Kamis, 07 Juni 2012

FOKLORE SEBAGIAN LISAN: UPACARA SEBA SUKU BADUY –BANTEN


Desviana Isnaeni  4423107028

Seba berasal dari bahasa sunda, saba, yang berarti berkunjung atau mengunjungi.  Adapun upacara Seba itu sendiri adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat suku Baduy.  Upacara ini sudah ada sejak zaman padjajaran. Dan upacara ini juga dipersembakan kepada Prabu Siliwangi dan Kian Santang, karena mereka meninggalkan benda pusaka di Situs Kabuyutan Ciburuy.

Upacara Seba adalah suatu pengabdian kepada seseorang yang berkedudukan tinggi dengan disertai penyerahan suatu yang baik. Adapun penyerahan itu ditujukan kepada arwah-arwah lelehur, yaitu arwah Prabu Siliwangi dan Kian Santang, karena kedua tokoh tersebut mempunyai ilmu dan kesaktian yang tinggi, maka benda-benda peninggalannya merupakan benda pusaka yang mempunyai kekuatan gaib yang bertuah.

Upacara seba juga merupakan upacara membersihkan benda-benda pusaka sebagai tanda hormat kepada leluhur. Dalam upacara ini selalu dihidangkan sajian-sajian penganan yang bahannya berasal dari ketan. Pengadaan bahan-bahan upacara berasal dari swadaya masyarakat setempat secara gotong royong.

Setiap upacara Seba dilaksanakan, masyarakat selalu antusias mengikuti. Mereka tumpah ruah mendatangi kabuyutan Ciburuy untuk mendapatkan berkah dari ritual itu. Mereka bukan saja berasal dari lingkungan setempat, tapi banyak pula yang datang dari daerah-daerah lain.

Bagi masyarakat setempat, membuka dan mengeluarkan benda-benda pusaka dari tempatnya bukan pekerjaan sembarangan. Melainkan harus dilakukan pada waktu tertentu, sebegaimana selalu dipraktekkan para leluhurnya. Upacara Seba sendiri mengambil waktu hari Rabu terakhir di bulan Muharam. Atau bulan pertama pada hitungan tahun hijriah.

Saat upacara Seba berlangsung, kuncen Kabuyutan Ciburuy selalu mengeluarkan mantra-mantra. Konon, saat mengucapkan itu, sang kuncen diyakini tengah dirasuki arwah leluhur. Mantra-mantra itulah yang selalu dinantikan oleh para pengunjung, karena merupakan ramalan kehidupan di masa yang akan datang. Dengan mendengar mantra-mantra itu, dipercaya seseorang akan mendapat keberkahan.

Selain itu, ada waktu-waktu tertentu yang merupakan larangan bagi siapa saja untuk berziarah ke Kabuyutan Ciburuy. Antara lain pada hari Selasa dan Jumat. Menurut Nana Suryana, kuncen generasi ke-48, pada masa lalu, setiap hari Selasa dan Jumat merupakan hari di mana para leluhur melakukan kegiatan suci. Boleh dikata, hari itu merupakan hari tenang, sehingga tidak boleh ada keributan dan aktivitas yang mengganggu.

Rangkaian upacara Seba antara lain melakukan pembersihan rumah adat, sebelum hari “H” berlangsung.Upacara tradisional seba jatuh pada setiap hari Rabu Minggu ke 3 bulan Muharam pada malam kamis jam 19.30 atau ba’da isya di situs Kabuyutan Cuburuy. Seba merupakan sebuah tradisi adat yang harus dilakukan setiap tahunnya bagi warga Baduy sebagai wujud nyata tanda kesetiaan dan dan ketaatan kepada Pemerintah RI yang dilaksanakan kepada penguasa Pemerintahan dimulai dari Bupati Lebak dan Gubernur Banten.

Seba itu sendiri dapat diartikan sebagai kunjungan resmi yang merupakan peristiwa dalam untaian adat masyarakat Baduy yang dilakukan seusai Kawalu dengan rangkaian acara secara terperinci serta persiapan yang matang disamping harus berpedoman pada Peraturan Adat dan orang yang berperan dalam melakukan Seba adalah kepercayaan Puun atas nama warganya memberikan laporan kepada Pemerintah sekaligus menjembatani komunikasi.

Tujuan diadakannya upacara ini adalah membawa amanat Puun, memberikan laporan selama 1 tahun didaerahnya, menyampaikan harapan dan menyerahkan hasil bumi dari tanaman ladang yang digarap. Bagi warga baduy dalam dengan pakaian serba putih, untuk mengikuti kegiatan tersebut harus menempuh perjalanan selama dua hari dari perkampungannya di Cibeo Desa Kanekes Kecamatan Leuwi Damar Lebak.

Sedangkan bagi warga suku baduy luar dengan pakaian khas serba hitam. Mereka biasanya berangkat dari kampungnya dengan menumpang kendaraan dari Terminal Ciboleger menuju kantor Bupati Lebak dan dilanjutkan ke Pendopo Gubernur Banten.

Untuk tata cara pelaksanaan upacara ini adalah Rombongan yang berangkat tidak ditentukan, tetapi harus dihadiri : Jaro sebagai orang kedua puun, Tokoh Adat Kajeroan, Tokoh Adat Panamping, Juru Bahasa, dan Tokoh Pemuda. Hal ini dimaksudkan agar mengetahui tata caranya dan bisa menjadi generasi  penerus dalam melanjutkan tradisi lelehur.
Dalam pelaksanaan Seba, kelompok Kaum Sepuh berperan sebagai pengamat jalannya upacara dan pada saat sedang berlangsung tidak berbasa – basi dalam penyampaian kata – kata tetapi tegas, terbuka, jujur, tepat dan jelas dari permasalahan daerahnya tidak menutupi yang buruk dan tidak memamerkan yang baik.

Sedangkan kelompok Pemuda, mempunyai kewajiban sebagai pengemban amanat pusaka untuk tidak menyimpang dari tujuan dan kelompok Tokoh Adat mengatur tata cara yang bertumpu kepada pakem, keharusan, larangan dan pantangan sejak berangkat dari daerahnya sampai ke tujuan.

Acara ini, juga merupakan forum silaturahmi antara warga Baduy dengan pemerintah yang dipimpin jaro tanggungan duabelas sekaligus melaporkan situasi social kemasyarakatan, keamanan dan hasil pertanian serta keadaan lain yang terjadi selama setahun terakhir.

Usai acara ritual, jaro tanggungan duabelas didampingi sejumlah Petinggi Adat Baduy lainnya menyerahkan bingkisan (Kue Laksa) dan hasil pertanian lainnya. Untuk pelaksanaan Seba ini, selain jaro tujuh sebagai perwakilan masyarakat Baduy juga dihadiri oleh jaro werga  sebagai Utusan Khusus puun dan jaro government (Kepala Desa).

Upacara Seba ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen mereka yang telah dipanen pada bulan kawalu. Untuk itu, pada upaca Seba ini, rombongan suku Baduy membawa beberapa hasil pertanian mereka berupa padi, pisang, gula, talas, beras yang ditumbuk yang disebut laksadan aneka sayuran. Hasil bumiini diserahkan secara simbolis oleh perwakilan dari suku Baduy kepada Bupati Lebak dan Gubernur Banten pada saat upacara Seba.

Setelah suku Baduy melaksanakan berbagai tradisi pada bulan kawalu di kampung mereka masing-masing di desa Kanekes, mereka kemudian ‘turun gunung’, melakukan perjalanann secara berombongan menuju ibukota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung untuk bertemu dengan Bupati, yang mereka sebut Bapa Gede. Kemudian meneruskan perjalanan tersebut menuju Ibukota Provinsi Banten yang tak lain kota Serang, untuk bertemu dengan Gubernur yang mereka sebut Ibu Gede. Rombongan upacara Seba hanya terdiri dari kaum laki-laki, baik dewasa maupun anak-anak.

Upacara seba terdapat  dua macam, yang pertama yaitu Seba Gede. Dilaksanakan apabila hasil panen yang diperoleh selama satu tahun tersebut sangat memuaskan, maka barang bawaan Seba dilakukan secara lengkap selain hasil – hasil pertanian, gula, pisang juga termasuk pelengkap dapur, yang disebut Perkara Olah diantaranya Kukusan Bambu, Kipas Bambu (Hihid), Centong Pangarih (Sendok Aronan), Dulang (tempat ngangi dari kayu) dan peserta relatif lebih banyak bisa mencapai sekitar 500 orang lebih yang terdiri dari warga Baduy Dalam dan Baduy Luar. Apabila panen yang dihasilkan kurang memuaskan pelaksanaan Seba cukup dengan menyerahkan hasil – hasil pertanian tanpa dilengkapi dengan Perkara Olah dan peserta Seba relatif lebih sedikit.

 Upacara seba mengandung makna upacara yang diwujudkan sebagai penghormatan kepada Prabu Siliwangi dan Kian Santang. Masyarakat akan memandikan benda-benda pusaka dan menyajikan sejasen seperti wajit, laden, dan ladu. Untuk saat ini upacara tetap dilakukan oleh masyarakat karena mengandung nilai social dan nilai dan nilai religious. Untuk nilai social, dalam upacara ini masyarakat akan saling bantu membantu membawa persembahan untuk upacara ini. Nilai religious dalam kegiatan ini, karena adanya kepercayaan yang berpengaruh dalam ritualnya, seperti percaya pada roh dan nenek moyang.

Akan tetapi dalam pandangan islam upacara ini tidak sesuai dengan syariat islam, karena menggunakan kepercayaan nenek moyang dan roh-roh. Namun jika dipandang dalam unsur kebudayaan. Upacara ini merupakan salah satu kegiatan pelestarian dan perlindungan benda pusaka. Dalam arti kata, kegiatan ini juga merupakan simbolis pelestarian peninggalan sejarah.

Upacara ini juga sebagai gambaran sebuah pengorbanan masyarakat dalam bertahan hidup, mereka harus bekerja keras di lading demi membuat dapur “mengepul”. Bagi pemerintah upacara ini merupakan objek wisata budaya yang sangat penting dan harus dilestarikan. Pemerintah Provinsi Banten diharapkan  mempunyai janji dan pembuktian akan terus menjaga lingkungan, kebudayaan dan kelestarian alam di sekitar perkampungan Baduy Luar dan Baduy Dalam.

Pada tahun 2012, upacara ini telah dilaksanakan pada tanggal 27 April pukul 19.30. Tahun ini sebanyak 1700 warga Baduy akan berbondong-bondong menghadap Bupati dan Gubernur sambil membawa seserahan atau oleh-oleh berupa hasil bumi.

Seba Baduy bukan agenda wisata pemerintah, tetapi murni adat Baduy yang mengharuskan demikian.
Yang menarik, 50 orang Baduy dalam akan jalan kaki dari desa Kanekes ke Rangkasbitung, lalu ke Serang (PP),karena orang Baduy dalam tidak boleh naik kendaraan. Saat acara resmi menghadap Bupati/Gubernur berlangsung, tak ada satu pun orang Baduy yang berani bersuara atau ngobrol. Mereka begitu tertib dan sangat menghormati adat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar