Minggu, 10 Juni 2012

Ujian Tengah Semester (Part 4)
Folklore Bukan Lisan
Nama  : Drieka Kesuma Putri
No.reg : 4423107033

Rumah Joglo

 

Joglo adalah rumah adat masyarakat Jawa. Terdiri dari 2 bagian utama yakni pendapa dan dalam. Bagian pendapa adalah bagian depan Joglo yang mempunyai ruangan luas tanpa sekat-sekat, biasanya digunakan untuk menerima tamu atau ruang bermain anak dan tempat bersantai keluarga. Bagian dalam adalah bagian dalam rumah yang berupa ruangan kamar, ruang kamar dan ruangan lainnya yang bersifat lebih privasi. Ciri-ciri bangunan adalah pada bagian atap pendapanya yang menjulang tinggi seperti gunung.
Tak hanya megah, indah, sarat makna dan nilai-nilai sosiokultural, arsitektur bangunan joglo juga dapat meredam gempa. Bagaimana desainnya?
Sebuah bangunan joglo yang menimbulkan interpretasi arsitektur Jawa mencerminkan ketenangan, hadir di antara bangunan- bangunan yang beraneka ragam. Interpretasi ini memiliki ciri pemakaian konstruksi atap yang kokoh dan bentuk lengkung-lengkungan di ruang per ruang.
Rumah adat joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan tradisional.
Berdasarkan bentuk keseluruhan tampilan dan bentuk kerangka, bangunan joglo dapat dibedakan menjadi 4 bagian :
  • Muda (Nom) : Joglo yang bentuk tampilannya cenderung memanjang dan meninggi (melar).
  • Tua (Tuwa) : Joglo yang bentuk tampilannya cenderung pendek (tidak memanjang) dan atapnya tidak tegak / cenderung rebah (nadhah).
  • Laki-laki (lanangan) : Joglo yang terlihat kokoh karena rangkanya relatif tebal.
  • Perempuan (wadon / padaringan kebak) : Joglo yang rangkanya relatif tipis / pipih.
·         Di bagian tengah pendapa terdapat empat tiang utama yang dinamakan sakaguru. Ukurannya harus lebih tinggi dan lebih besar dari tiang-tiang / saka-saka yang lain. Di kedua ujung tiang-tiang ini terdapat ornamen / ukiran.
·         Bagian atas sakaguru saling dihubungkan oleh penyambung / penghubung yang dinamakan tumpang dan sunduk. Posisi tumpang di atas sunduk.
·         Dalam bahasa Jawa, kata “sunduk” itu sendiri berarti “penusuk”.
·         Di bagian paling atas tiang sakaguru inilah biasanya terdapat beberapa lapisan balok kayu yang membentuk lingkaran-lingkaran bertingkat yang melebar ke arah luar dan dalam. Pelebaran ke bagian luar ini dinamakan elar. Elar dalam bahasa Jawa berarti ‘sayap,. Sedangkan pelebaran ke bagian dalam disebut ‘tumpang-sari’. Elar ini menopang bidang atap, sementara Tumpang-sari menopang bidang langit langit joglo (pamidhangan).
Untuk lebih lengkapnya, detail dari rangka joglo adalah sebagai berikut

 
1.    Molo (mulo / sirah / suwunan), balok yang letaknya paling atas, yang dianggap sebagai “kepala” bangunan.
2.   Ander (saka-gini), Balok yang terletak di atas pengeret yang berfungsi sebagai penopang molo.
3.   Geganja, konstruksi penguat / stabilisator ander.
4.   Pengeret (pengerat), Balok penghubung dan stabilisator ujung-ujung tiang; kerangka rumah bagian atas yang terletak melintang menurut lebarnya rumah dan ditautkan dengan blandar.
5.   Santen, Penyangga pengeret yang terletak di antara pengeret dan kili.
6.   Sunduk, Stabilisator konstruksi tiang untuk menahan goncangan / goyangan.
7.   Kili (Sunduk Kili), Balok pengunci cathokan sunduk dan tiang.
8.   Pamidhangan (Midhangan), Rongga yang terbentuk dari rangkaian balok / tumpang-sari pada brunjung.
9.   Dhadha Peksi (dhadha-manuk), Balok pengerat yang melintang di tengah tengah pamidhangan.
10.Penitih / panitih.
11. Penangkur.
12.Emprit-Ganthil, Penahan / pengunci purus tiang yang berbentuk tonjolan; dudur yang terhimpit.
13.Kecer, Balok yang menyangga molo serta sekaligus menopang atap.
14.Dudur, Balok yang menghubungkan sudut pertemuan penanggap, penitih dan penangkur dengan molo.
15.Elar (sayap), Bagian perluasan keluar bagian atas sakaguru yang menopang atap.
16.Songgo-uwang, Konstruksi penyiku / penyangga yang sifatnya dekoratif



Pada arsitektur bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan sekadar pemahaman seni konstruksi rumah, juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan dalam arsitektur rumah dengan gaya ini.
Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan
. Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin sholat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktu-waktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya.

Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaa anak dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan Tuhan.
Begitu juga di ruang dalam terdapat empat tiang utama yang disebut soko guru melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat manusia.
“Untuk membedakan status sosial pemilik rumah, kehadiran bentangan dan tiang penyangga dengan atap bersusun yang biasanya dibiarkan menyerupai warna aslinya menjadi ciri khas dari kehadiran sebuah pendopo dalam rumah dengan gaya ini,” tutur Zulfikar Latief, pemilik galeri Rumah Jawa, yang menyediakan rumah adat joglo dan furnitur etniknya.
Kesan yang akan timbul dari arsitektur bangunan tradisional joglo sering kali terasa antik dan kuno, hal ini timbul melalui kehadiran perabot hingga pernak-pernik pendukung bernuansa lawas yang dibiarkan apa adanya. Namun, dalam penataan hunian bergaya ini tidak ada salahnya bila dikombinasikan dengan gaya modern maupun minimalis.
Dimasa awal pendiriannya, Joglo disebut juga dengan bangunan dengan Soko Guru dan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya. “Saka Guru“, merupakan struktur utama pada bangunan Rumah Joglo. Saka guru adalah sebutan untuk tiang atau kolom atau pilar yang berjumlah 4 buah. Tiang ini terbuat dari jenis kayu dengan besaran yang berbeda-beda menurut pada beban yang menumpang diatasnya. Saka guru berfungsi menahan beban diatasnya yaitu balok tumpang sari dan brunjung, molo,usuk,reng dan genteng. Saka guru berfungsi sebagai konstruksi pusat dari bangunan Joglo karena letaknya ditengah bangunan tersebut.
Rumah Joglo berasal dari daerah Propinsi Jawa Tengah dan fungsi yang lebih menonjol adalah sebagai tempat musyawarah masalah kenegaraan dan menyusun strategi dalam melawan Belanda. Pada saat clash II di Yogyakarta, menjadi markas besar tentara pelajar (TP) seluruh Jogjakarta di bawah pimpinan Kapten Martono (Menteri Transmigrasi masa pemerintahan presiden Soeharto).
Joglo Kelor merupakan joglo terbaik se-Kabupaten Sleman. Hal ini terlihat dari bagian-bagiannya yang lebih lengkap dan masih asli. Menurut pandangan metafisika, rumah joglo ini memiliki energi spiritual yang dapat dirasakan dalam radius ± 100 meter. Secara Resmi, Joglo Kelor menjadi obyek wisata pada bulan oktober 2002. Beberapa waktu lalu, sebuah Sepeda (yang dipakai oleh Kapten Martono) dan Lampu Gantung (yang digunakan untuk penerangan dalam rapat-rapat TP), di pindahkan dari Joglo ke Benteng Vredeburg.
Rumah Tua (Joglo) banyak ditemukan dalam kondisi kurang terawat, mungkin puluhan tahun sudah tak tersentuh pemeliharaan. Meskipun, beberapa masih dipakai sebagai tempat tinggal, namun sebagian lagi bertahun-tahun berupa rumah kosong. Hanya sedikit dari joglo-joglo ini dalam kondisi terawat. Sebagian besar joglo dalam situs ini diperoleh dari daerah pesisir pantai Utara Jawa sekitar Demak – Kudus.
Rumah Joglo ini kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu.
Rumah Joglo ini kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu. Hal ini disebabkan rumah bentuk joglo membutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan mahal daripada rumah bentuk yang lain. Masyarakat jawa pada masa lampau menganggap bahwa rumah joglo tidak boleh dimiliki oleh orang kebanyakan, tetapi rumah joglo hanya diperkenankan untuk rumah kaum bangsawan, istana raja, dan pangeran, serta orang yang terpandang atau dihormati oleh sesamanya saja. Dewasa ini rumah joglo digunakan oleh segenap lapisan masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi lain, seperti gedung pertemuan dan kantor-kantor.
Banyak kepercayaan yang menyebabkan masyarakat tidak mudah untuk membuat rumah bentuk joglo. Rumah bentuk joglo selain membutuhkan bahan yang lebih banyak, juga membutuhkan pembiayaan yang besar, terlebih jika rumah tersebut mengalami kerusakan dan perlu diperbaiki.
Kehidupan ekonomi seseorang yang mengalami pasang surut pun turut berpengaruh, terutama setelah terjadi penggeseran keturunan dari orang tua kepada anaknya. Jika keturunan seseorang yang memiliki rumah bentuk joglo mengalami penurunan tingkat ekonomi dan harus memperbaiki serta harus mempertahankan bentuknya, berarti harus menyediakan biaya secukupnya. Ini akan menjadi masalah bagi orang tersebut. Hal ini disebabkan adanya suatu kepercayaan, bahwa pengubahan bentuk joglo pada bentuk yang lain merupakan pantangan sebab akan menyebabkan pengaruh yang tidak baik atas kehidupan selanjutnya, misalnya menjadi melarat, mendatangkan musibah, dan sebagainya



Sumber :
http://3.bp.blogspot.com/_wC8_9aR_6uE/TAjANErQC7I/AAAAAAAADIU/78LDBveCEug/s320/rangka+joglo+rumah+adat+jawa.JPG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar