Sabtu, 16 Juni 2012

UTS ACEH PART IV

Nama : Anggraeni Masrina
NIM : 4423107046
Usaha Jasa Pariwisata 2010
"Tradisi Etnik Nusantara"



v Folklore Bukan Lisan Kota Aceh
Merupakan folklor yang bentuknya bukan lisan tetapi cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Biasanya meninggalkan bentuk materiil(artefak). Yang termasuk dalam folklor bukan lisan:
§  Arsitektur rakyat (prasasti, bangunan-banguna suci). Arsitektur merupakan sebuah seni atau ilmu merancang bangunan.
§  Kerajinan tangan rakyat. Awalnya dibuat hanya sekedar untuk mengisi waktu senggang dan untuk kebutuhan rumah tangga.
§  Pakaian/perhiasan tradisional yang khas dari masing-masing daerah
§  Obat-obatan tradisional (kunyit dan jahe sebagai obat masuk angin)
§  Masakan dan minuman tradisional

Kerajinan Tangan

Tikar Pandan Simeulue

Masyarakat Aceh sudah mengenal anyaman pandan dari dahulu khususnya masyarakat di pesisir pantai dimana banyak terdapat pohon pandan (bak seukeu). Khusus bagi masyarakat Simeulue menganyak tikar pandan sudah menjadi tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat disana dan menjadi kegiatan rutin bagi para\wanitanya. Di Simeulue Barat, Tikar Pandan ini merupakan bagian dari ritual adat dan biasanya digunakan pada saat upacara pernikahan, menyambut tamu, upacara kematian dan ucapan doa selamat  untuk anak yang baru lahir dan sebagainya.

Tikar Bercucuk

    Tikar Bercucuk merupakan salah satu kerajinan tangan masyarakat Gayo. Tikar Bercucuk adalah tikar pandan yang di bagian permukaanya disulam dengan benang wol menggunakan Cucuk yaitu sejenis jarum besar (sari gatel) dengan panjang 5 inci berfungsi sebagai alat penyulam. Tikar bercucuk kelihatan sangat menarik dikarenakan motif dan corak yang dituangkan mengandung arti, seperti motif sisik ikan, bintang dan lain sebagainya. Semua motif tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat Gayo. Motif-motif tersebut disulam hanya oleh ahli pembuat Tikar Bercucuk yang mewarisi keahlian dari orangtuanya. Jadi tidak sembarang orang bisa membuat Tikar Bercucuk. Hal inilah yang menyebabkan kerajinan Tikar Bercucuk ini menjadi barang langka. Di tambah lagi bahan baku yang berupa kertan sudah sulit untuk di dapat.
Tikar bercucuk biasanya digunakanpada upacara adat Gayo terutama perkawinan yang digunakan untuk dudukan  bagi calon pengantin pria. Tetapi tikar bercucuk tidak lagi sering dipakai karena kelangkaannya tadi. Bahkan tidak banyak orang yag tahu apa itu Tikar Bercucuk ahkan orang Aceh itu sendiri.

Nepa

Nepa adalah sejenis gerabah yang dalam bahasa Gayo mempunyai arti meratakan tanah liat. Kerajinan Nepa banyak ditemukan di kabupaten Aceh Tengah. Gerabah ini pada umumnya dalam masyarakat Gayo digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti: periuk (Kuren) untuk memasak nasi dengan tutupnya (Kiup), untuk memasak sayur (Belanga), Piring (Capah), Cangkir (Cerek) dan beberaa kendi laki-laki dan perempuan (Keni Rawan Orum Banan). Bagi wisatwan yang datang ke kabupaten Aceh Tengah bisa menemukan produk-produk gerabah ini di setiap toko-toko yang ada disana.

Anyaman Pandan

       Seukeu (dalam bahasa Aceh) disebut juga dengan daun pandan adalah bahan baku yang sering digunakan dalam membuat kerajinan anyaman. Dahulu, anyaman pandan ini hanya digunakan untuk membuat tikar saja, namun kini berbagai macam barang dapat dihasilkan dari anyaman pandan ini antara lain, aneka tas, sandal, sarung bantal kursi dan lain sebagainya. Anyaman pandan ini banyak ditemui di kabupaten Pidie Jaya dan kabupaten Aceh Utara.  Sekarang ini banyak lembaga sosial maupun dinas pemerintah lokal yang peduli akan prospek usaha kerajinan anyaman pandan ini swehingga banyak yang melakukan pelatihan kepada pengrajin lokal mengenai  model maupun jenis yang bisa dibuat dari anyaan pandan.

Batok Kelapa



 Pulau Weh memiliki Sentra Industri Batok Kelapa di Desa Ie Meulee-Ujung Kareung. Kerajinan dari Batok Kelapa ini dijadikan souvenir-souvenir cantik yang bisa dijadikan koleksi cinderamata jika berkunjung ke kota Sabang (pulau Weh). Kerajinan dari batok kelapa ini juga dijual di toko-toko souvenir di Jalan Perdagangan Sabang.




Pakaian Adat

Keureusang (Kerosang/Kerongsang/Bros)
adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan dada ini disematkan di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan dan berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju (seperti peneti) di bagian dada. Konon, perhiasan ini merupakan barang mewah jadi hanya orang-orang tertentu saja yang memakainya sebagai perhiasan pakaian harian.

Patam Dhoe
adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat dari emas ataupun dari perak yang disepuh emas. Bentuknya seperti mahkota. Terbuat dari perak sepuh emas. Terbagi atas tiga bagian yang satu sama lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian tengah terdapat ukuran kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah dan di tengahnya terdapat tulisan Muhammad-motif ini disebut Bungong Kalimah -yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan kecil dan bunga.

 Peuniti

Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas; terdiri dari tiga buah hiasan motif Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengah terdapat motif boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti ikan telur). Motif Pinto Aceh ini diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai sebagai perhiasan wanita, sekaligus sebagai penyemat baju.

Simplah
 Merupakan perhiasan dada untuk wanita. Terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari 24 buah lempengan segi enam dan dua buah lempengan segi delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan ukiran motif bunga dan daun serta permata merah di bagian tengah. Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai rantai.

Subang Aceh
Subang Aceh memiliki diameter 6 cm. Sepasang Subang terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut "Sigeudo Subang." Subang ini disebut juga subang bungong mata uro.

Taloe Jeuem
Seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk rantai dengan hiasan berbentuk ikan (dua buah) dan satu kunci. Pada ke dua ujung rantai terdapat kait berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian adat laki-laki yang disangkutkan di baju.

Makanan dan Minuman
       
      Makanan khas Aceh mulai digemari oleh siapapun yang berkunjung ke Aceh karena keunikan dan kelezatannya serta keunikan dalam pembuatannya. Pada umumnya, makanan Aceh tidak menggunakan bahan penyedap atau bahan pengawet yang dapat membahayakan kesehatan tubuh, melainkan menggunakan sumber bahan alami dan segar yang berasal dari tanah Aceh. Resep makanan khas Aceh yang berasal dari warisan nenek moyang Aceh “indatu” dengan rasa dan aroma yang unik masih terus dikembangkan dan dipelihara sampai sekarang. Meskipun, beberapa daerah lainnya juga memasak makanan yang sama (makanan khas Aceh), namun rasa dan aromanya masih sangat jauh berbeda.
    Makanan khas Aceh juga dipercaya dapat menambah stamina, sekaligus dapat menyembuhkan penyakit karena bahan utama yang digunakan untuk memasak mengandung berbagai jenis rempah-rempah dan tumbuh-tumbuhan tertentu yang hanya tumbuh di Aceh, seperti kayu manis, lengkuas, jahe, kunyit, serai, cenkeh, belimbing wuluh, asam sunti (belimbing wuluh yang dikeringkan dan diperam dengan garam), batang pisang muda, bunga kala, dll. Makanan Aceh dapat dinikmati secara gratis pada hari-hari besar agama Islam dan kebudayaan, seperti perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, pesta perkawinan, mek meugang, syukuran maupun pesta-pesta rakyat lainnya. Dijamin tidak seorang pun yang dapat menahan keinginannya untuk tidak menikmati makanan Aceh, seperti Mie Aceh dan Kari Kambing. Bahan makanan khas Aceh umumnya bersumber dari sumber daya laut, pertanian, perkebunan, perternakan, perkebunan, sungai/danau dan beberapa jenis burung. Semua produk alam tersebut dapat digunakan sebagai bahan utama pembuat makanan khas Aceh, seperti kari kambing, mie Aceh, mie caluk, tumis, sup Aceh “asam keuung”, ikan kayu, kuah pliek, kanji rumbi, dendeng Aceh, sate matang, dll. “Rujak Aceh” yang berasal dari berbagai buah segar juga sangat menantang untuk dicoba setelah menikmati makanan utama dengan rasa sedikit pedas.
            Berikut deskripsi beberapa makanan khas Aceh yang telah terkenal, sekaligus menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke Aceh:
Mie Aceh
“Mie Aceh” juga telah menjadi makanan favorit masyarakat Aceh dan mulai digemari oleh berbagai masyarakat di luar Aceh. Mie Aceh yang terdiri dari Mie Rebus, Mie Goreng dan Mie Goreng Basah diberi campuran sayuran dan berbagai bahan rempahan lainnya, seperti bawang putih, bawang, cabai merah, dll. Untuk menambah kenikmatan, Mie Aceh juga dapat dicampur dengan kepiting, udang, telur, cumi-cumi dan daging sapi sesuai selera konsumen.



“Kari Aceh” adalah jenis makanan khas Aceh yang paling digemari di Aceh dan “Kuah Beulangong” dalam Bahasa Aceh dan “Kuah Beulanga” dalam Bahasa Indonesia. Kari Aceh memiliki rasa yang sedikit pedas yang berwarna kuning. Terdapat empat jenis masakan kari Aceh dengan bahan utama yang berbeda, yaitu kari kambing, kari daging lembu, kari itik dan kari ayam. Santan buah kelapa dan berbagai bahan masakan lainnya, seperti buah nangka, atau buah pisang muda, cabai merah, cabai keling, kelapa gongseng, dll. merupakan bahan-bahan utama yang menjadikan masakan kari Aceh menjadi istimewa. Dalam banyak kesempatan, kari Aceh dimasak secara tradisional dengan menggunakan sebuah belanga besar yang dirancang khusus. Pada umumnya, hanya orang-orang lelaki dewasa yang memiliki keahlian memasak yang mampu memasak masakan kari, sehingga akan menjadi daya tarik dan pengalaman tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung.
Ayam Kari Aceh



Keun=m
“Ikan Kayu” atau “Kemamah” merupakan masakan khas Aceh lainnya dengan cita rasanya yang sangat menantang. Persis seperti bentuknya, ikan kemamah terbuat dari ikan tuna yang telah direbus dan dikeringkan yang kemudian diiris-iris. Ikan kemamah dapat dimasak dengan menggunakan berbagai bahan masakan, seperti santan kelapa, kentang, cabai hijau dan bahan rempahan lainnya. Selama perang Aceh melawan Belanda di hutan belantara, jenis masakan ini sangat terkenal karena sangat mudah dibawa dan dimasak.



“Mie Caluk” berbeda dengan mie Aceh yang digoreng atau direbus. Mie caluk juga menjadi masakan favorit masyarakat Aceh karena mie ini menggunakan saus atau bumbu kacang. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan mie caluk juga menggunakan bahan rempahan, sehingga rasa dan aromanya sangat khas dan menggoda. Aceh juga memiliki beberapa jenis makanan penganan khas lainnya, seperti Kekarah, Timphan, Adee, kueh supet, dll. Semua jenis penganan tersebut memiliki rasa, bentuk serta bahan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.



“Kekarah” adalah jenis penganan tradisional Aceh yang berasal dari Aceh pesisir yang dulunya sering dibuat untuk kegiatan pesta perkawinan, kenduri ritual adat dan bingkisan untuk kunjungan silaturahmi dengan sesama anggota keluarga dan kerabat di kalangan masyarakat Aceh pada Hari Besar Islam (Hari Raya). Sekarang Kekarah dapat jumpai dan dinikmati dimana saja dengan aroma dan rasa yang unik, baik di warung kopi ataupun di toko-toko makanan. Kekarah akan terasa sangat lezat bila dinikmati dengan kopi Aceh yang hangat bersama anggota keluarga dan teman-teman.

“Timphan” adalah penganan khas Aceh yang sering dibuat pada hari-hari besar agama Islam, seperti menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Penganan ini dibuat dari adonan tepung, telur dan parutan kelapa serta dibalut dengan daun pisang muda yang segar. Timphan sangat terkenal di Aceh serta menarik masyarakat Aceh yang berada di luar Aceh untuk “rindu kampung” dan pulang ke Aceh, khususnya pada saat hari besar agama Islam, seperti Hari Raya Idul Fithri dan Hari Raya Idul Adha. Banyak ungkapan atau peribahasa dengan kata Timphan, seperti “Uroe got buleun got timphan ma peugoet beumeutemeng rasa” (Hari baik bulan baik timphan ibu buat harus dapat kurasakan).

“Adee” jenis penganan yang berasal dari Pidie Jaya yang dulunya juga sering dibuat untuk kegiatan keagamaan, pesta perkawinan, kenduri ritual adat dan bingkisan untuk kunjungan silaturahmi dengan sesama anggota keluarga dan kerabat di kalangan masyarakat Aceh, khususnya Hari Besar Islam (Hari Raya). Adee yang terbuat dari adonan tepung, telur dan santan kelapa memiliki rasa dan aroma yang lezat dan telah terkenal sebagai bingkisan oleh-oleh dari Aceh. Adee dapat dijumpai dan dinikmati dimana saja di Banda Aceh dengan aroma dan rasa yang unik atau di tempat asalnya di Pidie Jaya sambil melihat langsung proses pembuatan Aceh secara tradisional.

      Jenis minuman khas Aceh selain makanan adalah kopi dan bandrek. Aceh Tengah dan Bener Meriah yang berada pada ketinggian 1500 m dpl dengan udaranya yang sejuk dengan perkebunan kopinya yang terhampar luas. Kopi yang dihasilkan oleh daerah-daerah tersebut sudah sangat terkenal di luar Aceh dan luar negeri yang terdiri dari jenis kopi Arabica dan Robusta dengan kualitas ekspor. 

Kopi Aceh terkenal sangat istimewa dan lezat. Kopi telah menjadi minuman utama masyarakat Aceh setiap harinya, baik di rumah, di kantor atau pada berbagai acara pertemuan. Masyarakat Aceh akan kehilangan selera makannya bila tidak mengkonsumsi kopi. Tidak mengherankan bahwa Aceh selain dikenal dengan ”ratusan bangunan mesjid”, juga dikenal dengan ”ratusan warung kopi”. Minum kopi bagi masyarakat Aceh telah menjadi bagian dari kegiatan sosial. Dengan minum kopi dipercayakan dapat mempererat hubungan silaturahmi dan persahabatan, sekaligus hiburan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar