Desviana Isnaeni
4423107028
Seba berasal dari bahasa sunda,
saba, yang berarti berkunjung atau mengunjungi. Adapun upacara Seba itu sendiri adalah sebuah
tradisi yang dilakukan oleh masyarakat suku Baduy. Upacara ini sudah ada sejak zaman padjajaran.
Dan upacara ini juga dipersembakan kepada Prabu Siliwangi dan Kian Santang,
karena mereka meninggalkan benda pusaka di Situs Kabuyutan Ciburuy.
Upacara Seba adalah suatu
pengabdian kepada seseorang yang berkedudukan tinggi dengan disertai penyerahan
suatu yang baik. Adapun penyerahan itu ditujukan kepada arwah-arwah lelehur,
yaitu arwah Prabu Siliwangi dan Kian Santang, karena kedua tokoh tersebut
mempunyai ilmu dan kesaktian yang tinggi, maka benda-benda peninggalannya
merupakan benda pusaka yang mempunyai kekuatan gaib yang bertuah.
Upacara seba juga merupakan
upacara membersihkan benda-benda pusaka sebagai tanda hormat kepada leluhur.
Dalam upacara ini selalu dihidangkan sajian-sajian penganan yang bahannya
berasal dari ketan. Pengadaan bahan-bahan upacara berasal dari swadaya
masyarakat setempat secara gotong royong.
Setiap upacara Seba dilaksanakan,
masyarakat selalu antusias mengikuti. Mereka tumpah ruah mendatangi kabuyutan
Ciburuy untuk mendapatkan berkah dari ritual itu. Mereka bukan saja berasal
dari lingkungan setempat, tapi banyak pula yang datang dari daerah-daerah lain.
Bagi masyarakat setempat, membuka
dan mengeluarkan benda-benda pusaka dari tempatnya bukan pekerjaan sembarangan.
Melainkan harus dilakukan pada waktu tertentu, sebegaimana selalu dipraktekkan
para leluhurnya. Upacara Seba sendiri mengambil waktu hari Rabu terakhir di
bulan Muharam. Atau bulan pertama pada hitungan tahun hijriah.
Saat upacara Seba berlangsung,
kuncen Kabuyutan Ciburuy selalu mengeluarkan mantra-mantra. Konon, saat
mengucapkan itu, sang kuncen diyakini tengah dirasuki arwah leluhur.
Mantra-mantra itulah yang selalu dinantikan oleh para pengunjung, karena
merupakan ramalan kehidupan di masa yang akan datang. Dengan mendengar
mantra-mantra itu, dipercaya seseorang akan mendapat keberkahan.
Selain itu, ada waktu-waktu
tertentu yang merupakan larangan bagi siapa saja untuk berziarah ke Kabuyutan
Ciburuy. Antara lain pada hari Selasa dan Jumat. Menurut Nana Suryana, kuncen
generasi ke-48, pada masa lalu, setiap hari Selasa dan Jumat merupakan hari di
mana para leluhur melakukan kegiatan suci. Boleh dikata, hari itu merupakan
hari tenang, sehingga tidak boleh ada keributan dan aktivitas yang mengganggu.
Rangkaian upacara Seba antara
lain melakukan pembersihan rumah adat, sebelum hari “H” berlangsung.Upacara
tradisional seba jatuh pada setiap hari Rabu Minggu ke 3 bulan Muharam pada
malam kamis jam 19.30 atau ba’da isya di situs Kabuyutan Cuburuy. Seba
merupakan sebuah tradisi adat yang harus dilakukan setiap tahunnya bagi warga
Baduy sebagai wujud nyata tanda kesetiaan dan dan ketaatan kepada Pemerintah RI
yang dilaksanakan kepada penguasa Pemerintahan dimulai dari Bupati Lebak dan
Gubernur Banten.
Seba itu sendiri dapat diartikan
sebagai kunjungan resmi yang merupakan peristiwa dalam untaian adat masyarakat
Baduy yang dilakukan seusai Kawalu dengan rangkaian acara secara terperinci
serta persiapan yang matang disamping harus berpedoman pada Peraturan Adat dan
orang yang berperan dalam melakukan Seba adalah kepercayaan Puun atas nama
warganya memberikan laporan kepada Pemerintah sekaligus menjembatani
komunikasi.
Tujuan diadakannya upacara ini
adalah membawa amanat Puun, memberikan laporan selama 1 tahun didaerahnya,
menyampaikan harapan dan menyerahkan hasil bumi dari tanaman ladang yang
digarap. Bagi warga baduy dalam dengan pakaian serba putih, untuk mengikuti
kegiatan tersebut harus menempuh perjalanan selama dua hari dari
perkampungannya di Cibeo Desa Kanekes Kecamatan Leuwi Damar Lebak.
Sedangkan bagi warga suku baduy
luar dengan pakaian khas serba hitam. Mereka biasanya berangkat dari kampungnya
dengan menumpang kendaraan dari Terminal Ciboleger menuju kantor Bupati Lebak
dan dilanjutkan ke Pendopo Gubernur Banten.
Untuk tata cara pelaksanaan
upacara ini adalah Rombongan yang berangkat tidak ditentukan, tetapi harus
dihadiri : Jaro sebagai orang kedua puun, Tokoh Adat Kajeroan, Tokoh Adat
Panamping, Juru Bahasa, dan Tokoh Pemuda. Hal ini dimaksudkan agar mengetahui
tata caranya dan bisa menjadi generasi penerus
dalam melanjutkan tradisi lelehur.
Dalam pelaksanaan Seba, kelompok
Kaum Sepuh berperan sebagai pengamat jalannya upacara dan pada saat sedang
berlangsung tidak berbasa – basi dalam penyampaian kata – kata tetapi tegas,
terbuka, jujur, tepat dan jelas dari permasalahan daerahnya tidak menutupi yang
buruk dan tidak memamerkan yang baik.
Sedangkan kelompok Pemuda,
mempunyai kewajiban sebagai pengemban amanat pusaka untuk tidak menyimpang dari
tujuan dan kelompok Tokoh Adat mengatur tata cara yang bertumpu kepada pakem,
keharusan, larangan dan pantangan sejak berangkat dari daerahnya sampai ke
tujuan.
Acara ini, juga merupakan forum
silaturahmi antara warga Baduy dengan pemerintah yang dipimpin jaro tanggungan
duabelas sekaligus melaporkan situasi social kemasyarakatan, keamanan dan hasil
pertanian serta keadaan lain yang terjadi selama setahun terakhir.
Usai acara ritual, jaro
tanggungan duabelas didampingi sejumlah Petinggi Adat Baduy lainnya menyerahkan
bingkisan (Kue Laksa) dan hasil pertanian lainnya. Untuk pelaksanaan Seba ini,
selain jaro tujuh sebagai perwakilan masyarakat Baduy juga dihadiri oleh jaro
werga sebagai Utusan Khusus puun dan jaro
government (Kepala Desa).
Upacara Seba ini dilakukan sebagai
wujud rasa syukur atas hasil panen mereka yang telah dipanen pada bulan kawalu.
Untuk itu, pada upaca Seba ini, rombongan suku Baduy membawa beberapa hasil
pertanian mereka berupa padi, pisang, gula, talas, beras yang ditumbuk yang
disebut laksadan aneka sayuran. Hasil bumiini diserahkan secara simbolis oleh
perwakilan dari suku Baduy kepada Bupati Lebak dan Gubernur Banten pada saat
upacara Seba.
Setelah suku Baduy melaksanakan
berbagai tradisi pada bulan kawalu di kampung mereka masing-masing di desa Kanekes,
mereka kemudian ‘turun gunung’, melakukan perjalanann secara berombongan menuju
ibukota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung untuk bertemu dengan Bupati, yang mereka
sebut Bapa Gede. Kemudian meneruskan perjalanan tersebut menuju Ibukota
Provinsi Banten yang tak lain kota Serang, untuk bertemu dengan Gubernur yang
mereka sebut Ibu Gede. Rombongan upacara Seba hanya terdiri dari kaum
laki-laki, baik dewasa maupun anak-anak.
Upacara seba terdapat dua macam, yang pertama yaitu Seba Gede.
Dilaksanakan apabila hasil panen yang diperoleh selama satu tahun tersebut
sangat memuaskan, maka barang bawaan Seba dilakukan secara lengkap selain hasil
– hasil pertanian, gula, pisang juga termasuk pelengkap dapur, yang disebut
Perkara Olah diantaranya Kukusan Bambu, Kipas Bambu (Hihid), Centong Pangarih
(Sendok Aronan), Dulang (tempat ngangi dari kayu) dan peserta relatif lebih
banyak bisa mencapai sekitar 500 orang lebih yang terdiri dari warga Baduy
Dalam dan Baduy Luar. Apabila panen yang dihasilkan kurang memuaskan pelaksanaan
Seba cukup dengan menyerahkan hasil – hasil pertanian tanpa dilengkapi dengan
Perkara Olah dan peserta Seba relatif lebih sedikit.
Upacara seba mengandung makna upacara yang
diwujudkan sebagai penghormatan kepada Prabu Siliwangi dan Kian Santang.
Masyarakat akan memandikan benda-benda pusaka dan menyajikan sejasen seperti
wajit, laden, dan ladu. Untuk saat ini upacara tetap dilakukan oleh masyarakat
karena mengandung nilai social dan nilai dan nilai religious. Untuk nilai
social, dalam upacara ini masyarakat akan saling bantu membantu membawa
persembahan untuk upacara ini. Nilai religious dalam kegiatan ini, karena
adanya kepercayaan yang berpengaruh dalam ritualnya, seperti percaya pada roh
dan nenek moyang.
Akan tetapi dalam pandangan islam
upacara ini tidak sesuai dengan syariat islam, karena menggunakan kepercayaan
nenek moyang dan roh-roh. Namun jika dipandang dalam unsur kebudayaan. Upacara
ini merupakan salah satu kegiatan pelestarian dan perlindungan benda pusaka.
Dalam arti kata, kegiatan ini juga merupakan simbolis pelestarian peninggalan
sejarah.
Upacara ini juga sebagai gambaran
sebuah pengorbanan masyarakat dalam bertahan hidup, mereka harus bekerja keras
di lading demi membuat dapur “mengepul”. Bagi pemerintah upacara ini merupakan
objek wisata budaya yang sangat penting dan harus dilestarikan. Pemerintah
Provinsi Banten diharapkan mempunyai janji
dan pembuktian akan terus menjaga lingkungan, kebudayaan dan kelestarian alam
di sekitar perkampungan Baduy Luar dan Baduy Dalam.
Pada tahun 2012, upacara ini
telah dilaksanakan pada tanggal 27 April pukul 19.30. Tahun ini sebanyak 1700
warga Baduy akan berbondong-bondong menghadap Bupati dan Gubernur sambil
membawa seserahan atau oleh-oleh berupa hasil bumi.
Seba Baduy bukan agenda wisata pemerintah,
tetapi murni adat Baduy yang mengharuskan demikian.
Yang menarik, 50 orang Baduy
dalam akan jalan kaki dari desa Kanekes ke Rangkasbitung, lalu ke Serang
(PP),karena orang Baduy dalam tidak boleh naik kendaraan. Saat acara resmi
menghadap Bupati/Gubernur berlangsung, tak ada satu pun orang Baduy yang berani
bersuara atau ngobrol. Mereka begitu tertib dan sangat menghormati adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar