Ujian
Tengah Semester (Part 4)
Folklore
Bukan Lisan
Nama : Drieka Kesuma Putri
No.reg
: 4423107033
Rumah
Joglo
Joglo adalah rumah
adat masyarakat Jawa. Terdiri dari 2 bagian utama yakni pendapa dan dalam.
Bagian pendapa adalah bagian depan Joglo yang mempunyai ruangan luas tanpa
sekat-sekat, biasanya digunakan untuk menerima tamu atau ruang bermain anak dan tempat bersantai keluarga. Bagian
dalam adalah bagian dalam rumah yang berupa ruangan kamar, ruang kamar dan
ruangan lainnya yang bersifat lebih privasi. Ciri-ciri bangunan adalah pada
bagian atap pendapanya yang menjulang tinggi seperti gunung.
Tak hanya megah,
indah, sarat makna dan nilai-nilai sosiokultural, arsitektur bangunan joglo
juga dapat meredam gempa. Bagaimana desainnya?
Sebuah bangunan joglo
yang menimbulkan interpretasi arsitektur Jawa mencerminkan ketenangan, hadir di
antara bangunan- bangunan yang beraneka ragam. Interpretasi ini memiliki ciri pemakaian konstruksi
atap yang kokoh dan bentuk lengkung-lengkungan di ruang per ruang.
Rumah adat joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan tradisional.
Rumah adat joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan tradisional.
Berdasarkan
bentuk keseluruhan tampilan dan bentuk kerangka, bangunan joglo dapat dibedakan
menjadi 4 bagian :
- Muda (Nom) : Joglo yang bentuk tampilannya cenderung memanjang dan meninggi (melar).
- Tua (Tuwa) : Joglo yang bentuk tampilannya cenderung pendek (tidak memanjang) dan atapnya tidak tegak / cenderung rebah (nadhah).
- Laki-laki (lanangan) : Joglo yang terlihat kokoh karena rangkanya relatif tebal.
- Perempuan (wadon / padaringan kebak) : Joglo yang rangkanya relatif tipis / pipih.
·
Di bagian tengah pendapa terdapat empat
tiang utama yang dinamakan sakaguru. Ukurannya harus lebih tinggi dan lebih
besar dari tiang-tiang / saka-saka yang lain. Di kedua ujung tiang-tiang ini
terdapat ornamen / ukiran.
·
Bagian atas sakaguru saling dihubungkan
oleh penyambung / penghubung yang dinamakan tumpang dan sunduk. Posisi tumpang
di atas sunduk.
·
Dalam bahasa Jawa, kata “sunduk” itu
sendiri berarti “penusuk”.
·
Di bagian paling atas tiang sakaguru
inilah biasanya terdapat beberapa lapisan balok kayu yang membentuk
lingkaran-lingkaran bertingkat yang melebar ke arah luar dan dalam. Pelebaran
ke bagian luar ini dinamakan elar. Elar dalam bahasa Jawa berarti ‘sayap,.
Sedangkan pelebaran ke bagian dalam disebut ‘tumpang-sari’. Elar ini menopang
bidang atap, sementara Tumpang-sari menopang bidang langit langit joglo
(pamidhangan).
Untuk
lebih lengkapnya, detail dari rangka joglo adalah sebagai berikut
1.
Molo (mulo / sirah / suwunan), balok
yang letaknya paling atas, yang dianggap sebagai “kepala” bangunan.
2.
Ander (saka-gini), Balok yang terletak
di atas pengeret yang berfungsi sebagai penopang molo.
3.
Geganja, konstruksi penguat /
stabilisator ander.
4.
Pengeret (pengerat), Balok penghubung
dan stabilisator ujung-ujung tiang; kerangka rumah bagian atas yang terletak
melintang menurut lebarnya rumah dan ditautkan dengan blandar.
5.
Santen, Penyangga pengeret yang
terletak di antara pengeret dan kili.
6.
Sunduk, Stabilisator konstruksi tiang
untuk menahan goncangan / goyangan.
7.
Kili (Sunduk Kili), Balok pengunci
cathokan sunduk dan tiang.
8.
Pamidhangan (Midhangan), Rongga yang
terbentuk dari rangkaian balok / tumpang-sari pada brunjung.
9.
Dhadha Peksi (dhadha-manuk), Balok
pengerat yang melintang di tengah tengah pamidhangan.
10.Penitih / panitih.
11. Penangkur.
12.Emprit-Ganthil,
Penahan / pengunci purus tiang yang berbentuk tonjolan; dudur yang terhimpit.
13.Kecer, Balok yang
menyangga molo serta sekaligus menopang atap.
14.Dudur, Balok yang
menghubungkan sudut pertemuan penanggap, penitih dan penangkur dengan molo.
15.Elar (sayap), Bagian
perluasan keluar bagian atas sakaguru yang menopang atap.
16.Songgo-uwang,
Konstruksi penyiku / penyangga yang sifatnya dekoratif
Pada arsitektur
bangunan rumah
joglo, seni arsitektur bukan sekadar pemahaman seni konstruksi rumah, juga
merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Kecintaan manusia
pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan dalam
arsitektur rumah dengan gaya ini.
Pada bagian pintu
masuk memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua
yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut
memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga
besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan
. Pada ruang bagian
dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin sholat yang dikaitkan dengan makna
simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Gedongan juga
merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktu-waktu
tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya.
Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaa anak dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan Tuhan.
Begitu juga di ruang
dalam terdapat empat tiang utama yang disebut soko guru melambangkan empat
hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat manusia.
“Untuk membedakan
status sosial pemilik rumah, kehadiran bentangan dan tiang penyangga dengan
atap bersusun yang biasanya dibiarkan menyerupai warna aslinya menjadi ciri
khas dari kehadiran sebuah pendopo dalam rumah
dengan gaya ini,” tutur Zulfikar
Latief, pemilik galeri Rumah Jawa, yang menyediakan rumah adat joglo dan
furnitur etniknya.
Kesan yang akan timbul
dari arsitektur bangunan tradisional joglo sering kali terasa antik dan kuno,
hal ini timbul melalui
kehadiran perabot hingga pernak-pernik pendukung bernuansa lawas yang dibiarkan
apa adanya. Namun, dalam penataan hunian bergaya ini tidak ada salahnya bila dikombinasikan
dengan gaya modern maupun minimalis.
Dimasa awal
pendiriannya, Joglo disebut juga dengan bangunan dengan Soko Guru dan atap 4
belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya. “Saka Guru“, merupakan struktur utama
pada bangunan Rumah Joglo. Saka guru adalah sebutan untuk tiang atau kolom atau
pilar yang berjumlah 4 buah. Tiang ini terbuat dari jenis kayu dengan besaran
yang berbeda-beda menurut pada beban yang menumpang diatasnya. Saka guru
berfungsi menahan beban diatasnya yaitu balok tumpang sari dan brunjung,
molo,usuk,reng dan genteng. Saka guru berfungsi sebagai konstruksi pusat dari
bangunan Joglo karena letaknya ditengah bangunan tersebut.
Rumah Joglo
berasal dari daerah Propinsi Jawa Tengah dan fungsi yang lebih menonjol adalah
sebagai tempat musyawarah masalah kenegaraan dan menyusun strategi dalam
melawan Belanda. Pada saat clash II di Yogyakarta, menjadi markas besar tentara
pelajar (TP) seluruh Jogjakarta di bawah pimpinan Kapten Martono (Menteri
Transmigrasi masa pemerintahan presiden Soeharto).
Joglo Kelor
merupakan joglo terbaik se-Kabupaten Sleman. Hal ini terlihat dari
bagian-bagiannya yang lebih lengkap dan masih asli. Menurut pandangan
metafisika, rumah joglo ini memiliki energi spiritual yang dapat dirasakan
dalam radius ± 100 meter. Secara Resmi, Joglo Kelor menjadi obyek wisata pada
bulan oktober 2002. Beberapa waktu lalu, sebuah Sepeda (yang dipakai oleh
Kapten Martono) dan Lampu Gantung (yang digunakan untuk penerangan dalam
rapat-rapat TP), di pindahkan dari Joglo ke Benteng Vredeburg.
Rumah Tua
(Joglo) banyak ditemukan dalam kondisi kurang terawat, mungkin puluhan tahun
sudah tak tersentuh pemeliharaan. Meskipun, beberapa masih dipakai sebagai
tempat tinggal, namun sebagian lagi bertahun-tahun berupa rumah kosong. Hanya
sedikit dari joglo-joglo ini dalam kondisi terawat. Sebagian besar joglo dalam
situs ini diperoleh dari daerah pesisir pantai Utara Jawa sekitar Demak –
Kudus.
Rumah Joglo ini
kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu.
Rumah Joglo ini
kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu. Hal ini disebabkan rumah
bentuk joglo membutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan mahal daripada
rumah bentuk yang lain. Masyarakat jawa pada masa lampau menganggap bahwa rumah
joglo tidak boleh dimiliki oleh orang kebanyakan, tetapi rumah joglo hanya
diperkenankan untuk rumah kaum bangsawan, istana raja, dan pangeran, serta
orang yang terpandang atau dihormati oleh sesamanya saja. Dewasa ini rumah
joglo digunakan oleh segenap lapisan masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi
lain, seperti gedung pertemuan dan kantor-kantor.
Banyak kepercayaan
yang menyebabkan masyarakat tidak mudah untuk membuat rumah bentuk joglo. Rumah
bentuk joglo selain membutuhkan bahan yang lebih banyak, juga membutuhkan
pembiayaan yang besar, terlebih jika rumah tersebut mengalami kerusakan dan
perlu diperbaiki.
Kehidupan ekonomi
seseorang yang mengalami pasang surut pun turut berpengaruh, terutama setelah
terjadi penggeseran keturunan dari orang tua kepada anaknya. Jika keturunan
seseorang yang memiliki rumah bentuk joglo mengalami penurunan tingkat ekonomi
dan harus memperbaiki serta harus mempertahankan bentuknya, berarti harus
menyediakan biaya secukupnya. Ini akan menjadi masalah bagi orang tersebut. Hal
ini disebabkan adanya suatu kepercayaan, bahwa pengubahan bentuk joglo pada
bentuk yang lain merupakan pantangan sebab akan menyebabkan pengaruh yang tidak
baik atas kehidupan selanjutnya, misalnya menjadi melarat, mendatangkan
musibah, dan sebagainya
Sumber :
http://3.bp.blogspot.com/_wC8_9aR_6uE/TAjANErQC7I/AAAAAAAADIU/78LDBveCEug/s320/rangka+joglo+rumah+adat+jawa.JPG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar