Senin, 11 Juni 2012

Upacara Adat Cirebon (BERTO PRAMADYA) UTS KEBUDAYAAN


UPACARA ADAT DI CIREBON
1.     Syawalan Gunung Jati
Syawalan Gunung Jati merupakan tradisi ziarah pada bulan syawal setelah idul fitri ke makam Sunan Gunung Jati. Pada bulan ini, masyarakat Cirebon biasa melakukan ziarah dan tahlilan di makam Sunan Gunung Jati Cirebon. Setiap Syawalan biasanya tempat ziarah makam Sunan Gunung Jati dipenuhi para peziarah hampir dari semua daerah Cirebon dan daerah lain di sekitarnya. radisi yang dinamakan syawalan ini telah berlangsung selama ratusan tahun dan selain untuk menghormati Sunan Gunung Jati para peziarah datang ke makam ini untuk mengharapkan berkah yang melimpah. Sejak pagi hingga siang hari ribuan warga silih berganti mendatangi komplek Makam Sunan Gunung Jati yang terletak di Istana Agung, Cirebon.Mereka datang secara berombongan untuk melakukan ziarah kubur yang jatuh pada 7 Syawal atau yang lazin disebut Syawalan. Mereka datang dari berbagai kota di Pulau Jawa. Selain warga masyarakat, para kerabat dan keturunan Sunan Gunung Jati dari Keraton Kanoman juga melakukan ziarah.
Tradisi ini sudah dilakukan ratusan tahun yang lalu semejak Sunan Gunung Jati atau Syeih Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568. Selain untuk menghormati jasa Sunan Gunung Jati sebagai ulama penyebar agama Islam di Jawa, para penziarah juga berharap mendapat barokah setelah berziarah.

Para penziarah umumnya membawa kembang 7 rupa yang dicampur uang receh. Kembang tersebut dilemparkan ke pintu utama Makam Sunan Gunung Jati yang disebut Lawan Gede. Sebagai bentuk pengharapan barokah, para penziarah lalu mengambil kembali bunga tersebut untuk dibawa pulang.
Sementara uang receh dikumpulkan pengurus makam untuk biaya perawatan dan pembangunan sarana di Komplek Makam Gunung Jati.Menurut seorang penziarah dari Brebes, Imam Muhammad ia datang ke Makam Gunung Jati ini mengingat dan menghormati jasa para Walisongo dalam menyebarkan agama Islam.Keramaian tradisi syawalan ini sempat membuat jalur alternatif Pantura, Ciroben kearah Ampel macet karena komplek makam terletak tidak jauh dari jalan raya. Kondisi ini rutin terjadi setiap tahun karena tradisi syawalan memang bertepatan dengan puncak arus balik. Tradisi Grebeg Syawal digelar setiap tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri. Sultan Kanoman beserta keluarga, kerabat dan abdi dalem menggelar Syawalan atau dikenal dengan Grebeg Syawal. Untuk lebaran 1431, Grebeg Syawal dilangsungkan pada Jumat, 17 September 2010.

Dimulai pukul 6.00 WIB, Sultan Kanoman Emirudin beserta keluarga dan kerabat berkumpul di Pendopo Djinem. Setelah itu bersama-sama menuju pemakaman Sunan Gunung Jati.

Menurut adik kandung Sultan Emirudin, Ratu Raja Arimbi Nurtina, S.T., tradisi ini dilakukan tanpa prosesi khusus, hanya ziarah keluarga ke makam karuhun Sunan Gunung Jati. Dahulu tradisi Syawalan dilakukan dengan kendaraan gajah dan kuda. Diikuti masyarakat di belakangnya dengan berjalan kaki menuju makam Sunan Gunung Jati, yang jaraknya enam kilometer dari Keraton Kanoman.

Di Gunung Jati, sultan beserta rombongan menuju ke Gedong Gusti, tempat dimakamkannya Sunan Gunung Jati. Untuk masuk ke sana sultan harus melewati beberapa pintu. Pintu pertama Penganten, lalu Beling, Dalem, Pasujudan, Pandan, Gapura Candi Bentar, Kaca Bacem, dan terakhir Djinem.

Di depan makam, Sultan Emirudin membaca tahlil dan mengirimkan doa serta Al-Fatihah kepada Sunan Gunung Jati dan waliyullah lain. Sekitar dua jam sultan berdoa. Begitu selesai, keluar dan menyawer uang logam yang diperebutkan masyarakat.

Nasi dan lauk pauk sengaja dibawa dari Keraton dalam jumlah banyak diperuntukkan bagi masyarakat yang menghadiri acara itu. Setelah acara makan-makan, sebelum kembali ke Keraton, Sultan memanjatkan doa diikuti masyarakat.

Tradisi Syawalan sudah berlangsung ratusan tahun dan hingga kini masih memiliki daya tarik, terutama bagi masyarakat pedesaan. Harapan mereka agar memperoleh berkah dari Allah, keselamatan, dan rezeki yang dimudahkan
2. Ganti Walit
Ganti Walit adalah upacara adat di makam kramat Trusmi Cirebon. Upacara yang dilaksanakan setiap tahun di Makam Kramat Trusmi ini bertujuan untuk mengganti atap makam keluarga Ki Buyut Trusmi yang menggunakan Welit (anyaman daun kelapa). Upacara ini dilakukan oleh masyarakat Trusmi Cirebon. Biasanya dilaksanakan setiap tanggal 25 bulan Maulud. Pada Waktu Mbah kuwu Cirebon yang bernama Pangeran Cakrabuana hijrah dari Cirebon ke sebuah Daerah yang sekarang disebut Trusmi, mbah Kuwu Cirebon berganti pakaian memakai baju kyai yang tugasnya menyebarkan ajaran agama Islam. Hingga sekarang ia dikenal dengan nama Mbah Buyut Trusmi.

Mbah Buyut Trusmi adalah putra dari Raja Pajajaran Prabu Siliwangi yang datang ke Trusmi disamping menyebarkan agama Islam juga untuk memperbaiki lingkungan kehidupan masyarakat dengan mengajarkan cara-cara bercocok tanam. Pangeran Manggarajati ( BUNG CIKAL ) putra pertama Pangeran Carbon Girang, yang di tinggal mati ayahnya ketika Bung Cikal kecil. Kemudian Bung Cikal diangkat anak oleh Syekh Syarif Hidayatullah ( Sunan Gunung Jati ) dan diasuh oleh Mbah Buyut Trusmi.

Kesaktian Bung Cikal sudah terlihat sejak masih kecil yang sakti mandraguna. Salah satu kebiasaan Bung Cikal adalah sering merusak tanaman yang ditanam oleh Mbah Buyut Trusmi. Teguran dan Nasehat Mbah Buyut Trusmi selalu tidak di hiraukannya, namun yang mengherankan, setiap tanaman yang dirusak Bung Cikal tumbuh dan bersemi kembali sehingga lama kelamaan pedukuhan itu dinamakan TRUSMI yang berarti terus bersemi. (Pedukuhan Trusmi berubah menjadi sebuah Desa di perkirakan tahun 1925, bersamaan dengan meletusnya perang Diponegoro ).

Bung Cilkal meninggal ketika menginjak usia remaja dan dimakamkan di puncak Gunung Ciremai. Konon pada akhir zaman akan lahir RATU ADIL, titisan dari Pangeran Bung Cikal. Setelah Mbah Buyut Trusmi meninggal, ia digantikan KiGede Trusmi, orang yang ditaklukkan Mbah Buyut Trusmi, dimana kepemimpinan Trusmi dilanjutkan oleh keturunan Ki Gede Trusmi secara turun temurun.

Desa Trusmi termasuk wilayah Kecamatan Weru, dan telah dimekarkan menjadi dua yaitu Desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon. Situs Ki Buyut Trusmi merupakan peninggalan Mbah Buyut Trusmi terletak di Trusmi Wetan. Bangunannya terdiri dari Pendopo, Pekuncen, Mesjid Kuno, Witana, Pekulaha/Kolam, Jinem, Makam Buyut Trusmi dam Pemakaman Umum. Situs Buyut Trusmi dipelihara dan dikelola oleh keturunan dari Ki Gede Trusmi hingga sekarang, yang semuannya berjumlah 17 orang yang terdiri dari 1 orang pemimpin, 4 orang kyai, 4 orang juru kunci, 4 orang kaum/pengelola mesjid, dan 4 orang pembantu/ kemit.Acara tradisional yang masih tetap dilestarikan sampai sekarang diantaranya : Arak-arakan, Memayu, Ganti Welit dan Trusmian atau Selawean yaitu acara memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW.
3. Rajaban
Rajaban adalah tradisi upacara dan ziarah ke makam Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan di Plangon. Rajaban umumnya dihadiri oleh para kerabat dari keturunan kedua pangeran tersebut. Ziarah ini dilaksanakan setiap tanggal 27 Rajab. Obyek wisata ini terletak di Plangon Kelurahan Babakan Kecamatan Sumber, kurang lebih 1 Km dari pusat kota Sumber. Peringatan hari Isra' Mi'raj Nabi Muhammad diperingati umat Islam dengan beragam kegiatan. Di Cirebon, Jawa Barat, sejumlah umat memperingatinya dengan ziarah ke Makam Plagon yang dianggap sebagai makam keramat. Karena hari Isra' Mi'raj yang jatuh pada 27 Rajab bertepatan dengan wafatnya  Pangeran Kejaksan yang merupakan tokoh penyebar agama Islam di Cirebon.Setiap tanggal 27 Rajab kalender Hijriah, masyarakat Cirebon memiliki tradisi unik yang dinamakan Rajaban. Ribuan warga berbondong-bondong mengunjungi Plangon di Kecamatan Sumber. Daya tarik utama wisata Plangon adalah tempat habibat kera ekor panjang.Namun disamping sebagai tempat wisata alam, Plangon juga merupakan tempat yang dianggap kramat. Di puncak bukit Plangon, terdapat makam dua tokoh penyebar agama Islam yakni Pangeran Kejaksan dan Pangerang Panjunan. Selain memperingati Isra' Mi'raj pada tanggal 27 Rajab, merupakan haul atau peringatan meninggalnya Pangeran Kejaksan yang wafat pada tahun 1527 Masehi. Ziarah dilakukan warga sebagai penghargaan jasa kedua pangeran tersebut dalam menyebarkan agama Islam di Cirebon. Sayangnya tradisi ziarah dikedua makam mulai luntur, hanya sedikit warga yang mau berziarah, sementara sebagian besar lebih banyak menghabiskan waktu untuk berwisata di kramat Plangon.Baik warga sekitar Cirebon maupun wisatawan domestik, hanya sekedar menikmati pemandangan alam dan melihat tingkah laku kera ditempat keramat tersebut, bahkan kebanyakan para pengunjung tidak mengetahui sejarah dan asal usul tempat yang sudah masuk sebagai cagar budaya ini. Lazim orang Islam di Indonesia, terutama di tatar Sunda, setiap hari raya keagamaan selalu diperingati dengan pelbagai acara. Baik sendirian ataupun berbarengan orang Sunda yang beragam Islam manjang-berkesinambungan mengagungkan beragam kegiatan seperti lebaran, muludan, rebokasan, dan rajaban.
Begitu juga yang selalu dilaksanakan oleh penduduk Kelurahan  Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Saban tanggal 27 Rajab, berpusat di Masjid Jamie Assalam, warga Nanggewer merayakan rajaban atau malam renungan untuk menggali makna dan barokah dari peristiwa Isra Mi’raj Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Ritual rajaban, muludan, atawa rebokasan selalu dilaksanakan paling tidak sebagai pangéling-ngéling agar kita tidak lali ka temah wadi (jati diri), dalam melakoni kehidupan diharap bisa lebih teliti, hati-hati, semua gerak dan langkah berharap dalam kendali ridha Illahi.
Seperti yang disampaikan pendidik Pondok Pesantren Nurul Hidayah Bogor, Kiai Buqhori Muslim bahwa, kita jangan merasa bosan dalam merayakan rajaban, merasa sudah tahu semua, apalagi punya rasa sombong, hal demikian jangan sedikitpun terbesit dalam pikiran. Bisa jadi kita tahu peristiwa rajaban lebih karena kecakapan ulama dalam menjelaskan tentang kaislaman, hususna kejadian Isra-Mi’raj.
Sebab, sifat manusia tak luput dari salah dan lupa. Nah, perayaan rajaban merupakan salah satu cara agar kita selalu diingatkan akan pentingnya mencari, mengingat, dan melarapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Isra-Miraj.
Menurut pelbagai studi kepustakaan dan kelisanan peristiwa  Isra Mi’raj bukan hal yang mustahil. Bukan melulu karena keyakinan atawa kuatnya kadar keimanan seseorang. Malah memang mudah diterima oleh akal pikiran. Apalagi ruang dan waktu adalah bagian makhluk Al-Khaliq. Jadi, perjalanan Kanjeng Nabi Muhamm disertai Malaikat Jibril dari Masjid Haram ke Masjid Aqso, lalu terbang ke Sidratul Muntaha tidak memakan lama alias melebihi kecepatan kilat sekalipun
Dari peristiwa itu bakal menegaskan sikap kita, apakah iman kita menipis alias mungkir dari ajaran Nabi? Apakah iman kita kepada Allah SWT makin menebal?
Ketebalan iman seseorang dapat terlihat dari pelbagai hal. Sebab, bagi orang yang beriman dalam merayakan rajaban akan selalu mencari dan mendapatkan hikmah yang terkandung dalam peristiwa Isra-Mi’raj.
Salah satu hikmah Isra-Mi’raj yaitu kita diperintahkan oleh Alloh SWT agar mendirikan  shalat yang lima waktu téa. Pendirian shalat pada hakikatnya menguntungkan kita juga. Sebab, shalat yang baik akan menjadi benteng yang tangguh untuk memagari kita dai laku buruk di dunia.
Malah, konon, kualitas shalat juga yang menentukan kita mendapat keselamatan atau kecelakaan. Jika shalat kita baik, Insya Alloh, masa yang akan datang kita mendapat kebahagiaan. Sebaliknya, jika shalat kita buruk, tidak salah lagi, kita akan mendapat kenestapaan.

Tapi, shalat yang seperti bagaimana yang bakal menyelamatkan kita? Tiada lain, menurut pengasuh Pondok Pesantren Salafie Annidzom, Kiai Abdul Matin Hatta, shalat yang khusu adalah semua anggota badan dan batin fokus hanya menghadap Alloh SWT. Bukan shalat yang malaweung
Kiai Abdul Matin Hatta menegaskan, shalat yang malaweung alias bannyak melamun dan kurang konsentrasi tiada bedanya membohongi kita sendiri, malah membohongi Alloh SWT. Seperti apa shalat yang malaweung itu?
Begini, upamanya: raga kita yang di atas sajadah mah menghadap kiblat untuk menyembah Alloh SWT, tapi batin kita mah malah dibiarkan jalan-jalan ke pusat belanja atawa perkara keduniawian lainnya. Nah, shalat seperti itu yang menyebabkan kita mendapat duka na celaka.
Memang, bukan perkara mudah melakukan shalat yang khusu. Tentu saja, untuk meraih shalat yang khusu selain mesti terus dilatih dan diusahakan saban hari, juga membutuhkan ragam keilmuan tentang shalat yang mumpuni.
Kiai Abdul Matin Hatta memberi peringatan, yang getol shalat saja belum tentu diterima oleh Alloh SWT. Bagaimana keadiannya untuk insan yang malas-malasan menjalankan rukun Islam yang kedua? Atawa bagaimana nasib manusia yang tidak mau atau meremehkan shalat?
Dalam tataran ini kita mesti malu dengan ayam. Ayam? Kata Pendidik Pondok Pesantren Nurul Hidayah Leuwisadéng, Bogor, Kiai Khodamul Quddus, ayam sepanjang hayat di kandung badan tidak pernah masuk masjid, namun jika sudah mati oleh pemiliknya dibikin bakakak, lalu dibawa ke masjid dijadikann ambeng atawa hidangan untuk rajaban atawa muludan. Nah, manusia yang tidak mau ke masjid tidak beda dengan ayam, selagi hidup malas ke masjid, ketika sudah meninggal dunia oleh warga baru dimasukkan ke masjid untuk disolatkan.Rajaban saban tahun dirayakan di setiap masjid atawa majlis lainnya.
4. Ganti Sirap
Ganti Sirap merupakan upacara 4 tahunan (dilaksanakan setiap 4 tahun sekali) di makam kramat Ki Buyut Trusmi untuk mengganti atap makam yang menggunakan Sirap. Upacara ini biasanya dimeriahkan dengan pertunjukan wayang kulit dan terbang. Sirap adalah bahasa Cerbon yang atap.
5. Muludan
Muludan merupakan upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan Mulud (Maulud) di Makam Sunan Gunung Jati. Kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan /menyuci Pusaka Keraton yang dikenal dengan istilah ”Panjang Jimat”. Kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 8-12 Mulud. Sedangkan pusat kegiatannya berada di sekitar Kraton Kasepuhan. Menjelang hari perayaan kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, yang jatuh setiap tanggal 12 Rabiul Awal, (atau kalau dalam penanggalan Jawa jatuh pada bulan Mulud) di kota Cirebon biasa diadakan festival rakyat yang biasa disebut Muludan. Sebulan sebelumnya di alun-alun keraton Kasepuhan dan Kanoman dibuat lapak-lapak tempat orang berjualan pakaian, mainan dan makanan, menyediakan jasa ramal, menyediakan arena permainan anak, dll. Sama dengan acara Sekatenan yang biasa diadakan di Yogya dan Solo. Beberapa mainan tradisional masih dijajakan disini, mencoba bertahan dari gempuran teknologi di era Playstation, Game PC dan Game Online. Ada kapal "klothok" yang terbuat dari seng, dan untuk menjalankannya dipakai bahan bakar minyak tanah, mainan masak-masakan dari anyaman bambu, seng atau gerabah, atau topeng, boneka bouraq dan beberapa karakter wayang golek. Selain itu jajanan khas Cirebon tentunya juga banyak tersedia disini, hanya saja, dimusim Muludan seperti ini, biasanya mereka memasang harga sedikit lebih mahal dari biasanya. Jadi kalau mau cari empal gentong, docang, tahu gejrot, lengko yang sudah pasti rasa dan harganya, mending jangan beli disini deh...Disini rasanya STD banget, tapi harganya melebihi warung-warung biasa. Jika Muludan begini, biasanya penjual manisan, aneka dodol, arum manis, martabak dan tahu petis, banyak berjualan disini. Dari setiap penjuru pintu menuju alun-alun sudah berderet penjual makanan. mereka mencoba ikut ngalab berkah, setahun sekali, "Mrema-an" kalo kata orang Cirebon bilang. Ada juga penjual kerak telor, yang cukup banyak aku temui disini. Rombongan penjual kerak telor ini khusus datang dari Jakarta. Pantesan... biasanya aku hanya menemui satu-dua penjual, sekarang banyak sekali penjual kerak telor di berbagai sudut keramaian. Rupanya rombongan besar pedagang makanan khas Betawi ini juga ingin mencoba mengais rejeki di keramaian Muludan.

Lain lagi arena permainan anak-anak, dari mulai tong stand, ombak banyu, korsel, balon udara, kincir, istana hantu, kereta, mandi bola dan banyak lagi lainnya, juga ikut meramaikan festival rakyat ini. Untuk naik ke stand ini, pengunjung rata-rata ditarik bayaran Rp.5000,-. Dan mereka juga datang dari jauh, ada yang dari Klaten dan Demak - Jawa Tengah dan ada juga yang datang dari Blitar- Jawa Timur. Keramaian Muludan di Cirebon ini menarik mereka untuk datang dan mencari penghasilan disini.
Buat yang suka diramal, di beberapa sudut pasar rakyat ini ada juga penyedia jasa ramal. Di era seperti ini masih saja ada orang yang percaya pada urusan ramal-meramal ini. Yang jelas, festival rakyat begini masih dinanti oleh masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Tidak hanya karena even yang hanya datang setahun sekali ini sudah merupakan tradisi, tapi setidaknya mereka bisa mendapatkan hiburan yang cukup murah dan meriah. Acara festival rakyat ini nantinya akan ditutup dengan arak-arakan Panjang Jimat yang diadakan oleh Keraton. Pas malam habis isya di tanggal 12 bulan Mulud, Keraton Kasepuhan dan Kanoman biasanya menyiapkan segala tata cara upacara Panjang Jimat, dan mengaraknya dari Keraton menuju makam Sunan Gunung Jati (Astana Gunung Jati)di Gunung Sembung.
seperti halnya keraton-keraton lain yang ada di pulau Jawa, tiga Keraton, yaitu Kasepuhan , Kanoman, Kacirebonan pada tepat tgl 12 Mulud pun diadakan prosesi Grebeg Mulud yaitu acara Panjang Jimat. suasana panjang jimat sendiri adalah menceritakan proses nabi Muhamad semenjak masih dalam kandungan hingga kelahirannya yang di ceritakan lewat symbol-simbol. Prosesi Panjang Djimat sendiri baru dimulai pada jam 9 malam yang diawali dari Keraton yang nantinya diiringi iring-ringan yang membawa Panjang Djimat dan beberapa pusaka dari Bangsal Agung Panembahan ke Langgar Agung. di langgar agung sebelum rombongan iring-iringan yang membawa Panjang Jimat kembali ke Bangsal Agung, terlebih dahulu diadakan acara pembagian sega rosul untuk masyarkat yang konon mengandung barokah. sega rosul sendiri diyakini masyarakat sebagai sega (nasi) yang mengandung barokah karena bahan bakunya dihasilkan dengan cara alami yaitu dari gabah disisil (membuka kulit gabah dengan menggunakan tangan dan mulut) oleh perawan sunti. Panjang Djimat sendiri berupa piring lodor besar buatan china yang berdekorasi Kalimat Syahadat bertulisakan huruf Arab yang diyakini dibawa langsung oleh Sunan Gunung Djati. Sebanarnya acara panajng djimat ini sendiri hanya mengingatkan kita bahwa Panjang Djimat berarti; Panjang berarti dawa (panjang) tak berujung, Djimat berarti Si (ji) kang diru (mat). Artinya tulisan Syahadat yang tertulis di piring tersebut supaya selalu kita pegang selamanya sebagai umat muslim hingga akhir hayat. dalam iring-iringan yang melambangkan proses kelahiran Muhammad itu terbagi dalam 19 golongan pentingorang pertama dalam rombongan berjalan didepan dengan sebatang lilin menyala yang diikuti oleh orang kedua yang juga menggenggam sebatang lilin menyala. kedua orang ini menggambarkan sosok paman dan kakek nabi Muhammad yaitu Abu Thalib dan Abdul Muthalib ketika mengantar Siti Amina ke dukun beranak. Selanjutnya ada salah satu grup pria yang membawa dekorasi yang di sebut Manggaran, Nagan dan Jantungan yang melambangkan kebaikan Abdul Al-Muthalib, Seorang wanita membawa Bokor Kuningan yang terisi dengan koin-koin didalamnya yang melambangkan sifat ibu Rasul, selanjutnya diikuti seorang wanita yang membawa nampan yang terdiri dari botol berisi Lenga Mawar (distilasi bunga mawar) yang melambangkan Air Ketuban. Sebuah nampan yangh terdiri dari kembaang Goyah, Obat tradisonal melambangkan Plasenta. Penghulu Keraton bertindak seolah-olah memotong ari-ari.

Selanjutnya dan adalah inti dari prosesi ini yaitu prosesi yang terbagi menjadi 12 acara yang melambangkan 12 Rabiul Awal dimana kelahiran nabi Muhammad yang lahir ke dunia untuk menyebarkan dua kalimat syahadat. ini dia rinciannya :

pertama-tama adalah dua orang pria yang disebut abdi masjid agung yang berjalan beriringan sambil membawa piring. piring-piring itu yang melambangkan dua kalimat Syahadat yang terdiri dari tujuh angka penting. Kalimah Syahadat membawa setiap orang untuk menuntun ke tujuh tingkatan atau di Cirebon dikenal dengan Martabat Pitu yang merupakan doktrin dari tarek Syattariyah.

setelah dua orang di depan yang membawa piring, kemudian diikuti oleh dua orang pria lagi yang membawa sejenis termos berisi bir. termos melambangkan wadah untuk menampung darah selama proses kelahiran sedangkan bir sendiri melambangkan sebagai darah / kotoran yang keluar selama proses kelahiran. kemudian seorang pria membawa pendil yang berisi sega wuduk (Nasi Uduk) yang melambangkan betapa susahnya melahirkan. selanjutnya dibelakang orang yang membawa nasi uduk tadi berjalan pula seorang pria yang membawa nasi Jeneng, tumpeng, dan bekakak ayam sebagai symbol syukur atas lahirnya bayi dengan selamat.

Tiga bagian terakhir sebagai penutup dari segala prosesi adalah iring-iringan rombongan yang membawa capon (bakul) yang melambangkan 4 sifat nabi Muhammad yatu sidiq (cerdas), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), Fathonah (pintar) dan 4 sifat yang tidak dimiliki oleh nabi yaitu Kidzib, Khianat, Kitman dan Baladah.

iring-iringan berikutnya terdiri dari rombongan yang membawa 4 tenong (sejenis wadah besar bundar yang terbuat dari anyaman bambu) yang melambangkan 4 sahabat nabi yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.

Dan iring-iringan terakhir terdiri dari beberapa orang yang memanggul 4 dongdang (sebuah wadah yang menyerupai keranda yang diusung oleh 2 orang dengan cara dipanggul di masing-masing ujungnya) yang melambangkan empat mazhab besar islam yaitu Maliki, Syafi'I, Hanafi dan Hanbali.

setelah empat dongdang ini maka berakhirlah prosesi ini........
6. Salawean Trusmi
Selawean Trusmi merupakan salah satu kegiatan ziarah yang dilaksanakan di Makam Ki Buyut Trusmi. Dalam ziarah, biasanya diisi dengan tahlilan di makam Ki Buyut Trusmi. Selawean (bahasa Cerbon) berarti dua puluh lima, oleh karena itu kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 25 bulanMulud.
7. Nadran
Nadran atau pesta laut, sesuai dengan namanya, dilaksanakan oleh masyarakat nelayan sebagai upacara terima kasih kepada Sang Pencipta (Allah SWT) yang telah memberikan rezeki dengan tujuan untuk mengharapkan keselamatan. Upacara Nadran dilaksanakan hampir sepanjang pantai (tempat berlabuh para nelayan) dengan kegiatan yang sangat bervariasi. Upacara ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali.
Di Cirebon, tiap tahun diselenggarakan acara nadran (pesta laut). Wujud dari rasa syukur warganya atas berkah/hasil laut yang didapat selama setahun. Nah, menjelang tradisi nadran diselenggarakan karnaval yang menampilkan Ratusan replika berbagai bentuk memeriahkan kegiatan tersebut. Replika-replika yang akan diarak tersebut merupakan hasil karya masyarakat dari sejumlah kecamatan seperti Kecamatan Gunung jati, Kapetakan, Mundu, Gegesik, Tengah Tani, Suranenggala dan lainnya.
Karnaval melalui rute Makam Sunan Gunung Jati sampai di Krucuk (depan Gedung Negara). Tentunya melewati depan kompleks PERTAMINA. Karnaval tersebut melumpuhkan arus lalu lintas Cirebon - Indramayu sepanjang Jumat  siang sekitar pukul 14.00 hingga 18.00 WIB. Ribuan warga dari berbagai desa penasaran ingin menyaksikan jalannya acara pra nadran yang baru digelar Sabtu Sejak pukul 13.00 WIB warga dari sejumlah kecamatan asal Kabupatean dan Kota Cirebon berdatangan ke kompleks kramat Astana Gunungjati dan sepanjang pinggiran jalan Desa Astana hingga Desa Klayan yang menjadi rute arak-arakan yang diikuti berbagai desa dari sejumlah kecamatan tersebut.Membludaknya pengunjung yang kebetulan saat itu tidak turun hujan mengakibatkan arus lalu lintasa dari arah Kota Cirebon menuju Indramayu dan sebaliknya lumpuh total selama beberapa jam. Masyarakat berdesakan ingin menyaksikan karnaval berbagai replika berbentuk binatang buas, kendaraan hingga tokoh kartun.Setiap tahun sejumlah desa mempersiapkan untuk disertakan dalam karnaval. “Arak-arakan ini sebagai pembuka tradisi nadran yang telah berlangsung bertahun-tahun, bahkan sejak zaman leluhur”, ura teman-teman yang asli Cirebon.Pada malam harinya diadakan pertunjukkan kesenian rakyat seperti wayang kulit, wayang golek dan lainnya. Sedangkan pada Sabtunya diadakan acara nadran dan sedekah bumi. Acara tersebut sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat nelayan dan petani kepada Tuhan yang telah memberikan rejeki lewat hasil tangkapan ikan dan hasil bumi.
Waktu penyelenggaraan karnaval setiap tahun tetap berlangsung bakda Jumat dan biasanya menjelang musim tanam hingga masyarakat gampang mengingatnya.
Sejarah Tradisi Nadran Masyarakat Cirebon dan Desa Mertasinga
1. Tradisi Nadran Pra Islam
Berdasarkan buku penelitian Dr. Heriyani Agustina, Kepel Press-2009 diceritakan tentang buku “Negara Kertabumi” karya Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani (Penasehat Budaya Cirebon) disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran adalah berawal pada tahun 410 M, dimana Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan Tarumanegara yang terletak di dekat sungai Citarum yang mengalir dari Bandung ke Indramayu, memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu ( yang sekarang Kec. Talun, Kab. Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang bertujuan untuk menduplikat Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai lebih kuat, dibuatlah prasastinya tangan sang Prabu Purnawarman yang sekarang belum ditemukan, serta sang Prabu memberikan hadiah-hadiah untuk Brahmana 500 ekor sapi, pakaian-pakaian dan satu ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu Santanu). Duplikat Sungai Gangga tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai yang dimaksud adalah sungai Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara adalah perbatasan antara sungai dan laut). Sungai tersebut sekarang adalah sungai Kriyan, terletak di belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon. Mandi suci di sungai Gangganadi dilakukan setahun sekali, sebagai acara ritual untuk menghilangkan kesialan dan sebagai sarana mempersatukan rakyat dan pemujaan kepada sang pencipta.( Sumber Kartani dan Kaenudin)

Sebetulnya tradisi Nadran bukanlah tradisi asli daerah Cirebon apalagi masyarakat Desa Mertasinga, karena tradisi ini banyak juga ditemukan dibeberapa daerah lain dengan nama yang berbeda, seperti di Jawa Tengah dikenal dengan tradisi Labuhan, karena ada beberapa kepercayaan bahwa apabila mereka tidak melakukan sedekah ini, mereka berkeyakinan bahwa Dewa Baruna akan murka dan segera mengirim bencana melalui dewa petir, Dewa Halilintar dan Dewa Angin yang mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut. Akhirnya tidak dapat mencari ikan sebagai sumber kehidupan utama.
Penggunaan daging kerbau sebagai persembahan dan bukanya daging sapi, dikarenakan daging kerbau lebih banyak, juga ada kemungkinan sapi merupakan hewan yang dianggap suci dalam agama Hindu, sehingga harus dipelihara dan tidak boleh dibunuh. Selain itu juga sapi dianggap jelmaan dari dewa.

Selain melarung ritual lainnya adalah pembacaan mantra-mantra sambil membakar dupa atau kemenyan yang bertujuan memohon keselamatan kepada para Dewa Laut. Mantra juga berfungsi untuk memanggil arwah para leluhur yang telah ikut menjaga keselamatan mereka dalam mencari rejeki di laut. Kesan magis pada asap dupa dan kemenyan bertujuan untuk ketenangan sekaligus permohonan kehadirat Yang Maha Kuasa, agar permohonan mereka lebih cepat sampai ke hadapan Tuhan serta cepat dikabulkan segala permohonan atau permintaannya.

Dalam rangkaian tradisi Nadran juga di tampilkan hiburan Wayang yang merupakan kesenian dari Hinduisme dan animisme, yang dapat diperankan seperti tokoh Mahabarata dan Ramayana. Pertunjukan lain dari wayang yang sangat kental dengan Hinduisme dan animismenya adalah wayang dengan lakon Wudug Basuh, yang menceritkan tentang pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) oleh para Dewa, dengan cara mengaduk air laut menggunakan ekor naga Basuki. Tirta Amerta diperlukan untuk mengurapi para Dewa agar mereka terhindar dari kematian, tapi mereka tidak dapat terhindar dari sakit. Oleh karena itu, masing-masing-masing dewa diberi tempat dikayangan Suralaya. Namun demikian ada kelanjutannya, air laut yang diaduk oleh para dewa tersebut mengakibatkan mahluk laut terganggu, lalu bermuculan ke daratan sambil membawah wabah penyakit wudug, budug (bisul), penyakit-penyakit lainnya. untuk mengatasi wabah ini para Dewa meminta bantuan pada Sanghiyang Baruna untuk menentramkan mahluk laut supaya tidak mengganggu penghuni daratan. Sangyang Baruna melantunkan jampa mantra di baskom air kembang, lalu air kembang yang telah diberi mantra disiramkan pada layar perahu nelayan (Prawiraredja,2005:164).

Meskipun Nadran bernuansa magis dan animisme, masyarakat primitif pada waktu itu telaah memiliki kesadaran mistik terhadap keberadaan penguasa alam semesta, disertai rasa terima kasih dan bermohon kepada Yang Maha Kuasa suapaya diberi kebaikan dan keselamatan.

2. Tradisi Nadran setelah kedatangan Islam             
Tradisi-tradisi Nadran setelah kedatangan Islam tidak lagi dimaknai sebagai sebuah persembahan kepada Sanghyang Jagat Batara (Penguasa Alam Semesta), akan tetapi lebih dimaknai sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas karunia yang diberikan-Nya kepada para nelayan, baik itu karunia kesehatan, kekuatan maupun hasil tangkapan ikan yang berlimpah. Mantra-mantra yang dibacakan dalam prosesi Nadran diganti dengan pembacaan do’a-do’a yang dipimpin oleh seorang ulama. Lauk pauk hasil bumi yang diikutsertakan dalam upacara ini dibagi-bagikan kepada penduduk desa dangan simbolisasi pembagian berkah. (Dasuki,1979:1011).

Pelarungan kepala kerbau ke laut tetap dilakukan, tapi tidak lagi dimaknai sebagai persembahan kepada Dewa Baruna pelarungan ini lebih bersimbol pada membuang kesialan, sekaligus untuk mengingat bahwa laut merupakan sumber kehidupan bagi para nelayan, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan.
Nuansa keislaman juga nampak dalam pementasan seni wayang dan tari. Wayang yang dipertunjukan adalah wayang Golek Cepak dan wayang kulit Dakwah (sebelumnya wayang dibuat dari gulungan kain yang bergambar lalu diubah menjadi wayang kulit yang berasal dari kulit kerbau atau lembu ) yang merupakan asli Cirebon yang alur ceritanya diambil dari Babad Cirebon, Babad Walisanga dan Babad Ambiya, yang menggambarkan sejarah Islamisasi di tanah Jawa yang dilakukan para Wali, beserta cerita perjuangan Rasullah SAW dan sahabat-sahabatnya dalam menegakkan syariat Islam.
Pagelaran wayang semalam suntuk dalam tradisi Nadran bukan hanya untuk bergadang, akan tetapi masyarakat mendapatkan penyuluhan dan pembekalan rohani. Pagelaran ini diistilahkan dengan tabarukan, yaitu mencari keberkahan atas syukur yang mendalam, dengan membuang kebiasaan-kebiasaan buruk dan menggantinya dengan nilai-nilai positif (Dahuri,2004:218)

3. Tradisi Nadran Dewasa ini
Proses pelaksanaan tradisi Nadran di kali Bondet berdasarkan cerita masyarakat setempat dari dulu hingga sekarang adalah sama dan hampir tidak ada perubahan berarti kalaupun ada hanya proses kelengkapan hiburan yang kadang disesuaikan dengan tingkat kemampuan para nelayan atau tengkulak, dan berdasarkan fakta dilapangan disetiap tahunnya hampir hampir seluruh warga masyarakat khusunya yang berdekatan dengan kali Bondet turut memeriahkan tradisi ini dengan mengelar berbagai hiburan tambahan selain hiburan utama, bahkan para pedagang pun tak ketinggalan dari pintu masuk jalan raya sampai ke pusat kegiatan (biasanya di TPI KUD Mina Waluya Desa Bondet) disesaki berbagai macam para pedagang dan hiburan tambahan lainnya seperti permainan modern.

Menurut Dr. Heriyani Agustina, bahwa dalam kontek kekinian, Nadran terkadang lebih terlihat sebagai upaya pelestarian tradisi, dan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Ia sering kehilangan ruhnya, ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang telah mulai meninggalkan pesan-pesan moral para pendahulunya, terutama tokoh-tokoh Islam dan para pendiri Cirebon yang tersirat melalui simbol-simbol tradisi. Bahkan ketika menampilkan lakon para sufi atau para wali dalam pagelaran wayang sebagai media pengajaran masyarakat supaya hidup sederhana dan selalu memperhatikan kaum yang lemah.. sebaliknya justru Nadran malah dijadikan sarana untuk berfoya-foya dengan tidak menghiraukan pendekatan kaum yang lemah. Bahkan sekarang ada kecenderungan bahwa pesta tradisi Nadran lebih banyak dalam bentuk campur sari dan dangdutan, yang terkadang malah ada yang mengarah kepada kemaksiatan.

Kalau dicermati secara rinci dari sisi ekonomi, bahwa tradisi Nadran yang dilaksanakan oleh masyarakat Nalayan kali Bondet, sebenarnya sangat menguntungkan bagi masyarakat maupun daerah, hal ini dikarenakan kegiatan nadran ini sangat menarik para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Bahkan lewat tradisi ini kadang masyarakat Desa Mertasinga juga diuntungkan dari para wisatawan yang kadang juga turut bertransaksi ekonomi lainnya disamping menikmati hiburan-hiburan yang sedang ditampilkan

PENUTUP

A. Kesimpulan

Desa Mertasinga merupakan bagian dari Wilayah Kec. Gunung Jati Kabupaten Cirebon, banyak sejarah yang telah ditorehkan di desa ini mengingat desa Mertasinga mempunyai jalur tranfortasi air berupa kali Bondet yang dari dulu hingga sekarang cukup ramai dan sangat berperan disegala sendi kehidupan masyarakat sekitarnya. Masyarakat Desa Mertasinga, merupakan masyarakat yang berbudaya, karena banyak tradisi lokal yang sampai sekarang masih dipertahankan, seperti melakukan doa tahlil bersama di tempat Lawang Gede serta pelaksanaan Tradisi Nadran yang perayaannya memakan waktu berhari-hari, dimana tradisi ini merupakan upacara tradisi kelautan yang dihiasi dan dilatarbelakangi semangat penyerapan nilai-nilai Islami.

Tradisi Nadran dimaknai sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menjadikan laut sebagai tempat mencari nafkah bagi mereka, dengan keleluasaan yang tanpa batas dan tidak henti-hentinya memberikan rejeki. Tradisi Nadran merupakan tradisi yang sakral dan bahkan komersial, karena dalam pelaksanaannya sudah pasti memakan biaya besar hanya demi mempertahankan tradisi. namun demikian nadran apabila tidak dipengaruhi berbagai kepentingan politik dan ekonomi atau campur tangan pihak lain, ia adalah upacara tanpa pamrih duniawi.

Apabila dicermati lebih lanjut, tradisi Nadran memiliki nilai-nilai yang sangat ideal, namun nilai-nilai tersebut belum sepenuhnya diimplikasikan dalam kehidupan dilapangan. Nadran memiliki dimensi yang sangat luas, namun masih sebatas dimensi kultural atau tradisi saja dan belum menyentuh dimensi kearifan budaya lokal dan tradisinya memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan hukum positif nasional. Nadran juga berguna dalam memperkaya konsepsi dan tujuan pembangunan nasional berbasis kelautan.

B. Saran

Dalam makalah ini penyusun membatasi diri dalam hal penggalian lebih dalam terhadap berbagai landasan-landasan secara filosofis atau kajian-kajian keilmuan lainnya namun hanya menjabarkan Tradisi Nadran secara umum saja, mengingat makalah ini hanya sebatas perwujudan rasa penasaran terhadap pengenalan dan penelusuran tentang Tradisi Nadran di Desa Mertasinga yang setiap tahunya dilaksanakan di Sungai Bondet setiap tanggal 1 Syuro atau bertepatan dengan Hari Jadi Kab. Cirebon, mungkin kedepan makalah ini akan menjadi bahan dasar kami untuk melakukan penelitian atau kajian-kajian lainnya yang tentunya dengan materi kajian yang berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh para pengkaji atau peneliti lainnya.

Satu hal yang harus kita ketahui bersama adalah bahwa persoalan yang sekarang dihadapi oleh para nelayan begitu konflek maka diperlukan peran semua unsur dan elemen bangsa ini untuk mencari solusi bagi kesejahteraan nelayan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan. hal yang lebih penting juga bahwa tradisi Nadran dapat dijadikan sebagai nilai etika dan agama (asas-asas akhlak) yang manjadi faktor penentu agar tradisi Nadran kembali pada kesakralan, sekaligus menjadi landasan spritual bagi terbentuknya kode etik dan konvensi pesisir dan kelautan Cirebon.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar