Minggu, 17 Juni 2012

Latar Belakang Kebudayaan Suku Toraja


Berbicara mengenai Suku Toraja tentu dalam benak kita terbayang sebuah etnik suku yang memiliki rumah panggung besar dengan atap menyerupai moncong perahu dan upacara adatnya yang melibatkan banyak orang untuk terlibat dan reputasinya pada hari ini telah mengarungi banyak negara. Daya tarik yang berasal dari khasanah kebudayaannya, arsitektur tradisional yang inspiratif serta kaya makna, dan keagungan prosesi adatnya menjadikan Tana Toraja memiliki nilai-nilai tersendiri yang pada hari ini banyak diminati oleh wisatawan untuk mengunjungi daerah tersebut. Hal ini diperkuat dengan kearifan lokal yang nilai-nilainya masih dijalankan oleh masyarakat sekitar Tana Toraja. Suku Tana Toraja yang pada hari ini masih mendiami daerah pegunungan masih mempertahankan gaya hidup Austronesia yang asli dan cenderung memiliki kemiripan dengan budaya yang ada di Nias.

Melihat Suku Toraja sejenak Secara geografis, Komunitas Suku Toraja bertempat tinggal pada pegunungan di bagian utara sulawesi selatan. Lebih spesifik pada letaknya, Suku Toraja terletak di kabupaten Tana Toraja yang terletak dalam satuan kepemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang mana memiliki ibukota bernama Makale. Pada tahun 2007 kabupaten ini memiliki jumlah populasi sebanyak 248.607 jiwa. batas-batas geografis Kabupaten Tana Toraja di utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu, lalu pada sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enkerang, sementara pada sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mamasa.

Berada pada zona waktu indonesia tengah, Secara klimatologi Kabupaten Tana Toraja termasuk kedalam daerah yang beriklim Tropis Basah. Hal ini secara kasar bisa kita ketahui melihat letak keberadaan tempat yang berada di daerah pegunungan. Dalam segi temperatur udara, suhu di Tana Toraja berkisar antara 150 c – 280 c dengan kelembaban udara yang berkisar antara 82 – 86 %. Curah hujan rata-rata di Tana Toraja berada pada kisaran 1500 mm/thn sampai lebih dari 3500 mm/thn.

Jika pembaca sekiranya ingin mengunjungi Tana Toraja ada baiknya melihat masa-masa pembagian musim hujan dan musim kemarau yang umumnya ada di Kabupaten Tana Toraja. Untuk musim kemarau periode bulan april sampai dengan september merupakan rentang waktu datangnya kemarau tiba di Tana Toraja. Sedangkan musim penghujan biasanya tiba pada periode bulan Oktober sanpai dengan Maret. Menurut Oldement, tipe iklim di Kabupaten Tana Toraja adalah tipe C2 yaitu bulan basah (200 mm) selama 2 – 3 bulan berturut-turut dan bulan kering (100 mm) selama 2-3 bulan berturut-turut. Kondisi riil ini dianggap sangat mendukung sektor agraria daerah kabupaten Toraja.

Pada hari ini diperkirakan populasi masyarakat suku toraja telah mencapai sekitar satu juta jiwa. Sekitar 50% dari total jumlah masyarakat Suku Toraja masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja dan kabupaten tetangga seperti Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Mamasa sisanya banyak masyarakat yang berasal dari Suku Toraja yang kini telah menetap di kota-kota lainnya di Sulawesi dan tidak sedikit juga yang merantau keluar Sulawesi. Kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Toraja adalah Kristen. Sementara sebagian ada yang menganut agama Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal dengan Aluk To Dolo.

Berbicara mengenai kepercayaan animisme yang dimiliki Suku Toraja. Aluk To Dolo memiliki makna sebagai kesadaran bahwasannya keberadaan manusia hidup di bumi pada hakikatnya hanyalah untuk sementara. Prinsip ini ditanamkan sedemikian kuatnya yang mana pada akhirnya menjadi pondasi utama kepercayaan asli masyarakat Toraja. Sebagai penguat pemahamannya bahwasannya selama tidak ada orang yang bisa menahan matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun mutlak keberadaannya dan tidak bisa ditunda kedatangannya.

Secara historis banyak yang meyakini bahwa Suku Toraja berasal dari Teluk Tongkin yang berada di daratan cina. Seorang Anthtropolog bernama DR.C. Cyrut meyakini bahwa masyarakat Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal Sulawesi Selatan atau pribumi dengan pendatang dari teluk tongkin tersebut. Berawalnya akulturasi antara masyarakat pribumi dengan pendatang ini dari berlabuhnya imigran indo cina dengan jumlah yang dapat dikatakan cukup banyak di sekitar hulu sungai yang pada hari ini diperkirakan letak lokasinya berada di daerah Kabupaten Enrekang. Bangsa cina yang memang dikenal akan kebiasaannya bermigrasi segera membangun pemukiman di daerah tersebut untuk kemudian membangun sebuah peradaban baru.

Nama Toraja sendiri sebenarnya merupakan kata dari Bahasa Bugis yaitu to riaja yang mana berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Identitas mereka yang pada hari ini kita ketahui bernama Toraja merupakan pemberian dari perintah kolonial belanda yang memberikan nama itu pada tahun 1909. Versi lain menyebutkan bahwasannya kata Toraja awal mulanya bernama toraya. Kata tersebut merupakan gabungan dari dua kata yaitu “to” yang berarti orang dan “raya” yang berasal dari kata maraya yang berarti besar. Artinya jika digabungkan menjadi suatu padanan makna orang-orang besar atau bangsawan. Seiring dengan berputarnya roda kehidupan lama-lama penyebutan nama Toraya berubah menjadi Toraja. Sementara itu kata Tana yang berada di depan kata Toraja memiliki arti sebuah negeri. Sehingga pada hari ini tempat pemukiman Suku Toraja dinamai Tana Toraja atau negeri tempat orang-orang besar berada.

Sebelum masuknya pengaruh kolonial Belanda dan kristenisasi, di Tana Toraja memiliki sebuah pakem yang cukup jelas mengenai identitas diri mereka sebagai sebuah kelompok. Suku Toraja yang tinggal di daerah dataran tinggi memiliki sebuah identitas pengenalan diri yang diklasifikasikan bedasarkan asal desa mereka dan satu sama lain tidak merasa sama jika mereka bukan berasal dari kelompok desa yang sama. Meskipun ritual-ritual yang diadakan di tiap desa identik dan menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam segi dialek, hierarki sosial, dan macam-macam praktik ritual di daerah tersebut.

Pemberian nama Toraja banyak diduga mulanya merupakan pemberian oleh suku bugis Sindengreng dan Luwu. Orang dari Suku Sindengreng menamakan penduduk daerah yang bermukim di daerah dataran tinggi dengan sebutan to riaja yang berarti “orang yang berdiam di pegunungan” sementara orang-orang yang berasal dari suku bugis luwu menyebutnya dengan to riajang yang memiliki arti “orang yang berdiam di sebelah barat”.

Suku bangsa cina yang datang dari teluk tonkin ini sebenarnya terletak antara vietnam utara dan cina selatan. Pada awal kedatangannya mereka menempati wilayah di pesisir Sulawesi hingga akhirnya karena merasa membutuhkan situasi iklim yang sedikit banyak mirip dengan daerah asalnya, maka para pendatang ini memilih untuk bermukim di daerah dataran tinggi. Proses adaptasi yang cukup ekstrim diterima para pendatang memang membuat mereka secara rasional memilih untuk pindah dari pesisir menuju dataran tinggi itu.

Secara historis pemerintah kolonial belanda masuk dan menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi pada abad ke-17. Melalui perusahaan dagangnya yang bernama vereenigde Oost-Indische Compagnie atau yang familiar di telinga kita bernama VOC selama dua abad mereka berkuasa di sulawesi dan memonopoli segala bentuk perdagangan dan kekuasaan politik. Namun hal ini justru relatif tidak terlalu berpengaruh banyak dalam beberapa hal bagi keberlangsungan eksistensi masyarakat Suku Toraja. Pemerintah kollonial belanda mengacuhkan daerah Tana Toraja karena dinilai sulit untuk dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan produktif. Letaknya yang berada pada dataran tinggi memang menjadi salah satu alasan utama mengapa belanda tidak begitu mengeksploitasi sumber daya di daerah Tana Toraja.

Pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial belanda yang mulai khawatir akan pesatnya perkembangan ajaran agama islam di Sulawesi Selatan terutama pada komunitas Suku Bugis. Belanda yang melihat bahwa keberadaan Suku Toraja yang relatif terisolir dari pengaruh luar akhirnya memutuskan untuk memusatkan proses kristenisasi di daerah Tana Toraja. Hal ini juga diperkuat karena masyarakat Tana Toraja masih menganut ajaran animisme mereka. Misionaris Belanda yang pada masa itu berusaha untuk menyebarkan ajarannya ternyata mendapat perlawanan kuat dari para masyarakat Suku Toraja. Hal ini dikarenakan penghapusan jalur perdagangan yang pada hakikatnya menguntungkan masyarakat Toraja. Beberapa orang asli Suku Toraja dipindah paksa ke dataran rendah oleh pemerintah kolonial Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak pada masa itu juga ditetapkan pada tingkatan yang amat tinggi dengan tujuan untuk mengikis kekayaan para elit masyarakat Suku Toraja. Pun begitu usaha-usaha belanda tersebut nyatanya tidak dapat merusak kebudayaan Toraja dan pada waktu itu hanya sedikit sekali terdapat populasi orang toraja yang menganut ajaran kristen.

Pada tahun 1930-an. Konflik pun tidak luput menyelimuti tana toraja yang mana kali ini melibatkan penduduk muslim yang bertempat tinggal di daerah dataran rendah dengan para penduduk toraja. Akibat dari insiden ini banyak orang toraja yang memilih untuk beraliansi dengan pemerintah kolonial belanda guna meraih kemenangan atas penduduk muslim yang notabenenya juga merupakan terhitung sebagai musuh belanda pada masa itu. akibat aliansi ini banyak penduduk toraja yang akhirnya memilih untuk mengganti kepercayaan mereka menjadi kristen dalam rangka meraih aliansi dengan belanda serta mendapat perlindungan politik supaya bisa melakukan perlawanan balik terhadap orang-orang bugis dari Makassar yang bergama Islam.

Pada periode antara tahun 1951 sampai 1965 setelah kemerdekaan indonesia Sulawesi Selatan mengalami kekacauan yang dipicu oleh pemberontakan Daarul Islam yang bertujuan untuk mendirikan negara islam di tanah Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut memiliki andil yang cukup besar mengapa perkembangan agama kristen di toraja semakin menunjukan peningkatan yang cukup signifikan.

Dekrit President yang diterbitkan pada tahun 1965 yang mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk to dolo) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekrit tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

terima kasih.

Madito Mahardika

sumber penulisan :

2 komentar:

  1. Kal Muller dalam bukunya yang berjudul Mengenal Papua mengatakan bahwa pada tahun 3000 tahun yang lalu adalah tahun migrasi yang ketiga penduduk yang bernama proto-melayu sekarang ini. Mereka pada awalnya singgah di Filipina lalu menyusur turun ke bawah. Yang menarik dari tulisan Muller yakni bahwa hampir semua suku perbatasan Filipina ke bawah (garis lurus)merupakan suku proto-Melayu.
    Bahasa dapat dipakai untuk menelusuri suku-suku proto-melayu.Saya sering mendengar bahwa suku Toraja dan suku Batak kelompok yang sama berangkat dari Indocina.Hanya saja kelompok suku Toraja "tidak mau" lagi melanjutkan perjalanan. Dari segi bahasa, saya menemukan beberapa istilah yang cukup percis mempunyai arti yang sama. Perkampungan Batak sendiri disebut dengan Limbong. Nama kampung ini juga ada di tanah Toraja. Nama ini mempunyai arti yang sama yaitu genangan air. Istilah lain seperti Puang, Banua dll. Menjadi lebih menarik kalau dibuat suatu studi perbandingan kedua etnis.

    BalasHapus