Jumat, 15 Juni 2012

BERTO PRAMADYA 4423107039 (UTS KEBUDAYAAN- KESIMPULAN KEBUDAYAAN CIREBON

KEBUDAYAAN lahir antara lain karena kreativitas manusia yang menghendaki adanya harmonisasi dalam pergaluan sosial. Namun kebudayaan bukan merupakan satu-satunya norma yang menjadi tolok ukur pergaulan sosial. Lantaran masyarakat Cirebon juga memiliki watak beragama yang relatif cukup taat, maka pesan-pesan agama pun kerap membingkai kebudayaan. Bahwa kebudayaan adalah puncak kreativitas manusia, sehingga dengannya tercipta interaksi dengan budaya (dan masyarakat) lain, fakta ini akan lebih memiliki nuansa spiritual dengan masuknya pesan-pesan ajaran agama.
Cirebon sebagai daerah pantai Utara Pulau Jawa bagian Barat dalam konteks sejarahnya terbukti mampu melahirkan kebudayaan yang berangkat dari nilai tradisi dan agama. Tak pelak kesenian yang mengiringi kebudayaan Cirebon memasukkan unsur-unsur agama di dalamnya. Dalam kaitan ini kesenian yang pada mulanya merupakan sarana dakwah agama (Islam) menjadi semacam oase di padang gurun. Betapa tidak. Syekh Syarif Hidayatullah yang juga dikenal dengan nama Sunan Gunungjati bermukim di Cirebon mengembangkan agama melalui pendekatan kultural.
Artinya budaya lokal yang telah hidup jauh sebelum kedatangan beliau ke Cirebon tetap dipelihara, namun disisipi ajaran agama. Misalnya masuknya do`a-do`a yang bersumber dari ajaran Islam manakala masyarakat Cirebon melakukan ritual budaya mitoni (upacara kehamilan tujuh bulan anak pertama). Begitu pula kebiasaan dalang wayang kulit Cirebon menyisipkan hadis Nabi Muhammad saw, bahkan ayat suci Alqur`an ketika mendalang. Kesenian tayub pun ternyata diambil dari bahasa Arab, yakni thoyib yang berarti baik. Pentas seni tradisi Cirebon umumnya memang memiliki spiritualitas Islam. Sebuah kolaborasi menarik antara nilai kultur dengan nilai agama.
Kebudayaan Cirebon yang bukan Jawa dan bukan Sunda itu akhirnya memiliki ciri khas sendiri. Yakni adanya keberanian untuk mengadopsi nilai lama dengan nilai baru (saat itu) saat agama Islam mulai diajarkan Sunan Gunungjati. Dalam pentas kesenian panggung, asimilasi budaya terlihat jelas. Nilai budaya masyarakat pantai dipadukan dengan nilai agama. Tak heran jikalau kenyataan ini mengundang nilai tambah yang patut disyukuri. Artinya postmodernis sudah berlangsung dalam kesenian tradisi Cirebon. Keberanian seniman tradisi memasukkan unsur baru (ajaran agama Islam) pada kesenian lokal agaknya sepadan dengan nilai posmo.
Buah post modernis kesenian tradisi Cirebon itu dipelihara dan dijaga dari kepunahan. Kendati harus terseok-seok menghadapi tantangan, terutama kemunculan seni pop yang lebih mampu mengundang publik serta kepraktisan alat musiknya ~namun seni tradisi tetap terpelihara. Gamelan yang mengiringi seni tradisi Cirebon, harus diakui kini semakin sedikit yang mampu (dan mahir) memainkannya. Malah usia para penabuh gamelan itu rata-rata sudah renta. Sekolah karawitan dan seni tradisi Cirebon tergolong sepi peminat. Akan tetapi bila sesekali datang ke Sanggar Sekar Pandan yang berlokasi di Jagastru samping pasar, Anda akan melihat pelajar SMP dan SLTA Cirebon giat berlatih memainkan gending-gending Cirebonan, tari Topeng Cirebon, termasuk tari kreasi buah tangan Elang Heri Komarahadi dan kawan-kawan. Begitu pula sekecil apa pun, peran pemerintah daerah masih tampak untuk memelihara seni tradisi Cirebon.
Dengan kata lain kekuatan seni tradisi Cirebon yang berangkat dari filosofi kultural dan spiritualitas agama Islam, hingga kini masih bisa kita saksikan. Kenyataan ini makin disyukuri dengan munculnya sanggar seni tradisi di berbagai tempat di Cirebon.

Letaknya yang secara geokultur berada di perlintasan dua kebudayaan besar membuat masyarakat di Cirebon, Indramayu, dan (sebagian) Majalengka (Ciayumaja) memiliki dua bahasa ibu. Perjalanan sejarahnya yang panjang kemudian membentuk peta kebudayaan yang mencerminkan adanya tarik-menarik pengaruh di antara dua kebudayaan besar tadi.
Yang dimaksud dua kebudayaan besar itu ialah Sunda di sebelah barat dan selatan, serta Jawa di sebelah timur dan utara. Pengaruh Sunda, dalam sejarahnya lebih bersifat politis karena Cirebon (Ciayumaja) dijadikan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan (geopolitik) kerajaan-kerajaan Buddha-Hindu Kuno seperti Galuh, Pajajaran, dan Sumedang Larang.
Sementara pengaruh Jawa, lebih bersifat kebudayaan (geokultur) melalui interaksi sosial yang terbentuk karena letak geografis pesisir pantura yang strategis sebagai sentra perdagangan. Masuknya Islam pada abad ke-15 sampai ke-16, di antaranya lewat syiar Islam Sunan Gunung Djati yang menggunakan bahasa Jawa, seolah makin mempertegas pengaruh Jawa secara kebudayaan di wilayah tersebut.
Tarik-menarik di antara dua kebudayaan besar tadi, dalam perjalanannya, kemudian menghasilkan suatu kebudayaan tersendiri, yakni apa yang sampai sekarang disebut dengan kebudayaan Cirebon. Dari sisi kebahasaan, masyarakat yang berdiam di Ciayumaja, sampai sekarang lalu mengenal dua bahasa ibu (dwibahasa), yakni Sunda dan Jawa.
Dari sisi kebahasaan (bahasa ibu) tadi, terbentuk pula peta dua bahasa yang bila merunut lewat kronologi sejarah atau proses terbentuknya konstruksi sosiologis dan antropologis masyarakatnya, menggambarkan intensitas pengaruh dari dua kebudayaan besar tadi (Sunda dan Jawa). Dalam konteks kewilayahan secara administratif kenegaraan masa sekarang, di antara lima daerah, yakni Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, serta Kuningan (Ciayumajakuning), hanya masyarakat Kuningan yang bahasa ibunya sama dengan daerah Pasundan umumnya, yakni bahasa Sunda. Empat daerah lainnya, yakni Ciayumaja, mengenal dua bahasa ibu, Sunda dan Jawa.
Akibat tarik-menarik pengaruh tadi, terbentuk entitas kebudayaan tersendiri yang disebut kebudayaan Cirebon. Dari segi bahasa, juga kemudian membentuk bahasa tersendiri, yakni yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Sunda Cirebon atau juga Jawa Cirebon.
Kata “Cirebon” menunjukkan bahasa Sunda yang dipakai masyarakat Ciayumaja, terdapat kekhasan, pun demikian dengan bahasa Jawa. Ada perbedaan-perbedaan dengan Sunda atau Jawa mainstream, terutama pada dialek (irama bahasa) dan idiolek (ragam bahasa).
Perbedaan yang terasa itu pada dialek dan idiolek. Sunda yang digunakan wong Cerbon, beda dengan Sunda mainstream. Juga dengan bahasa Jawanya. Dari fenomena itu muncul “peng-aku-an” bahwa Cirebon ya Cirebon, bukan Sunda maupun Jawa.
Pada fenomena itu, terdapat pula sisi keanehan, yakni bahwa bahasa Sunda dan Jawa yang digunakan masyarakat di Ciayumaja, terdapat kosakata “Sunda Buhun” dan “Jawa Kuno” yang di masyarakat Pasundan atau Jawa sudah tidak lagi digunakan.
Contohnya seperti masyarakat Kecamatan Lelea di Indramayu yang berbahasa Sunda (atau disebut Sunda Lelea). Untuk menyebut kata “istriku”, bukan pamajikan atau pamajikan urang, tetapi panotog aing. Menurut Nurochman Sudibyo, budayawan setempat, panotog itu kosakata Sunda Buhun yang oleh masyarakat Pasundan sendiri sudah tidak lagi digunakan atau hilang.
Untuk bahasa Jawa, misalnya kata bobat (bohong), masyarakat Jawa (di Jateng dan Jatim) sudah sama sekali tidak mengenal. Untuk menyebut “bohong”, rata-rata orang Jawa menyebut dengan lombo atau nglombo atau ngapusi.
Kata bobat ini merupakan bahasa Jawa kuno yang oleh rata-rata masyarakat Jawa sendiri sudah tidak digunakan. Padahal, di balik kata bobat ada peristiwa sejarah yang sangat dramatis dan menimbulkan trauma bagi masyarakat Sunda umumnya, yakni Perang bubat (bubat berasal dari kata bobat) atau perang bohong-bohongan yang terjadi ketika sepasukan tentara Majapahit, atas perintah Patih Gajah Mada, menyerang rombongan Putri Padjajaran Diah Pitaloka (diyakini di daerah Majalengka) sekadar untuk menggagalkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk dengan putri Kerajaan Sunda itu.


Budaya Cirebon tidak sekadar mengutamakan subjektivitas, melainkan dengan kemampuan adaptasinya, ia telah bersintesa dengan kebutuhan pada zamannya. Lihatlah ritual mapag sri misalnya. Sesaat menjelang menanam padi di sawah, para petani mempersembahkan rasa syukur kepada Tuhan karena alam telah demikian berdamai memberikan panen. Dewi Sri sebagaimana diketahui adalah penjelmaan dewi padi yang bertugas antara lain menyuburkan tanah pertanian sehingga padi tumbuh dengan sempurna. Adaptasi budaya Hindu dengan ajaran Islam sebelum menanam padi, kini semakin jarang terlihat. Teknologi dan mesin telah menyingkirkan mapag sri.
Budaya dengan demikian erat kaitannya dengan pengetahuan manusia pada zamannya. Tapi ia tetap memperhitungkan aspek sosial dan ekonomi. Dan budaya pulalah yang mengantarkan manusia pemilik kebudayaan itu melakukan interaksi dengan alam sekitarnya. Harmonisasi pun tercipta lantaran dilandasi oleh kebudayaan.


Berbicara kebudayaan Cirebon tentu tak lepas dari budaya pantai. Laut Jawa yang menyediakan kandungannnya terus dirasakan manfaatnya dan menghidupi nelayan. Ungkapan rasa syukur atas pemberian Tuhan mengenai ikan yang tiada habisnya di Laut Jawa itu, di Cirebon pun dikenal Nadran, sebuah ritual persembahan nelayan atas rasa syukur kepada Tuhan. Nadran juga biasa disebut pesta laut atau syukur pesisiran. Sebuah kegiatan yang tidak hanya menampilkan karnaval kesenian tetapi juga memasukkan unsur spiritualitas agama. Hasil panen kebun dan sawah pun turut dalam karnaval. Nadran dengan kata lain merupakan pertalian manusia (nelayan) dengan alam dan Tuhan.
Masih banyak kesenian tradisi Cirebon yang berangkat dari perpaduan kultural dan spiritual yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan. Meski kesenian tradisi itu tergolong jarang tampil di hadapan publik, namun sesekali masih memperlihatkan sosoknya. Sebut saja masres, sandiwara tradisional yang kerap menayangkan kisah masyarakat Cirebon ~utamanya sejarah sejak islamisasi meruyak di pedukuhan sunyi yang kelak bernama Cirebon. Masres ini tergolong unik karena beberapa hal. Pertama, campur tangan sutradara yang tidak dominan : pemain bebas berimprovisasi sepanjang tidak membias dari inti cerita. Kedua, profesi keseharian para pemainnya yang beragam seperti tukang becak, pembantu rumah tangga, nelayan, dan petani. Ketiga, terlibatnya pelukis kanvas dengan menampilkan setting panggung untuk layar cerita berupa beberapa lukisan dengan media cat sesuai episode cerita. Sanggar masres yang dapat dijumpai di pantura Cirebon (kecamatan Kapetakan kabupaten Cirebon) ini setidaknya menunjukkan adanya kesungguhan mempertahankan seni lokal, betapa pun harus berhadapan dengan sejumlah realitas kekinian.

Budaya Cirebon yang kabarnya merupakan budaya serapan Jawa (Kerajaan Mataram) dan Sunda (Kerajaan Sunda Kalapa) itu menempati posisi unik. Dua budaya besar di pulau Jawa itu bertemu di Cirebon. Budaya serapan itu pun makin lengkap bersintesa dengan spiritualitas Islam. Inilah keberbagaian budaya Cirebon. Dan keberbagaian tadi mengisi ruang kesenian lokal. Dari sinilah kemudian muncul seniman rakyat. Seniman yang asik berkarya tanpa terpaku pada intruksi sutradara, sementara ketika tidak manggung mereka menjalani profesi kesehariannya.
Jikalau kadang muncul anggapan adanya nilai mistis yang diam-diam menyeruak pada seni tradisi Cirebon, misalnya keberadaan dupa dan kemenyan, atau kembang tujuh warna ~hal itu sama sekali bukan media mengundang kekuatan supra natural. Melainkan asap kemenyan dan bunga itu merupakan peninggalan kultur Jawa yang berangkat dari ajaran Hindu. Sintren misalnya kerap diduga bernuansa mistis. Hal ini patut diluruskan karena bekal latihan yang memadai maka dalam waktu sekejap seorang perempuan dengan tubuh terikat dan dimasukkan ke dalam kurungan ayam dapat mengganti kostumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar