cita-cita, termasuk busana yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada
perbedaan dalam berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model
dan warnanya saja.Baduy Dalam merupakan masyarakat yang masih tetap
mempertahankan dengan kuat nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak
terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah
mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar
seperti itu dapat dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial,
tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana hanya didasarkan pada jenis
kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Untuk Baduy Dalam, para pria
memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara
memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang
hanya dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya
tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna
busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan
dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari
benang kapas asli yang ditenun.Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa
sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar
kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Untuk
kelengkapan pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna
putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang,
kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk Masyarakat Baduy yakin dengan
pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih
Bagi suku Baduy Luar, busana yang
mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna
biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah,
seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya
mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang
kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit
kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat dari warna, model
ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah
terpengaruh oleh budaya luar. busana bagi kalangan pria Baduy adalah amat
penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian
selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta
dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di
pundaknya.
Sedangkan, untuk busana yang dipakai
di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan
perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah
sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari
tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian
sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan
dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus
tertutup. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain
tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan
selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat
dari benang kapas yang ditenun sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya,
masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai
dari menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup
menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya
menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita
hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan
selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah. Semua hasil
tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya
dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan
antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain
itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah
membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun
benang yang dicelup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar