Sabtu, 16 Juni 2012

EKSOTISME BUDAYA & TRADISI JAWA DI YOGYAKARTA PART 1 LATAR BELAKANG KEBUDAYAAN YOGYAKARTA Part 1


NAMA : YULI HADI
NO. REG : 4423107053
UTS TRADISI ETNIK

A.   LOKASI
Yogyakarta adalah daerah destinasi wisata nomor dua setelah Bali. Yogyakarta sudah tidak asing lagi di telinga para wisatawan domestik maupun mancanegara karena eksotisme budaya dan tradisi yang terdapat di Yogyakarta sangatlah banyak serta objek wisata yang menarik bagi wisatawan. Berbagai jenis wisata telah dikembangkan di wilayah ini, seperti wisata kuliner, wisata belanja, wisata alam, wisata budaya, wisata pendidikan, wisata sejarah serta wisata malam.
Nama Yogyakarta diambil dari dua kata, yaitu Ayogya yang berarti "kedamaian", dan Karta yang berarti "baik".  Yodya ditambah dengan karta, yang mengandung arti serba baik. Demikianlah, kerajaan itu, kemudian, disebut Yodyakarta. Dalam perkembangannya, mungkin karena ucapan, nama itu menjadi Yogyakarta hingga sekarang.
 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan Sebuah wilayah di bumi Merah Putih Indonesia yang masih menjunjung tinggi budaya dan tradisi Jawa. Lokasi Daerah istimewa Yogyakarta sendiri memiliki letak yang sangat strategis yaitu Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut ,sebelah utara : Kabupaten Sleman, Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Slemansebelah selatan : Kabupaten Bantulsebelah barat : Kabupaten Bantul & Sleman.Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan.  Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan)
B.   DEMOGRAFI
Pertambahan penduduk Kota dari tahun ke tahun cukup tinggi, pada akhir tahun 1999 jumlah penduduk Kota 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 15.197/km².  Jumlah penduduk kota Yogyakarta, berdasar Sensus Penduduk 2010 [4]., berjumlah 388.088 jiwa, dengan proporsi laki-laki dan perempuan yang hampir setara.
Islam merupakan agama mayoritas yang dianut masyarakat Yogyakarta, dengan jumlah penganut Kristen dan Katolik yang relatif signifikan. Seperti kebanyakan dari Islam kebanyakan di kota-kota pedalaman Jawa, mayoritas masih mempertahankan tradisi Kejawen yang cukup kuat.
Yogyakarta juga menjadi tempat lahirnya salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta. Hingga saat ini, Pengurus Pusat Muhammadiyah masih tetap berkantor pusat di Yogyakarta.
Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, karena hampir 20% penduduk produktifnya adalah pelajar dan terdapat 137 perguruan tinggi. Kota ini diwarnai dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Perguruan tinggi yang dimiliki oleh pemerintah adalah UGM, UNY, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan UIN Sunan Kalijaga  
C.   SEJARAH
Nama kota Yogyakarta memiliki sejarah yang panjang. Dimulai dari sejarah alas Paberingan yang pertama kali dimanfaatkan oleh Panembahan Hanyakrawati (RM Jolang) raja kedua Mataram II (1601-1613) yang menggantikan Panembahan Senopati Ing Ngalaga (1586-1601) dan kemudian menjadi kawasan yang selalu terpilih dan muncul melalui wisik yang diterima oleh beberapa raja-raja Mataram berikutnya.
Kata Yogyakarta sendiri merupakan pergeseran lafal (pengucapan) dari kata bahasa Jawa Ngayogyakarta, bentukan dari dua kata ngayogya dan karta. Kata ngayogya dari kata dasar yogya artinya pantas, baik. Ngayogya artinya menuju cita-cita yang baik dan karta artinya aman, sejahtera. Ngayogyakarta artinya mencapai kesejahteraan (bagi negeri dan rakyatnya).
Nama tersebut bukan diciptakan oleh pendiri Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yakni Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I), tetapi telah dicita-citakan kurang lebih 37 tahun sebelumnya oleh paman buyutnya, yakni Paku Buwana I (Pangeran Puger, adik Amangkurat I), raja ke-2 Keraton Kartasura.
Situs pusat keraton Mataram II yang pertama terletak di Ngeksigondo yang masih dapat kita saksikan sisa-sisa bangunan terbuat dari bata dan nama-nama kawasan yang hingga kini tetap digunakan seperti Banguntapan, Kanoman, Gedong Kuning, Gedong Kiwa, Gedong Tengen, bekas Pemandian Warungbata, Winong, Sar Gedhe (jadi Kota Gede), Kompleks Makam Senopaten dan sebagainya yang tersebar sejak 1 kilometer sebelah utara hingga selatan Kota Gede.
Dan alas Paberingan yang terletak sekitar 5 kilometer sebelah barat Ngeksigondo, pada masa pemerintahan Panembahan Hanyakrawati telah dibangun menjadi hutan rekreasi raja berpagar keliling bambu (krapyak) untuk perburuan kijang, dinamakan alas Krapyak. Di situ pula Hanyakrawati terluka parah hingga akhirnya wafat, dibunuh oleh pejabat istananya sendiri Pangeran Wiramenggala (Kyai Ageng Bengkung). Atas peristiwa itulah Hanyakrawati dikenal sebagai Panembahan Seda Krapyak.
Dibawah bayangan gunung setinggi 2.914 meter, yang disebut Gunung Merapi, berdiri Ngayogyakarto Hadiningrat, salah satu kerajaan Mataram di Jawa.
Kini disebut sebagai Yogyakarta mulai tahun 1755, ketika wilayah Kerajaan Mataram dibagi menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta (Solo).
Keraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada saat itu, dan beliau menggunakan keraton sebagai pusat daerah paling berpengaruh di Jawa sejak abad ke-17. Keraton tetap menjadi pusat kehidupan tradisional dan meskipun ada modernisasi di abad ke-20, keraton tetap memancarkan semangat kemurnian, yang ditandai dengan kebudayaannya selama berabad-abad.
Yogyakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan di Jawa. Musik gamelan merupakan pandangan dari masa lalu, klasik dan sejaman, pertunjukan tari-tarian Jawa yang sangat indah dan memabukkan, pertunjukkan wayang kulit dan ratusan kesenian tradisional yang membuat para pengunjung terpesona.
Periode hindu/ budha
Awal terbentuknya Keraton Ngayogyakarta adalah di wilayah Jawa Tenggah, pada sekitar abad ke-8, perkembangan sebuah Kerajaan Mataram Kuno. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno disebut Bhumi Mataram yang terletak di pedalaman Jawa Tenggah. Daerah tersebut memiliki banyak pegununggan dan sungai seperti Sungai Bogowanto, Sungai Progo, dan Bengawan Solo. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno juga sempat berpindah ke Jawa Timur. Perpindahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tenggah ke Jawa Timur disebabkan oleh dua hal.
1. Selama abad ke-7 sampai ke-9, terjadi serangan-serangan dari Sriwijawa ke Kerajaan Mataram Kuno. Besarnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya itu menyebabkan Kerajaan Mataram Kuno semakin terdesak ke wilayah timur.
2. Terjadinya Letusan Gunung Merapi yang dianggap sebagai tanda pralaya atau kehancuran dunia. Kemudian, letak kerajaan di Jawa Tenggah dianggap tidak layak lagi untuk ditempati.


Dinasti Sanjaya
Prasasti Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir memberikan gambaran yang cukup jelas tentang kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini bertuliskan tahun654 Saka atau 732, ditulis dengan huruf Palawa yang menggunakan bahasa Sansekerta. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya Sanjaya. Masa pemerintahan Sanna dan Sanjaya dapat kita ketahui dari deskripsi kitab Carita Parahyangan. Dalam prasasti lain, yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya dianggap sebagai pendiri Dinasti Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.
Sanjaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kedududkan Sanjaya sangat kuat dan berhasil menyejahterakan rakyat Kerajaan Mataram Kuno. Sanjaya menyebarkan pengaruh Hindu di pulau Jawa. Hal ini ditempuh dengan cara mengundang pendeta-pendeta Hindu untuk mengajar di Kerajaan Mataram Kuno. Raja Sanjaya juga mulai pembangunan kuil-kuil pemujaan berbentuk candi. Stelah Raja Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran.
Raja Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi, seperti Candi Sewu, Candi Plaosan dan Candi Kalasan. Dari bukti-bukti tersebut, diketahui bahwa Raja Rakai Panangkaran beragama Buddha. Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran berturut-turut adalah Rakai Warak dan Rakai Garung. Raja Mataram Kuno selanjutnya adalah Rakai Pikatan. Persaingan dengan Dinasti Syilendra yang waktu itu diperintahkan oleh Raja Samaratungga dianggap menghalangi cita-citanya untuk menjadi Penguasa tunggal di Pulau Jawa.
Pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti tersebut melalui pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya dengan Pramodawardhani (Putri Raja Samaratungga), dari keluarga Syailendra. Namun, perkawinan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani tidak berjalan lancer. Setelah Samaratungga wafat, Kekuasaan beralih kepada Balaputradewa yang merupakan adik tiri dari Pramodawardhani. Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu Boko (856), menunjukkan telah terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa.
Balaputradewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Swarnadwipa(Sumatra). Ia kemudian berkuasa sebagai raja, mengantikan kakeknya di kerajaan Sriwijaya. Hal ini dapat dapat diketahu dari Prasasti Nalanda (India), yang menyatakan bahwa Raja Deewapaladewa dari Bengala menghadiahkan sebidang tanah kepada Raja Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk membagun sebuah biara.
Setelah Balaputradewa dikalahkan, wilayah Kerajaan Mataram Kuno menjadi semakin luas kearah selatan (sekarang yogyakarta). Daerah ini dahulunya adalah wilayah Dinasti Syailendra. Rakai Pikatan mengusahakan agar rakyat dinasti Sanjaya dan Syailndra dapat hidup rukun. Pada masa ini, dibangun kuil pemujaan berbentuk candi, Seperti Candi Prambanan. Menurut Prasasti Siwagraha, Rakai Pikatan dan raja-raja Mataram Kuno berikutnya masih tetap menganut agama Hindu Siwa.
Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga jd pelaksana pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih yang dipimpin oleh seorang mahapatih ini sangat penting perananya. Raja Mataram selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang. Raja Mataram Kuno yang diketahui kemudian adalah Dyah Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Maha Dambhu adalah Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan.
Dimasa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya. Rakryan I Halu,dan Rakryan I Sirikan Struktur tiga pejabat itu menjadi warisan yang terus digunakan oleh kerajaan-kerajaan Hindu berikutnya, seperti Kerajaan Singasari dan Majapahit.
Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung. Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di Kerajaan Mataram Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Setelah Raja Balitung wafat pada tahun 910, Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur. Sri Maharaja Daksa, yang pada masa pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino, tidak lama memerintah Kerajaan Mataram Kuno. Penggantinya, Sri Maharaja Tulodhong juga mengalami nasib serupa.
Dibawah pimpinan Sri Maharaja Rakai Wawa. Kerajaan Mataram Kuno dilanda kekacauan dari dalam, yang membuat kacau ibu kota. Sementara itu, kekuatan ekonomi dan politik Kerajaan Sriwijaya makin mendesak kedudukan Mataram di Jawa. Pada masa itu, wilayah kerajaan mataram kuno juga dilanda oleh bencana letusan Gunung Merapi yang sangat membahayakan ibu kota kerajaan. Seluruh masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh Rakai Wawa. Ia wafat secara mendadak. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Mpu Sindok yang waktu itu menjadi Rakryan i Hino.
Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra berkuasa didaerah Begelan dan Yogyakarta pada pertengahan abad ke-8. Beberapa sumber sejarah tentang Dinasti Syailendra yang berhasil ditemukan, antara lain prasasti Kalasan, Kelurak, Ratu Boko, dan Nalanda. Prasasti Kalasan (778), menyebutkan nama Rakai Panangkaran yang diperintahkan oleh Raja Wisnu, penguasa Dinasti Syailendra, untuk mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah viharabagi para pendeta. Rakai Panangkaran kemudian memberikan Desa Kalasan kepada Sanggha Buddha. Prasasti Ratu Boko (856), menyebutkan Raja Balaputradewa kalah dalam perang saudara melawan kakaknya, yaitu Pramodhawardani. Kemudian, ia melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Nalanda (860), menyebutkan asal usul Raja Balaputradewa. Disebutkan bahwa Raja Balaputradewa adalah putra dari Raja Samaratungga dan cucu dari Raja Indra.
Pada abad ke-8, Dinasti Sanjaya yang memerintah KerajaanMataram Kuno mulai terdesak oleh dinasti Syailendra. Hal itu kita ketahui dari prasasti Kalasan yang menyebutkan bahwa Rakai Panangkaran dari keluarga Sanjaya diperintah oleh Raja Wisnu untuk mendirikan Candi Kalasan, sebuah candi Buddha. Dinasti Syailendra muncul dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno tidak lebih dari satu abad. Pengaruh Dinasti Syailendra terhadap kerajaan Sriwijaya juga semakin kuat karena Raja Indra menjalankan strategi perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang bernama Samaratungga dengan salah seorang putri Raja Sriwijaya.
Pengganti Raja Indra adalah Raja Samaratungga. Pada masa kekuasaannya, dibangun Candi Borobudur. Namun, sebelum Candi tersebut selesai dibangun, Raja Samaratungga meninggal dunia, dalam sebuah perang saudara. Balaputradewa kemudian melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya dan menjadi raja disana.
·         Periode muslim
Sejak peradaban muslim awal di pedalaman Jawa bagian tengah baru muncul setlah sekian lama Islam merambah pesisir utara Jawa sejak awal milenium kedua Masehi. Salah satu bukti terkuat tersebarnya Islam di pusat tanah Jawa mewujud dalam bentuk sebuah kesultanan Islam, Mataram. Usai meredupnya pamor Kasultanan Pajang, Mataram muncul sebagai sebuah kerajaan Islam pada paruh kedua abad XVI M. Kasultanan yang diproklamasikan oleh Panembahan Senopati itu pun menandai jejak ter-Islamkannya tanah yang sejak ratusan tahun sebelumnya juga bernama Mataram yang kental dengan warna Hindu - Buddha-nya. Kotagede adalah tempat yang menjadi ibukota pertama Mataram Islam, sebelum kemudian berpindah ke Plered pada paruh awal abad XVII M.
Sejak awal, konsep pemerintahan Mataram Islam yang diusung adalah konsep ajaran Islam yang tercermin antara lain dalam gelar raja sebagai khalifatullah, wakil Allah di dunia. Secara fisik, perwujudan konsep Islam tampil dengan keberadaan masjid kerajaan (Masjid Besar Mataram) yang dibangun di dekat keraton, di sebelah barat alun-alun. Namun, praktik-praktik pra-Islam tetap dipelihara dan diwujudkan dalam pengkulturan terhadap raja dan berbagai upacara yang harus dilaksanakan, baik di kompleks masjid maupun makam kerajaan.
·         Periode kolonial dan periode merdeka
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan wilayah yang kemudian menjadi keraton dan ibukota Yogyakarta telah lama dikenal sebelum Sultan Hamengkubuwono 1 memilih tempat itu sebagai pusat pemerintahannya. Wilayah itu dikenal dalam karya sejarah tradisional (Babad) maupun dalam leluri dari mulut ke mulut. Babad Giyantidalem yang bernama Gerjiwati di wilayah itu. Kemudian oleh Paku Buwana II dinamakan Ayogya.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. 
Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di zaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja. Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengakui Kasultanan maupun Pakualaman, sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 No. 577. 
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. 
Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah:
1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah)
3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (yang dibuat bersama dalam satu naskah).
Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, DPRD DIY menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati. 
Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa "pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa". 
Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, DIY dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman.
D.   KEBUDAYAAN
Dasar filosofi pembangunan daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Secara filosofis, budaya Jawa khususnya Budaya DIY dapat digunakan sebagai sarana untuk Hamemayu Hayuning Bawana. Ini berarti bahwa Budaya tersebut bertujuan untuk mewujudkan masyarakat ayom ayem tata, titi, tentrem karta raharja. Dengan kata lain, budaya tersebut akan bermuara pada kehidupan masyarakat yang penuh dengan kedamaian, baik ke dalam maupun ke luar.
Yogyakarta menjadi seperti saat ini, karena latar belakang yang dimilikinya. Berbagai peristiwa yang dialami kota ini melahirkan budaya jawa serta menumbuhkan nilai-nilai etika orang jawa yang terkenal akan kesopanan dan keramahannya. Budaya kerajaan yang telah lampau masih melekat erat pada kota Yogyakarta, hal ini ditunjukkan pada sistem pemerintahan kesultanan yang masih dapat dipertahankan. Sehingga berpengaruh pada kehidupan masyarakat di Yogyakarta.
Dalam suatu sistem nilai kebudayaan tertentu, di satu pihak senantiasa diyakini terdapat ideal-ideal yang harus dikiblati, namun di lain pihak selalu terjadi distorsi-distorsi, bahkan penyimpangan-penyimpangan dalam praktek kehidupan. Meskipun harus diakui bahwa dalam perilaku kongkrit masyarakat Yogyakarta boleh jadi terjadi distorsi dan penyelewengan atas nilai-nilai yang diidealkan (adiluhung), namun dalam naskah Tata Nilai Budaya Yogyakarta ini tetap dirumuskan ideal-ideal yang diyakini sebagai kiblat dalam meraih keutamaan, karena pada hakikatnya manusia itu bukan hanya “produk” kebudayaan belaka, melainkan juga sekaligus “pencipta” kebudayaan. Oleh karena itu, manusia dapat dan bahkan harus merancang suatu strategi kebudayaan bagi masa depannya, menuju kehidupan bersama yang lebih berkeadaban.
Tata nilai budaya Yogyakarta ialah tata nilai Budaya Jawa yang memiliki kekhasan dalam semangat pengaktualisasian nilai-nilai kejawaan pada umumnya. Tata Nilai Budaya Yogyakarta merupakan sistem nilai yang dijadikan kiblat (orientasi), acuan (referensi), inspirasi, dan sumber pedoman bagi perilaku budaya dan peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan budaya masyarakat Yogyakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar