UPACARA KEHAMILAN SUKU NAULU ( MALUKU )
Tezar Arif Febrianto
Pengantar
Nuaulu adalah salah satu sukubangsa yang ada di Provinsi Maluku, Indonesia. Mereka mendiami salah satu pulau yang tergabung dalam provinsi tersebut, yaitu Pulau Seram yang termasuk dalam wilayah Maluku Tengah. Di kalangan mereka ada suatu tradisi yang termasuk dalam upacara lingkaran hidup individu, yaitu upacara yang berkenaan dengan masa kandungan seseorang apabila telah mencapai usia sembilan bulan.
Kehamilan bagi masyarakat Nuaulu dianggap sebagai suatu peristiwa biasa, khususnya masa kehamilan seorang perempuan pada bulan pertama hingga bulan kedelapan. Namun pada saat usia kandungan seorang perempuan telah mencapai sembilan bulan, barulah mereka akan mengadakan suatu upacara. Upacara baru diadakan pada usia kandungan telah mencapai sembilan bulan karena masyarakat Nuaulu mempunyai anggapan bahwa pada saat usia kandungan seorang perempuan telah mencapai 9 bulan, maka pada diri perempuan yang bersangkutan banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang dapat menimbulkan berbagai bahaya gaib. Bukan saja bagi dirinya sendiri dan anak yang dikandungnya, tetapi juga orang lain di sekitarnya, khususnya kaum laki-laki. Dan, untuk menghindari pengaruh roh-roh jahat tersebut, si perempuan hamil perlu diasingkan dengan menempatkannya di posuno.
Selain itu mereka juga beranggapan bahwa pada hakekatnya kehidupan seorang anak manusia itu baru tercipta atau baru dimulai sejak dalam kandungan yang telah berusia 9 bulan. jadi dalam hal ini (masa kehamilan 1-8 bulan) oleh mereka bukan dianggap merupakan suatu proses dimulainya bentuk kehidupan.
Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Penyelenggaraan upacara kehamilan diadakan ketika usia kandungan seorang perempuan telah mencapai sembilan bulan. Patokan yang dipakai untuk mengetahui usia kandungan seorang perempuan adalah dengan meraba bagian perut perempuan tersebut yang dilakukan oleh dukun beranak (irihitipue). Apabila irihitipue menyatakan bahwa usia kandungan perempuan tersebut telah mencapai 9 bulan, maka ia akan mengisyaratkan kepada seluruh perempuan dewasa anggota kerabat perempuan tersebut untuk segera mempersiapkan perlengkapan, peralatan dan bermusyawarah untuk menentukan waktu penyelenggaraan upacara (dapat pagi, siang atau sore hari). Musyawarah penentuan hari oleh perempuan dewasa anggota kerabat perempuan yang sedang mengandung itu dinamakan Mawe. Jadi, penentuan kapan akan dilaksanakan upacara kehamilan tergantung dari hasil mawe tersebut. Sebagai catatan, upacara masa kehamilan tidak boleh dilaksanakan pada malam, karena malam hari dianggap saat-saat bergentayangan berbagai jenis roh jahat yang dapat menyusup ke tubuh ibu maupun sang jabang bayinya, sehingga bisa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (buruk) pada anak yang bersangkutan. Sedangkan tempat pelaksanaan upacara kehamilan sembilan bulan dilakukan di rumah perempuan yang sedang mengandung dan di posuno.
Penyelenggaran upacara kehamilan sembilan bulan melibatkan di dalamnya pemimpin upacara dan peserta upacara. Pemimpin upacara adalah Irihitipue (dukun beranak). Irihitipue adalah suatu gelar khusus bagi seorang perempuan yang bertugas membantu dalam proses melahirkan. Dengan kata lain, irihitipue dapat disebut sebagai bidan tradisional atau dukun bayi. Selain sebagai dukun, irihitipue juga dianggap sebagai orang yang berpengetahuan tentang hal-hal gaib yang berkisar di sekitar dunia roh. Oleh karena itu, dia biberi hak dan tanggung sebagai penyelenggara teknis upacara bagi perempuan, baik upacara haid pertama, kehamilan, maupun upacara setelah melahirkan.
Sedangkan peserta upacara adalah para perempuan dewasa dari soa (kelompok kerabat) perempuan yang hamil dan suaminya. Mereka akan mengikuti prosesi upacara, baik di rumah maupun di posuno. Selain itu mereka jugalah yang menyediakan segala perlengkapan, menentukan waktu akan dilangsungkannya upacara dan sebagai saksi pelaksanaan upacara.
Peralatan
Peralatan yang perlu dipersiapkan dalam upacara kehamilan pada suku bangsa Nuaulu hanyalah sebuah posuno. Posuno adalah bangunan (seperti gubuk) yang dibuat khusus untuk pelaksanaan upacara yang didirikan di tengah-tengah hutan. Tujuan dari pendirian bangunan tersebut adalah untuk pengasingan bagi kaum perempuan apabila akan melahirkan dan bagi perempuan yang sedang haid. Gubuk –gubuk ini dibangun sebagai tempat berlindung sementara yang aman bagi kaum wanita saat mereka menjalani masa haid maupun melahirkan. Gubuk pamali sebagai tempat mengasingkan diri sementara itu berukuran 2×2 meter berdinding dan beratap daun sagu dilengkapi sebuah tempat tidur yang disebut tapalang berukuran 1×2 meter.
Suku adat Naulu maupun suku terasing lainnya seperti Hoaulu dan Yalahatan di Pulau Seram, tikusune yang dibangun tidak boleh ditengok atau dimasuki kaum pria saat kaum wanita menjalani masa datang bulan maupun melahirkan. Hal itu disebabkan adanya kepercayaan bahwa jika ada laki-laki yang mendekatinya, maka laki-laki tersebut akan dihinggapi oleh kekuatan gaib yang bersifat destruktif.
Mereka hanya bisa ditengok oleh kaum hawa untuk memberikan makanan dan keperluan lainnya maupun pelayanan saat melahirkan oleh dukun beranak,” kata tua adat setempat Touisa Matoke. Kaum wanita yang mulai merasa tanda-tanda datangnya haid harus segera meninggalkan rumahnya untuk memasuki gubuk pamali yang telah disiapkan dan tinggal di gubuk tersebut hingga masa haidnya selesai baru diperkenankan kembali ke rumah. Di perkampungan suku Naulu yang telah dibina Depsos maupun pihak yayasan di Seram bagian selatan terutama di pemukiman Rohua, Bonara dan Simaoluw, tradisi mengasingkan diri di gubuk pamali ini masih tetap dipertahankan.
Jalannya Upacara
Ketika seorang perempuan yang masa kehamilannya telah mencapai 9 bulan, maka ia akan diantar oleh irihitipue (dukun beranak) dan kaum perempuan yang ada di dalam rumah atau tetangga yang telah dewasa menuju ke posuno. Pada waktu perempuan tersebut berada di depan pintu posuno, irihitipue membancakan mantra-mantra yang berfungsi sebagai penolak bala. Mantra tersebut dibaca oleh irihitipue dalam hati (tanpa bersuara) dengan tujuan agar tidak dapat diketahui oleh orang lain, karena bersifat sangat rahasia. Hanya irihitipue dan anggota keluarga intinya saja yang mengetahui mantra tersebut.
Selesai membaca mantra, perempuan hamil tersebut diantar masuk ke dalam posuno. Rombongan kemudian pulang meninggalkan wanita tersebut. Dia setiap saat dikunjungi oleh irihitipue untuk memeriksa keadaan dirinya. Semua keperluan wanita hamil ini dilayani oleh wanita-wanita kerabatnya. Sebagai catatan, dia akan tetap berdiam disitu tidak hanya sampai selesainya upacara kehamilan 9 bulan, tetapi sampai tiba saat melahirkan hingga 40 hari setelah melahirkan.
Setelah si perempuan hamil berada di posuno, maka pihak keluarga akan memberitahukan kepada seluruh perempuan dewasa dari kelompok kerabat (soa) perempuan hamil tersebut dan dari kelompok kerabat suaminya untuk berkumpul di rumah perempuan tersebut dan selanjutnya pergi menuju ke posuno untuk mengikuti upacara masa hamil sembilan bulan. Sebelum mereka menuju ke posuno, para perempuan dewasa tersebut akan berkumpul berkeliling di dalam rumah untuk memanjatkan doa kepada Upu Kuanahatana agar si perempuan yang sedang hamil selalu dilindungi dan terbebas dari pengaruh roh-roh jahat.
Usai memanjatkan doa di dalam rumah, mereka menuju ke posuno bersama-sama dan dipimpin oleh irihitipue. Setelah sampai di posuno, mereka kemudian duduk mengelilingi si perempuan hamil tersebut, sedangkan irihitipue mendekati si perempuan dan duduk di sampingnya. Perempuan hamil tersebut kemudian dibaringkan oleh irihitipue lalu diusap-usap perutnya sambil irihitipue mengucapkan mantra-mantra yang tujuannya adalah untuk memohon keselamatan dan perlindungan dari Upu Kuanahatana. Pada saat irihitipue mengusap-usap perut perempuan hamil tersebut, para kerabatnya yang duduk mengelilingi pun juga memanjatkan doa-doda kepada upu kuanahatana.
Dengan selesainya pembacaan mantra, maka selesailah pula pelaksanaan upacara masa kehamilan sembilan bulan. Para kerabat dan irihitipue kemudian pulang ke rumah masing-masing. Sementara si perempuan hamil tetap tinggal di posuno hingga melahirkan dan 40 hari setelah masa melahirkan. Untuk keperluan makan dan minum selama berhari-hari di posuno, pihak kerabatnya sendiri (soanya) akan selalu mengantarkan makanan dan minuman kepadanya.
Sejauh ini tidak ada yang melanggar tradisi adat tersebut. Sanksi bagi pelanggarnya akan dikucilkan dari masyarakat adat setempat dan juga dikenakan denda berupa pembayaran piring tua dan kain berang (merah) bagi kaum perempuan. Kepatuhan masyarakat terasing Naulu, Hoaulu, Yalahatan serta kelompok masyarakat terasing lainnya di pulau Seram kepada adat yang diwariskan tidak bisa dipisahkan dengan adat istiadat dan budaya suku Alifuru yang mendiami pulau Seram. Kelompok suku Rohua dan Bonara berdasarkan kisah tua adat setempat awalnya berasal dari pedalaman pulau Seram, sekitar hulu sungai Sapalewa (Sekarang Seram Bagian Barat) salah satu sungai terbesar di pulau Seram.
Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara masa kehamilan sembilan bulan. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, gotong-royong, keselamatan, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota keluarga dan masyarakat dalam suatu tempat (pada saat acara pesta suu anaku) untuk makan bersama. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama. Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman bagi perempuan yang hamil dan menjadi pemimpin upacara. Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa pada masa usia kehamilan yang telah mencapai sembilan bulan adalah masa yang dianggap kritis bagi seorang perempuan, karena pada masa inilah ia dan bayi yang dikandungkan rentan terhadap bahaya-bahaya gaib yang berasal dari roh-roh jahat yang dapat berakibat buruk pada keselamatan dirinya sendiri maupun bayinya. Untuk mengatasi gangguan-gangguan roh-roh halus tersebut, maka perlu diadakan suatu upacara untuk mencari keselamatan keselamatan pada tahap peralihan dari masa di dalam kandungan menuju ke kehidupan di dunia. Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dilakukan oleh kelompok kerabat perempuan, baik sebelum berangkat ke posuno maupun pada saat berlangsungnya upacara. Tujuannya adalah agar sang bayi mendapatkan perlindungan dari Upu Kuanahatana dan roh-roh para leluhur.
Referensi :
foto ini beta punya
BalasHapus