Rabu, 06 Juni 2012

Berto Pramadya-44231070 Dayak Indramayu




Asal Mula Dayak Ada di Indramayu
Awal mula dari suku Dayak Indramayu adalah suatu perkumpulan yang bernama Jaka Utama yang terbentuk diawal dekade 1970-an. Perkumpulan ini merupakan sebuah pergerakan masyarakat yang dipimpin oleh ki Takmad dengan tujuan memperbaiki moral masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan. Selama memimpin pergerakan tersebut, ki Takmad terus melakukan kontemplasi serta pengkajian terhadap berbagai problema yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan ki Takmad dipandang sebagai seorang spiritualis baik oleh pengikutnya maupun masyarakat luas. Bahkan ada yang mencibir ki Takmad sebagai dukun.
Buah dari berbagai permenungan yang dilakukannya, ki Takmad pun berniat membentuk suatu komunitas yang bertujuan mengajarkan kebenaran hakiki kepada masyarakat. Namun metode pengajarannya bukanlah dengan doktrinasi, melainkan konkretisasi melalui perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Maka, Takmad beserta para pengikutnya dalam Jaka Utama pun meleburkan diri dalam komunitas yang kini dikenal dengan nama Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu dengan ajaran “Sejarah Alam Ngaji Rasa”  sebagai pedoman hidup para pengikutnya. Bila ditinjau lebih jauh, ajaran Sejarah Alam merupakan kombinasi dari kearifan lokal Jawa (Kejawen) serta hasil kontemplasi ki Takmad sebagai seorang spiritualis
Pada tahap selanjutnya, sang guru mulai mengajarkan apa yang dia temui kepada beberapa orang yang tertarik, hingga lama-kelamaan terciptalah sebuah komunitas yang sangat menghormati apa yang diajarkan oleh sang guru. Komunitas ini semakin dikenal oleh masyarakat luar, bahkan mulai menarik perhatian dari pemerintahaan kala itu. Dengan menuai pro dan kontra, komunitas ini tetap ada dan melakukan aktivitas seperti biasa, entah sampai kapan.
Mengenai adanya pembelaan dari beberapa budayawan Indramayu yang mengatakan, bahwa Dayak Bumi Segandu bukanlah sebuah agama atau aliran kepercayaan, bahkan dengan tegas mengatakan bahwa mereka pun beragama, namun seperti masyarakat muslim yang tidak melaksanakan sholat. Sungguh sebuah perumpamaan yang picik kalau tidak mau dikatakan sebuah perumpaan yang mengada-ada. Kita tidak bisa menyamakan aktivitas Dayak Bumi Segandu dengan orang muslim yang tidak sholat, saya tidak akan menjelaskan secara detail, mungkin pembaca sudah bisa memahami hal tersebut.
Silahkan setiap pihak berfikir jernih. Pemerintah harus tegas dalam hal ini, sebelum masalah ini berlarut-larut, harus ada sebuah tindakan signifikan dari pemerintah, jangan sampai hal ini menjadi sebuah konflik bagi masyarakat Indramayu, masih banyak pekerjaan berat menanti didepan demi mamajukan Indramayu.
Suku Dayak tidak hanya tinggal di Kalimantan. Di Indramayu, Jawa Barat terdapat komunitas yang menyebut dirinya suku Dayak. Komunitas Dayak Indramayu ini memiliki cara khusus untuk melatih warganya mengendalikan diri yaitu dengan berendam di parit semalam suntuk hingga 30 malam.
Inilah komunitas Dayak, Hindu, Budha, Bumi Segandung atau lebih dikenal dengan Dayak Indramayu. Meski memakai nama dan berpenampilan mirip Dayak, namun mereka tak memiliki hubungan dengan suku Dayak di Kalimantan. Seluruh anggotanya adalah suku Jawa yang bermukim di Desa Krimun Kecamatan Losarang, Indramayu.
Pada malam - malam tertentu seperti Jum'at Kliwon seluruh anggota berkumpul di pendopo. Mereka menyanyikan kidung - kidung pujian kepada alam dan Sang Pencipta. Seluruh kidung bersumber dari ajaran kitab suci mereka yang ditulis oleh Takmatdinigrat, pendiri sekaligus ketua adat.
Ritual yang disebut kungkung ini dilakukan semalam suntuk. Selama berendam mereka dianjurkan untuk merenungi kebesaran Sang Pencipta. Ritual ini bertujuan untuk menciptakan kesabaran kendati dalam keadaan yang sulit.

Ritual ini dilakukan selama 30 malam berturut - turut. Namun tidak seluruh anggota Dayak Indramayu mampu menjalankannya. Bagi yang mampu status sosialnya dianggap lebih tinggi. Dalam kesehariannya 400 anggota Dayak Indramayu memilih menjadi vegetarian dan bekerja sebagai petani
.

“Suku Dayak Indramayu” hidup di tengah-tengah masyarakat sekitarnya, akan tetapi dalam beberapa hal, mereka mengisolasikan diri dari lingkungan masyarakatnya. Misalnya untuk tempat tinggal dan tempat peribadatan (ritual) mereka, dibentengi dengan dinding yang cukup tinggi dan diberi ornament lukisan-lukisan. Di dalam benteng ini terdapat beberpa bangunan yang terdiri atas: rumah pemimpin suku, pendopo, pesarean, pesanggaran, dan sebuah bangunan rumah tinggal salah satu pemimpin suku.

Benteng yang mengelilingi padepokan
Beberapa bangunan, yaitu rumah pemimpin suku dan pesarean sudah merupakan bangunan permanent, berdinding tembok, berlantai keramik, dan beratap genteng. Gedung pendopo berdinding semi permanent, yaitu dinding bagian bawah berupa tembok dan duduk jendela/setengah badan ke atas menggunakan papan yang dilapis bilik, berlantai keramik, dan beratap genteng. Sementara itu, bangunan pesanggaran adalah bangunan non-permanen, berlantai tanah, beratap sirap dan dindingnya dibuat dari papan dan bilik.

Lingkungan alam di sekitarnya adalah lingkungan pertanian sawah dan palawija. Oleh sebab itu, mereka dalam kesehariannya bermata pencaharian sebagai buruh tani. Data tentang deskripsi kehidupan mereka diperoleh melalui wawancara dengan ketua Suku Dayak Hindu Budha.


Konsep-konsep Ajaran Sejarah Alam Ngaji Rasa.
Ajaran dari kelompok “Dayak Indramayu” dinamakan dengan sebutan “Sejarah Alam Ngaji Rasa”. Menururt penjelasan salah seorang pengikut senior dari Pak Takmad, “Sejarah” adalah perjalanan hidup (awal, tengah, dan akhir) berdasarkan ucapan dan kenyataan. Sementara itu, “alam” adalah ruang lingkup kehidupan atau sebagai wadah kehidupan.

Adapun “Ngaji rasa” adalah tatacara atau pola hidup manusia yang didasari dengan adanya rasa yang sepuas mungkin harus dikaji melalui kajian antara salah dan benar, dan dikaji berdasarkan ucapan dan kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa menyatu dan agar bisa menghasilkan sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa memandang ciri hidup, karena pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan benar belum tentu benarnya. “Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa dangan prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri antara salah dengan benarnya, dengan proses ujian mengabdikan diri kepada anak dan istri”, ungkapnya.

Konsep-konsep ajaran ini tidak didasarkan pada kitab suci, aliran kepercayaan, agam maupun akar budaya tertentu. Mereka berusaha mencari pemurnian dari dengan mengambil teladan sikap dan perilaku tikoh pewayangan Semar dan Pandawa Lima yang dianggapnya sangat bertanggungjawab terhadap kelaurga.


Pada awalnya, setiap manusia wedi-wedian (takut, penakut) baik terhdap alam maupun lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, manusia harus mengembangkan perasaan sabar dan sumerah diri dalam arti berusaha selaras dengan alam tanpa merusak alam. Prinsipnya adalah jangan merusak alam apabila tidak ingin terkena murka alam. Itulah yang disebut ngaji rasa atau ngadirasa. Setelah bersatu dan selaras dengan alam, dalam arti mengenal sifat-sifat alam sehingga bisa hidup dengan tenteram dan tenang karena mendapat lindungan dari Nur Alam (pencipta alam), manusia akan memahami benar-salam dan selanjutnya dengan mudah akan mecapai permurnian diri; manusia tidak lagi memiliki kehendak duniawi.

Ngajisara, ajaran yang diakui sebagai jalan menuju pemurnian diri, mendidik setiap pengikutnya untuk mengendalikan diri dari “TIGA TA (harta, tahta dan wanita).

Bagi para pengikut yang telah menikah, suami harus sepenuhnya mengabdikan diri pada keluarga. Suami tidak boleh menghardik, memarahi, atau berlaku kasar terhadap anak dan istrinya. Oleh karena itu, perceraian merupakan sesuatu yang dianggap pantang terjadi. Demikian juga, hubungan di,luar pernikahan sangat ditentang. “Jangan coba-coba berzinah apabila tidak ingin terkena kutuk sang guru,” demikian salah seorang pengikut Pak Talmad mengungkapkan.

Ngaji rasa juga mengajarkan untuk saling mengasihi kepada sesama umat manusia. Misalnya, menolong orang yang sedang kesulitan walaupun berbeda kepercayaan, tidak menagih utang kepada orang yang diberi pinjaman. Yang terbaik adalah membiarkan orang yang berutang tersebut untuk membayar atas kesadarannya sendiri. Demikian juga dalam hal mendidik anak, sebaiknya tidak terlalu banyak ngatur karena yang bisa mengubah sikap dan perilaku adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Jalan menuju pemurnian diri juga ditunjukan dengan hidup yang sederhana,


Ritual
Ritual yang dijalankan oleh anggota Suku Dayak Hindu-Budha Segandu Indramayu, dilakukan pada setiap malam Jum’at kliwon, bertempat di pendopo Nyi Ratu kembang. Beberapa puluh orang laki-laki bertelanjang dada dan bercelana putih hitam, duduk mengelilingi sebuah kolam kecil di dalam pendopo. Sementara itu,kaum perempuan duduk berselonjor diluar pendopo.

Ritual diawali dengan melantunkan Kidung Alas Turi dan Pujian Alam secara bersama-sama. Salah satu baik dari Pujian Alam, berbunyi sebagai berikut: ana kita ana sira, wijile kita cukule sira, jumlae hana pira, hana lima, ana ne ning awake sira. Rohbana ya rohbana 2x, robahna batin kita. Ning dunya sabarana, benerana, jujurana, nerimana, uripana, warasana, sukulana, penanan, bagusana [ada (pada) saya ada (pada) kamu, lahirnya aku tumbuhnya kamu, jumlahnya ada berapa, jumlahnya ada lima. Adanya di badan kita, Rohbana ya rohbana 2x, rubahnya bathin kita. Di dunia sabar, benar, jujur, nerima, hidup, sembuh (sadar), tumbuh, dirawat, (supaya) bagus].

Selesai melantunkan Kidung dan Pujian Alam, pemimpin kelompok, Takmad Diningrat, membeberkan cerita pewayangan tentang kisah Pandawa Lima dan guru spiritual mereka, Semar. Usai paparan wayang, Pak Takmad memberikan petuah-petuah kepada para pengikutnya. Paparan wayang dan petuah ini berlangsung hingga tengah malam. Usai itu, para lelaki menuju ke sungai yang terletak di belakang benteng padepokan. Di sungai dangkal itu mereka berendam dalam posisi telantang, yang muncul hanya bagian mukanya saja. Mereka berendam hingga matahari terbit. Ritual beremdam ini disebut kungkum.

Siang harinya, di saat sinar matahari sedang terik, mereka berjemur diri, yang berlangsung mulai sekitar jam 9 hingga tengah hari. Ritual ini disebut pepe.

Medar (menceritakan) cerita pewayangan, kungkum (berendam), pepe (berjemur) dan melantunkan Kidung dan Pujian Alam, adalah kegiatan ritual mereka yang dilakukan setiap anggota ini sehari-hari. Kegiatan secara massal hanya dilakukan pada setiap malam jum’at kliwon.

Ritual-ritual ini pada dasarnya adalah sebagai upaya menyatukan diri dengan alam, serta cara mereka melatih kesabaran. Semua ini dilakukan tanpa ada paksaan. “Bagi yang mampu silahkan melakukannya, tapi bagi yang tidak mampu, tidak perlu melakukan, atau lakukan semampunya saja,” ungkapnya.

Posisi kaum wanita yang terhormat dalam komunitas ini juga terlihat dari konsep kepercayaan yang dianut oleh suku Dayak Indramayu, “Sejarah Alam Ngaji Rasa”. Dalam kepercayaan tersebut, sosok Tuhan atau zat yang memberi kehidupan bagi manusia dipersonifikasikan dengan figur wanita. Mereka menamakannya Nyi Dewi Ratu.  Aplikasi keberagamaan komunitas pimpinan ki Takmad ini diwujudkan dengan memperlakukan istri atau kaum wanita dengan penuh kasih. Pengkhianatan, kekerasan serta kebohongan yang ditujukan pada istri (wanita) dilarang keras dan merupakan dosa besar.
Dalam konsepsi ajaran Sejarah Alam Ngaji Rasa, Nyi Dewi Ratu adalah sumber kebenaran hidup. Oleh karenanya, sang dewi harus dipuja dengan cara  “ngajirasa” atau  melakukan berbagai lelaku atau amalan. Amalan yang paling utama adalah kasih sayang dan kesetiaan kepada istri.

sumber: 
wiralodra.com
indosiar.com
bedikari online
semua dengan editan yang berlaku.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar