TUGAS 3
DESVIANA ISNAENI 4423107028
Menurut cerita nenek moyang,
dahulu kala Negara Baduy adalah hutan belantara yang kosong tiada penghuni pula
keadaannya sunyi sekali. Tidak pernah dimasuki atau dilalui manusia, sebab pada
waktu itu masih belum banyak manusia. Walau pun demikian yang menjadi makanan
utama telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa, dan mulailah dijelmakan manusia
olehnya. Sebagai manusia pertama adalah yang disebut Batara, dan ini menurunkan
lagi Batara tujuh sampai kepada lima daleum dan terus turun temurun sampai kini
(lihat Arca Domas hal 512).
Bahkan pada waktu itu di Negara
Banten pun masih kosong pula, hanya ada satu dua orang saja yang mempunyai
kesaktian dan sedang bertapa, tidaklah seperti zaman sekarang banyak manusia
dari berbagai golongan.Pada waktu pertama kali memasukan agama Islam di Pulau
Jawa, yaitu di Pajajaran, diceritakan bahwa Raja Pajajaran tidak mau memeluk
agama Islam, beliau bersama-sama dengan saudaranya yang bernama Pucuk Umum lalu
menghilang dari Pajajaran.
Beliau merubah dirinya, bersalin
rupa menjadi seekor burung beo, dan terus terbang tinggi mencari tempat yang
sunyi. Siang malam terus terbang melayang dengan tiada hentinya mencari tempat
yang sesuai dan aman..
Waktu sampai di Banten, yaitu
yang disebut negara Cibaduy, mereka menemukan sebuah hutan yang sepi dengan batu-batunya
yang berbagai macam ukuran dan dengan pasirnya yang indah dan hutan belantara
ini luas sekali. Tidak ada penghuni, kecuali binatang-binatang buas, seperti
macan. Badak, babi hutan dan banyak lainnya lagi, pula terdapat banyak ular
yang besar mau pun yang kecil, hanya itulah yang terdapat penghuni hutan itu.
Di daerah inilah raja bersama
saudaranya yang bernama Pucuk Umum berhenti. Tak lama dari waktu itu, beliau
menengok ke sebelah bawah, maka terlihatlah oleh mereka, ada sungai yang besar
serta airnya yang bersih dan jernih sekali. Lalu mereka mandi di sana. Setelah
selesai mandinya, maka raja ini bentuk badannya berubahlah kembali menjadi
seorang manusia lagi.
sungai ini lalu diberi nama
Cibeo, dan masih berlaku sampai sekarang nama itu. Setelah beliau mandi, maka
kembalilah beliau ke tempat tadi yang banyak batu serta pasirnya itu.
Tempat ini oleh Raja diberi nama
Ci-Keusiak, dan raja bersama saudaranya terus bertempat tinggal di sana. Sejak
saat itulah nama tempat ini disebut Ci-Keusik.
Menurut cerita, raja ini adalah
keturunan dari swarga-loka dan merajai Pajajaran. Lama-kelamaan raja ini
mempunyai keturunan yang banyak sekali dan mereka membuka hutan sebelah
hilirnya, lalu diberi nama Cikertawana dan nama ini berlaku sampai sekarang.
Tempat ini diberi nama
Cikertawana, karena di tempat inilah mula-mula terjadinya keramaian, yang
mempunyai arti : kerta = ramai, wana = hutan. Pendapat ini adalah tidak benar
kerta = kerta artinya di sini adalah istirahat dan menikmati kebahagiaan, sedangkan
rame berarti ramai, gemuruh, hidup. Tydschr. V, Ind. T, L en Nk, jilid LIV. Aft
8 dan 9. wana = hutan.
Mulai waktu itu terus-menerus
sampai sekarang mereka membuka hutan dan menempatinya, tetapi pada suatu tempat
hanya diberi izin untuk dihuni oleh 40 keluarga..
Sebagai pengisi waktu dan
kebudayaan mereka, bila ada binatang-binatang buas seperti harimau, celeng,
banteng atau ular maka mereka membinasakannya tidak dengan senapan, akan tetapi
cukup dengan dikejar-kejar saja. Bila belum tertangkap mereka terus
mengejarnya, dan jika tersusul maka terus saja berkelahi dengan menggunakan
senjata pedang atau alat pemukul..
Bahwasanya sampai sekarang di
sana tak terdapat binatang buas, karena habis dibunuh oleh orang-orang Baduy.
Seseorang dikeluarkan dari daerahnya apabila ia mencuri padi atau berani
memegang susu atau pipi perempuan, maka ia dibuang dan tempat pembuangannya
dinamakan desa desa Nangka-bengkung..
Bila ada orang yang mempunyai
anak perempuan cantik, lalu ada laki-laki yang menginginkannya, maka si ayah
tak dapat melarangnya, asal si calon menantu membawa pakaian untuk anaknya dan
hasil bumi seperti padi, ubi, pisang dll, hasil dari bercocok tanamnya sendiri,
sedangkan yang berupa uang hanyalah sebanyak duapuluh lima sen dan ini adalah
untuk yang menikahkan yaitu puun..
Yang ditunjuk sebagai rajanya di
sana adalah geurang puun, dan yang dijaga oleh mereka tidak lain hanyalah
larangan-larangan yang dijunjung tinggi.
Cerita ini tidak memerlukan
banyak penjelasan, karena pada pokoknya membahas hal-hal keanehan dari
masyarakat Baduy yang sedikit banyaknya telah dikenal orang. Hak yang baru,
adalah tempat pembuangan untuk orang-orang jahat yang dinamakan
Nangka-bengkung, yang harus tinggal di desa tersebut selama 3 tahun. Setelah
masa pembuangan selesai, maka ia boleh tinggal di bawah panamping..
Selanjutnya mengenai nama Pucuk
Umum ternyata terdapadat dalam semua cerita-cerita Sunda (tahun peristiwanya
tertulis pada Batutulis dekat Bogor).
Keistimewaan-keistimewaan
mengenai dirinya juru bicara saya tidaklah mengetahuinya, tetapi sama Pucuk
Umum terdapat pula terdapat pula pada masyarakat Baduy, maka sudah dapat
ditentukan, bahwa ia adalah seorang tokoh dalam sejarah yang memegang peranan
pula. Mengenai kurangnya cerita ini diungkapkan dalam kenangan-kenangan orang
Baduy, akan dapat diungkapkan dalam cerita-cerita selanjutnya, bahwa ia sedikit
banyaknya mempunyai nilai sejarah.
CERITA RAKYAT PUCUK UMUN
Cerita rakyat yang berhubungan
dengan Islamisasi di Banten salah satunya adalah cerita Pucuk Umun. Pucuk Umun
menghadapi Sultan Hasanuddin. Menurut ceritanya, kedua orang itu mengadakan adu
ayam dengan ketentuan bila ayam Pucuk Umun kalah, Sultan Hasanuddin bebas
menyebarkan Islam di derah Banten. Ternyata ayam Pucuk Umun Kalah dan setelah itu
ia melepaskan daulatnya atas Banten dan kemudian bermukin di Ujung Kulon.
Tempat pertarungan adu kesaktian antara Maulana Hasanuddin dengan Pucuk Umun
pun telah disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu di lereng Gunung Karang.
Satu tempat yang dianggap netral, karena kedua pihak tentu tidak ingin disebut
jago kandang bila berhasil memenangkan pertandingan, yang tidak saja
mempertaruhkan jabatan tapi juga kedaulatan atas Banten. Perlu dicatat disini,
bahwa pertarungan ini bukanlah pertarungan ‘full-body contact’ langsung antara
dua tokoh agama, tapi pertarungan dengan menggunakan perwakilan berupa ayam
jago: satu milik Maulana Hasanuddin dan yang satu lagi milik Pucuk Umun.
Penyelenggaraan pertarungan dahsyat ini adalah prakarsa dari Pucuk Umun sendiri
yang langsung diterima oleh Maulana Hasanuddin. Pendekatan seperti ini dapat
dipandang sebagai jalan tengah menuju penyelesaian damai terhadap konflik
berkepanjangan antara dua pihak yang berbeda kepentingan. Pucuk Umun
berkepentingan mempertahankan eksistensi ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) di bawah
naungan Negeri Pajajaran. Sedangkan Maulana Hasanuddin berkepentingan agar
supaya kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan tanpa hambatan yang
berarti.
Matahari pagi mulai memanasi
Gunung Karang yang hijau ketika kumpulan orang-orang mulai memadati lapangan.
Untuk menghadapi berbagai kemungkinan, masing-masing pihak melengkapi diri
dengan senjata masing-masing. Dari kejauhan tertampak, selain ada golok di
pinggangnya, Pucuk Umun juga memegang tombak. Sedangkan di pinggang Maulana
Hasanuddin terselip sebilah keris pusaka warisan Wali Songo. Di tepi utara
lapangan, Maulana Hasanuddin tampak mengenakan jubah putih dengan sorban di
kepala. Sementara disisi selatan, Pucuk Umun berpakaian hitam-hitam, dengan
rambut gondrong sampai leher, mengenakan ikat kepala.
Dua ekor ayam jago yang
masing-masing masih dalam kandang anyaman bambu sudah berada di tengah
lapangan. Ayam milik Pucuk Umun telah diberi ajian ‘otot kawat tulang besi’ dan
dipasang keris berbisa pada kedua tajinya. Sedangkan pada ayam milik Maulana
Hasanuddin tidak dipasang senjata apapun, tetapi dia telah dimandikan dengan
air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat dimandikan, dibacakan ayat-ayat
Al-Quran, termasuk Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas dan kalimat “La haula wala
quata illa billahil aliyyil ‘adzim” masing-masing tiga kali.
Suasana di arena laga tampak
menegangkan. Dari pihak Maulana Hasanuddin, telah hadir ratusan pengikutnya
yang terdiri para ustad dan santri yang juga merangkap sebagai anggota pasukan
keamanan. Mereka semua terbenam dalam doa memohon pertolongan Allah SWT. Adapun
di pihak Pucuk Umun, telah hadir juga 800 ajar (sejenis pendeta) dan beberapa
Punggawa (Panglima) Pajajaran, yang semuanya tampak komat kamit membaca
jampi-jampi.
Dalam suasana yang mencekam itu,
dua orang Punggawa yang mewakili kedua pihak maju ke tengah lapangan membacakan
maklumat:
“Di hadapan yang mulia Maulana
Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun, perkenanlah kami membacakan maklumat sebagai
berikut:
1. Sebagaimana yang telah
disepakati antara yang mulia Maulana Hasanuddin dengan Prabu Pucuk Umun, bahwa
apabila Prabu Pucuk Umun kalah maka pihak Maulana Hasanuddin akan diberi
kebebasan menyebarkan Islam di Banten. Tetapi apabila ternyata Prabu Pucuk Umun
yang menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di
Banten Tengah dan Selatan.
2. Pihak yang kalah harus
menunjukkan tanda pengakuan kepada pihak yang menang dengan menyerahkan senjata
kepada pihak yang menang.
3. Kepada semua yang hadir, agar
dapat menahan diri dan menjaga ketertiban dengan tidak memasuki lapangan selama
pertandingan berlangsung.
Demikianlah maklumat kami
sampaikan.”
Riuh rendah suara penonton mulai
membahana tatkala dua ekor ayam jago mulai dikeluarkan dari sangkarnya
masing-masing. Kedua jago itu bergerak saling mendekati, berhadap-hadapan dalam
jarak sekitar dua meter. Bagaikan dua jagoan di atas ring tinju, keduanya terus
bergerak, menari-nari, dengan posisi siap menyerang dan diserang, sambil
menatap mata lawan. Belum ada insiatif menyerang dari masing-masing jago.
Karena, tampaknya, kedua jago ini mengharapkan serangan dimulai oleh lawan.
Kemudian, tiba-tiba jago Pucuk Umun mengambil ancang-ancang, mundur setengah
meter, lalu dengan kekuatan penuh, bergerak maju menyerang, mengarahkan
kerisnya ke dada jago Maulana Hasanuddin yang siap menyambut serangan pertama
itu. Gebraaaaak!! Suara keras terdengar sampai jarak satu kilometer. Benturan
fisik pun terjadi antara dua jago yang sedang bertarung mempertaruhkan harga
diri tuannya.
Kedua jago itu saling terpental
kearah belakang masing-masing. Tidak ada tanda-tanda luka pada jago Maulana
Hasanuddin, dan malahan ia kembali berusaha tenang setelah menerima serangan
pertama. Mereka kembali berhadap-hadapan, siap menyerang dan diserang. Jago
Pucuk Umum menjadi beringas, yang terlihat dari gerakan dan matanya yang
memerah. Apakah pukulan jago Maulana Hasanuddin berhasil bersarang di dadanya
saat hunjaman kerisnya gagal menggores dada lawan? Entahlah. Yang tampak ketika
itu adalah suasana hening di pinggir lapangan. Semua mata mengarah kepada kedua
jago itu. Rupanya, jago Pucuk Umun terpancing emosinya. Gerakannya semakin liar
dan matanya merah. Lalu dia menyerang lagi dengan maksud merobek dada jago
Maulana Hasanuddin. Kali ini, jago Maulana Hasanuddin berkelit kearah kiri
menghindari keris berbisa jago Pucuk Umun, dan … Buk!!, tangan kanannya
bersarang di rusuk kanan jago Pucuk Umun. Serangan jago Pucuk Umun gagal total,
bahkan dia mendapat sebuah gebukan telak.
Jago Pucuk Umun tampak semakin
kalap dan berniat melancarkan serangan mematikan kearah lawannya. Melihat
gelagat lawannya itu, jago Maulana Hasanuddin menghindar. Tiba-tiba, dia
melompat ke angkasa. Jago Pucuk Umun pun melompat tinggi menyusulnya. Semua
mata terfokus pada kedua jago yang berada pada ketinggian sekitar 40 meter dari
tanah. Tak terhindarkan lagi, sebuah pertarungan sengit terjadi di udara,
disaksikan gunung karang yang tegak kokoh dengan sinar mentari yang berkilau di
atas pepohonan hijau. Lalu tiba-tiba terdengar suara keras memekakkan telinga.
Gebraaaak!!! Tubuh jago Pucuk Umun hancur berkeping-keping, jatuh ke tanah
berlumuran darah. Para penonton, pendukung jago Maulana Hasanuddin bergemuruh
sambil meneriakkan “Allahu Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat
Islam!”
Demikianlah, akhirnya Maulana
Hasanuddin memenangkan adu kesaktian melawan Pucuk Umun. Pucuk Umun mengaku
kalah, melangkah mendekati Maulana Hasanuddin, memberi hormat dan menyerahkan
golok dan tombak miliknya sebagai tanda pengakuan atas kemenangan Sang Maulana.
Pucuk Umun undur pamit setelah mengaku kalah dan menyerahkan daulatnya atas
Banten, dan kemudian bermukim di Ujung Kulon sampai akhir hayatnya. Adapun
pengikutnya yang loyal, memutuskan untuk memisahkan diri dari masyarakat Islam.
Mereka menetap di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak sampai sekarang
sebagai satu komunitas yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.
Sementra itu, pada hari itu juga,
800 ajar dan dua orang Punggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo, menyatakan
diri masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Sultan
Maulana Hasanuddin. Dengan masuknya mereka ke dalam masyarakat muslim, maka
semakin muluslah jalan bagi Sultan Maulana Hasanuddin untuk mewujudkan sebuah
Negara Islam di Banten. Pusat Pemerintahan pun dipindahkan, pada tanggal 1
Muharram 933 H atau 8 Oktober 1526, dari Banten Girang (dekat Serang sekarang)
ke daerah pesisir yang kemudian dikenal dengan nama Surosowan, yang sekarang
disebut Banten Lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar